Lencana Facebook

banner image

Monday 2 December 2013

TASAWUF



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ketika peradaban ummat manusia sampai pada puncaknya, pertanyaan yang mendasar tentang eksistensi kehadirannya di dunia kembali muncul untuk mendapatkan jawaban. Apa sebenarnya hakikat manusia hidup di dunia? Ketika pertanyaan itu muncul, peradaban puncak itu runtuh dengan sendirinya. Maka, kehidupan yang masuk fase digitalisasi, dunia serba di ujung jari[1], hanya menjadi tiada berarti. Muncul kegersangan jiwa dan manusia kembali mencari jati diri dalam bentuk lain. Manusia akhirnya kembali mencari dan menggali kedalaman makna kehidupan dan hakikat dirinya.
Eksistensi kehidupan dunia ternyata tak sekedar mencari dan memenuhi hasrat terhadap materi belaka. Jiwa yang selama ini kurus kering dan berkerontang tak dipenuhi kebutuhannya meminta untuk diisi dan diberi makan juga. Inilah titik balik yang membuat beberapa waktu terakhir munculnya fenomena menarik masyarakat kota. Tumbuhnya pola hidup beragama yang berwajah lain. Agama tak sekedar ritual aktual tetapi menjadi ritual religi yang menumbuhkan aura kesadaran mendalam atas ibadah dan pendekatan diri terhadap Pencipta. Jika selama ini agama hanyalah sebuah bentuk ibadah formal, menyaru kepentingan duniawi atasnya, digali lebih dalam mendekati titik ketakutan manusia atas kematian nurani yang selama ini telah terbelenggu dalam kerangkeng materialisme, terkubur di bawa liberalisme dan kapitalisme. Maka agama kini tak sekedar kegiatan rutin tanpa memberi sentuhan kedekatan bathin terhadap Pencipta. Dengan kata lain, ketika modernisasi Barat meninggalkan agama, mempengaruhi semua lini kehidupan, maka atas kesadaran terhadap kekosongan jiwa, pada saat itulah agama diajak kembali di masa postmodernis saat ini.
Islam sebagai agama yang bersifat universal dan mencakup berbagai jawaban atas sebagai kebutuhan manusia. Slain menghadapi kebersihan lahiriyah juga menghendaki kebersihan batiniyah. Lantaran penelitian yang sesungguhnya dalam Islam diberikan pada aspek batinnya. Tasawuf merupakan bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia yang selanjutanya dapat menimbulkan akhlak mulia. Pembersihan aspek rohani atau batin ini selanjutnya dikenal sebagai dimensi esoteric dari diri manusia. Hal ini berbeda dengan aspek fiqih, khususnya pada bab thoharoh yang memusatkan perhatian pada pembersih aspek jasmani atau lahiriyah yang selanjutnya di sebut sebagai dimensi eksotrik. Dari suasana demikian itu, tasawuf diharapkan dapat mengatasi berbagai penyimpangan moral yang mengambil bentuk seperti manipulasi, koropsi, kolusi, penyalagunaan kekuasaan dan kesempatan, penindasan, dan sebagainya.

B.     Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah sebagaimana di atas, maka dapat dijelaskan serta disimpulkan rumusan masalahnya, yaitu :
a.   Apakah pengertian tasawuf?
b.   Siapakah para ahli yang telah timbul upaya untuk melakukan penelitian tasawuf?
c.   Apakah tujuan dari ajaran tasawuf?

C.    Tujuan
Sejalan dengan rumusan masalah di atas tujuannya dari penulisan makalah ini adalah :
a.   Untuk mengetahui pengertian tasawuf.
b.   Untuk mengetahui siapa saja para ahli yang telah timbul upaya untuk melakukan penelitian tasawuf.
c.   Untuk mengetahui tujuan dari ajaran tasawuf

