BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ketika
peradaban ummat manusia sampai pada puncaknya, pertanyaan yang mendasar tentang
eksistensi kehadirannya di dunia kembali muncul untuk mendapatkan jawaban. Apa
sebenarnya hakikat manusia hidup di dunia? Ketika pertanyaan itu muncul,
peradaban puncak itu runtuh dengan sendirinya. Maka, kehidupan yang masuk fase
digitalisasi, dunia serba di ujung jari[1], hanya menjadi tiada berarti. Muncul kegersangan jiwa dan
manusia kembali mencari jati diri dalam bentuk lain. Manusia akhirnya kembali
mencari dan menggali kedalaman makna kehidupan dan hakikat dirinya.
Eksistensi
kehidupan dunia ternyata tak sekedar mencari dan memenuhi hasrat terhadap
materi belaka. Jiwa yang selama ini kurus kering dan berkerontang tak dipenuhi
kebutuhannya meminta untuk diisi dan diberi makan juga. Inilah titik balik yang
membuat beberapa waktu terakhir munculnya fenomena menarik masyarakat kota.
Tumbuhnya pola hidup beragama yang berwajah lain. Agama tak sekedar ritual
aktual tetapi menjadi ritual religi yang menumbuhkan aura kesadaran mendalam
atas ibadah dan pendekatan diri terhadap Pencipta. Jika selama ini agama
hanyalah sebuah bentuk ibadah formal, menyaru kepentingan duniawi atasnya,
digali lebih dalam mendekati titik ketakutan manusia atas kematian nurani yang
selama ini telah terbelenggu dalam kerangkeng materialisme, terkubur di bawa
liberalisme dan kapitalisme. Maka agama kini tak sekedar kegiatan rutin tanpa
memberi sentuhan kedekatan bathin terhadap Pencipta. Dengan kata lain, ketika
modernisasi Barat meninggalkan agama, mempengaruhi semua lini kehidupan, maka
atas kesadaran terhadap kekosongan jiwa, pada saat itulah agama diajak kembali
di masa postmodernis saat ini.
Islam sebagai agama yang bersifat
universal dan mencakup berbagai jawaban atas sebagai kebutuhan manusia. Slain
menghadapi kebersihan lahiriyah juga menghendaki kebersihan batiniyah. Lantaran
penelitian yang sesungguhnya dalam Islam diberikan pada aspek batinnya. Tasawuf
merupakan bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek
rohani manusia yang selanjutanya dapat menimbulkan akhlak mulia. Pembersihan
aspek rohani atau batin ini selanjutnya dikenal sebagai dimensi esoteric dari
diri manusia. Hal ini berbeda dengan aspek fiqih, khususnya pada bab thoharoh
yang memusatkan perhatian pada pembersih aspek jasmani atau lahiriyah yang
selanjutnya di sebut sebagai dimensi eksotrik. Dari suasana demikian itu,
tasawuf diharapkan dapat mengatasi berbagai penyimpangan moral yang mengambil
bentuk seperti manipulasi, koropsi, kolusi, penyalagunaan kekuasaan dan
kesempatan, penindasan, dan sebagainya.
B.
Rumusan
Masalah
Dari
uraian latar belakang masalah sebagaimana di atas, maka dapat dijelaskan serta
disimpulkan rumusan masalahnya, yaitu :
a. Apakah pengertian
tasawuf?
b. Siapakah para ahli
yang telah timbul upaya untuk melakukan penelitian tasawuf?
c. Apakah tujuan dari
ajaran tasawuf?
C.
Tujuan
Sejalan
dengan rumusan masalah di atas tujuannya dari penulisan makalah ini adalah :
a. Untuk mengetahui
pengertian tasawuf.
b. Untuk mengetahui
siapa saja para ahli yang telah timbul upaya untuk melakukan penelitian
tasawuf.
c. Untuk mengetahui
tujuan dari ajaran tasawuf
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Tasawuf
Tasawuf
atau sufisme, merupakan bagian terpenting dalam sejarah perkembangan pemikiran
Islam, dan dipandang sebagai salah satu disiplin ilmu tersendiri dalam Islam,
sebagaimana halnya Fiqih, Kalam, dan Falsafah. Bagi sebahagian kalangan
Muslimin, sufisme atau tasawuf tidak relevan dengan kemodernan. Bahkan,
sebaliknya, dipandang sebagai hambatan bagi kaum Muslimin dalam mencapai
modernitas dan kemajuan dalam berbagai lapangan kehidupan. Pandangan ini, yang
menempatkan sufisme sebagai ‘tertuduh’, bukanlah sesuatu yang baru. Bahkan,
sejak bermulanya praktik sufistik di masa awal Islam, kaum Muhadditsin dan
Fuqaha’ memandangnya sebagai tidak sesuai dengan sunnah Nabi, eksesif, dan
spekulatif dalam hal-hal menyangkut
Tuhan.
Menurut
Fazlur Rahman bahwa awal mulanya sufisme merupakan protes moral-spiritual
terhadap perkembangan-perkembangan tertentu yang bersifat doktrinal dan politis
di dalam ummat Muslim. Pada tahapan selanjutnya, sufisme berubah menjadi sebuah
gerakan agama populer dan dari abad-abad ke-6 dan ke-7 Hijriah (12-13 M)
menyatakan dirinya “tidak hanya sebagai sebuah agama di dalam agama tetapi juga
sebagai sebuah agama yang lebih tinggi dari pada agama. Oposisi ini terus
bertahan dari waktu, meski Al Ghazali berhasil merukunkan syariah dan tasawuf
sejak abad 12. Bahkan, kebangkitan modernisme dan reformisme Islam sejak awal
abad 20 menjadikan tasawuf sebagai salah satu sasaran pembaharuan dan pemurnian
Islam. Bagi para pemikir, aktivis modernis, dan reformis Muslim, kaum Muslim
bisa mencapai kemajuan hanya dengan meninggalkan kepercayaan dan praktik
sufistik yang mereka pandang bercampur dengan bid'ah, khurafat,
takhayul, dan taqlid buta kepada pimpinan tasawuf dan tarekat.
Pandangan
seperti itu perlu dikaji ulang. Modernitas dan modernisasi tidak selalu berhasil
memenuhi janjinya bagi peningkatan kesejahteraan kaum Muslimin. Sebaliknya,
modernisasi yang diikuti globalisasi juga memunculkan kesulitan baru: mulai
dari meningkatnya gaya hidup materialistik dan hedonistik sampai disorientasi
dan dislokasi sosial, politik, dan budaya. Karena itulah, banyak dari kalangan
pemikir yang kemudian menyuarakan pesan-pesan sufisme di tengah-tengah dunia
yang semakin cenderung kepada materialistik dan konsumeristik.[2] Hal
ini merupakan dampak dari pengalaman keagamaan yang lebih intens, lebih menusuk
dalam pencarian nilai dan makna. Dalam perjalanan sejarah spiritualis muslim,
terlihat bahwa transendensi adalah mi’raj spiritual para sufi, karena jalan itu
dirasakan amat mengasikkan.
Dalam
suasana transendensi, seorang sufi merasa memasuki kawasan realita baru,
realita yang terbebaskan dari hidup yang penuh kebengisan, kezaliman dan
keserakahan. Dengan memasuki dunia spiritual, seseorang merasakan hidup di alam
cinta, di alam kemenangan. Bagi kelompok ini, realitas spiritual yang dimasuki bukanlah sesuatu yang semu, tetapi
benar–benar suatu realitas yang dapat dinikmati sebagai sesuatu pengalaman
keagamaan.
