BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dunia pendidikan mengartikan diagnosis kesulitan belajar sebagai segala
usaha yang dilakukan untuk memahami dan menetapkan jenis dan sifat kesulitan
belajar. Juga mempelajari faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan belajar
serta cara menetapkan dan kemungkinan mengatasinya, baik secara kuratif
(penyembuhan) maupun secara preventif (pencegahan) berdasarkan data dan
informasi yang seobyektif mungkin.
Dengan demikian, semua kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk menemukan
kesulitan belajar termasuk kegiatan diagnosa. Perlunya diadakan diagnosis
belajar karena berbagai hal. Pertama, setiap siswa hendaknya mendapat
kesempatan dan pelayanan untuk berkembang secara maksimal, kedua; adanya
perbedaan kemampuan, kecerdasan, bakat, minat dan latar belakang lingkungan
masing-masing siswa. Ketiga, sistem pengajaran di sekolah seharusnya memberi
kesempatan pada siswa untuk maju sesuai dengan kemampuannya. Dan, keempat,
untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi oleh siswa, hendaknya guru beserta
BP lebih intensif dalam menangani siswa dengan menambah pengetahuan, sikap yang
terbuka dan mengasah ketrampilan dalam mengidentifikasi kesulitan belajar
siswa.
Berkait dengan kegiatan diagnosis, secara garis besar
dapat diklasifikasikan ragam diagnosis ada dua macam, yaitu diagnosis untuk
mengerti masalah dan diagnosis yang mengklasifikasi masalah. Diagnosa untuk
mengerti masalah merupakan usaha untuk dapat lebih banyak mengerti masalah
secara menyeluruh. Sedangkan diagnosis yang mengklasifikasi masalahmerupakan
pengelompokan masalah sesuai ragam dan sifatnya. Ada masalah yang digolongkan kedalam masalah
yang bersifat vokasional, pendidikan, keuangan, kesehatan, keluarga dan
kepribadian. Kesulitan belajar
merupakan problem yang nyaris dialami oleh semua siswa. Kesulitan belajar dapat
diartikan suatu kondisi dalam suatu proses belajar yang ditandai adanya
hambatan-hambatan tertentu untuk menggapai hasil belajar.
B. Rumusan Masalah
Permasalahan makalah ini difokuskan pada kesulitan
belajar, bimbingan belajar, model pembelajaran yang bisa diterapkan dan
bagaimana mengatasi masalah kesulitan belajar.
C. Tujuan
Tujuan yang
ingin dicapai dalam makalah ini adalah :
a. Mengidintifikasi berbagai permasalahan
kesulitan pembelajaran.
b. Mengkaji berbagai persoalan tentang
permasalahan belajar.
c.
Alternatif mengatasi permasalahan pembelajaran.
D. Landasan Teori
1. Kesulitan Belajar
Dalam
kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah
karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada
siswa yang dapat menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa
mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru
dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan. Kesulitan belajar siswa
ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil
belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga
pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di
bawah semestinya.
Kesulitan
belajar siswa mencakup pengetian yang luas, diantaranya : (a) learning
disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d)
slow learner, dan (e) learning diasbilities. Di bawah ini akan diuraikan dari masing-masing
pengertian tersebut.
a. Learning Disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana
proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan.
Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak
dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya
respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih
rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan
olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami
kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai.
b. Learning Disfunction merupakan gejala dimana proses belajar
yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa
tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria,
atau gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang yang memiliki postur
tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley, namun
karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak dapat menguasai
permainan volley dengan baik.
c. Under Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki
tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi
belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah dites kecerdasannya dan
menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ = 130 – 140), namun
prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat rendah.
d. Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat
dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama
dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang
sama.
e. Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada
gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga
hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.
Bila
diamati, ada sejumlah siswa yang mendapat kesulitan dalam mencapai hasil
belajar secara tuntas dengan variasi dua kelompok besar. Kelompok pertama
merupakan sekelompok siswa yang belum mencapai tingkat ketuntasan, akan tetapi
sudah hampir mencapainya. Siswa tersebut mendapat kesulitan dalam menetapkan
penguasaan bagian-bagian yang sulit dari seluruh bahan yang harus dipelajari.
Kelompok
yang lain, adalah sekelompok siswa yang belum mencapai tingkat ketuntasan yang
diharapkan karena ada konsep dasar yang belum dikuasai. Bisa pula ketuntasan
belajar tak bisa dicapai karena proses belajar yang sudah ditempuh tidak sesuai
dengan karakteristik murid yang bersangkutan.
