BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam
kehidupan masyarakat terdapat berbagai macam manusia dengan tingkat kemampuan
dan keterbatasan yang berbeda. Keanekaragaman dalam masyarakat itu juga nampak
daalm sebuah sekolah, peserta didik mempunyai kemampuan yang berbeda, latar
belakang yang berbeda, ekonomi, sosial berbeda pula saling berinteraksi dan
bekerjasama.
Secara umum
ada dua jenis penalaran, yaitu penalaran deduktif dan penalaran induktif. Menurut Sumarno kedua penalaran tersebut
memiliki persamaan yaitu kedua duanya merupakan argument dan serangkaian proposisi yang mempunyai
struktur terdiri dari beberapa premis dan kesimpulan atau konklusi sedangkan
perbedaan keduanya terdapat kesimpulan yang diturunkan[1].
Selanjutnya Sumarno mengungkapkan bahwa
penalaran deduktif diantaranya meliputi:
modus ponens, modus tollens, dan
silogisme, dan penalaran induktif meliputi; generalisasi, analogi dan hubungan kausal.[2]
Manusia
adalah makhluk ciptaan Tuhan yang dilengkapi dengan akal dan pikiran.
Tanpa akal manusia tidak akan bisa membuat waduk/bendungan, jalan dan jembatan,
rumah-rumah bertingkat dan sebagainya. Hanya dengan akal dan pikiran, manusia
dapat berubah taraf kehidupannya dari tradisional, berkembang dan mengikuti
perkembangan sampai dengan modern.
Akal digunakan manusia untuk berpikir, berpikir
merupakan sebuah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan. Jadi apabila manusia benar-benar
memaksimalkan fungsi otaknya untuk berpikir dalam menemukan pengetahuan atau
menghasilkan pengetahuan termasuk kategori berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah
sebuah kegiatan yang seringkali dilakukan oleh para ilmuwan. Ilmuwan dalam
mengkaji dan meneliti hubungan kausalitas (sebab akibat) antara
berbagai macam peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia di alam semesta
ini menggunakan daya pikir yang logis analitis serta kritis. Maka dengan
kemampuan berpikirnya manusia bisa mengembangkan pengetahuan, baik ilmu
pengetahuan yang bersifat penyempurna dari ilmu pengetahuan sebelumnya ataupun
ilmu pengetahuan yang bersifat baru.
B.
Rumusan Masalah
Sesuai latar belakang di atas, maka rumusan masalah
dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa
yang dimaksud dengan penalaran ?
2. Bagaimana sistematika berpikir?
3. Bagaimana penalaran dan sistematika berpikir?
C.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah
diatas, maka yang menjadi tujuan pembahasan dalam makalah adalah sebagai
berikut:
1. Untuk
mengetahui pengertian penalaran
2. Untuk
mengetahui jenis penalaran
3. Untuk
mengetahui sistematika berpikir
4. Untuk mengetahui penalaran dan
sistematika berpikir
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penalaran
1.
Pengertian dan Jenis Penalaran
Penalaran
(reasioning) adalah suatu proses berpikir dengan menghubung-hubungkan bukti,
fakta atau petunjuk menuju suatu kesimpulan. Dengan kata lain, penalaran adalah
proses berpikir yang sistematik dalan logis untuk memperoleh sebuah kesimpulan.
Bahan pengambilan kesimpulan itu dapat berupa fakta, informasi, pengalaman,
atau pendapat para ahli (otoritas). Secara umum, ada dua jenis penalaran atau
pengambilan kesimpulan, yakni penalaran induktif dan deduktif.
a.
Penalaran Induktif dan Coraknya
Penalaran induktif adalah suatu proses berpikir yang bertolak dari
sesuatu yang khusus menuju sesuatu yang umum. Penalaran Induktif dapat
dilakukan dengan tiga cara:
1) Generalisasi
Generalisasi
adalah proses penalaran yang bertolak dari sejumlah gejala atau peristiwa yang
serupa untuk menarik kesimpulan mengenai semua atau sebagian dari gejala atau
peristiwa itu. Generalisasi diturunka dari gejala-gejala khusus yang diperoleh
melalui pengalaman, observasi, wawancara, atau studi dokumentasi. Sumbernya
dapat berupa dokumen, statistik, kesaksian, pendapat ahli, peristiwa-peristiwa
politik, sosial ekonomi atau hukum. Dari berbagai gejala atau peristiwa khusus
itu, orang membentuk opini, sikap, penilaian, keyakinan atau perasaan tertentu.