Kebangkitan
sufisme post-modernisme berkaitan dengan sejumlah faktor keagamaan, sosial,
politik, ekonomi, dan budaya yang kompleks. Secara keagamaan, sejak 1980-an,
terjadi gejala peningkatan attachmen
kepada Islam, gejala yang di Indonesia biasa disebut sebagai
'santrinisasi'. Proses itu dimungkinkan karena terbentuknya kelas menengah
Muslim saat terjadi perubahan politik rezim penguasa yang lebih rekonsiliatif
dan bersahabat terhadap kaum Muslimin dan Islam. Relatif mapannya keadaan
ekonomi kelas menengah tersebut tidak hanya mendorong mereka, misalnya
mengerjakan ibadah haji dan umrah. Akan tetapi, juga mengeksplorasi pengalaman
keagamaan dan spiritualitas yang lebih intens. Ini hanya bisa diberikan
sufisme, bahkan bentuk spiritualitas Islam lainnya, yang memang tidak selalu
sesuai dengan paradigma dan bentuk tasawuf konvensional. Karena itulah, gejala
sufisme kontemporer di Indonesia dan di dunia Muslim lain tidak lagi hanya
diwakili bentuk tasawuf konvensional, baik tarekat maupun tasawuf yang
diamalkan secara personal-individual. Tetapi, muncul pula bentuk baru yang
mirip dengan apa yang disebut 'new age movement', gerakan (spiritualitas
keagamaan) zaman baru.
Dalam
konteks itu, jika secara konvensional, zikir misalnya, dilakukan secara pribadi
dan kelompok di ruang tertutup, kini dilakukan secara massal dan terbuka dengan
liputan TV. Gejala baru ini tidak membuat pengamalan sufisme konvensional
lenyap. Bahkan, sebaliknya, tidak hanya bertahan, tetapi juga menemukan
momentumnya, tidak hanya di kelas menengah, sekaligus juga pada setiap lapisan
masyarakat. Sangat rumit untuk mencocokkan fenomena ini sebagai sebuah bentuk
aktual kehidupan agama di tengah masyarakat kota. Apalagi tidak ada bimbingan
tokoh dan fase yang menjadi petunjuk dalam kajian ini. Oleh karenanya, penulis
mencoba berangkat dari pengertian dua kata; tasawuf dan kontemporer. Dimana,
pengertian-pengertian itu akan memberi pemahaman dan batasan, baik dari segi
waktu maupun konteks yang akan dibicarakan.
Ahli
bahasa masih berbeda pendapat terhadap pengertian tasawuf. Ada yang menyebut
tasawuf dari kata shafa’ yang berarti suci, bersih, ibarat kilatan kaca. Sebagian
yang lain berpendapat bahwa tasawuf itu berasal dari kata shuf, yang berarti
bulu binatang, sebab orang-orang yang memasuki dunia tasawuf dan mengamalkan
ajaran tasawuf (pada masa awal Islam) itu memakai baju dari bulu binatang yang
kasar sebagai bentuk pemberontakan, kebencian terhadap hidup glamour, pakaian
indah dan mahal. Namun sebagian ahli
bahasa juga ada yang menyatakan bahwa kata tasawuf diambil dari kata shuffah (kaum
shuffah), yaitu segolongan sahabat Rasulullah SAW yang memisahkan diri di satu
tempat tersendiri di samping masjid Nabawi, yang mereka ini mempunyai pola
hidup menjauhi kehidupan dunia. Ada juga sebagian ahli bahasia yang berpendapat
bahwa sebenarnya tasawuf berasal dari kata shufanah, yaitu sejenis kayu mersik
yang tumbuh di padang pasir tanah Arab. Bahkan ada juga di antara para ahli
yang menyatakan tasawuf bukanlah berasal dari akar bahasa Arab, tetapi berasal
dari bahasa Yunani Lama yang diarabkan yaitu dari kata Theosofie yang berarti
ilmu ketuhanan, yang kemudian diarabkan dan diucapkan oleh lidah orang Arab
menjadi tasawuf.[3]
Terlepas
dari perbedaan di kalangan ahli bahasa tentang arti dan asal kata tasawuf,
namun ada benang merah dari semua kata tersebut, yaitu tasawuf adalah sebuah
ajaran (Pola Hidup) yang mengajarkan kepada manusia untuk membersih diri dari
sesuatu yang hina dan menghiasinya dengan sesuatu yang baik untuk mencapai
tingkat yang lebih dengan Allah atau sampai pada maqam yang tinggi. Dengan kata
lain, tasawuf adalah ajaran bagaimana berakhlak dengan akhlak rabbaniyah,
seperti iman, amal shaleh, ibadah, dakwah, akhlak dan bakti kepada orang tua,
untuk mencapai maqam yang tinggi, yaitu dekat dan keredhaan Allah SWT. Atau
dengan ungkapan lain, tasawuf pada dasarnya adalah takhalluq, dan takhalluq
pada dasarnya berakhlak mulia kepada sesama. Meneladani Rasulullah SAW dan
mengharap kecintaan denga meninggalkan nafsu duniawi.[6] Jadi, sufi (orang yang mengamalkan ajaran
tasawuf) adalah orang yang berusaha membersihkan diri dari sesuatu yang hina
dan menghiasi dirinya dengan sesuatu yang baik, yaitu akhlak rabbaniyah, atau
sampai pada maqam tertinggi.[7] Dan jika
seseorang telah dekat denga Allah dan meraih cinta-Nya, karena kemuliaan
akhlaknya, maka secara otomatis ia pun akan dekat dan dicintai oleh sesama
manusia. Setelah memahami selintas
pengertian tasawuf, penulis kemukakan pengertian istilah Kontemporer. Istilah
dari akar kata bahasa Inggris yang dipungut menjadi istilah bahasa Indonesia, contemporary,
berarti sezaman, sebaya, seumur dan zaman sekarang,[8] dewasa
ini, mutakhir, sedangkan kata mutakhir berarti terbaru atau modern pada masa
kini, misalnya pameran seni lukis kontemporer.[9] Secara
harfiah, kontemporer dapat dipahami sebagai waktu sekarang yang aktual. Terkini
dan menjadi trend baru. Beranjak dari pengertian
dua akar kata di atas, menurut penulis, kita diajak untuk menangkap fenomena terkini
terhadap perkembangan sosial dunia tasawuf. Dimana secara garis besar dapat
dibagi dua corak, tasawuf akhlaqi, tasawuf falsafi.[10] Tentu tidaklah mudah untuk menarik kesimpulan
dan menformat fenomena tersebut menjadi sebuah grand teori, karena gejala
tersebut justru tengah berlangsung hingga detik ini. Tetapi secara akademis
ilmiah hal ini patut dilakukan, mengingat bagaimana arah dan tujuan hidup
manusia pada perkembangan zaman ini.