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Tasawuf
Tasawuf atau sufisme, merupakan bagian terpenting dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, dan dipandang sebagai salah satu disiplin ilmu tersendiri dalam Islam, sebagaimana halnya Fiqih, Kalam, dan Falsafah. Bagi sebahagian kalangan Muslimin, sufisme atau tasawuf tidak relevan dengan kemodernan. Bahkan, sebaliknya, dipandang sebagai hambatan bagi kaum Muslimin dalam mencapai modernitas dan kemajuan dalam berbagai lapangan kehidupan. Pandangan ini, yang menempatkan sufisme sebagai ‘tertuduh’, bukanlah sesuatu yang baru. Bahkan, sejak bermulanya praktik sufistik di masa awal Islam, kaum Muhadditsin dan Fuqaha’ memandangnya sebagai tidak sesuai dengan sunnah Nabi, eksesif, dan spekulatif  dalam hal-hal menyangkut Tuhan.
Menurut Fazlur Rahman bahwa awal mulanya sufisme merupakan protes moral-spiritual terhadap perkembangan-perkembangan tertentu yang bersifat doktrinal dan politis di dalam ummat Muslim. Pada tahapan selanjutnya, sufisme berubah menjadi sebuah gerakan agama populer dan dari abad-abad ke-6 dan ke-7 Hijriah (12-13 M) menyatakan dirinya “tidak hanya sebagai sebuah agama di dalam agama tetapi juga sebagai sebuah agama yang lebih tinggi dari pada agama. Oposisi ini terus bertahan dari waktu, meski Al Ghazali berhasil merukunkan syariah dan tasawuf sejak abad 12. Bahkan, kebangkitan modernisme dan reformisme Islam sejak awal abad 20 menjadikan tasawuf sebagai salah satu sasaran pembaharuan dan pemurnian Islam. Bagi para pemikir, aktivis modernis, dan reformis Muslim, kaum Muslim bisa mencapai kemajuan hanya dengan meninggalkan kepercayaan dan praktik sufistik yang mereka pandang bercampur dengan bid'ah, khurafat, takhayul, dan taqlid buta kepada pimpinan tasawuf dan tarekat.
Pandangan seperti itu perlu dikaji ulang. Modernitas dan modernisasi tidak selalu berhasil memenuhi janjinya bagi peningkatan kesejahteraan kaum Muslimin. Sebaliknya, modernisasi yang diikuti globalisasi juga memunculkan kesulitan baru: mulai dari meningkatnya gaya hidup materialistik dan hedonistik sampai disorientasi dan dislokasi sosial, politik, dan budaya. Karena itulah, banyak dari kalangan pemikir yang kemudian menyuarakan pesan-pesan sufisme di tengah-tengah dunia yang semakin cenderung kepada materialistik dan konsumeristik.[2] Hal ini merupakan dampak dari pengalaman keagamaan yang lebih intens, lebih menusuk dalam pencarian nilai dan makna. Dalam perjalanan sejarah spiritualis muslim, terlihat bahwa transendensi adalah mi’raj spiritual para sufi, karena jalan itu dirasakan amat mengasikkan.
Dalam suasana transendensi, seorang sufi merasa memasuki kawasan realita baru, realita yang terbebaskan dari hidup yang penuh kebengisan, kezaliman dan keserakahan. Dengan memasuki dunia spiritual, seseorang merasakan hidup di alam cinta, di alam kemenangan. Bagi kelompok ini, realitas spiritual yang  dimasuki bukanlah sesuatu yang semu, tetapi benar–benar suatu realitas yang dapat dinikmati sebagai sesuatu pengalaman keagamaan.
Kebangkitan sufisme post-modernisme berkaitan dengan sejumlah faktor keagamaan, sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang kompleks. Secara keagamaan, sejak 1980-an, terjadi gejala peningkatan attachmen  kepada Islam, gejala yang di Indonesia biasa disebut sebagai 'santrinisasi'. Proses itu dimungkinkan karena terbentuknya kelas menengah Muslim saat terjadi perubahan politik rezim penguasa yang lebih rekonsiliatif dan bersahabat terhadap kaum Muslimin dan Islam. Relatif mapannya keadaan ekonomi kelas menengah tersebut tidak hanya mendorong mereka, misalnya mengerjakan ibadah haji dan umrah. Akan tetapi, juga mengeksplorasi pengalaman keagamaan dan spiritualitas yang lebih intens. Ini hanya bisa diberikan sufisme, bahkan bentuk spiritualitas Islam lainnya, yang memang tidak selalu sesuai dengan paradigma dan bentuk tasawuf konvensional. Karena itulah, gejala sufisme kontemporer di Indonesia dan di dunia Muslim lain tidak lagi hanya diwakili bentuk tasawuf konvensional, baik tarekat maupun tasawuf yang diamalkan secara personal-individual. Tetapi, muncul pula bentuk baru yang mirip dengan apa yang disebut 'new age movement', gerakan (spiritualitas keagamaan) zaman baru.
Dalam konteks itu, jika secara konvensional, zikir misalnya, dilakukan secara pribadi dan kelompok di ruang tertutup, kini dilakukan secara massal dan terbuka dengan liputan TV. Gejala baru ini tidak membuat pengamalan sufisme konvensional lenyap. Bahkan, sebaliknya, tidak hanya bertahan, tetapi juga menemukan momentumnya, tidak hanya di kelas menengah, sekaligus juga pada setiap lapisan masyarakat. Sangat rumit untuk mencocokkan fenomena ini sebagai sebuah bentuk aktual kehidupan agama di tengah masyarakat kota. Apalagi tidak ada bimbingan tokoh dan fase yang menjadi petunjuk dalam kajian ini. Oleh karenanya, penulis mencoba berangkat dari pengertian dua kata; tasawuf dan kontemporer. Dimana, pengertian-pengertian itu akan memberi pemahaman dan batasan, baik dari segi waktu maupun konteks yang akan dibicarakan.
Ahli bahasa masih berbeda pendapat terhadap pengertian tasawuf. Ada yang menyebut tasawuf dari kata shafa’ yang berarti suci, bersih, ibarat kilatan kaca. Sebagian yang lain berpendapat bahwa tasawuf itu berasal dari kata shuf, yang berarti bulu binatang, sebab orang-orang yang memasuki dunia tasawuf dan mengamalkan ajaran tasawuf (pada masa awal Islam) itu memakai baju dari bulu binatang yang kasar sebagai bentuk pemberontakan, kebencian terhadap hidup glamour, pakaian indah dan mahal.  Namun sebagian ahli bahasa juga ada yang menyatakan bahwa kata tasawuf diambil dari kata shuffah (kaum shuffah), yaitu segolongan sahabat Rasulullah SAW yang memisahkan diri di satu tempat tersendiri di samping masjid Nabawi, yang mereka ini mempunyai pola hidup menjauhi kehidupan dunia. Ada juga sebagian ahli bahasia yang berpendapat bahwa sebenarnya tasawuf berasal dari kata shufanah, yaitu sejenis kayu mersik yang tumbuh di padang pasir tanah Arab. Bahkan ada juga di antara para ahli yang menyatakan tasawuf bukanlah berasal dari akar bahasa Arab, tetapi berasal dari bahasa Yunani Lama yang diarabkan yaitu dari kata Theosofie yang berarti ilmu ketuhanan, yang kemudian diarabkan dan diucapkan oleh lidah orang Arab menjadi tasawuf.[3]
Terlepas dari perbedaan di kalangan ahli bahasa tentang arti dan asal kata tasawuf, namun ada benang merah dari semua kata tersebut, yaitu tasawuf adalah sebuah ajaran (Pola Hidup) yang mengajarkan kepada manusia untuk membersih diri dari sesuatu yang hina dan menghiasinya dengan sesuatu yang baik untuk mencapai tingkat yang lebih dengan Allah atau sampai pada maqam yang tinggi. Dengan kata lain, tasawuf adalah ajaran bagaimana berakhlak dengan akhlak rabbaniyah, seperti iman, amal shaleh, ibadah, dakwah, akhlak dan bakti kepada orang tua, untuk mencapai maqam yang tinggi, yaitu dekat dan keredhaan Allah SWT. Atau dengan ungkapan lain, tasawuf pada dasarnya adalah takhalluq, dan takhalluq pada dasarnya berakhlak mulia kepada sesama. Meneladani Rasulullah SAW dan mengharap kecintaan denga meninggalkan nafsu duniawi.[6]  Jadi, sufi (orang yang mengamalkan ajaran tasawuf) adalah orang yang berusaha membersihkan diri dari sesuatu yang hina dan menghiasi dirinya dengan sesuatu yang baik, yaitu akhlak rabbaniyah, atau sampai pada maqam tertinggi.[7] Dan jika seseorang telah dekat denga Allah dan meraih cinta-Nya, karena kemuliaan akhlaknya, maka secara otomatis ia pun akan dekat dan dicintai oleh sesama manusia.  Setelah memahami selintas pengertian tasawuf, penulis kemukakan pengertian istilah Kontemporer. Istilah dari akar kata bahasa Inggris yang dipungut menjadi istilah bahasa Indonesia, contemporary, berarti sezaman, sebaya, seumur dan zaman sekarang,[8] dewasa ini, mutakhir, sedangkan kata mutakhir berarti terbaru atau modern pada masa kini, misalnya pameran seni lukis kontemporer.[9] Secara harfiah, kontemporer dapat dipahami sebagai waktu sekarang yang aktual. Terkini dan menjadi trend baru.  Beranjak dari pengertian dua akar kata di atas, menurut penulis, kita diajak untuk menangkap fenomena terkini terhadap perkembangan sosial dunia tasawuf. Dimana secara garis besar dapat dibagi dua corak, tasawuf akhlaqi, tasawuf falsafi.[10]  Tentu tidaklah mudah untuk menarik kesimpulan dan menformat fenomena tersebut menjadi sebuah grand teori, karena gejala tersebut justru tengah berlangsung hingga detik ini. Tetapi secara akademis ilmiah hal ini patut dilakukan, mengingat bagaimana arah dan tujuan hidup manusia pada perkembangan zaman ini.