Beberapa contoh penalaran induktif dengan cara generalisasi adalah sebagai
berikut:
a)
Berdasarkan pengalaman, seorang ibu dapat membedakan
atau menyimpulkan arti tangisan bayinya, sebagai ungkapan rasa lapar atau haus,
sakit atau tidak nyaman.
b)
Berdasarkan pengamatannya, seorang ilmuwan menemukan
bahwa kambing, sapi, onta, kerbau, kucing, harimau, gajah, rusa, kera adalah
binatang menyusui. Hewan-hewan itu menghasilkan turunannya melalui kelahiran.
Dari temuannya itu, ia membuat generalisasi bahwa semua binatang menyusui
mereproduksi turunannya melalui kelahiran.
2) Analogi
Analogi adalah
suatu proses yag bertolak dari peristiwa atau gejala khusus yang satu sama lain
memiliki kesamaan untuk menarik sebuah kesimpulan. Karena titik tolak penalaran
ini adalah kesamaan karakteristik di antara dua hal, maka kesimpulannya akan
menyiratkan ”Apa yang berlaku pada satu hal, akan pula berlaku untuk hal
lainya”. Dengan demikian, dasar kesimpula yang digunakan merupakan ciri pokok
atau esensial dari dua hal yang dianalogikan. Beberapa contoh penalaran
induktif dengan cara analogi adalah sebagai berikut:[3]
a) Dalam riset medis, para peneliti
mengamati berbagai efek dari bermacam bahan melalui eksperimen binatang seperti
tikus dan kera, yang dalam beberapa hal memiliki kesamaan karakter anatomis
dengan manusia. Dari kajian itu, akan ditarik kesimpulan bahwa efek bahan-bahan
uji coba yang ditemukan pada binatang juga akan terjadi pada manusia.
b) Dr.
Maria C. Diamond, seorang profesor anatomi dari University of California
tertarik untuk meneliti pengaruh pil kontrasepsi terhadap pertumbuha cerebral
cortex wanita, sebuah bagian otak yang mengatur kecerdasan. Dia menginjeksi
sejumlah tikus betina dengan sebuah hormon yang isinya serupa dengan pil.
Hasilnya tikus-tikus itu memperlihatkan pertumbuhan yang sangat rendah
dibandingkan dengan tikus-tikus yang tidak diberi hormon itu. Berdasarkan studi
itu, Dr. Diamond menyimpulkan bahwa pil kontrasepsi dapat menghambat
perkembangan otak penggunanya. Dalam contoh penelitian tersebut, Dr. Diamond
menganalogikan anatomi tikus dengan manusia. Jadi apa yang terjadi pada tikus,
akan terjadi pula pada manusia.
3) Hubungan
Kausal (Sebab Akibat)
Penalaran induktif
dengan melalui hubungan kausal (sebab akibat) merupakan penalaran yang bertolak
dari hukum kausalitas bahwa semua peristiwa yang terjadi di dunia ini terjadi
dalam rangkaian sebab akibat. Tak ada suatu gejala atau kejadian pun yang
muncul tanpa penyebab. Cara berpikir seperti itu sebenarnya lazim digunakan
dalam kehidupan sehari-hari, seperti halnya dalam dunia ilmu pengetahuan.
Contoh:
a) Ketika
seorang ibu melihat awan tebal menggantung, dia segera memunguti pakaian yang
sedang dijemurnya. Tindakannya itu terdorong oleh pengalamannya bahwa mendung
tebal (sebab) adalah pertanda akan turun hujan (akibat).
b) Seorang
petani menanam berbagai jenis pohon dipekarangannya, tanaman tersebut dia
sirami, dia rawat dan dia beri pupuk. Anehnya, tanaman itu bukannya semakin
segar, melainkan layu bahkan mati. Tanaman yang mati dia cabuti. Ia melihat
ternyata akar-akarnya rusak da dipenuhi rayap. Berdasarkan temuannya itu,
petani tersebut menyimpulkan bahwa biang keladi rusaknya tanaman (akibat)
adalah rayap (sebab).
2.
Penalaran Deduktif dan Coraknya
Penalaran deduksi adalah suatu proses berpikir yang
bertolak dari sesuatu yang umum (prinsip, hukum, teori atau keyakinan) menuju
hal-hal khusus. Berdasarkan sesuatu yang umum itu, ditariklah kesimpulan
tentang hal-hal khusus yang merupakan bagian dari kasus atau peristiwa khusus
itu.
Contoh :
Semua makhluk hidup akan mati
Manusia adalah makhluk hidup
Karena itu, semua manusi akan mati.
Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa proses penalaran itu
berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, generalisasi sebagai pangkal bertolak
(pernyataan pertama merupakan generalisasi yang bersumber dari keyakinan atau
pengetahuan yang sudah diketahui dan diakui kebenarannya. Kedua, penerapan atau
perincian generalisasi melalui kasus atau kejadian tertentu. Ketiga, kesimpulan
deduktif yang berlaku bagi kasus atau peristiwa khusus itu.