B. Pengertian
dan Tokoh-tokoh Neo-Sufisme
Neo-Sufisme
(neo-Sufism) pertama kali diperkenalkan oleh pemikir muslim
kontemporer, yakni Fazlur Rahman. Karena itu, pemahaman tentang istilah ini
haruslah dirujuk kepada Fazlur. Menurut Fazlur Rahman selaku penggagas istilah
ini, neo-sufisme adalah "reformed sufism", sufisme yang telah
diperbaharui.[4]
Kalau pada era kecemerlangan sufisme terdahulu, aspek yang paling dominan adalah sifat ekstatik-metafisis atau
mistis-filosofis, maka dalam sufisme baru ini digantikan atau di-reform dengan
prinsip-prinsip Islam orthodoks.
Neo-sufisme
mengalihkan pusat pengamatan kepada rekonstruksi sosio-moral masyarakat muslim,
sedangkan sufisme terdahulu terkesan lebih bersifat individual dan
"hampir" tidak melibatkan diri dalam hal-hal kemasyarakatan. Oleh
karena itu, karakter keseluruhan neo-sufisme adalah "puritanis dan
aktivis". Tokoh atau kelompok yang paling berperan dalan reformasi sufisme
ini, juga yang paling bertanggung jawab dalam kristalisasi kebangkitan
neo-sufisme menurut Fazlur Rahman adalah kelompok ahlu al-hadits.[5] Mereka ini mencoba mengakomodir sebanyak
mungkin warisan kaum sufi yang dapat direkonsiliasikan dengan Islam orthodoks,
terutama motif moral sufisme dan teknik dzikir atau muraqabah dalam mendekatkan
diri kepada Allah.
Kelihatannya, tujuan neo-sufisme adalah penekanan yang
lebih intens (kuat) pada penguatan iman sesuai dengan prinsip-prinsip
aqidah Islam, dan penilaian terhadap
kehidupan duniawi sama pentingnya dengan kehidupan ukhrawi. Konsekuensi dari
sikap keberagamaan ini adalah terintegrasikannya nilai kehidupan duniawi dengan
nilai kehidupan ukhrawi. atau kehidupan
yang terresterial dengan kehidupan yang kosmologi.
Sikap
puritanis (Paham Kemurnian Ajaran) pendukung neo-sufisme menyebabkan
berseberangan dengan paradigma sufisme terdahulu yang mengarahkan pengikutnya
untuk membenci duniawi sehingga mereka pasif, hal ini berlainan dengan
neo-sufisme, yang malahan mendorong dan memotivasi pengikutnya agar
aktif-kreatif dalam kehidupan ini, baik yang bersifat karya-karya praktis
maupun dalam kreativitas intelektual.
Al-Qusyasyi
(w. 1071 H), salah seorang tokoh reformasi sufisme dan guru Abdul Rauf
As-Singkili (w. 1105 H) mengarahkan dan menganjurkan kaum muslimin untuk
meninggalkan kemalasan dan kebodohan dengan penggunaan waktu sebaik-baiknya.
Sehingga fungsi kekhalifahan manusia dapat dioptimalkan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan jasmaniyah dan rohaniyah.
Sufi
yang sebenarnya bukanlah yang mengasingkan dirinya dari masyarakat, tetapi sufi
yang tetap aktif di tengah kehidupan masyarakat dan melakukan amar ma'ruf nahi
munkar (ishlah) demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.[6]
Menurut
Rahman, neo-Sufisme mempunyai ciri utama berupa tekanan kepada motif moral dan
penerapan metode zikir dan muraqabah (konsentrasi kerohanian) guna mendekati
Tuhan, tetapi sasaran dan isi konsentrasi itu disejajarkan dengan doktrin salafi
(ortodoks), dan bertujuan untuk meneguhkan keimanan kepada aqidah yang benar
dan kemurnian moral dari jiwa. Melucuti dari ciri dan kandungan ekstatik dan
metafisiknya, dan diganti dengan kandungan yang sesuai dengan Al Quran dan
Sunnah.
Tasawuf
model baru ini menekankan dan memperbarui faktor
moral asli dan kontrol diri yang puritan dalam tasawuf dengan
mengorbankan ciri-ciri berlebihan dari tasawuf yang menyimpang. Pusat perhatian neo-sufisme adalah lebih kepada rekonstruksi sosio-moral dari masyarakat Muslim. Ini berbeda dengan tasawuf sebelumnya, yang terutama menekankan individu dan bukan masyarakat[7]. Sehingga, karakter keseluruhan neo-Sufisme adalah puritan dan aktivis[8]. Para pengamalnya tidak mengundurkan diri dari kehidupan dunia, tetapi sebaliknya melakukan inner detachment untuk mencapai realisasi spiritual yang lebih maksimal.[9]
moral asli dan kontrol diri yang puritan dalam tasawuf dengan
mengorbankan ciri-ciri berlebihan dari tasawuf yang menyimpang. Pusat perhatian neo-sufisme adalah lebih kepada rekonstruksi sosio-moral dari masyarakat Muslim. Ini berbeda dengan tasawuf sebelumnya, yang terutama menekankan individu dan bukan masyarakat[7]. Sehingga, karakter keseluruhan neo-Sufisme adalah puritan dan aktivis[8]. Para pengamalnya tidak mengundurkan diri dari kehidupan dunia, tetapi sebaliknya melakukan inner detachment untuk mencapai realisasi spiritual yang lebih maksimal.[9]
Menurut
Nurcholish Madjid, neo-Sufisme cenderung untuk menghidupkan kembali aktifisme salafi
dan menanamkan kembali sikap positif kepada dunia. Dalam makna inilah kaum
Hanbali seperti Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim Al-Jauziyah, sekalipun sangat
memusuhi sufisme populer, adalah jelas kaum neo-sufi, malah menjadi perintis ke
arah kecenderungan ini. Selanjutnya,
kaum neo-sufi juga mengakui, sampai batas tertentu, kebenaran klaim sufisme
intelektual mereka menerima kasyf (pengalaman penyingkapan kebenaran Ilahi)
kaum Sufi atau ilham intuitif. Bahkan Ibn Taimiyah maupun Ibn Qayyim
sesungguhnya mengaku pernah mengalami kasyf sendiri. Jadi terjadinya kasyf dibawa
kepada tingkat proses intelektual yang sehat. Lebih jauh lagi, Ibn Taimiyah dan
para pengikutnya menggunakan keseluruhan terminologi kesufian -termasuk istilah
salik, penempuh jalan keruhanian - dan mencoba memasukkan ke dalamnya makna
moral yang puritan dan etos salafi.[10]
Berdasarkan
kajian Nurcholish Madjid, neo-Sufisme itu dalam perkembangannya tampil dalam
apa yang disebut oleh kelompok Dr. Sa'id Ramadhan "Al-Ruhaniyah
Al-Ijtima'iyah" (spiritualisme sosial) yang ciri-cirinya antara lain:
1.
Membaca
dan merenungkan makna kitab suci Al-Qur'an;
2.
Membaca
dan mempelajari makna kehadiran Nabi Saw. melalui sunnah dan sirah (biografi)
beliau,
3.
Memelihara
hubungan dengan orang-orang saleh seperti para ulama dan tokoh Islam yang
zuhud;
4.
Menjaga,
diri dari sikap dan tingkah laku tercela;
5.
Mempelajari
hal-hal tentang ruh dan metafisika dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, dengan sikap
penuh percaya;
6.
Melakukan
ibadah-ibadah wajib dan sunnah seperti shalat lima waktu dan tahajjud.