Jenis
dan tingkat kesulitan yang dialami oleh siswa tidak sama karena secara
konseptual berbeda dalam memahami bahan yang dipelajari secara menyeluruh.
Perbedaan tingkat kesulitan ini bisa disebabkan tingkat pengusaan bahan sangat
rendah, konsep dasar tidak dikuasai, bahkan tidak hanya bagian yang sulit tidak
dipahami, mungkin juga bagian yang sedang dan mudah tidak dapat dukuasai dengan
baik.
Siswa
yang mengalami kesulitan belajar seperti tergolong dalam pengertian di atas
akan tampak dari berbagai gejala yang dimanifestasikan dalam perilakunya, baik
aspek psikomotorik, kognitif, konatif maupun afektif . Beberapa perilaku yang merupakan manifestasi
gejala kesulitan belajar, antara lain :
1. Menunjukkan hasil belajar yang rendah di
bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya atau di bawah potensi yang
dimilikinya.
2. Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan
usaha yang telah dilakukan. Mungkin ada siswa yang sudah berusaha giat belajar,
tapi nilai yang diperolehnya selalu rendah
3. Lambat dalam melakukan tugas-tugas
kegiatan belajarnya dan selalu tertinggal dari kawan-kawannya dari waktu yang
disediakan.
4. Menunjukkan sikap-sikap yang tidak wajar,
seperti: acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, dusta dan sebagainya.
5. Menunjukkan perilaku yang berkelainan,
seperti membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah,
mengganggu di dalam atau pun di luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak
teratur dalam kegiatan belajar, dan sebagainya.
6.
Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti
: pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam
menghadapi situasi tertentu. Misalnya dalam menghadapi nilai rendah, tidak
menunjukkan perasaan sedih atau menyesal, dan sebagainya.
Sementara
itu, Burton
(Abin Syamsuddin. 2003) mengidentifikasi siswa yang diduga mengalami kesulitan
belajar, yang ditunjukkan oleh adanya kegagalan siswa dalam mencapai tujuan-tujuan
belajar. Menurut dia bahwa siswa dikatakan gagal dalam belajar apabila :
1.
Dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak
mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan materi (mastery
level) minimal dalam pelajaran tertentu yang telah ditetapkan oleh guru (criterion
reference).
2.
Tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi
semestinya, dilihat berdasarkan ukuran tingkat kemampuan, bakat, atau
kecerdasan yang dimilikinya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam under
achiever.
3.
Tidak berhasil tingkat penguasaan materi (mastery
level) yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan tingkat pelajaran
berikutnya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam slow learner atau belum
matang (immature), sehingga harus menjadi pengulang (repeater)
Untuk
dapat menetapkan gejala kesulitan belajar dan menandai siswa yang mengalami
kesulitan belajar, maka diperlukan kriteria sebagai batas atau patokan,
sehingga dengan kriteria ini dapat ditetapkan batas dimana siswa dapat
diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Terdapat empat ukuran dapat
menentukan kegagalan atau kemajuan belajar siswa : (1) tujuan pendidikan; (2)
kedudukan dalam kelompok; (3) tingkat pencapaian hasil belajar dibandinngkan
dengan potensi; dan (4) kepribadian.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Evaluasi Pembelajaran
Setiap
fungsi pendidikan itu, pada dasarnya bertanggung jawab terhadap proses
pendidikan pada umumnya. Termasuk seorang guru yang berdiri di depan kelas,
bertanggung jawab pula atau melekat padanya fungsi administratif dan fungsi
pelayanan siswa. Hanya memang dalam pendidikan, pada dasarnya sulit memisahkan
secara tegas fungsi yang satu dengan fungsi yang lainnya, meskipun pada setiap
fungsi tersebut mempunyai penanggung jawab masing-masing. Dalam hal ini, guru
atau pembimbing dapat membawa setiap siswa kearah perkembangan individu
seoptimal mungkin dalam hubungannya dengan kehidupan sosial serta tanggung
jawab moral. Salah satu kegiatan yang harus dilaksanakan oleh guru dalam
melaksanakan tugas dan peranannya ialah kegiatan evaluasi. Dilihat dari
jenisnya evaluasi ada empat, yaitu sumatif, formatif, penempatan, dan
diagnostik.