Penalaran deduktif dapat dilakukan dengan dua cara:
a. Silogisme
Silogisme
adalah suatu proses penalaran yang menghubungkan dua proposisi (pernyataan)
yang berlainan untuk menurunkan sebuah kesimpulan yang merupakan proposisi yang
ketiga. Proposisi merupakan pernyataan yang dapat dibuktikan kebenarannya atau
dapat ditolak karena kesalahan yang terkandung didalamnya. Dari pengertian di
atas, silogisme terdiri atas tiga bagian yakni: premis mayor, premis minor, dan
kesimpulan. Yang dimaksud dengan premis adalah proposisi yang menjadi dasar
bagi argumentasi. Premis mayor mengandung term mayor dari silogisme, merupakan
geeralisasi atau proposisis yang dianggap bear bagi semua unsur atau anggota
kelas tertentu. Premis minor mengandung term minor atau tengah dari silogisme,
berisi proposisi yang mengidentifikasi atau menuntuk sebuah kasus atau
peristiwa khusus sebagai anggota dari kelas itu. Kesimpulan adalah proposisi
yang menyatakan bahwa apa yang berlaku bagi seluruh kelas, akan berlaku pula
bagi anggota-anggotanya.
Contoh:
Premis mayor : Semua cendekiawan adalah pemikir
Premis minor : Habibie adalah cendekiawan
Kesimpulan : Jadi, Habibie adalah pemikir.
b. Entinem
Entiem adalah suatu proses penalaran dengan menghilangkan bagian
silogisme yang dianggap telah dipahami.
Contoh:
Berangkat dari bentuk silogisme secara lengkap:
Premis mayor : Semua renternir adalah penghisap darah dari orang yang sedang
kesusahan
Premis minor : Pak Sastro adalah renternir
Kesimpulan : Jadi, Pak Sastro adalah penghisap darah orang yang kesusahan.
Kalau proses penalaran itu dirubah dalam bentuk entinem, maka bunyinya
hanya menjadi ”Pak Sastro adalah renternir, yang menghisap darah orang yang
sedang kesusahan.”
3.
Hubungan Menulis Karya Ilmiah dengan Penalaran
Karya tulis ilmiah adalah tulisan yang didasari oleh
pengamatan, peninjauan atau penelitian dalam bidang tertentu, disusun menurut
metode tertentu dengan sistematika penulisan yang bersantun bahasa dan isinya
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Atas dasar itu, sebuah karya tulis
ilmiah harus memenuhi tiga syarat:
a. Isi kajiannya
berada pada lingkup pengetahuan ilmiah
b. Langkah
pengerjaannya dijiwai atau menggunakan metode ilmiah
c. Sosok
tampilannya sesuai da telah memenuhi persyaratan sebagai suatu sosok tulisan
keilmuan.
Dari pengertian
tersebut dapat diketahui bahwa penalaran menjadi bagian penting dalam proses
melahirkan sebuah karya ilmiah. Penalaran dimaksud adalah penalaran logis yang
mengesampingkan unsur emosi, sentimen pribadi atau sentimen kelompok. Oleh
karena itu, dalam menyusun karya ilmiah metode berpikir keilmuan yang
menggabungkan cara berpikir/penalaran induktif dan deduktif, sama sekali tidak
dapat ditinggalkan. Metode berpikir keilmuan sendiri selalu ditandai dengan
adanya:
a. Argumentasi
teoritik yang benar, sahih dan relevan
b. Dukungan
fakta empirik
c. Analisis
kajia yang mempertautkan antara argumentasi teoritik dengan fakta empirik
terhadap permasalahan yang dikaji.
4.
Keterkaitan Penalaran dalam Proses Penulisan Ilmiah
Suatu karangan sesederhana apapun akan mencerminkan
kualitas penalaran seseorang.Penalaran itu akan tampak dalam pola pikir
penyusuan karangan itu sendiri.Penalaran dalam suatu karangan ilmiah mencakup 5
aspek/matra. Kelima aspek tersebut adalah:
a.
Aspek keterkaitan
Aspek keterkaitan adalah hubungan antarbagian yang
satu dengan yang lain dalam suatu karangan. Artinya, bagian-bagian dalam
karangan ilmiah harus berkaitan satu sama lain. Pada pendahuluan misalnya,
antara latar belakang masalah – rumusan masalah – tujuan – dan manfaat harus
berkaitan. Rumusan masalah juga harus berkaitan dengan bagian landasan teori,
harus berkaitan dengan pembahasan, dan harus berkaitan juga dengan kesimpulan.
b.