Dengan
demikian, yang paling dipentingkan di sini adalah nilai keseimbangan (mizan atau
tawazun), sehingga menjadi prinsip utama hidup ideal seorang muslim. Nampaknya
gerakan "Neo Sufisme" dituntut untuk melakukan upaya sistematis demi
terkawalnya citra tasawuf yang sejati. Kelihatannya tasawuf semakin dicari
orang, karena diyakini bahwa pola hidup sufistik adalah pilihan terbaik untuk
mengobati penyakit–penyakit sosial yang ditularkan oleh racun "cinta
dunia" yang berlebihan. Adapun tokoh – tokoh utamanya ialah Ibn Taimiyah
dan Ibn Qayyim Al-Jauziyah, Dr. Sa'id Ramadhan, di Indonesia: Hamka, dan KH.
Achmad Siddieq.
C. Konsep
Neo-Sufisme Falur Rahman
Menurut
Fazlur Rahman, spiritulisme itu telah ada semenjak nabi Muhammad SAW dan ia
sebagai penunjang misi kenabian dan kerasulannya. Dalam perkembangan
selanjutnya penanaman taat terhadap hukum Tuhan lama kelamaan menjadi tahapan khusus
interiorisasi dan instrospeksi motif moral. Praktek tersebut mendapat dorongan
kuat dari realitas sosial. Kehidupan
asketisme merupakan awal kehidupan tasawuf yang merupakan reaksi atau protes
spiritual dari keadaan pada waktu itu. Rahman sangat tidak sepakat dengan model
kehidupan para sufi yang mengisolasi terhadap dunia, sinis akan politik yang
akan mengakibatkan pesimisme, dan yang demikian itu bertentangan dengan Al
Quran, sebab yang utama dari Al Quran adalah implementasi actual dari citra moral
secara realistis dalam suatu konteks sosial.
Adalah
sangat tidak tepat bila dikatakan bahwa di antara para sahabat ada yang
mengalami ektase-ektase seperti Abu Yaziz Al Busthami, Ibn 'Arabi, Al Hallaj
dan sebagainya, Namun dalam prakteknya Rahman tidak sependapat dengan pandangan para tokoh tasawuf falsafi, yang
menurutnya mereka telah mengadakan "penambahan" dalam agama.[11] Karena ektase
(fana diri) yang dijalani telah mengakibatkan pengisolasian diri yang dianggap
sebagai the ultimate goal atau perjalanan manusia menuju khaliknya. Penolakan Fazlur Rahman tersebut berdasarkan
pada prilaku Rasulullah saw., menurutnya, seandainya ektase (fana diri) dari
para sufi itu dianggap sebagai religious experience (pengalaman agama), maka
Rasulullah pun mengalaminya.
Paradigma
di atas jika dicermati lebih mendalam, maka sesungguhnya gagasan Neo-Sufisme
Fazlur Rahman tersebut dilatarbelakangi oleh anomaly atau problema yang
dipraktekkan oleh para sufi terutama puncaknya pada abad ke III Hijriah.
Anomaly tersebut antara lain; Pertama
anomaly teologis yang berhubungan dengan pengalaman ekstasik-fana' dan
ucapan-ucapan syatahat yang ganjil dan banyak ditandai oleh pemikiran-pemikiran
spekulatif-metafisik, misalnya hulul, wahdat al-wujud, ittihad dan sebagainya. Kedua anomaly non-formalistik yang berhubungan
dengan dasar praktek aplikatif tasawuf
yang tidak bersandar pada normativitas Al-quran dan Sunnah, dan Ketiga, anomaly
holistika yang berhubungan dengan aspek aksiologis (implementasi) tasawuf di
mana para sufisme lebih memilih isolasi dari kehidupan dengan melakukan
kontemplasi dan 'uzlah dan tidak mau aktif dalam praktis kemasyarakatan.
Maka
dengan demikian, Neo-Sufisme Fazlur Rahman dengan kerangka berpikirnya bact to
Qur'an and Sunnah yang begitu kuat, akan melahirkan alternative kehidupan
sufistik pada masa sekarang ini sesuai dengan tantangan zaman yang semakin
berkembang.
D. Analisis
Perbandingan Dengan Sufi Klasik
Sejak
dekade akhir abad II Hijriah, sufisme sudah populer di kalangan masyarakat di
kawasan dunia Islam, sebagai perkembangan lanjut dari gaya keberagaman para
zahid dan ‘abid - kesalehan asketisme yang mengelompok di serambi masjid
Madinah. Fase awal ini juga disebut sebagai fase asketisme (zuhud) yang
merupakan bibit awal tumbuhnya sufisme dalam peradaban Islam. Keadaan ini
ditandai oleh munculnya individu–individu yang lebih mengejar kehidupan
akhirat, sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan
keasyikan duniawi. Fase asketisme ini setidaknya berlangsung sampai akhir abad
II hijriah, dan memasuki abad ke III sudah menampakkan adanya peralihan dari
asketisme ke sufisme. Fase ini dapat disebut sebagai fase kedua, yang ditandai
oleh pergantian sebutan zahid menjadi sufi. Di sisi lain, pada kurun waktu ini
percakapan para zahid sudah meningkat pada persoalan bagaimana jiwa yang bersih
itu, apa itu moralitas dan bagaimana pembinaannya, serta perbincangan masalah
kerohanian lainnya. Tindak lanjut dan
diskusi ini, bermunculanlah berbagai konsepsi tentang jenjang perjalanan yang
harus ditempuh seorang sufi (al-maqomat) serta ciri–ciri yang dimiliki
seorang salik (calon sufi) pada tingkatan tertentu (al-hal). Demikian
juga pada periode ini sudah mulai berkembang perbincangan tentang al-Ma'rifat
beserta perangkat metodenya ('uzlah) hingga pada derajat fana’ dan
Ittihad.
Bersamaan
dengan itu, tampillah para penulis tasawuf
terkemuka, seperti al-Muhasibi (w. 243 H), al-Harraj (w. 277 H) dan
al-Junaid al-Bagdadi (w. 297 H) dan penulis lainnya. Secara konseptual
tekstual lahirnya sufisme barulah pada periode ini, sedangkan sebelumnya hanya
berupa pengetahuan perorangan dan atau semacam langgam keberagamaan. Sejak
kurun waktu itu sufisme berkembang terus ke arah penyempurnaan dan spesifikasi
terminologi, seperti konsep intuisi, dzauq dan al-kasyf.[12] Hingga
pada abad kedelapan hijriah muncullah suatu gerakan "Noe Sufisme"
yang dipelopori oleh Ibn Taimiyah di mana sufisme terdahulu itu dituding
sebagai penyebab keterbelakangan umat Islam dalam percaturan kemajuan duniawi.
Dari keseluruhan pemaparan terdahulu telah kelihatan adanya persamaan dan
perbedaan antara sufisme terdahulu dengan neo-sufisme. Yang penting dicatat
adalah sebagai berikut:
1.
Kelahiran Sufisme klasik dan kebangkitan Neo-Sufisme nampaknya
dimotivasikan oleh faktor–faktor yang sama, yakni: Gaya kehidupan yang glamour dan
materialistik-konsumeristik, formalisme pemahaman dan pengamalan keagamaan
sebagai imbas dari kegarangan rasionalisme, dan faktor kekerasan perebutan
hegemoni kekuasaan yang merasuki seluruh aspek kehidupan manusia.