1. Diagnosis
Diagnosis
merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang
melatarbelakangi timbulnya masalah siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar
faktor-faktor yang penyebab kegagalan belajar siswa, bisa dilihat dari segi
input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam dua
bagian faktor – faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan
belajar siswa, yaitu : (a) faktor internal; faktor yang besumber dari dalam
diri siswa itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan,
bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya; dan (b)
faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk
didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.
2. Prognosis
Langkah
ini untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami siswa masih mungkin untuk
diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya, Hal ini dilakukan
dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua
dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih
dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang
kompeten untuk diminta bekerja sama menangani kasus - kasus yang dihadapi.
3. Tes diagnostik
Pada
konteks ini, penulis akan mencoba menyoroti tes diagnostik kesulitan belajar
yang kurang sekali diperhatikan sekolah. Lewat tes itu akan dapat diketahui
letak kelemahan seorang siswa. Jika kelemahan sudah ditemukan, maka guru atau
pembimbing sebaiknya mengetahui hal-hal apa saja yang harus dilakukan guna
menolong siswa tersebut.
Tes
dignostik kesulitan belajar sendiri dilakukan melalui pengujian dan studi
bersama terhadap gejala dan fakta tentang sesuatu hal, untuk menemukan
karakteristik atau kesalahn-kesalahan yang esensial. Tes dignostik kesulitan
belajar juga tidak hanya menyangkut soal aspek belajar dalam arti sempit yakni
masalah penguasaan materi pelajaran semata, melainkan melibatkan seluruh aspek
pribadi yang menyangkut perilaku siswa.
Tujuan
tes diagnostik untuk menemukan sumber kesulitan belajar dan merumuskan rencana
tindakan remidial. Dengan demikian tes diagnostik sangat penting dalam rangka
membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar dan dapat diatasi dengan segera
apabila guru atau pembinbing peka terhadap siswa tersebut. Guru atau pembimbing
harus mau meluangkan waktu guna memerhatikan keadaan siswa bila timbul
gejala-gejala kesulitan belajar.
Agar
memudahkan pelaksanaan tes diagnostik, maka guru perlu mengumpulkan data
tentang anak secara lengkap, sehingga penanganan kasus akan menjadi lebih mudah
dan terarah.
Sejalan
dengan kebijakan pemerintah tentang dilaksanakannya ujian akhir nasional (UAN)
dengan standar nilai 4,01, boleh jadi bagi sebagian siswa sangat berat. Pihak
sekolah dalam menghadapi
Salah
satu antisipasinya pihak sekolah atau guru, harus memberi perhatian khusus
terhadap perbedaan kemampuan individual siswa tersebut. Perhatian yang dimaksud
yakni dengan menyelenggarakan tes diagnostik. Jika tes itu dilaksanakan dengan
efektif dan efesien, penulis yakin permasalah perbedaan kemampan siswa akan
terselesaikan dengan baik
B. Bimbingan Belajar
Bimbingan
belajar merupakan upaya guru untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan
dalam belajarnya. Secara umum, prosedur bimbingan belajar dapat ditempuh
melalui langkah-langkah sebagai berikut
1. Identifikasi kasus
Identifikasi
kasus merupakan upaya untuk menemukan siswa yang diduga memerlukan layanan
bimbingan belajar. Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) memberikan
beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi siswa yang diduga
mebutuhkan layanan bimbingan belajar, yakni :
2. Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua siswa secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan siswa yang benar-benar membutuhkan layanan bimbingan.
3. Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru dengan siswa. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya.
4. Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran siswa akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan siswa yang bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
5. Melakukan analisis terhadap hasil belajar siswa, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi siswa.
6. Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan siswa yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial.
7. Identifikasi Masalah
Langkah
ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah
yang dihadapi siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar, permasalahan siswa
dapat berkenaan dengan aspek : (a) substansial – material; (b) struktural –
fungsional; (c) behavioral; dan atau (d) personality. Untuk mengidentifikasi
masalah siswa, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu instrumen untuk melacak
masalah siswa, dengan apa yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini
sangat membantu untuk mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi siswa, seputar
aspek : (a) jasmani dan kesehatan; (b) diri pribadi; (c) hubungan sosial; (d)
ekonomi dan keuangan; (e) karier dan pekerjaan; (f) pendidikan dan pelajaran;
(g) agama, nilai dan moral; (h) hubungan muda-mudi; (i) keadaan dan hubungan
keluarga; dan (j) waktu senggang.
8. Remedial atau referal (Alih Tangan Kasus)
Jika
jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem
pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru atau
guru pembimbing, pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau
guru pembimbing itu sendiri. Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek
kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau
guru pembimbing sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih
kompeten.