B.  Pengertian dan Tokoh-tokoh Neo-Sufisme
Neo-Sufisme (neo-Sufism) pertama kali diperkenalkan oleh pemikir muslim kontemporer, yakni Fazlur Rahman. Karena itu, pemahaman tentang istilah ini haruslah dirujuk kepada Fazlur. Menurut Fazlur Rahman selaku penggagas istilah ini, neo-sufisme adalah "reformed sufism", sufisme yang telah diperbaharui.[4] Kalau pada era kecemerlangan sufisme terdahulu, aspek yang paling  dominan adalah sifat ekstatik-metafisis atau mistis-filosofis, maka dalam sufisme baru ini digantikan atau di-reform dengan prinsip-prinsip Islam orthodoks.
Neo-sufisme mengalihkan pusat pengamatan kepada rekonstruksi sosio-moral masyarakat muslim, sedangkan sufisme terdahulu terkesan lebih bersifat individual dan "hampir" tidak melibatkan diri dalam hal-hal kemasyarakatan. Oleh karena itu, karakter keseluruhan neo-sufisme adalah "puritanis dan aktivis". Tokoh atau kelompok yang paling berperan dalan reformasi sufisme ini, juga yang paling bertanggung jawab dalam kristalisasi kebangkitan neo-sufisme menurut Fazlur Rahman adalah kelompok ahlu al-hadits.[5]  Mereka ini mencoba mengakomodir sebanyak mungkin warisan kaum sufi yang dapat direkonsiliasikan dengan Islam orthodoks, terutama motif moral sufisme dan teknik dzikir atau muraqabah dalam mendekatkan diri kepada Allah.
Kelihatannya,  tujuan neo-sufisme adalah penekanan yang lebih intens (kuat) pada penguatan iman sesuai dengan prinsip-prinsip aqidah  Islam, dan penilaian terhadap kehidupan duniawi sama pentingnya dengan kehidupan ukhrawi. Konsekuensi dari sikap keberagamaan ini adalah terintegrasikannya nilai kehidupan duniawi dengan nilai kehidupan ukhrawi.  atau kehidupan yang terresterial dengan kehidupan yang kosmologi.
Sikap puritanis (Paham Kemurnian Ajaran) pendukung neo-sufisme menyebabkan berseberangan dengan paradigma sufisme terdahulu yang mengarahkan pengikutnya untuk membenci duniawi sehingga mereka pasif, hal ini berlainan dengan neo-sufisme, yang malahan mendorong dan memotivasi pengikutnya agar aktif-kreatif dalam kehidupan ini, baik yang bersifat karya-karya praktis maupun dalam kreativitas intelektual.
Al-Qusyasyi (w. 1071 H), salah seorang tokoh reformasi sufisme dan guru Abdul Rauf As-Singkili (w. 1105 H) mengarahkan dan menganjurkan kaum muslimin untuk meninggalkan kemalasan dan kebodohan dengan penggunaan waktu sebaik-­baiknya. Sehingga fungsi kekhalifahan manusia dapat dioptimalkan dalam rangka pemenuhan kebutuhan jasmaniyah dan rohaniyah. 
Sufi yang sebenarnya bukanlah yang mengasingkan dirinya dari masyarakat, tetapi sufi yang tetap aktif di tengah kehidupan masyarakat dan melakukan amar ma'ruf nahi munkar (ishlah) demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.[6]
Menurut Rahman, neo-Sufisme mempunyai ciri utama berupa tekanan kepada motif moral dan penerapan metode zikir dan muraqabah (konsentrasi kerohanian) guna mendekati Tuhan, tetapi sasaran dan isi konsentrasi itu disejajarkan dengan doktrin salafi (ortodoks), dan bertujuan untuk meneguhkan keimanan kepada aqidah yang benar dan kemurnian moral dari jiwa. Melucuti dari ciri dan kandungan ekstatik dan metafisiknya, dan diganti dengan kandungan yang sesuai dengan Al Quran dan Sunnah.
Tasawuf model baru ini menekankan dan memperbarui faktor
moral asli dan kontrol diri yang puritan dalam tasawuf dengan
mengorbankan ciri-ciri berlebihan dari tasawuf yang menyimpang. Pusat perhatian neo-sufisme adalah lebih kepada rekonstruksi sosio-moral dari masyarakat Muslim. Ini berbeda dengan tasawuf sebelumnya, yang terutama menekankan individu dan bukan masyarakat[7]. Sehingga, karakter keseluruhan neo-Sufisme adalah puritan dan aktivis[8]. Para pengamalnya tidak mengundurkan diri dari kehidupan dunia, tetapi sebaliknya melakukan inner detachment untuk mencapai realisasi spiritual yang lebih maksimal.[9]
Menurut Nurcholish Madjid, neo-Sufisme cenderung untuk menghidupkan kembali aktifisme salafi dan menanamkan kembali sikap positif kepada dunia. Dalam makna inilah kaum Hanbali seperti Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim Al-Jauziyah, sekalipun sangat memusuhi sufisme populer, adalah jelas kaum neo-sufi, malah menjadi perintis ke arah kecenderungan ini.  Selanjutnya, kaum neo-sufi juga mengakui, sampai batas tertentu, kebenaran klaim sufisme intelektual mereka menerima kasyf (pengalaman penyingkapan kebenaran Ilahi) kaum Sufi atau ilham intuitif. Bahkan Ibn Taimiyah maupun Ibn Qayyim sesungguhnya mengaku pernah mengalami kasyf sendiri. Jadi terjadinya kasyf dibawa kepada tingkat proses intelektual yang sehat. Lebih jauh lagi, Ibn Taimiyah dan para pengikutnya menggunakan keseluruhan terminologi kesufian -termasuk istilah salik, penempuh jalan keruhanian - dan mencoba memasukkan ke dalamnya makna moral yang puritan dan etos salafi.[10]
Berdasarkan kajian Nurcholish Madjid, neo-Sufisme itu dalam perkembangannya tampil dalam apa yang disebut oleh kelompok Dr. Sa'id Ramadhan "Al-Ruhaniyah Al-Ijtima'iyah" (spiritualisme sosial) yang ciri-cirinya antara lain:
1.      Membaca dan merenungkan makna kitab suci Al-Qur'an;
2.      Membaca dan mempelajari makna kehadiran Nabi Saw. melalui sunnah dan sirah (biografi) beliau,
3.      Memelihara hubungan dengan orang-orang saleh seperti para ulama dan tokoh Islam yang zuhud;
4.      Menjaga, diri dari sikap dan tingkah laku tercela;
5.      Mempelajari hal-hal tentang ruh dan metafisika dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, dengan sikap penuh percaya;
6.      Melakukan ibadah-ibadah wajib dan sunnah seperti shalat lima waktu dan tahajjud.
Dengan demikian, yang paling dipentingkan di sini adalah nilai keseimbangan (mizan atau tawazun), sehingga menjadi prinsip utama hidup ideal seorang muslim. Nampaknya gerakan "Neo Sufisme" dituntut untuk melakukan upaya sistematis demi terkawalnya citra tasawuf yang sejati. Kelihatannya tasawuf semakin dicari orang, karena diyakini bahwa pola hidup sufistik adalah pilihan terbaik untuk mengobati penyakit–penyakit sosial yang ditularkan oleh racun "cinta dunia" yang berlebihan. Adapun tokoh – tokoh utamanya ialah Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim Al-Jauziyah, Dr. Sa'id Ramadhan, di Indonesia: Hamka, dan KH. Achmad Siddieq.