2.
Kesucian
jiwa-rohaniyah, bahwa keduanya sama mendambakan dan menekankan betapa urgennya
kebeningan dan kesucian hati nurani dalam segala aspek kehidupan umat
manusia-aspek tazkiyah an-nafs.
3.
Pendekatan esoteris
(bersifat rahasia) ; keduanya sama berkeyakinan, bahwa untuk memahami dan
menghayati makna keagamaan harus melalui pendekatan esoteris, pendekatan
pengalaman metafisis atau al-kasyf.
Namun dalam hal kemutlakan nilai kebenarannya, terlihat antara keduanya
ada perbedaan yang cukup tajam, kalau sufisme terdahulu meyakini secara mutlak
kebenaran yang diperoleh melalui esoteris-al-kasyf, tetapi neo-sufisme
akan meyakini kebenaran itu, apabila sejajar dengan syariat. Di samping itu,
sufisme terdahulu hanya mengakui pendekatan esoteris satu-satunya yang dapat digunakan
dalam rangka penghayatan keagamaan, tetapi neo-sufisme tetap mengakui terhadap
pluralitas pendapat.
4.
Dzikrullah dan
muraqabah, keduanya sama-sama meyakini betapa pentingnya masalah ini dalam
segala situasi demi tercapainya ridha Allah.
5.
Sikap ‘uzlah,
kalau sufisme terdahulu menempuh cara hidup ‘uzlah total, maka
neo-sufisme menempuh cara itu hanya sewaktu diperlukan saja sekedar untuk
menyegarkan wawasan melalui muhasabah—introspeksi.
6.
Zuhd, askestisme, apabila sufisme terdahulu “membenci”
kehidupan duniawi karena dianggap menghalangi pencapaian tujuan, tetapi sufisme
baru, meyakini kehidupan duniawi ini sangat bermakna dan amat penting. Oleh
karena itu, kehidupan duniawi harus diperjuangkan tetapi harus disesuaikan
dengan kepentingan ukhrawi. Menurut pandangan ini, makna kehidupan duniawi
tergantung pada keterkaitannya dengan nilai ukhrawi yang dihasilkan aktivitas
duniawi itu. Karena mereka berkeyakinan, bahwa neo-sufisme, menjadi
satu-satunya alternatif culture yang dapat meng-counter culler materialistis-konsumeristis
dan hedonisme.
E. Fenomena
Tasawuf Kontemporer
Bagaimana bisa menyebut tasawuf kontemporer sebagai bentuk
baru dari suasana beragama dan pencarian manusia terhadap Pencipta. Setidaknya
penulis memiliki tawaran pemikiran sebagai berikut; Tasawuf kontemporer tidak
terlepas dari kontek ajaran tasawuf klasik. Tetapi tidak memiliki silsilah
secara langsung terhadap tasawuf klasik. Kalau masih ada silsilah, tentu saja
ia masih masuk kategori tasawuf klasik. Tasawuf kontemporer terdapat di wilayah
masyarakat kota mengambil ajaran tasawuf dan mengemasnya menjadi industri baru
berbasis agama karena dibutuhkan oleh masyarakat kota. Kejenuhan masyarakat
kota terhadap persaingan hidup membuat pasar tasawuf tumbuh dan masuk wilayah
komunikasi massa dan teknologi.
Penulis berpendapat, tasawuf kontemporer adalah penamaan
yang pada dasarnya berakar dan berada pada barisan neo-sufisme Fazlur Rahman[11]
dan tasawuf modern, yang diusung Hamka. Menurut Hamka, tasawuf modern adalah
penghayatan keagamaan esoteris yang mendalam tetapi tidak dengan serta merta
melakukan pengasingan diri (uzlah). Hal ini menurut Nurcholis Madjid, neo-sufism
menekankan perlunya keterlibatan diri dalam masyarakat secara lebih dari pada
sufism terdahulu. Neo Sufism cenderung menghidupkan kembali aktifitas salafi
dan menanam kembali sikap positif terhadap kehidupan. [12]
Pemahaman ini bisa memberi bukti konkrit ketika melihat
fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kota saat ini. Terdapat
lembaga-lembaga tasawuf yang tidak memiliki akar langsung kepada tarekat dan
digelar massal juga komersial. Sekedar misal, Indonesian Islamic Media
Network (IMaN), Kelompok Kajian Islam Paramadina, Yayasan Takia, Tasauf
Islamic Centre Indonesia (TICI). Kelompok ini mencoba menelaah dan
mengaplikasikan ajaran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari secara massal.
Misalnya Dzikir Bersama, Taubat, Terapi Dzikir. Wajah tasauf dalam bentuk lain dilakukan —dan
sangat laku— Emotional Spritual Question (ESQ) di bawah pimpinan Ari
Ginanjar. Konon, konsep awal ESQ ini, dilakukan oleh kaum nashrani di Eropa dan
Amerika dalam mengantisipasi kebutuhan jiwa masyarakat kota setempat.
Selain bentuk lembaga, dalam pengembangannya melibatkan
komunikasi massa. Misalnya, promosi dalam bentuk buku, pamflet, iklan,
adventorial, program audio visual CD, VCD, Siaran Televisi, hingga internet
(misalnya, www.sufinews.com, www.pesantrenonline.com, gusmus.net,
myquran.com). Siaran televisi yang sehari-hari dapat ditonton,
memperlihatkan kecenderungan yang sama besarnya dengan booming sinetron
misteri dengan tayangan dzikir bersama dan ceramah agama. Berawal dari Televisi
Manajemen Qolbu (MQ TV) di Bandung di bawah pimpinan Abdullah Gymnastiar
(Aa Gym), muncul beberapa nama lain menyusulnya. Sekedar menyebut, Arifin
Ilham, Ustazd Jefri.
Karena masuk pada ranah industri dan bersentuhan dengan
komersialisme, tasauf terkesan menjadi alat untuk mengedepankan perilaku
keagamaan yang katarsis. Bersedih dan disedih-sedihkan. Taubat, sebuah jendela
masuk tasawuf menjadi arena penyesalan yang dipertontonkan. Dzikir, sebagai
lapazkan secara bersama-sama panduan yang terpaksa khusu’, Do’a yang
disandiwarakan dengan tetes air mata. Artinya,
jika tidak hati-hati, pola seperti ini akan terjerumus dalam pseudo
tasawuf. Tasawuf yang hanya mengedepankan tontonan daripada substansi
penghayatan. Karena ia masuk dalam wadah
publikasi, maka ongkos (bahasa yang lebih sopan digunakan; mahar) yang
harus dibayar adalah tumbuhnya idola baru yang menjadi pujaan. Berbeda dengan
tasawuf klasik dan tarekat yang memiliki rasa hormat yang tinggi terhadap guru
spiritual, yang terjadi pada tasawuf kontemporer adalah pemujaan idola yang
tiada berbeda dengan pemujaan manusia sekuler terhadap Madonna. Dan janganlah
heran, jika hari lebaran, salah satu baju “wajib” dibeli kaum muslim adalah
baju (simbol) yang dipakai sang idola. Suasana religius yang terpaksa hadir itu
juga dibayar mahal jika akan menghadirkan sang idola ke sebuah majelis. Sungguh
naif, bila dipandang dari segi ajaran tasawuf itu sendiri.