9. Evaluasi dan Follow Up
Cara
manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya
dilakukan evaluasi dan tindak lanjut, untuk melihat seberapa pengaruh tindakan
bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang
dihadapi siswa.
Berkenaan
dengan evaluasi bimbingan, Depdiknas telah memberikan kriteria-kriteria keberhasilan layanan
bimbingan belajar, yaitu :
a)
Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh siswa
berkaitan dengan masalah yang dibahas;
b)
Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi
yang dibawakan melalui layanan, dan
c)
Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh siswa
sesudah pelaksanaan layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut
pengentasan masalah yang dialaminya.
Sementara
itu, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan beberapa kriteria
dari keberhasilan dan efektivitas layanan yang telah diberikan, yaitu apabila:
1.
Siswa telah menyadari (to be aware of) atas adanya
masalah yang dihadapi.
2.
Siswa telah memahami (self insight) permasalahan yang
dihadapi.
3.
Siswa telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima
kenyataan diri dan masalahnya secara obyektif (self acceptance).
4.
Siswa telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress
release).
5.
Siswa
telah menurun penentangan terhadap lingkungannya
6.
Siswa
mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan, mengadakan pilihan dan
mengambil keputusan secara sehat dan rasional.
7.
Siswa
telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha-usaha perbaikan dan penyesuaian
diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar pertimbangan dan keputusan
yang telah diambilnya
C. Model Pembelajaran
Dalam
mengimplementasikan Kurikulum Berbasis Kompetensi, E. Mulyasa (2003)
mengetengahkan lima model pembelajaran yang dianggap sesuai dengan tuntutan
Kurikukum Berbasis Kompetensi; yaitu : (1) Pembelajaran Kontekstual (Contextual
Teaching Learning); (2) Bermain Peran (Role Playing); (3)
Pembelajaran Partisipatif (Participative Teaching and Learning); (4)
Belajar Tuntas (Mastery Learning); dan (5) Pembelajaran dengan Modul (Modular
Instruction). Sementara itu, Gulo (2005) memandang pentingnya strategi
pembelajaran inkuiri (inquiry).
Di
bawah ini akan diuraikan secara singkat dari masing-masing model pembelajaran
tersebut.
1. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning)
Pembelajaran
Kontekstual (Contextual Teaching Learning) atau biasa disingkat CTL
merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi
pembelajaran dengan dunia kehidupan nyata, sehingga peserta didik mampu
menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam
pembelajaran kontekstual, tugas guru adalah memberikan kemudahan belajar kepada
peserta didik, dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang
memadai. Guru bukan hanya menyampaikan materi pembelajaran yang berupa hapalan,
tetapi mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta
didik belajar.
Dengan
mengutip pemikiran Zahorik, E. Mulyasa (2003) mengemukakan lima elemen yang harus diperhatikan dalam
pembelajaran kontekstual, yaitu :
- Pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta didik
- Pembelajaran dimulai dari keseluruhan (global) menuju bagian-bagiannya secara khusus (dari umum ke khusus)
- Pembelajaran harus ditekankan pada pemahaman, dengan cara: (a) menyusun konsep sementara; (b) melakukan sharing untuk memperoleh masukan dan tanggapan dari orang lain; dan (c) merevisi dan mengembangkan konsep.
- Pembelajaran ditekankan pada upaya mempraktekan secara langsung apa-apa yang dipelajari.
- Adanya refleksi terhadap strategi pembelajaran dan pengembangan pengetahuan yang dipelajari.
2. Bermain Peran (Role Playing)
Bermain
peran merupakan salah satu model pembelajaran yang diarahkan pada upaya
pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan antarmanusia (interpersonal
relationship), terutama yang menyangkut kehidupan peserta didik.
Pengalaman
belajar yang diperoleh dari metode ini meliputi, kemampuan kerjasama,
komunikatif, dan menginterprestasikan suatu kejadian Melalui bermain peran,
peserta didik mencoba mengeksplorasi hubungan-hubungan antarmanusia dengan cara
memperagakan dan mendiskusikannya, sehingga secara bersama-sama para peserta
didik dapat mengeksplorasi parasaan-perasaan, sikap-sikap, nilai-nilai, dan
berbagai strategi pemecahan masalah.