C.  Konsep Neo-Sufisme Falur Rahman
Menurut Fazlur Rahman, spiritulisme itu telah ada semenjak nabi Muhammad SAW dan ia sebagai penunjang misi kenabian dan kerasulannya. Dalam perkembangan selanjutnya penanaman taat terhadap hukum Tuhan lama kelamaan menjadi tahapan khusus interiorisasi dan instrospeksi motif moral. Praktek tersebut mendapat dorongan kuat dari realitas sosial.  Kehidupan asketisme merupakan awal kehidupan tasawuf yang merupakan reaksi atau protes spiritual dari keadaan pada waktu itu. Rahman sangat tidak sepakat dengan model kehidupan para sufi yang mengisolasi terhadap dunia, sinis akan politik yang akan mengakibatkan pesimisme, dan yang demikian itu bertentangan dengan Al Quran, sebab yang utama dari Al Quran adalah implementasi actual dari citra moral secara realistis dalam suatu konteks sosial.
Adalah sangat tidak tepat bila dikatakan bahwa di antara para sahabat ada yang mengalami ektase-ektase seperti Abu Yaziz Al Busthami, Ibn 'Arabi, Al Hallaj dan sebagainya, Namun dalam prakteknya Rahman tidak sependapat dengan  pandangan para tokoh tasawuf falsafi, yang menurutnya mereka telah mengadakan "penambahan" dalam agama.[11] Karena ektase (fana diri) yang dijalani telah mengakibatkan pengisolasian diri yang dianggap sebagai the ultimate goal atau perjalanan manusia menuju khaliknya.  Penolakan Fazlur Rahman tersebut berdasarkan pada prilaku Rasulullah saw., menurutnya, seandainya ektase (fana diri) dari para sufi itu dianggap sebagai religious experience (pengalaman agama), maka Rasulullah pun mengalaminya.
Paradigma di atas jika dicermati lebih mendalam, maka sesungguhnya gagasan Neo-Sufisme Fazlur Rahman tersebut dilatarbelakangi oleh anomaly atau problema yang dipraktekkan oleh para sufi terutama puncaknya pada abad ke III Hijriah. Anomaly tersebut antara lain;  Pertama anomaly teologis yang berhubungan dengan pengalaman ekstasik-fana' dan ucapan-ucapan syatahat yang ganjil dan banyak ditandai oleh pemikiran-pemikiran spekulatif-metafisik, misalnya hulul, wahdat al-wujud, ittihad dan sebagainya.  Kedua anomaly non-formalistik yang berhubungan dengan dasar praktek aplikatif  tasawuf yang tidak bersandar pada normativitas Al-quran dan Sunnah, dan Ketiga, anomaly holistika yang berhubungan dengan aspek aksiologis (implementasi) tasawuf di mana para sufisme lebih memilih isolasi dari kehidupan dengan melakukan kontemplasi dan 'uzlah dan tidak mau aktif dalam praktis kemasyarakatan.
Maka dengan demikian, Neo-Sufisme Fazlur Rahman dengan kerangka berpikirnya bact to Qur'an and Sunnah yang begitu kuat, akan melahirkan alternative kehidupan sufistik pada masa sekarang ini sesuai dengan tantangan zaman yang semakin berkembang.