Selain bentuk-bentuk di atas, tanpa mengurangi kehadiran
tasauf klasik yang masih berkembang bersamaan juga dengan tarekat yang sudah
pula masuk ke kota besar, tasawuf kontemporer juga ditunjukkan dalam bentuk
terapi pengobatan. Seperti terapi Narkoba dengan Dzikir Abah Sepuh dan Abah
Anom di Pesantren Suralaya. Pengamalan ibadah agama—shalat wajib, shalat
sunat—yang lengkap dan metode tasauf (taubat, dzikir) yang dijalankan selama 24
jam dengan paket pengobatan yang mahal pula.[13]
Agaknya, inilah yang lebih spesifik
dalam tasawuf kontemporer. Sebuah bentuk baru yang ada di tengah masyarakat
kota. Kalau begitu, apa beda antara tasawuf kontemporer? Dalam segi semangat,
tidak ada beda. Hanya segi waktu dan model yang ditawarkan. Jika masa modern
banyak dihadapkan pada semangat untuk kembali kepada bentuk lebih positif dan
kemurnian ajaran agama, maka pada tasawuf kontemporer beralihnya model dari
sifat tasawuf individual kepada wilayah massa. Hal ini berangkat dari kegagalan
dalam pencitraan dan kekosongan jiwa, setidaknya pada massa, terdapat pengakuan
terhadap diri individu yang masuk kelompok ibadah tersebut. Wilayah massa itu
adalah, dimana masyarakat yang memiliki wadah komunikasi massa dan teknologi
informasi. Tasawuf masuk menjadi bagian dari perangkat hidup dengan wajah baru
yang sesuai pada selera zamannya.
F. Analisa
Kritis Terhadap Tasawuf Kontemporer
Pemaparan di atas sesungguhnya belum final dan butuh analisa
bersama dalam diskursus kajian fenomena tasawuf. Namun penulis mencoba
menghantarkan, bahwa tasawuf kontemporer sebuah bentuk aktual corak beragama
masyarakat kota. Jika tidak hati-hati, atau salah dalam pengajaran dan
aplikasinya akan membawa bentuk pseudo tasawuf. Atau lebih ekstrim lagi,
tasawuf kontemporer yang bersentuhan dengan corak sufistik, hanyalah mengambil
semangat yang tidak utuh dari tasawuf konvensional yang dikenal selama ini.
Apabila kita memahami corak sufistik, seakan-akan hanya mengarah kepada dunia
tasawuf, bukan masuk ke dalam ranah tasawuf secara total.
Seperti yang pernah diungkapkan oleh Azyumardi Azra.
Azyumardi membagi tiga bentuk tasawuf yang menyita masyarakat akhir-akhir ini,
pertama Student Sufism, Convensional Sufism dan Urban Sufism.[14]
Pencapaian yang hendak ditujukan oleh tasawuf kontemporer
adalah sama dengan konsep para sufi terdahulu (sufi klasik). Seperti kedekatan
terhadap Pencipta, kehadiran Pencipta dalam kehidupan sehari-hari, menjadi
insan kamil. Melihat coraknya, pengembangan tasauf kontemporer mengarah kepada
tubuhnya tasawuf akhlaqi, dimana mengedepan sikap kesahajaan dan ibadah
yang banyak untuk mencapai kedamaian hidup dan kedekatan diri dengan Pencipta.
Tetapi, apresiasi positif yang patut diberikan kepada mereka
yang mengusung tasawuf dengan wajah baru ini adalah, mereka masuk dalam
mewarnai zaman. Tak terbayangkan, jika mereka tidak ada. Kekosongan pada
wilayah massa akan membuat kepercayaan diri (confidence self) beragama
masyarakat akan terus menurun. Tentu saja, nuansa keagamaan akan tidak terlihat
lagi di permukaan. Setidaknya, mereka sekarang sudah memulainya untuk menjawab
kebutuhan rohani masyarakat. Lebih dari itu, tasawuf kontemporer merupakan
bentuk alternatif beragama sebagai pilihan setelah goncangan ketiadaan dan
kekosongan jiwa. Dimana jiwa yang kurus kering tidak pernah mendapat sentuhan
religi, sementara jiwa memiliki kebutuhan tersebut tetapi tidak pernah
diberikan.
G. Fenomena
Spiritualitas Masyarakat Modern
Apabila ditelusuri dari sejarah masuknya Islam ke Indonesia,
nampaknya sufisme yang diajarkan di Indonesia sudah diwarnai oleh tarekat
sebagai lembaga atau paguyuban. Akan tetapi apabila dilihat dari kegemaran para
santri generasi awal mempelajari tasawuf dari buku–buku yang pada umumnya
karangan al-Ghazali, ternyata belum dicampuri ajaran tarekat. Dengan
mengandalkan fakta–fakta sejarah itu, barangkali tidak berlebihan kalau
dikatakan, bahwa sebelum munculnya tarekat sufi sebagai lembaga, sudah lebih
dulu berkembang tasawuf, baik yang beraliran al-Ghazali maupun aliran lainnya.
Sedangkan tarekat tasawuf yang melembaga, nampaknya datang kemudian bersamaan
dengan kedatangan penyiar–penyiar yang berasal dari Gujarat. Dengan demikian,
maka tasawuf yang berkembang pada masa awal itu, didominasi oleh tasawuf aliran
Sunni. Kalau pun ada penganut tasawuf aliran falsafi, tidak begitu luas dan
bahkan mendapat perlawanan dari pengikut Sunni. Karenanya tanpa ragu Hamka
menulis, bahwa tasawuf di Indonesia sejalan dan sedarah daging dengan mazhab
Ahlussunnah wal-Jama'ah.
Dalam perkembangan sufisme di Indonesia, pengaruh al-Ghazali
as-Syafi'i lebih besar daripada pengaruh al-Hallaj dari mazhab Syi'i. Bahkan
pada masa kerajaan Islam Pasai, telah ada orang Indonesia yang mengajar tasawuf
di Mekkah, yakni Syaikh Abu Abdullah Masud bin Abdullah al-Jawi.[13] Tasawuf yang tadinya aktivitas
independen, telah bergeser kepada bentuk organisasi atau lembaga yang kemudian
disebut tarekat. Dalam tarekat sebagai pranata keagamaan, peranan guru (syekh,
khalifah dan mursyid) sangat dominan. Sebab, tasawuf yang diajarkan dalam satu
tarekat, sangat tergantung pada "khibrah" (penghayatan, pengamalan
dan pengalaman dalam mengajarkan tasawuf) seorang syeikh tarekat. Demikianlah
perkembangan yang nyata dari sufisme di Indonesia, terkesan sudah diwarnai
tarekat sehingga tarekat diidentikkan dengan tasawuf.
Fenomena yang terjadi sekarang ini bahwa tarekat sudah
menjadi suatu pengajian sehingga membentuk suatu kumpulan (majlis dzikir),
misalnya saja majlis dzikir yang dipimpin oleh ustadz H. Haryono dengan
metodenya dan sudah dikenal oleh masyarakat luas mampu mengobati segala macam
penyakit. Begitu juga dengan ustadz H. Arifin Ilham dengan majelis dzikir
Az-Zikranya dan KH. Abdullah Gymnastiar dengan taushiyahnya mampu membangkitkan
jiwa spiritualitas di tengah-tengah masyarakat modern.