Dengan
mengutip dari Shaftel dan Shaftel, (E. Mulyasa, 2003) mengemukakan tahapan
pembelajaran bermain peran meliputi : (1) menghangatkan suasana dan memotivasi
peserta didik; (2) memilih peran; (3) menyusun tahap-tahap peran; (4)
menyiapkan pengamat; (5) menyiapkan pengamat; (6) tahap pemeranan; (7) diskusi
dan evaluasi tahap diskusi dan evaluasi tahap I ; (8) pemeranan ulang; dan (9)
diskusi dan evaluasi tahap II; dan (10) membagi pengalaman dan pengambilan
keputusan.
3. Pembelajaran Partisipatif (Participative Teaching and Learning)
Pembelajaran
Partisipatif (Participative Teaching and Learning) merupakan model
pembelajaran dengan melibatkan peserta didik secara aktif dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Dengan meminjam pemikiran Knowles,
(E.Mulyasa,2003) menyebutkan indikator pembelajaran partsipatif, yaitu : (1)
adanya keterlibatan emosional dan mental peserta didik; (2) adanya kesediaan
peserta didik untuk memberikan kontribusi dalam pencapaian tujuan; (3) dalam
kegiatan belajar terdapat hal yang menguntungkan peserta didik.
Pengembangan
pembelajaran partisipatif dilakukan dengan prosedur berikut:
- Menciptakan suasana yang mendorong peserta didik siap belajar.
- Membantu peserta didik menyusun kelompok, agar siap belajar dan membelajarkan
- Membantu peserta didik untuk mendiagnosis dan menemukan kebutuhan belajarnya.
- Membantu peserta didik menyusun tujuan belajar.
- Membantu peserta didik merancang pola-pola pengalaman belajar.
- Membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar.
- Membantu peserta didik melakukan evaluasi diri terhadap proses dan hasil belajar.
4. Belajar Tuntas (Mastery Learning)
Belajar
tuntas berasumsi bahwa di dalam kondisi yang tepat semua peserta didik mampu
belajar dengan baik, dan memperoleh hasil yang maksimal terhadap seluruh materi
yang dipelajari. Agar semua peserta didik memperoleh hasil belajar secara
maksimal, pembelajaran harus dilaksanakan dengan sistematis. Kesistematisan
akan tercermin dari strategi pembelajaran yang dilaksanakan, terutama dalam
mengorganisir tujuan dan bahan belajar, melaksanakan evaluasi dan memberikan
bimbingan terhadap peserta didik yang gagal mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Tujuan
pembelajaran harus diorganisir secara spesifik untuk memudahkan pengecekan
hasil belajar, bahan perlu dijabarkan menjadi satuan-satuan belajar
tertentu,dan penguasaan bahan yang lengkap untuk semua tujuan setiap satuan
belajar dituntut dari para peserta didik sebelum proses belajar melangkah pada
tahap berikutnya. Evaluasi yang dilaksanakan setelah para peserta didik
menyelesaikan suatu kegiatan belajar tertentu merupakan dasar untuk memperoleh
balikan (feedback). Tujuan utama evaluasi adalah memperoleh informasi
tentang pencapaian tujuan dan penguasaan bahan oleh peserta didik. Hasil
evaluasi digunakan untuk menentukan dimana dan dalam hal apa para peserta didik
perlu memperoleh bimbingan dalam mencapai tujuan, sehinga seluruh peserta didik
dapat mencapai tujuan ,dan menguasai bahan belajar secara maksimal (belajar
tuntas).
Strategi
belajar tuntas dapat dibedakan dari pengajaran non belajar tuntas dalam hal
berikut : (1) pelaksanaan tes secara teratur untuk memperoleh balikan terhadap
bahan yang diajarkan sebagai alat untuk mendiagnosa kemajuan (diagnostic
progress test); (2) peserta didik baru dapat melangkah pada pelajaran berikutnya
setelah ia benar-benar menguasai bahan pelajaran sebelumnya sesuai dengan
patokan yang ditentukan; dan (3) pelayanan bimbingan dan konseling terhadap
peserta didik yang gagal mencapai taraf penguasaan penuh, melalui pengajaran
remedial (pengajaran korektif).
Strategi
belajar tuntas dikembangkan oleh Bloom, meliputi tiga bagian, yaitu: (1)
mengidentifikasi pra-kondisi; (2) mengembangkan prosedur operasional dan hasil
belajar; dan (3c) implementasi dalam pembelajaran klasikal dengan memberikan
“bumbu” untuk menyesuaikan dengan kemampuan individual, yang meliputi : (1) corrective
technique yaitu semacam pengajaran remedial, yang dilakukan memberikan
pengajaran terhadap tujuan yang gagal dicapai peserta didik, dengan prosedur
dan metode yang berbeda dari sebelumnya; dan (2) memberikan tambahan waktu
kepada peserta didik yang membutuhkan (sebelum menguasai bahan secara tuntas).