Aspek urutan
Aspek urutan adalah pola urutan tentang suatru yang
harus didahulukan/ditampilkan kemudian (dari hal yang paling mendasar ke hal
yang bersifat pengembangan). Suatu karangan ilmiah harus mengikuti urutan pola
pikir tertentu.Pada bagian Pendahuluan, dipaparkan dasar-dasar berpikir secara
umum. Landasan teori merupakan paparan kerangka analisis yang akan dipakai
untuk membahas. Baru setelah itu persoalan dibahas secara detail dan lengkap.
Di akhir pembahasan disajikan kesimpulan atas pembahasan sekaligus sebagai
penutup karangan ilmiah
c.
Aspek argumentasi
Yaitu bagaimana hubungan bagian yang menyatakan fakta,
analisis terhadap fakta, pembuktian suatu pernyataan, dan kesimpulan dari hal
yang telah dibuktikan. Hampir sebagian besar isi karangan ilmiah menyajikan
argumen-argumen mengapa masalah tersebut perlu dibahas (pendahuluan),
pendapat-pendapat/temuan-temuan dalam analisis harus memuat argumen-argumen
yang lengkap dan mendalam.
d.
Aspek teknik penyusunan
Yaitu bagaimana pola penyusunan yang dipakai, apakah
digunakan secara konsisten. Karangan ilmiah harus disusun dengan pola
penyusunan tertentu, dan teknik ini bersifat baku dan universal. Untuk itu
pemahaman terhadap teknik penyusunan karangan ilmiah merupakan syarat multak
yang harus dipenuhi jika orang akan menyusun karangan ilmiah.
e.
Aspek bahasa
Yaitu bagaimana penggunaan bahasa dalam karangan
tersebut? baik dan benar? Baku? Karangan ilmiah disusun dengan bahasa yang
baik, benar dan ilmiah. Penggunaan bahasa yang tidak tepat justru akan
mengurangi kadar keilmiahan suatu karya sastra lebih-lebih untuk karangan
ilmiah akademis. Beberapa ciri bahasa ilmiah: kalimat pasif, sebisa mungkin
menghindari kata ganti diri (saya, kami, kita), susunan kalimat efektif/hindari
kalimat-kalimat dengan klausa-klausa yang panjang.
B. Sistematika
Berpikir
1. Pengertian
Berpikir[4]
Devinisi berfikir yang paling umum adalah berkembngnya
ide dan konsep (Bochenski) dari Suriasumantri (ed), 1983 ;52 didalam diri
seseorang. Penkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui proses
penjalinan hubungan antara bagian-bagian infarmasi yang tersimpan dalam diri
seseorang yang berupa pengertian-pengertian. “ berfikir” menvcakup banyak
aktivitas mental. Kita berfikir saat memutuskan barang apa yang akan kita beli
di tiko. Kita berfikir saat melamunsambil menunggu kuliah psikologi umum
dimulai. Kita berfikirsat mencoba memecahkan ujian yang diberikan di local.
Kita berfikir saat menulis artikel, makalah, surat, membaca buku, membaca
Koran, merencanakan liburan, atau menghawatirkan suatu persahabatan yang
terganggu.
Berfikir adalah gejala jiwa yang dapat menetapkan
hubungan-hubungan sesuatu yang menjadi ia tahu atau ssuatu kegiatan yang
melibatkan otak kita bekerja. Symbol-simbol yang digunakan dalam berfikir pada
umumnya adalah mengguanakan kata-kata, bayangan atau gambaran dan bahasa.
Namun, sebaguian besar dalam berfikir orang kebanyakan lebih sering menggunakan
bahasa atau verbal kenapa, karena bahasa meruopakan alat penting dalam
berfikir. Seperti yang diaparkan diatas yaitu dalam proses berfikir ada konsep
yang harus kita ketahui.
Berpikir
dapat didefinisikan sebagai kemampuan manusia untuk mencari arti bagi realitas
yang muncul di hadapan kesadarannya dalam pengalaman dan pengertian. Pengertian
ini bermakna bahwa komunikasi merupakan kemampuan manusia untuk mengutarakan pikirannya kepada
orang lain. Adapun cara mengutarakannya dapat dilakukan dengan berbagai cara;
dengan berbicara, lewat tulisan, atau lewat simbol-simbol tertentu. Fungsi
berpikir menyangkut dua aspek yang penting dalam diri manusia, yaitu wissen atau
mengetahui dan verstehen atau mengerti/memahami.