Di Indonesia sendiri dalam beberapa tahun terakhir, gejala
munculnya tasawuf ke panggung kehidupan keagamaan juga terlihat lebih jelas.
media massa sering melaporkan,
bahwa literatur tasawuf
termasuk diantaranya buku-buku
terlaris dipasaran. Kehidupan sufistik ini bahkan merambah ke dunia
kepenyairan. Terdapat seniman atau penyair, yang tidak malu-malu lagi
meproklamasikan diri sebagai penyair sufistik.
Kebangkitan tasawuf umumnya dan tarekat khususnya di masa
modern ini, tidak urung lagi menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan para
pengkaji sosiologi agama dan modernisasi. Mengapa dalam situasi di mana
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian marak, justru semakin banyak
orang tertarik kepada tasawuf? Apakah ini sekedar gejala eskapisme dalam dunia
modern? Kesimpulan singkat yang diberikan Naisbitt dan Aburdene dalam
Megatrends 2000 (1990) sebagaimana yang dikutif oleh Azyumardi Azra, agaknya
menarik untuk dicatat. Menurut mereka, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak
memberikan makna tentang kehidupan. Kebangkitan agama (termasuk tasawuf) merupakan
penolakan yang tegas terhadap kepercayaan buta kepada ilmu pengetahuan dan
teknologi, tulis keduanya.[14]
Demikianlah, modernisasi dipandang gagal memberikan
kehidupan yang lebih bermakna kepada manusia. Karena itu tidak heran kalau
orang kembali kepada agama yang memang berfungsi, antara lain, untuk memberikan
makna dan tujuan hidup. Modernisme dan modernisasi, ternyata gagal
menyingkirkan agama dari kehidupan masyarakat. modernisasi memang menciptakan
tantangan-tantangan baru terhadap agama, tetapi sama sekali tidak
melumpuhkannya. Yang terjadi justru sebaliknya: sepanjang menyangkut makna,
modernisme dan modernisasi justru menghantarkan manusia ke jalan buntu.
Dari fenomena tersebut di atas, telah mengantarkan pada
kebangkitan tasawuf di masa kontemporer saat ini. Hal ini dapat diamati pada
terjadinya pendekatan yang lebih intens antara spiritualitas tasawuf dengan
mainline (ide pokok) Islam. Karya-karya dan manual sufistik yang dihasilkan
pemikir sufi kontemporer menunjukkan terdapatnya usaha-usaha yang kontinyu dan
terarah untuk menegaskan bahwa tradisi sufistik tidak pernah terlepas dari
Islam ortodoks.
Kecenderungan
perkembangan masyarakat dalam masa pasca-modernisme seperti di atas
mengisyaratkan bahwa Neo-Sufisme akan lebih mempunya prospek perkembangan yang
cerah dan akan semakin berkembang seiring dengan lajunya perkembangan zaman.
Satu keyakinan yang diungkapkan oleh Syaykh Fadhullah Khayri, sebagaimana yang
dikutip oleh Azyumardi Azra yang perlu di dicermati bahwa pesan-pesan sufisme
lebih urgen di
dunia yang semakin
materialistik dan konsumeristik.[15]
BAB
III
PENUTUP
Tasawuf kontemporer adalah
tasawuf bercorak kekinian yang masih berakar pada tasawuf klasik dan
konvensional. Bila tasawuf konvensional hanya menyebar melalui buku-buku,
tetapi tasawuf kontemporer menggunakan instrumen teknologi. Pada tataran ini,
bila nilai tasawuf menjadi kecil atau justru menjadi bahan dari teknologi, maka
tasawuf kontemporer diragui akan keotentikannya. Ia hanya menjadi bagian kecil
dari teknologi maju. Bukan sebagai subjek dari kemajuan.
Tasawuf kontemporer masih
berlandaskan Al-Quran dan Hadits, tetapi mengedepankan packaging dari
pada esensi. Walau pun demikian, mereka yang terlibat di dalam dunia tasawuf
kontemporer terus mencoba dan menggali serta merasakan, juga mengakui mereka
sudah masuk dalam dunia tasawuf. Menurut analisa penulis, tentulah tidak akan
mampu marwah tasawuf yang pernah ada pada masa lalu bisa dijemput secara
total tanpa mengetahui secara utuh ajaran tasawuf masa lalu tersebut. Apalagi
hanya mencomot bagian-bagian penting dan menjadikannya bahan dari apa yang
dikomersilkan — karena dibutuhkan pasar— kepada masyarakat kota.
Walau pun secara tidak langsung
ada akar klasik dan konvensional, sesungguhnya mereka mempelajari secara
mendalam setiap ajaran yang sudah dan mengamalkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Menurut analisa penulis, ada kerinduan masyarakat kota
untuk kembali hidup pada akar budaya agama yang mengedepan marwah
beragama. Tidak sekedar formalitas aktual tetapi juga memiliki makna yang dalam
terhadap kehidupan sehari-hari. Tetapi jika kita lihat lebih jauh, semestinya
harus terus diawasi karena tasawuf ini bersentuhan dengan industri yang
cenderung bermata dua.
Terlepas dari plus dan minus
ajaran, juga corak dan potret kehidupannya yang nyaris mengarah kepada pseudo
tasawuf, semangat dan pengaruhnya membawa arti penting bagi agama Islam di
tengah masyarakat. Lebih-lebih masyarakat kota yang memang merindukan khazanah
kehidupan beragama.
Demikianlah
sejarah menunjukkan, bahwa sufisme tidak pernah tercabut dari akar keislaman.
Maka seirama dengan abad kebangkitan umat Islam, bangkit pula gerakan
spiritualis Islam, yang oleh Fazlur Rahman dinamai "neo-sufisme",
sufisme baru. Secara umum terlihat, bahwa ciri utama neo-sufisme ini adalah,
penekanan pada motif moral melalui penerapan metode zikr dan muraqabah guna
"mendekati" Allah.
Bahwa
Neo-Sufisme yang telah dikonstruk Fazlur Rahman dapat dikategorikan sebagai
tasawuf model salafi. Sebuah model tasawuf yang secara epistimologis
berdasarkan acuan normatif al-Quran dan al-Sunnah, menjadikan
Nabi dan para
salaf al-shalihin sebagai
panutan dalam aplikasinya yang tidak
berlebih-lebihan dalam menjalankan proses spiritualisasi ketuhanannya dengan
mengeliminir unsur mistik-metafisik dan
asketik dalam tasawuf serta
unsur-unsur heterodoks asing lainnya, dan digantikan dengan doktrin-doktrin
yang bernuansa salaf yang quranik-normatif namun tidak elitis-esklusif. Doktrin
ini dimaksudkan untuk menjadikan tasawuf mampu berperan dalam konteks sosial
kemasyarakatan.
Hal
ini dilakukan karena berbagai anomali atau problem (teologis, normative dan
sosiologis) yang berkembang di tubuh tasawuf kala itu, harus diperbaharui agar
supaya tasawuf sebagai bagian dari keislaman dapat memberikan kontribusi
positif-konstruktif terhadap kehidupan masyarakat muslim dalam berbagai bidang
kehidupannya.