D.  Analisis Perbandingan Dengan Sufi Klasik
Sejak dekade akhir abad II Hijriah, sufisme sudah populer di kalangan masyarakat di kawasan dunia Islam, sebagai perkembangan lanjut dari gaya keberagaman para zahid dan ‘abid - kesalehan asketisme yang mengelompok di serambi masjid Madinah. Fase awal ini juga disebut sebagai fase asketisme (zuhud) yang merupakan bibit awal tumbuhnya sufisme dalam peradaban Islam. Keadaan ini ditandai oleh munculnya individu–individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat, sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan keasyikan duniawi. Fase asketisme ini setidaknya berlangsung sampai akhir abad II hijriah, dan memasuki abad ke III sudah menampakkan adanya peralihan dari asketisme ke sufisme. Fase ini dapat disebut sebagai fase kedua, yang ditandai oleh pergantian sebutan zahid menjadi sufi. Di sisi lain, pada kurun waktu ini percakapan para zahid sudah meningkat pada persoalan bagaimana jiwa yang bersih itu, apa itu moralitas dan bagaimana pembinaannya, serta perbincangan masalah kerohanian lainnya.  Tindak lanjut dan diskusi ini, bermunculanlah berbagai konsepsi tentang jenjang perjalanan yang harus ditempuh seorang sufi (al-maqomat) serta ciri–ciri yang dimiliki seorang salik (calon sufi) pada tingkatan tertentu (al-hal). Demikian juga pada periode ini sudah mulai berkembang perbincangan tentang al-Ma'rifat beserta perangkat metodenya ('uzlah) hingga pada derajat fana’ dan Ittihad.
Bersamaan dengan itu, tampillah para penulis tasawuf  terkemuka, seperti al-Muhasibi (w. 243 H), al-Harraj (w. 277 H) dan al-Junaid al-Bagdadi (w. 297 H) dan penulis lainnya. Secara konseptual­ tekstual lahirnya sufisme barulah pada periode ini, sedangkan sebelumnya hanya berupa pengetahuan perorangan dan atau semacam langgam keberagamaan. Sejak kurun waktu itu sufisme berkembang terus ke arah penyempurnaan dan spesifikasi terminologi, seperti konsep intuisi, dzauq dan al-kasyf.[12] Hingga pada abad kedelapan hijriah muncullah suatu gerakan "Noe Sufisme" yang dipelopori oleh Ibn Taimiyah di mana sufisme terdahulu itu dituding sebagai penyebab keterbelakangan umat Islam dalam percaturan kemajuan duniawi. Dari keseluruhan pemaparan terdahulu telah kelihatan adanya persamaan dan perbedaan antara sufisme terdahulu dengan neo-sufisme. Yang penting dicatat adalah sebagai berikut:
1.      Kelahiran Sufisme klasik dan kebangkitan Neo-Sufisme nampaknya dimotivasikan oleh faktor–faktor yang sama, yakni:    Gaya kehidupan yang glamour dan materialistik-konsumeristik, formalisme pemahaman dan pengamalan keagamaan sebagai imbas dari kegarangan rasionalisme, dan faktor kekerasan perebutan hegemoni kekuasaan yang merasuki seluruh aspek kehidupan manusia.
2.      Kesucian jiwa-rohaniyah, bahwa keduanya sama mendambakan dan menekankan betapa urgennya kebeningan dan kesucian hati nurani dalam segala aspek kehidupan umat manusia-aspek tazkiyah an-nafs.
3.      Pendekatan esoteris (bersifat rahasia) ; keduanya sama berkeyakinan, bahwa untuk memahami dan menghayati makna keagamaan harus melalui pendekatan esoteris, pendekatan pengalaman metafisis atau al­-kasyf.  Namun dalam hal kemutlakan nilai kebenarannya, terlihat antara keduanya ada perbedaan yang cukup tajam, kalau sufisme terdahulu meyakini secara mutlak kebenaran yang diperoleh melalui esoteris-al-kasyf, tetapi neo-sufisme akan meyakini kebenaran itu, apabila sejajar dengan syariat. Di samping itu, sufisme terdahulu hanya mengakui pendekatan esoteris satu-satunya yang dapat digunakan dalam rangka penghayatan keagamaan, tetapi neo-sufisme tetap mengakui terhadap pluralitas pendapat.
4.      Dzikrullah dan muraqabah, keduanya sama-sama meyakini betapa pentingnya masalah ini dalam segala situasi demi tercapainya ridha Allah.
5.      Sikap ‘uzlah, kalau sufisme terdahulu menempuh cara hidup ‘uzlah total, maka neo-sufisme menempuh cara itu hanya sewaktu diperlukan saja sekedar untuk menyegarkan wawasan melalui muhasabah—introspeksi.
6.      Zuhd, askestisme, apabila sufisme terdahulu “membenci” kehidupan duniawi karena dianggap menghalangi pencapaian tujuan, tetapi sufisme baru, meyakini kehidupan duniawi ini sangat bermakna dan amat penting. Oleh karena itu, kehidupan duniawi harus diperjuangkan tetapi harus disesuaikan dengan kepentingan ukhrawi. Menurut pandangan ini, makna kehidupan duniawi tergantung pada keterkaitannya dengan nilai ukhrawi yang dihasilkan aktivitas duniawi itu. Karena mereka berkeyakinan, bahwa neo-sufisme, menjadi satu-satunya alternatif culture yang dapat meng-counter culler materialistis-konsumeristis dan hedonisme.
E.  Fenomena Tasawuf Kontemporer
Bagaimana bisa menyebut tasawuf kontemporer sebagai bentuk baru dari suasana beragama dan pencarian manusia terhadap Pencipta. Setidaknya penulis memiliki tawaran pemikiran sebagai berikut; Tasawuf kontemporer tidak terlepas dari kontek ajaran tasawuf klasik. Tetapi tidak memiliki silsilah secara langsung terhadap tasawuf klasik. Kalau masih ada silsilah, tentu saja ia masih masuk kategori tasawuf klasik. Tasawuf kontemporer terdapat di wilayah masyarakat kota mengambil ajaran tasawuf dan mengemasnya menjadi industri baru berbasis agama karena dibutuhkan oleh masyarakat kota. Kejenuhan masyarakat kota terhadap persaingan hidup membuat pasar tasawuf tumbuh dan masuk wilayah komunikasi massa dan teknologi.
Penulis berpendapat, tasawuf kontemporer adalah penamaan yang pada dasarnya berakar dan berada pada barisan neo-sufisme Fazlur Rahman[11] dan tasawuf modern, yang diusung Hamka. Menurut Hamka, tasawuf modern adalah penghayatan keagamaan esoteris yang mendalam tetapi tidak dengan serta merta melakukan pengasingan diri (uzlah). Hal ini menurut Nurcholis Madjid, neo-sufism menekankan perlunya keterlibatan diri dalam masyarakat secara lebih dari pada sufism terdahulu. Neo Sufism cenderung menghidupkan kembali aktifitas salafi dan menanam kembali sikap positif terhadap kehidupan. [12]
Pemahaman ini bisa memberi bukti konkrit ketika melihat fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kota saat ini. Terdapat lembaga-lembaga tasawuf yang tidak memiliki akar langsung kepada tarekat dan digelar massal juga komersial. Sekedar misal, Indonesian Islamic Media Network (IMaN), Kelompok Kajian Islam Paramadina, Yayasan Takia, Tasauf Islamic Centre Indonesia (TICI). Kelompok ini mencoba menelaah dan mengaplikasikan ajaran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari secara massal. Misalnya Dzikir Bersama, Taubat, Terapi Dzikir.  Wajah tasauf dalam bentuk lain dilakukan —dan sangat laku— Emotional Spritual Question (ESQ) di bawah pimpinan Ari Ginanjar. Konon, konsep awal ESQ ini, dilakukan oleh kaum nashrani di Eropa dan Amerika dalam mengantisipasi kebutuhan jiwa masyarakat kota setempat.
Selain bentuk lembaga, dalam pengembangannya melibatkan komunikasi massa. Misalnya, promosi dalam bentuk buku, pamflet, iklan, adventorial, program audio visual CD, VCD, Siaran Televisi, hingga internet (misalnya, www.sufinews.com, www.pesantrenonline.com, gusmus.net, myquran.com). Siaran televisi yang sehari-hari dapat ditonton, memperlihatkan kecenderungan yang sama besarnya dengan booming sinetron misteri dengan tayangan dzikir bersama dan ceramah agama. Berawal dari Televisi Manajemen Qolbu (MQ TV) di Bandung di bawah pimpinan Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), muncul beberapa nama lain menyusulnya. Sekedar menyebut, Arifin Ilham, Ustazd Jefri.
Karena masuk pada ranah industri dan bersentuhan dengan komersialisme, tasauf terkesan menjadi alat untuk mengedepankan perilaku keagamaan yang katarsis. Bersedih dan disedih-sedihkan. Taubat, sebuah jendela masuk tasawuf menjadi arena penyesalan yang dipertontonkan. Dzikir, sebagai lapazkan secara bersama-sama panduan yang terpaksa khusu’, Do’a yang disandiwarakan dengan tetes air mata.  Artinya, jika tidak hati-hati, pola seperti ini akan terjerumus dalam pseudo tasawuf. Tasawuf yang hanya mengedepankan tontonan daripada substansi penghayatan.  Karena ia masuk dalam wadah publikasi, maka ongkos (bahasa yang lebih sopan digunakan; mahar) yang harus dibayar adalah tumbuhnya idola baru yang menjadi pujaan. Berbeda dengan tasawuf klasik dan tarekat yang memiliki rasa hormat yang tinggi terhadap guru spiritual, yang terjadi pada tasawuf kontemporer adalah pemujaan idola yang tiada berbeda dengan pemujaan manusia sekuler terhadap Madonna. Dan janganlah heran, jika hari lebaran, salah satu baju “wajib” dibeli kaum muslim adalah baju (simbol) yang dipakai sang idola. Suasana religius yang terpaksa hadir itu juga dibayar mahal jika akan menghadirkan sang idola ke sebuah majelis. Sungguh naif, bila dipandang dari segi ajaran tasawuf itu sendiri.
Selain bentuk-bentuk di atas, tanpa mengurangi kehadiran tasauf klasik yang masih berkembang bersamaan juga dengan tarekat yang sudah pula masuk ke kota besar, tasawuf kontemporer juga ditunjukkan dalam bentuk terapi pengobatan. Seperti terapi Narkoba dengan Dzikir Abah Sepuh dan Abah Anom di Pesantren Suralaya. Pengamalan ibadah agama—shalat wajib, shalat sunat—yang lengkap dan metode tasauf (taubat, dzikir) yang dijalankan selama 24 jam dengan paket pengobatan yang mahal pula.[13]  Agaknya, inilah yang lebih spesifik dalam tasawuf kontemporer. Sebuah bentuk baru yang ada di tengah masyarakat kota. Kalau begitu, apa beda antara tasawuf kontemporer? Dalam segi semangat, tidak ada beda. Hanya segi waktu dan model yang ditawarkan. Jika masa modern banyak dihadapkan pada semangat untuk kembali kepada bentuk lebih positif dan kemurnian ajaran agama, maka pada tasawuf kontemporer beralihnya model dari sifat tasawuf individual kepada wilayah massa. Hal ini berangkat dari kegagalan dalam pencitraan dan kekosongan jiwa, setidaknya pada massa, terdapat pengakuan terhadap diri individu yang masuk kelompok ibadah tersebut. Wilayah massa itu adalah, dimana masyarakat yang memiliki wadah komunikasi massa dan teknologi informasi. Tasawuf masuk menjadi bagian dari perangkat hidup dengan wajah baru yang sesuai pada selera zamannya.
F.   Analisa Kritis Terhadap Tasawuf Kontemporer
Pemaparan di atas sesungguhnya belum final dan butuh analisa bersama dalam diskursus kajian fenomena tasawuf. Namun penulis mencoba menghantarkan, bahwa tasawuf kontemporer sebuah bentuk aktual corak beragama masyarakat kota. Jika tidak hati-hati, atau salah dalam pengajaran dan aplikasinya akan membawa bentuk pseudo tasawuf. Atau lebih ekstrim lagi, tasawuf kontemporer yang bersentuhan dengan corak sufistik, hanyalah mengambil semangat yang tidak utuh dari tasawuf konvensional yang dikenal selama ini. Apabila kita memahami corak sufistik, seakan-akan hanya mengarah kepada dunia tasawuf, bukan masuk ke dalam ranah tasawuf secara total.
Seperti yang pernah diungkapkan oleh Azyumardi Azra. Azyumardi membagi tiga bentuk tasawuf yang menyita masyarakat akhir-akhir ini, pertama Student Sufism, Convensional Sufism dan Urban Sufism.[14]
Pencapaian yang hendak ditujukan oleh tasawuf kontemporer adalah sama dengan konsep para sufi terdahulu (sufi klasik). Seperti kedekatan terhadap Pencipta, kehadiran Pencipta dalam kehidupan sehari-hari, menjadi insan kamil. Melihat coraknya, pengembangan tasauf kontemporer mengarah kepada tubuhnya tasawuf akhlaqi, dimana mengedepan sikap kesahajaan dan ibadah yang banyak untuk mencapai kedamaian hidup dan kedekatan diri dengan Pencipta.
Tetapi, apresiasi positif yang patut diberikan kepada mereka yang mengusung tasawuf dengan wajah baru ini adalah, mereka masuk dalam mewarnai zaman. Tak terbayangkan, jika mereka tidak ada. Kekosongan pada wilayah massa akan membuat kepercayaan diri (confidence self) beragama masyarakat akan terus menurun. Tentu saja, nuansa keagamaan akan tidak terlihat lagi di permukaan. Setidaknya, mereka sekarang sudah memulainya untuk menjawab kebutuhan rohani masyarakat. Lebih dari itu, tasawuf kontemporer merupakan bentuk alternatif beragama sebagai pilihan setelah goncangan ketiadaan dan kekosongan jiwa. Dimana jiwa yang kurus kering tidak pernah mendapat sentuhan religi, sementara jiwa memiliki kebutuhan tersebut tetapi tidak pernah diberikan.