Di
samping implementasi dalam pembelajaran secara klasikal, belajar tuntas banyak
diimplementasikan dalam pembelajaran individual. Sistem belajar tuntas mencapai
hasil yang optimal ketika ditunjang oleh sejumlah media, baik hardware maupun
software, termasuk penggunaan komputer (internet) untuk mengefektifkan proses
belajar.
5. Pembelajaran dengan Modul (Modular Instruction)
Modul
adalah suatu proses pembelajaran mengenai suatu satuan bahasan tertentu yang
disusun secara sistematis, operasional dan terarah untuk digunakan oleh peserta
didik, disertai dengan pedoman penggunaannya untuk para guru. Pembelajaran
dengan sistem modul memiliki karakteristik sebagai berikut:
- Setiap modul harus memberikan informasi dan petunjuk pelaksanaan yang jelas tentang apa yang harus dilakukan oleh peserta didik, bagaimana melakukan, dan sumber belajar apa yang harus digunakan.
- Modul meripakan pembelajaran individual, sehingga mengupayakan untuk melibatkan sebanyak mungkin karakteristik peserta didik. Dalam setiap modul harus : (1) memungkinkan peserta didik mengalami kemajuan belajar sesuai dengan kemampuannya; (2) memungkinkan peserta didik mengukur kemajuan belajar yang telah diperoleh; dan (3) memfokuskan peserta didik pada tujuan pembelajaran yang spesifik dan dapat diukur.
- Pengalaman belajar dalam modul disediakan untuk membantu peserta didik mencapai tujuan pembelajaran seefektif dan seefisien mungkin, serta memungkinkan peserta didik untuk melakukan pembelajaran secara aktif, tidak sekedar membaca dan mendengar tapi lebih dari itu, modul memberikan kesempatan untuk bermain peran (role playing), simulasi dan berdiskusi.
- Materi pembelajaran disajikan secara logis dan sistematis, sehingga peserta didik dapat menngetahui kapan dia memulai dan mengakhiri suatu modul, serta tidak menimbulkan pertanyaaan mengenai apa yang harus dilakukan atau dipelajari.
- Setiap modul memiliki mekanisme untuk mengukur pencapaian tujuan belajar peserta didik, terutama untuk memberikan umpan balik bagi peserta didik dalam mencapai ketuntasan belajar.
Pada
umumnya pembelajaran dengan sistem modul akan melibatkan beberapa komponen,
diantaranya : (1) lembar kegiatan peserta didik; (2) lembar kerja; (3) kunci
lembar kerja; (4) lembar soal; (5) lembar jawaban dan (6) kunci jawaban.
Komponen-komponen tersebut dikemas dalam format
modul, sebagai beriku:
- Pendahuluan; yang berisi deskripsi umum, seperti materi yang disajikan, pengetahuan, keterampilan dan sikap yang akan dicapai setelah belajar, termasuk kemampuan awal yang harus dimiliki untuk mempelajari modul tersebut.
- Tujuan Pembelajaran; berisi tujuan pembelajaran khusus yang harus dicapai peserta didik, setelah mempelajari modul. Dalam bagian ini dimuat pula tujuan terminal dan tujuan akhir, serta kondisi untuk mencapai tujuan.
- Tes Awal; yang digunakan untuk menetapkan posisi peserta didik dan mengetahui kemampuan awalnya, untuk menentukan darimana ia harus memulai belajar, dan apakah perlu untuk mempelajari atau tidak modul tersebut.
- Pengalaman Belajar; yang berisi rincian materi untuk setiap tujuan pembelajaran khusus, diikuti dengan penilaian formatif sebagai balikan bagi peserta didik tentang tujuan belajar yang dicapainya.
- Sumber Belajar; berisi tentang sumber-sumber belajar yang dapat ditelusuri dan digunakan oleh peserta didik.
- Tes Akhir; instrumen yang digunakan dalam tes akhir sama dengan yang digunakan pada tes awal, hanya lebih difokuskan pada tujuan terminal setiap modul
Tugas
utama guru dalam pembelajaran sistem modul adalah mengorganisasikan dan
mengatur proses belajar, antara lain : (1) menyiapkan situasi pembelajaran yang
kondusif; (2) membantu peserta didik yang mengalami kesulitan dalam memahami
isi modul atau pelaksanaan tugas; (3) melaksanakan penelitian terhadap setiap
peserta didik.