Dalam
kehidupannya, manusia sebagai makhluk sosial berpikir mengenai berbagai bentuk
realitas sosial. Dalam prosesnya, berpikir ini berlangsung dalam dua bentuk. Pertama, secara horizontal
atau sensitivo-rasional, yaitu berpikir mengenai suatu realitas dengan
dilandasi pengalaman sebagai rekaman dan penginderaan selama hidupnya, rekaman
dari fungsinya sebagai komunikan dalam setiap proses komunikasi yang melibatkan
dirinya. Maka, apabila ia berkomunikasi secara horizontal yang berkisar pada
persoalan tahu dan mengetahui, sifatnya menjadi sensitivo-rasional.
Kedua, berpikir metarasional. Manusia tidak puas
hanya dengan sekadar mengetahui (wissen), tetapi juga ingin memahaminya
secara mendalam. Di sini berlangsung proses refleksi atau kontemplasi yang
secara akumulatif bersifat
kuantitatif atau kualitatif. Kualitasnya akan berkadar tinggi apabila proses
perenungan itu dilakukan secara sistematik. Dalam kondisi semacam ini,
pemikirannya sudah sampai pada tahap meta-rasional. Ia tidak lagi memandang
suatu realitas sosial dengan indra mata, tetapi dengan mata batiniah yang
terdapat di seberang realita (beyond the reality), secara metafisik.
Dalam
keradikalannya, pemikiran manusia secara vertikal tersebut bisa menyentuh
hal-hal yang sifatnya Ilahi. Ia mendengar tentang Tuhan. Ia ingin mengetahui
adanya Tuhan. Lalu ia percaya akan ada-Nya, dan sebagai konsekuensinya, ia
bersujud dan berserah diri. Kepercayaan semacam ini bersifat suprarasional,
yaitu suatu tingkat pemahaman di luar jangkauan pemikiran secara sensitivo-rasional.
Bagi seorang komunikator, tingkat-tingkat pemahaman (verstehen) itu
menjadi teramat penting untuk mampu berkomunikasi dalam segala konteks paling
luas dan paling lama .
Cara
berpikir antara satu orang dengan orang yang lainnya berbeda. Persoalan yang
sama akan dipahami secara berbeda oleh setiap orang. Masing-masing orang
memahami persoalan berdasarkan kerangka berpikir yang dimilikinya. Hal ini
menunjukkan bahwa setiap orang—sadar atau tidak—memiliki sistematika berpikir
yang khas.
2. Konsep
Berfikir
Tentu tidak semua
berfikir menghasillkan kebangkitan. hanya proses berfikir yang hakiki saja yang
menghasilkan kebangkitan itu. Kadang seseorang tidak memperhatikan
apakah yang dilakukannya dalam berfikir merupakan hal yang esensi, prinsip,
atau praktis. Ketiganya tentu berbeda
a. Esensi
Pada hakikatnya seseorang berpikir secara esensi (inti) terlebih dahulu.
tanpa berpikit hal yang esensi maka tidak akan berujung pada kebenaran apalagi
kebangkitan. pemikiran yang esensi dalam kehidupan ini adalah untuk menjawab
sebuah pertanyaan dasar, "untuk apa kita berada di dunia ini?", Juga
pertanyaan aasasi "Dari mana asal kita dan mau kemana kita setelah mati?",
pertanyaan-pertanyaan itulah yang harus dijawab. dari awal pertanyaan tadi akan
berkembang pemikiran esensial tersebut bahwa sesungguhnya keberadaan kita di
bumi ini adalah untuk mengabdi kepada Tuhan ala semesta ini. keberadaan kita di
muka bumi sebagai Khalifatullah.
Oleh karena itu, manusia sebelum berkiprah di
dunia harus melakukan perenungan, tafakur, dan berpikir mengenai hal yang
esensi ini. dalam ajaran islam, hal yang esensi adalah aqidah. keimanan
terhadap Tuhan. keyakinan inilah yang menjadi pendorong seseorang dalam
berpikir dan bertindak selanjutnya. keimanan juga menjadi dasar bagi setiap
muslim dalam beraktivitas.
b.