Dalam
gerakan neo-sufisme, nampaknya juga tidak bebas dari penyakit pertentangan pola
gerakan dan pola anutan. Setidaknya ada dua warna yang mengemuka, yaitu: (1)
mereka yang tidak mengakui “al kasyf” sebagai hakikat sufisme. Mereka
ini berusaha menghidupkan kembali nilai sufisme yang dipraktekkan para sahabat
nabi, yakni sufisme yang lebih bertumpu pada ‘abid dan zahid; (2) mereka yang
tetap mengakui “kasyf” sebagai intisari sufisme, namun kualitas
kebenarannya harus dilegalisir syariat. Apabila diwawas dari perspektif
berbekal kemafhuman yang empatik, sesungguhnya ide neo sefisme ini melantunkan
nada cinta yang memperpanjang harapan terciptanya kehidupan yang seutuhnya.
Unsur dasar yang harus
diperhatikan dalam mengaktualisasikan gagasan Neo-Sufisme dalam konteks
kekinian, adalah sifat kehidupan manusia yang senantiasa berubah. Artinya,
konteks kehidupan tasawuf di abad lalu berbeda dengan konteks kekinian. Karena
masyarakat manusia adalah realitas yang senantiasa berubah dan mencair, oleh
karena itu perubahan masakini harus disikapi dengan pola yang baru pula.
Tasawuf yang dipraktekkan masa kini harus dengan memperhatikan bahwa masalah kemanusiaan
dalam kehidupan sosial
merupakan bagian dari kerberagamaan para sufi. Tujuan yang
dapat dicapai tetap sama yaitu Ketenangan,
kedamaian dan kebahagiaan
intuitif tetap kemudian dilebarkan bukan hanya untuk
individu melainkan juga untuk dan dalam bentuk kesalehan sosial.
Jika ini mampu diaktulisasikan
di tengah-tengah kesibukan dunia modern, maka akan lahir zahid-zahid baru, Ia
adalah seorang mukmin, namun sekaligus seorang profesionalis, wiraswasta,
birokrat, teknolog, atau bahkan seorang bankir. Atas dasar persepsi bahwa zahid
tidak berbeda dengan sufi, maka ia dapat melakukan riadah (latihan ruhani) dalam konteks kesibukannya sebagai
orang modern.
Kelebihan dari sosok praktek
ini adalah masing-masing individu mencapai peningkatan spiritual sehingga
memperoleh ketenangan hidup,
kedamaian dan kebahagiaan di sisi
Allah SWT, tidak perlu stress karena sikap zahidnya akan senantiasa membentuk
qalbunya untuk tidak terikat dengan dunia, tidak perlu lupa diri menumpuk
kekayaan karena sadar bahwa tujuan utamanya adalah memperoleh pengalaman fana
dan baqa di sisi-Nya.
Sisi lain bahwa pola pengalaman keberadaan Tuhan
yang terkait dengan mengalami pelaksanaan perintah-Nya dalam kehidupan sosial
ini akan membangkitkan semangat sufinya untuk membangun dunia di sekitarnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Karim
al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusairiyah. Kairo, 1330 H.
Abdullah
Khusairi, Hipokrisi dalam Posmodernisme, Harian Pagi Padang Ekspres Minggu,
17 Desember 2006. www.khusairi.blogspot.com
Abu al-Wafa
al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawuf. Kairo: Daar al Saqafah, 1974.
Ahmad
Rahman, Drs, M.Ag, Sastra Ilahi, Ilham Sirriyah Tuangku Syaikh Muhammad Ali
Hanafiah, Penerbit Hikmah Mizan, Cet. 1 Bandung, 2004
Azyumardi Azra, Historiografi
Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah. Jakarta:
Gramedia, 2002.
Drs.
Asmaran As, M.A, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, Rajawali Pers, 1996
Fazlur Rahman, Islam,
edisi II. Chicago: University of Chicago Press, 1979.
Fazlur Rahman, Islam,
Terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1984.
Fazlur Rahman, Revival
and Reform, dalam P. M. Holt et.al, The Cambridge History of Islam, 1970.
Halim,
Abdul Mahmud, Prof Dr, Tasawuf di Dunia Islam, Penerbit, Pustaka Setia,
Jakarta, 2002
Hamka,
Prof. Dr. , Tasawuf Modern, Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta, 2005
Hamka, Tasawuf
Perkembangan dun Pemurniannya. Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1978.
Ibrahim Basyuni, Nasy-at
al-Tasawuf fil Islam. Kairo: Daar a]-Ma'arif, 1969. Lihat dalam
tulisannya (bab pendahuluan) yang bedudul The Element of .Sufism. Longmead,
G.B., 1990.
Muhammad
Zaki Ibrahim, Tasawuf Hitam Putih, Solo; Penerbit Tiga Serangkai 2004
Nazib
Zuhdi, Kamus Inggris-Indonesia, Indonesia Inggris, Penerbit, Fajar Mulya
Surabaya, 1993
Nurcholis
Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Islam dalam
Sejarah, Yayasan Paramadina, Jakarta, 1995
Nurcholish Madjid, Islam
Agama Peradahan: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta:
Paramadina, 1995.
Rasyid,
Hamdan Dr KH, MA, Sufi Berdasi, Mencapai Derajat Sufi dalam Kehidupan Modern,
Al-Mawardi, Jakarta, 2006
Said Ramadlan, Al-Ruhaniyuh
Al-ljtima'iyah fi Al-Islam. Jeneva: al Markaz al Islam,
1965.
Seyyed
Hossein Nasr, dkk, Warisan Sufi, Sufisme Klasik dari Permulaan hingga Rumi
(700-1300 M), Jogjakarta, Pustaka Sufi 2002.
Solihin
Dr M MAg, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, Rajawali Pers,
Jakarta, 2005
Wahyuni Nafis,
Muhammad (Ed), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, Jakarta:
Paramadina1996
WJS, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Jakarta, Balai Pustaka 1999
[1]
Abdullah Khusairi, Hipokrisi
dalam Posmodernisme, Harian Pagi Padang Ekspres Minggu, 17 Desember 2006.
Halaman 26. Buka juga, www.khusairi.blogspot.com
[2] Syeikh Fadhlalla Haeri, The
Element of Sufism, (Longmead : G.B., 1990), h. 77
[3]
Hamdan Rasyid, Sufi Berdasi,
Mencapai Derajat Sufi dalam Kehidupan Modern, (Jakarta: Al-Mawardi),
halaman 30
[6] Wahab Mu'thi, Kritik Ibn Taimiyah terhadapTasawuf,
(Disertasi, 1991), h.
[7] Fazlur Rahman, Revival and Reform, dalam P. M.
Holt et.al, The Cambridge History of Islam, 1970, II, h. 637
[8] Fazlur Rahman, Islam…, h. 194
[9] Azyumardi Azra, Historiograft Islam Kontemporer:
Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah, (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 194.
[10] Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun
Makna dan Relevansi
Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 94.
[11] Muhammad Wahyuni Nafis, Rekonstruksi
dan Renungan Religius Islam, (Jakarta; Paramadina, 1996), hal. 34
[12] Abu
al-Wafa al-Ghanimi al-Taflazani, Madkhal Wa al-Tasmvuf, (Kairo: Daar
al-Saqafah, 1974), h. 80-82
[13] Hamka, Tasawuf
Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam,
1978), h. 217-218.
[14] Muhammad
Wahyuni Nafis, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, (Jakarta:
Paramadina, 1996) h. 295
[15] Ibid, h.296
0 comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar, hindari unsur SARA.
Terima kasih