6. Pembelajaran Inkuiri
Pembelajaran
inkuiri merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara maksimal seluruh
kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki sesuatu (benda, manusia atau
peristiwa) secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat
merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.
Joyce
(Gulo, 2005) mengemukakan kondisi- kondisi umum yang merupakan syarat bagi
timbulnya kegiatan inkuiri bagi siswa, yaitu : (1) aspek sosial di dalam kelas
dan suasana bebas-terbuka dan permisif yang mengundang siswa berdiskusi; (2)
berfokus pada hipotesis yang perlu diuji kebenarannya; dan (3) penggunaan fakta
sebagai evidensi dan di dalam proses pembelajaran dibicarakan validitas dan
reliabilitas tentang fakta, sebagaimana lazimnya dalam pengujian hipotesis,
Proses inkuiri dilakukan melalui tahapan-tahapan
sebagai berikut:
- Merumuskan masalah; kemampuan yang dituntut adalah : (a) kesadaran terhadap masalah; (b) melihat pentingnya masalah dan (c) merumuskan masalah.
- Mengembangkan hipotesis; kemampuan yang dituntut dalam mengembangkan hipotesis ini adalah : (a) menguji dan menggolongkan data yang dapat diperoleh; (b) melihat dan merumuskan hubungan yang ada secara logis; dan merumuskan
- Menguji jawaban tentatif; kemampuan yang dituntut adalah : (a) merakit peristiwa, terdiri dari : mengidentifikasi peristiwa yang dibutuhkan, mengumpulkan data, dan mengevaluasi data; (b) menyusun data, terdiri dari : mentranslasikan data, menginterpretasikan data dan mengkasifikasikan data.; (c) analisis data, terdiri dari : melihat hubungan, mencatat persamaan dan perbedaan, dan mengidentifikasikan trend, sekuensi, dan keteraturan.
- Menarik kesimpulan; kemampuan yang dituntut adalah: (a) mencari pola dan makna hubungan; dan (b) merumuskan kesimpulan
- Menerapkan kesimpulan dan generalisasi
Guru
dalam mengembangkan sikap inkuiri di kelas mempunyai peranan sebagai konselor,
konsultan, teman yang kritis dan fasilitator. Ia harus dapat membimbing dan
merefleksikan pengalaman kelompok, serta memberi kemudahan bagi kerja kelompok.
D. Mengatasi Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar merupakan masalah yang cukup kompleks dan sering
membuat orangtua bingung mencari penyelesaiannya. Kesulitan belajar banyak
ditemukan pada anak usia sekolah. Pola belajar anak, memang dibentuk saat di
sekolah dasar. Sesuai dengan
masanya ia mengalami perkembangan mental dan pembentukan karakternya. Di masa
kini anak tidak hanya belajar menghitung, membaca, atau menghafal pengetahuan
umum, tapi juga belajar tentang tanggung jawab, skala nilai moral, skala nilai
prioritas dalam kegiatannya.
Masalah disiplin juga tidak kalah
pentingnya. Anak-anak sejak kecil sudah harus ditanamkan disiplin. Jika, tidak
sangat menentukan perkembangan karakter anak tersebut. Di dalam kebudayaan
Bugis-Makassar ada istilah macanga-canga atau memandang enteng persoalan.
Sering menunda-nunda jadwal belajar.
Dalam menghadapi perilaku anak seperti
ini, dalalm artikel Ibu Anak disebutkan setidaknya ada tiga hal yang harus
diperhatikan. Namun, sebelum memperhatikan hal tersebut, orangtua hendaknya
tidak mudah jatuh iba sehingga mengambil alih tugas anak. Tentu dengan tujuan
meringankan agar mereka bisa mengerjakan pekerjaan rumah misalnya.
Sekali lagi orangtua tidak dianjurkan
membantu anak dengan cara mengambil alih, tapi bagaimana menuntun anak agar
pekerjaan rumah dikerjakan sendiri dalam situasi menyenangkan.
1.
Perhatikan Mood
Untuk mengenal mood anak, seorang ibu harus
mengenal karakter dan kebiasaan belajar anak. Apakah anak belajar dengan senang
hati atau dalam keadaan kesal. Jika belajar dalam suasana hati yang senang,
maka apa yang akan dipelajari lebih cepat ditangkap. Bila saat belajar, ia
merasa kesal, coba untuk mencari tahu penyebab munculnya rasa kesal itu. Apakah
karena pelajaran yang sulit atau karena konsentrasi yang pecah. Nah di sini tugas orangtua untuk
menyenangkan hati si anak.