Prinsip
Setelah berpikir tentang hal yang esensi maka selanjutnya barulah kita
melangkah menuju suatu prinsip. sebuah prinsip berbeda dengan esensi. prinsip
adalah hal yang membatasi esensi. sesuatu yang esensi adalah sebuah inti. tanpa
suatu pembatas maka ia bukan lagi sebuah esensi (inti). pembatas dari inti
adalah suatu prinsip, jika esensi itu satu (karena ia adalah inti) makaprinsip
bisa beberapa (namun tidaklah banyak). Berpikir
tentang hal-hal prinsip juga penting. sebab hal itu menjadi penjabaran dari hal
yang esensi. seseorang yang berpikir dalam kerangka Islam, ia akan melihat
masalah aqidah adalah hal yang esensi. sedangkan rukun iman dan rukun Islam
adalah prinsip yang harus dijalankan. juga ilmu ushul fiqih (ilmu mengenai
dasar agama Islam) adalah hal-hal prinsip yang merupakan pokok dari ajaran
Islam. kaidah tersebut merupakan rumus dari penjaabaran aqidah maupun ajaran
Islam. Seseorang kadang sudah memahami
hal yang esensi tapi gagal dalam menerjamahkan suatu prinsip. kadang prinsip
yang dijabarkan itu melenceng dari esensinya. sebuah contoh konkret yang
sekarang ini berkembang adanya asas pluralitas dalam beragama. seorang yang
berpikir sistematik akan menyadari bahwa puncak segitiga adalah satu, yaitu hal
yang esensi. oleh karena itu, hal yang esensi tersebut sebagaimana dijelaskan
bahwa hal itu adlah inti, adalah satu pula. sebuah kebenaran tentang hal esensi
adalah tunggal yaitu keesaan Allah SWT. di
atas sudah dijelaskan bahwa hal yang esensial adalah aqidah Islam. aqidah Islam
adalah keimanan bahwa Tuhan adalah satu, yaitu tauhiid. namun demikian, ada
pula kalangan yang menganut ajaran Islam yang berarti tauhiid, menganut pula
prinsip pluralisme yang menyatakan semua agama adalah benar. di atas engakui
hanya satu, kemudian dibawah mengakui yang lainnya juga. pluralisme memang baik
tapi bukan untuk masalah aqidah atau hal yang esensial, seperti keyakinan
terhadap suatu agama. orang yang berprinsip pluralisme dalam beragama gagal
membuat prinsip yang menjabarkan esensi dala sistem berpikirnya.
c.
Praktis
Setelah berpikir maslah prinsip,seesorang bisa memikirkan
masalah-masalah praktis, berdasarkan hal yang esensi dan prinsip tersebut. hal
yang praktis banyak sekali dan merupakan penjabaran dari esensi maupun prinsip.
jumlahnya bisa tidak terbatas tapi tidak lepas dari koridor segitiga di atas.
dalam ajaran islam, hal-hal praktis merupakan kajian fiqih mengenai perbuatan
seseorang. disana akan dibahas perbuatan-perbuatan yang wajib, sunnah, mubah,
haram dan juga makruh. tak ketinggalan masalah akhlal atau perbuatan moral yang
sesuai dengan kaidah islami. Dengan
menjalankan sistematika berpikir ini maka seseorang akan mudah dalam
menjalankan kehidupannya. tidak terombang ambing oleh suasana kehidupan.
Pemikirannya fokus tidak kesana kesini
tanpa arah. juga akan mudah menyelesaikan problematika hidup. yaitu dari
hal-hal yang praktis ditarik kepada masalah prinsip dan kemlbali kepada sesuatu
yang esensi. seorang muslim yang tahu akan potensi ini sudah seyogianya mengacu
kepada sistem berpikir seperti ini. demikianlah yang dilakukan Rasulullah SAW
dan para sahabat serta generasi pertama dulu sehingga mereka menjadi bangsa
yang memimpin dunia.
3. Pengertian
Metode Berpikir Ilmiah
Secara etimologis, metode berasal
dari Bahasa Yunani, yaitu “Meta” yang artinya sesudah atau dibalik sesuatu, dan
“Hodos” yang artinya jalan yang harus ditempuh. Jadi metode berarti
langkah-langkah (cara dan tekhnis) yang diambil menurut urutan tertentu untuk
mencapai pengetahuan tertentu. Jadi metode berfikir ilmiah adalah prosedur,
cara dan tekhnik memperoleh pengetahuan, serta untuk membuktikan benar salahnya
suatu hipotesis yang telah ditentukan sebelumnya. Metode ilmiah ini adalah
sebuah prosedur yang digunakan para ilmuan dalam pencarian kebenaran baru.
Dilakukannya dengan cara kerja sistematis terhadap pengetahuan baru, dan
melakukan peninjauan kembali kepada pengetahuan yang telah ada. Tujuan dari
penggunaan metode ilmiah ini yaitu agar ilmu berkembang dan tetap eksis dan
mampu menjawab berbagai tantangan yang dihadapi. Kebenaran dan kecocokan kajian
ilmiah, akan terbatas pada ruang, waktu, tempat dan kondisi tertentu.