G. Fenomena Spiritualitas Masyarakat Modern
Apabila ditelusuri dari sejarah masuknya Islam ke Indonesia, nampaknya sufisme yang diajarkan di Indonesia sudah diwarnai oleh tarekat sebagai lembaga atau paguyuban. Akan tetapi apabila dilihat dari kegemaran para santri generasi awal mempelajari tasawuf dari buku–buku yang pada umumnya karangan al-Ghazali, ternyata belum dicampuri ajaran tarekat. Dengan mengandalkan fakta–fakta sejarah itu, barangkali tidak berlebihan kalau dikatakan, bahwa sebelum munculnya tarekat sufi sebagai lembaga, sudah lebih dulu berkembang tasawuf, baik yang beraliran al-Ghazali maupun aliran lainnya. Sedangkan tarekat tasawuf yang melembaga, nampaknya datang kemudian bersamaan dengan kedatangan penyiar–penyiar yang berasal dari Gujarat. Dengan demikian, maka tasawuf yang berkembang pada masa awal itu, didominasi oleh tasawuf aliran Sunni. Kalau pun ada penganut tasawuf aliran falsafi, tidak begitu luas dan bahkan mendapat perlawanan dari pengikut Sunni. Karenanya tanpa ragu Hamka menulis, bahwa tasawuf di Indonesia sejalan dan sedarah daging dengan mazhab Ahlussunnah wal-Jama'ah.
Dalam perkembangan sufisme di Indonesia, pengaruh al-Ghazali as-Syafi'i lebih besar daripada pengaruh al-Hallaj dari mazhab Syi'i. Bahkan pada masa kerajaan Islam Pasai, telah ada orang Indonesia yang mengajar tasawuf di Mekkah, yakni Syaikh Abu Abdullah Masud bin Abdullah al-Jawi.[13] Tasawuf yang tadinya aktivitas independen, telah bergeser kepada bentuk organisasi atau lembaga yang kemudian disebut tarekat. Dalam tarekat sebagai pranata keagamaan, peranan guru (syekh, khalifah dan mursyid) sangat dominan. Sebab, tasawuf yang diajarkan dalam satu tarekat, sangat tergantung pada "khibrah" (penghayatan, pengamalan dan pengalaman dalam mengajarkan tasawuf) seorang syeikh tarekat. Demikianlah perkembangan yang nyata dari sufisme di Indonesia, terkesan sudah diwarnai tarekat sehingga tarekat diidentikkan dengan tasawuf.
Fenomena yang terjadi sekarang ini bahwa tarekat sudah menjadi suatu pengajian sehingga membentuk suatu kumpulan (majlis dzikir), misalnya saja majlis dzikir yang dipimpin oleh ustadz H. Haryono dengan metodenya dan sudah dikenal oleh masyarakat luas mampu mengobati segala macam penyakit. Begitu juga dengan ustadz H. Arifin Ilham dengan majelis dzikir Az-Zikranya dan KH. Abdullah Gymnastiar dengan taushiyahnya mampu membangkitkan jiwa spiritualitas di tengah-tengah masyarakat modern.
Di Indonesia sendiri dalam beberapa tahun terakhir, gejala munculnya tasawuf ke panggung kehidupan keagamaan juga terlihat lebih jelas. media massa sering melaporkan,  bahwa  literatur  tasawuf  termasuk  diantaranya  buku-buku  terlaris dipasaran. Kehidupan sufistik ini bahkan merambah ke dunia kepenyairan. Terdapat seniman atau penyair, yang tidak malu-malu lagi meproklamasikan diri sebagai penyair sufistik.
Kebangkitan tasawuf umumnya dan tarekat khususnya di masa modern ini, tidak urung lagi menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan para pengkaji sosiologi agama dan modernisasi. Mengapa dalam situasi di mana kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian marak, justru semakin banyak orang tertarik kepada tasawuf? Apakah ini sekedar gejala eskapisme dalam dunia modern? Kesimpulan singkat yang diberikan Naisbitt dan Aburdene dalam Megatrends 2000 (1990) sebagaimana yang dikutif oleh Azyumardi Azra, agaknya menarik untuk dicatat. Menurut mereka, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak memberikan makna tentang kehidupan. Kebangkitan agama (termasuk tasawuf) merupakan penolakan yang tegas terhadap kepercayaan buta kepada ilmu pengetahuan dan teknologi, tulis keduanya.[14]
Demikianlah, modernisasi dipandang gagal memberikan kehidupan yang lebih bermakna kepada manusia. Karena itu tidak heran kalau orang kembali kepada agama yang memang berfungsi, antara lain, untuk memberikan makna dan tujuan hidup. Modernisme dan modernisasi, ternyata gagal menyingkirkan agama dari kehidupan masyarakat. modernisasi memang menciptakan tantangan-tantangan baru terhadap agama, tetapi sama sekali tidak melumpuhkannya. Yang terjadi justru sebaliknya: sepanjang menyangkut makna, modernisme dan modernisasi justru menghantarkan manusia ke jalan buntu.
Dari fenomena tersebut di atas, telah mengantarkan pada kebangkitan tasawuf di masa kontemporer saat ini. Hal ini dapat diamati pada terjadinya pendekatan yang lebih intens antara spiritualitas tasawuf dengan mainline (ide pokok) Islam. Karya-karya dan manual sufistik yang dihasilkan pemikir sufi kontemporer menunjukkan terdapatnya usaha-usaha yang kontinyu dan terarah untuk menegaskan bahwa tradisi sufistik tidak pernah terlepas dari Islam ortodoks.
     Kecenderungan perkembangan masyarakat dalam masa pasca-modernisme seperti di atas mengisyaratkan bahwa Neo-Sufisme akan lebih mempunya prospek perkembangan yang cerah dan akan semakin berkembang seiring dengan lajunya perkembangan zaman. Satu keyakinan yang diungkapkan oleh Syaykh Fadhullah Khayri, sebagaimana yang dikutip oleh Azyumardi Azra yang perlu di dicermati bahwa pesan-pesan  sufisme  lebih  urgen  di  dunia  yang  semakin  materialistik  dan konsumeristik.[15]