Metode ilmiah dipengaruhi oleh unsur alam yang berubah dan bergerak secara dinamik dan teratur. Kondisi alam yang diduga para filosof karena adanya asas tunggal dari alam (natural law). Filosof yakin, bahwa natural law telah menjadi salah satu sebab adanya ketertiban alam. Ketertiban akan diangkat dan harus diletakkan sebagai objek ukuran dalam menentukan kebenaran. Corak-corak metodis yang sandarannya pada kondisi alam, yang dinamik dan teratur, harus diakui telah meneyebabkan lahirnya ilmu pengetahuan dengan sifat dan kecendrungan yang positivistic. Ilmu selalu berkembang dalam ukuran-ukuran yang konkrit dengan model dan pendekatan serta eksperimen dan observasi.
Dalam perkembangan selanjutnya model dan cara berfikir demikian telah memperoleh gugatan. Karena, tidak semua ilmu dapat didekati dengan model yang sama. Dengan ditemukannya metode berfikir ilmiah, secara langsung telah menyebabkan terdinya kemajuan dalam ilmu pengetahuan. Manusia bukan saja hidup dalam ritmis modernisasi yang serba mudah dan menjanjkan. Lebih dari itu semua, manusia dapat menggapai sesuatu yang sebelumnya seolah tidak mungkin. Manusia tidak lagi berpangku tangan, terhadap apa yang menjadi kehendak alam.
Metode ilmiah dipengaruhi oleh unsur alam yang berubah dan bergerak secara dinamik dan teratur. Kondisi alam yang diduga para filosof karena adanya asas tunggal dari alam (natural law). Filosof yakin, bahwa natural law telah menjadi salah satu sebab adanya ketertiban alam. Ketertiban akan diangkat dan harus diletakkan sebagai objek ukuran dalam menentukan kebenaran. Corak-corak metodis yang sandarannya pada kondisi alam, yang dinamik dan teratur, harus diakui telah meneyebabkan lahirnya ilmu pengetahuan dengan sifat dan kecendrungan yang positivistic. Ilmu selalu berkembang dalam ukuran-ukuran yang konkrit dengan model dan pendekatan serta eksperimen dan observasi.
Dalam perkembangan selanjutnya model dan cara berfikir demikian telah memperoleh gugatan. Karena, tidak semua ilmu dapat didekati dengan model yang sama. Dengan ditemukannya metode berfikir ilmiah, secara langsung telah menyebabkan terdinya kemajuan dalam ilmu pengetahuan. Manusia bukan saja hidup dalam ritmis modernisasi yang serba mudah dan menjanjkan. Lebih dari itu semua, manusia dapat menggapai sesuatu yang sebelumnya seolah tidak mungkin. Manusia tidak lagi berpangku tangan, terhadap apa yang menjadi kehendak alam.
4. Nilai Guna Metode Berpikir Ilmiah
Metode berpikir ilmiah memiliki peranan penting dalam
membantu manusia untuk memperoleh pengetahuan cakrawala baru dalam menjamin
eksistensi kehidupan manusia. Dengan menggunakan metode berfikir ilmiah,
manusia terus mengembangkan pengetahuannya. Ada 4 cara manusia memperoleh
pengetahuan:[6]
a. Berpegang pada sesuartu yang telah
ada (metode keteguhan)
b. Merujuk kepada pendapat ahli
c. Berpegang pada intuisi (metode
intuisi)
d. Menggunakan metode ilmiah
Dari ke empat itulah, manusia memperoleh pengetahuannya
sebagai pelekat dasar kemajuan manusia. Namun cara yang ke empat ini,
sering disebut sebagai cara ilmuan dalam memperoleh ilmu. Dalam praktiknya,
metode ilmiah digunakan untuk mengungkap dan mengembangkan ilmu, melalui cara
kerja penelitian. Cara kerja ilmuan dengan penelitian ilmiah, muncul sebagai
reaksi dari tantangan yang dihadapi manusia. Pemecahan masalah melalui
metode ilmiah tidak akan pernah berpaling. Penelitian ilmiah dengan
menggunakan metode ilmiah, memegang peranan penting dalam membantu manusia
untuk memecahkan setiap masalah yang di hadapinya. Ilmuan biasanya bekerja dengan cara kerja sistematis,
berlogika dan menghindari diri dari pertimbangan subjektif. Rasa tidak puas
terhadap pengetahuan yang berasal dari paham orang awam, mendorong kelahiran
filsafat. Filsafat menyelidik ulang semua pengetahuan manusia untuk mendapat
pengetahuan yang hakiki.
Ilmuan mempunyai falsafah yang sama, yaitu dalam penggunaan
cara menyelesaikan masalah dengan menggunakan metode ilmiah. Metode ilmiah
selalu digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Penggunaan metode
ilmiah tertentu dalam kajian tertentu, dapat memudahkan ilmuan dan pengguna
hasil keilmuannya dapat memudahkan melakukan penelusuran. Dalam ilmu
pengetahuan ilmiah, “tidak ada” kebenaran yang sekedar berada di awang-awang
meskipun atas nama logika. Setiap kebenaran ilmiah, senantiasa diperkuat
bukti-bukti empirik dan indrawi, bahkan sesuatu kebenaran tersebut telah
teruji. Kebenaran ilmiah yang meskipun dikuasai oleh relativitasnya, selalu
berpatokan kepada beberapa hal mendasar, yaitu:[7]
a. Adanya teori yang dijadikan dalil
utama dalam mengukur fakta-fakta aktual.
b. Adanya data-data yang berupa fakta
atau realitas senyatanya dan realitas dalam dokumen tertentu.
c.
Adanya
pengelompokkan fakta dan data yang signifikan.
d.
Adanya uji validitas.
e.
Adanya penarikan kesimpulan yang operasional
f.
Adanya fungsi timbal balik antara teori dan realitas.
g.
Adanya pengembangan dialektika terhadap teori yang
sudah teruji.
h.
Adanya pembatasan wilayah penelitian yang proporsional.
Ciri-ciri tersebut merupakan “citra”
ilmu pengetahuan dan metode ilmah. Oleh karena itu, menurut Juhaya S. Pradja
(1997), metode ilmiah dimulai dengan pengamatan-pengamatan, kemudian memperkuat
diri dengan pengalaman dan menarik kesimpulan atas dasar pembuktian yang
akurat.
BAB III
PENUTUP
Dari berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penalaran dalam
prosesnya ada 2 macam yaitu penalaran Induksi dan penalaran Deduktif. Penalaran
Induktif adalah proses penalaran untuk menarik kesimpulan berupa prinsip atau
sikap yang berlaku umum berdasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus.
Prosesnya disebut Induksi. Dalam penalaran Induktif ini ada 3 jenis penalaran
Induktif yaitu Generalisai, Analogi, dan Hubungan sebab akibat ataupun hubungan
akibat–sebab. Penalaran Deduktif adalah proses penalaran untuk menarik
kesimpulan berupa prinsip atau sikap yang berlaku khusus berdasarkan
fakta-fakta yang bersifat umum. Prosesnya disebut Deduksi. Jenis penalaran
Deduktif ini diantaranya ada Silogisme dan Entinem.
Sistematika berpikir merupakan kelincahan berpikir dalam menangkap suatu
hubungan asosiasi antara gejala satu dengan gejala lain dengan logika yang
sistematis. Berfikir adalah gejala jiwa yang dapat menetapkan hubungan-hubungan
sesuatu yang menjadi ia tahu atau ssuatu kegiatan yang melibatkan otak kita
bekerja. Symbol-simbol yang digunakan dalam berfikir pada umumnya adalah
mengguanakan kata-kata, bayangan atau gambaran dan bahasa. Namun, sebaguian
besar dalam berfikir orang kebanyakan lebih sering menggunakan bahasa atau
verbal kenapa, karena bahasa meruopakan alat penting dalam berfikir. Seperti
yang diaparkan diatas yaitu dalam proses berfikir ada konsep yang harus kita
ketahui
DAFTAR
PUSTAKA
Suriasumantri,
Jujun. 2010. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Sumadi.
2010. Filsafat Ilmu Pengantar Konsep dan Analisis. Ciamis: Institut Agama Islam
Darussalam.
A.
Mirawihardja, Sutardjo. 2006. Pengantar Filsafat. Bandung: PT Refika Aditama.
Ahmad
Saebani, Beni. 2009. Filsafat Ilmu. Bandung: CV Pustaka Setia.
[1]
Rosita, I. (2007). Strategi Heuristik Untuk Meningkatkan Kemampuan Generalisasi
Matematis Siswa kelas X SMA. Tesis pada SPS. Bandung: Tidak
dipublikasikan, hal. 20
[2]
Barkah, H. (2007).
Pengembangan Kurikulum dan
Pembelajaran Matematika. Malang: Universitas Negeri Malang. Hal. 7
[3] Suriasumantri, Jujun. 2010. Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hal. 135-127
[4] Ibid,
hal. 52
[5] Sumadi. 2010. Filsafat Ilmu Pengantar Konsep dan
Analisis. Ciamis: Institut Agama Islam Darussalam. Hal 55
[6] Ahmad
Saebani, Beni. 2009. Filsafat Ilmu. Bandung: CV Pustaka Setia. Hal. 51
[7] A. Mirawihardja, Sutardjo. 2006. Pengantar Filsafat.
Bandung: PT Refika Aditama. Hal. 73
0 comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar, hindari unsur SARA.
Terima kasih