BAB III
PENUTUP

Tasawuf kontemporer adalah tasawuf bercorak kekinian yang masih berakar pada tasawuf klasik dan konvensional. Bila tasawuf konvensional hanya menyebar melalui buku-buku, tetapi tasawuf kontemporer menggunakan instrumen teknologi. Pada tataran ini, bila nilai tasawuf menjadi kecil atau justru menjadi bahan dari teknologi, maka tasawuf kontemporer diragui akan keotentikannya. Ia hanya menjadi bagian kecil dari teknologi maju. Bukan sebagai subjek dari kemajuan.
Tasawuf kontemporer masih berlandaskan Al-Quran dan Hadits, tetapi mengedepankan packaging dari pada esensi. Walau pun demikian, mereka yang terlibat di dalam dunia tasawuf kontemporer terus mencoba dan menggali serta merasakan, juga mengakui mereka sudah masuk dalam dunia tasawuf. Menurut analisa penulis, tentulah tidak akan mampu marwah tasawuf yang pernah ada pada masa lalu bisa dijemput secara total tanpa mengetahui secara utuh ajaran tasawuf masa lalu tersebut. Apalagi hanya mencomot bagian-bagian penting dan menjadikannya bahan dari apa yang dikomersilkan — karena dibutuhkan pasar— kepada masyarakat kota.
Walau pun secara tidak langsung ada akar klasik dan konvensional, sesungguhnya mereka mempelajari secara mendalam setiap ajaran yang sudah dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut analisa penulis, ada kerinduan masyarakat kota untuk kembali hidup pada akar budaya agama yang mengedepan marwah beragama. Tidak sekedar formalitas aktual tetapi juga memiliki makna yang dalam terhadap kehidupan sehari-hari. Tetapi jika kita lihat lebih jauh, semestinya harus terus diawasi karena tasawuf ini bersentuhan dengan industri yang cenderung bermata dua.
Terlepas dari plus dan minus ajaran, juga corak dan potret kehidupannya yang nyaris mengarah kepada pseudo tasawuf, semangat dan pengaruhnya membawa arti penting bagi agama Islam di tengah masyarakat. Lebih-lebih masyarakat kota yang memang merindukan khazanah kehidupan beragama.
Demikianlah sejarah menunjukkan, bahwa sufisme tidak pernah tercabut dari akar keislaman. Maka seirama dengan abad kebangkitan umat Islam, bangkit pula gerakan spiritualis Islam, yang oleh Fazlur Rahman dinamai "neo­-sufisme", sufisme baru. Secara umum terlihat, bahwa ciri utama neo-sufisme ini adalah, penekanan pada motif moral melalui penerapan metode zikr dan muraqabah guna "mendekati" Allah.
Bahwa Neo-Sufisme yang telah dikonstruk Fazlur Rahman dapat dikategorikan sebagai tasawuf model salafi. Sebuah model tasawuf yang secara epistimologis berdasarkan acuan normatif al-Quran dan al-Sunnah,  menjadikan  Nabi  dan  para  salaf  al-shalihin  sebagai  panutan  dalam aplikasinya yang tidak berlebih-lebihan dalam menjalankan proses spiritualisasi ketuhanannya  dengan  mengeliminir  unsur  mistik-metafisik  dan  asketik  dalam tasawuf serta unsur-unsur heterodoks asing lainnya, dan digantikan dengan doktrin-doktrin yang bernuansa salaf yang quranik-normatif namun tidak elitis-esklusif. Doktrin ini dimaksudkan untuk menjadikan tasawuf mampu berperan dalam konteks sosial kemasyarakatan.
Hal ini dilakukan karena berbagai anomali atau problem (teologis, normative dan sosiologis) yang berkembang di tubuh tasawuf kala itu, harus diperbaharui agar supaya tasawuf sebagai bagian dari keislaman dapat memberikan kontribusi positif-konstruktif terhadap kehidupan masyarakat muslim dalam berbagai bidang kehidupannya.
Dalam gerakan neo-sufisme, nampaknya juga tidak bebas dari penyakit pertentangan pola gerakan dan pola anutan. Setidaknya ada dua warna yang mengemuka, yaitu: (1) mereka yang tidak mengakui “al kasyf” sebagai hakikat sufisme. Mereka ini berusaha menghidupkan kembali nilai sufisme yang dipraktekkan para sahabat nabi, yakni sufisme yang lebih bertumpu pada ‘abid dan zahid; (2) mereka yang tetap mengakui “kasyf” sebagai intisari sufisme, namun kualitas kebenarannya harus dilegalisir syariat. Apabila diwawas dari perspektif berbekal kemafhuman yang empatik, sesungguhnya ide neo sefisme ini melantunkan nada cinta yang memperpanjang harapan terciptanya kehidupan yang seutuhnya.
Unsur dasar yang harus diperhatikan dalam mengaktualisasikan gagasan Neo-Sufisme dalam konteks kekinian, adalah sifat kehidupan manusia yang senantiasa berubah. Artinya, konteks kehidupan tasawuf di abad lalu berbeda dengan konteks kekinian. Karena masyarakat manusia adalah realitas yang senantiasa berubah dan mencair, oleh karena itu perubahan masakini harus disikapi dengan pola yang baru pula. Tasawuf yang dipraktekkan masa kini harus dengan memperhatikan bahwa masalah   kemanusiaan  dalam  kehidupan  sosial  merupakan  bagian  dari kerberagamaan para sufi. Tujuan yang dapat dicapai tetap sama yaitu Ketenangan,  kedamaian  dan  kebahagiaan  intuitif  tetap  kemudian dilebarkan bukan hanya untuk individu melainkan juga untuk dan dalam bentuk kesalehan sosial.
Jika ini mampu diaktulisasikan di tengah-tengah kesibukan dunia modern, maka akan lahir zahid-zahid baru, Ia adalah seorang mukmin, namun sekaligus seorang profesionalis, wiraswasta, birokrat, teknolog, atau bahkan seorang bankir. Atas dasar persepsi bahwa zahid tidak berbeda dengan sufi, maka ia dapat melakukan riadah (latihan   ruhani) dalam konteks kesibukannya sebagai orang modern.
Kelebihan dari sosok praktek ini adalah masing-masing individu mencapai peningkatan spiritual  sehingga  memperoleh  ketenangan  hidup,  kedamaian  dan kebahagiaan di sisi Allah SWT, tidak perlu stress karena sikap zahidnya akan senantiasa membentuk qalbunya untuk tidak terikat dengan dunia, tidak perlu lupa diri menumpuk kekayaan karena sadar bahwa tujuan utamanya adalah memperoleh pengalaman fana dan baqa di sisi-Nya.
Sisi   lain bahwa pola pengalaman keberadaan Tuhan yang terkait dengan mengalami pelaksanaan perintah-Nya dalam kehidupan sosial ini akan membangkitkan semangat sufinya untuk membangun dunia di sekitarnya.




DAFTAR PUSTAKA

Abdul Karim al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusairiyah. Kairo, 1330 H.

Abdullah Khusairi, Hipokrisi dalam Posmodernisme, Harian Pagi Padang Ekspres Minggu, 17 Desember 2006. www.khusairi.blogspot.com

Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawuf.  Kairo: Daar al Saqafah, 1974.

Ahmad Rahman, Drs, M.Ag, Sastra Ilahi, Ilham Sirriyah Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, Penerbit Hikmah Mizan, Cet. 1 Bandung, 2004

Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah. Jakarta: Gramedia, 2002.

Drs. Asmaran As, M.A, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, Rajawali Pers, 1996
Fazlur Rahman, Islam, edisi II. Chicago: University of Chicago Press, 1979.


Fazlur Rahman, Islam, Terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1984.

Fazlur Rahman, Revival and Reform, dalam P. M. Holt et.al, The Cambridge History of Islam, 1970.

Halim, Abdul Mahmud, Prof Dr, Tasawuf di Dunia Islam, Penerbit, Pustaka Setia, Jakarta, 2002

Hamka, Prof. Dr. , Tasawuf Modern, Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta, 2005

Hamka, Tasawuf Perkembangan dun Pemurniannya. Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1978.

Ibrahim Basyuni, Nasy-at al-Tasawuf fil Islam. Kairo: Daar a]-Ma'arif, 1969. Lihat dalam tulisannya (bab pendahuluan) yang bedudul The Element of .Sufism. Longmead, G.B., 1990.

Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf Hitam Putih, Solo; Penerbit Tiga Serangkai 2004

Nazib Zuhdi, Kamus Inggris-Indonesia, Indonesia Inggris, Penerbit, Fajar Mulya Surabaya, 1993
Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Islam dalam Sejarah, Yayasan Paramadina, Jakarta, 1995

Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradahan: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1995.

Rasyid, Hamdan Dr KH, MA, Sufi Berdasi, Mencapai Derajat Sufi dalam Kehidupan Modern, Al-Mawardi, Jakarta, 2006

Said Ramadlan, Al-Ruhaniyuh Al-ljtima'iyah fi Al-Islam. Jeneva: al Markaz al Islam, 1965.

Seyyed Hossein Nasr, dkk, Warisan Sufi, Sufisme Klasik dari Permulaan hingga Rumi (700-1300 M), Jogjakarta, Pustaka Sufi 2002.

Solihin Dr M MAg, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, Rajawali Pers, Jakarta, 2005

Wahyuni Nafis, Muhammad (Ed), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, Jakarta: Paramadina1996

WJS, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka 1999


[1] Abdullah Khusairi, Hipokrisi dalam Posmodernisme, Harian Pagi Padang Ekspres Minggu, 17 Desember 2006. Halaman 26. Buka juga, www.khusairi.blogspot.com
[2] Syeikh Fadhlalla Haeri, The Element of Sufism, (Longmead : G.B., 1990), h. 77
[3] Hamdan Rasyid, Sufi Berdasi, Mencapai Derajat Sufi dalam Kehidupan Modern, (Jakarta: Al-Mawardi), halaman 30


[6] Wahab Mu'thi, Kritik Ibn Taimiyah terhadapTasawuf, (Disertasi, 1991), h.
[7] Fazlur Rahman, Revival and Reform, dalam P. M. Holt et.al, The Cambridge History of Islam, 1970, II, h. 637
[8] Fazlur Rahman, Islam…, h. 194
[9] Azyumardi Azra, Historiograft Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah, (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 194.
[10] Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 94.
[11] Muhammad Wahyuni Nafis, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, (Jakarta; Paramadina, 1996), hal. 34
[12] Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taflazani, Madkhal Wa al-Tasmvuf, (Kairo: Daar al-Saqafah, 1974), h. 80-82
[13] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1978), h. 217-218.
[14] Muhammad Wahyuni Nafis, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, (Jakarta: Paramadina, 1996) h. 295

[15] Ibid, h.296