2.
Siapkan Ruang Belajar
Kesulitan belajar anak bisa juga karena tempat
yang tersedia tidak memadai. Karena itu, coba sediakan tempat belajar untuk
anak. Jika kesulitan itu muncul karena tidak tersedianya meja, maka ajaklah
anak belajar di meja makan didampingi orangtuanya. Tentu sebelum belajar meja
makan harus dibersihkan lebih dahulu.
Selain itu, saat mengajari anak ini Anda bisa
melakukannya dengan menularkan cara belajar yang baik. Misalnya bercerita
kepada anak tentang bagaimana dahulu ibunya menyelesaikan mata pelajaran yang
dianggap sulit. Biasanya anak cepat larut dengan cerita ibunya sehingga ia
mencoba mencocok-cocokkan dengan apa yang dijalaninya sekarang.
3.
Komunikasi
Masa kecil kita, pelajaran yang disukai tergantung bagaimana cara guru itu mengajar. Tidak bisa dipungkiri perhatian terhadap mata pelajaran, tentu ada kaitan dengan cara guru mengajar di kelas.
Masa kecil kita, pelajaran yang disukai tergantung bagaimana cara guru itu mengajar. Tidak bisa dipungkiri perhatian terhadap mata pelajaran, tentu ada kaitan dengan cara guru mengajar di kelas.
Sempatkan juga waktu dan dengarkan
anak-anak bercerita tentang bagaimana cara guru mereka mengajar di sekolah.
Jika, anak Anda aktif maka banyak sekali cerita yang lahir termasuk bagaimana
guru kelas memperhatikan baju, ikat rambut, dan sepatunya. Khusus soal
komunikasi ini, biarkan anak-anak bercerita tentang gurunya. Sejak dini
biasakan anak berperilaku sportif dan pandai menyampaikan pendapatnya.
Langkah-Langkah Tindakan Diagnosa Menurut
C. Ross dan Julian Stanley, langkah-langkah mendiagnosis kesulitan belajar ada
tiga tahap, yaitu :
1.
Langkah-langkah
diagnosis yang meliputi aktifitas, berupa
a.
Identifikasi kasus
b.
Lokalisasi jenis dan sifat
kesulitan
2.
Menemukan
faktor penyebab baik secara internal maupun eksternal
3.
Langkah
prognosis yaitu suatu langkah untuk mengestimasi (mengukur),
memperkirakan apakah kesulitan tersebut dapat dibantu atau tidak.
memperkirakan apakah kesulitan tersebut dapat dibantu atau tidak.
4.
Langkah Terapi yaitu langkah
untuk menemukan berbagai alternatif kemungkinan cara yang dapat ditempuh dalam
rangka penyembuhan kesulitan tersebut yang kegiatannya meliputi antara lain
pengajaran remedial, transfer atau referal.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Kesulitan dalam pembelajaran atau belajar merupakan
suatu hal yang sering ditemui oleh para pendidik, terutama guru. Sebagai upaya
untuk memberikan terapi terhadap permasalahan kesulitan belajar maka dapat
ditempuh melalui media klinik pembelajaran.
Klinik Pembelajaran merupakan wadah bagi guru untuk
melakukan serangkaian upaya yaitu kegiatan refleksi, penemuan masalah,
pemecahan masalah melalui beragam strategi untuk meningkatkan ketrampilan dalam
mengelola pembelajaran.
B.
Saran
Karena Klinik Pembelajaran merupakan milik bersama para
guru, maka tempat ini dapat digunakan dengan bebas untuk berdiskusi, melakukan
refleksi atau merenung tentang proses pembelajaran yang telah dijalani,
bersimulasi, misalnya bagaimana cara mengajarkan suatu konsep dengan
menyenangkan, dan membuat catatan bersama-sama dengan teman sejawat. Di Klinik
Pembelajaran, para supervisor akan membantu dalam melakukan berbagai kegiatan
tersebut. Dalam klinik pembelajaran analisis kesulitan pembelajaran dapat
dilalui dengan identifikasi kesulitan belajar, mengadakan diagnosis kesulitan
belajar, melakukan bimbingan dan konseling belajar, dan kemudian menetapkan
model pembelajaran serta mengatasi kesulitan belajar.
DAFTAR PUSTAKA
Abin Syamsuddin, (2003), Psikologi Pendidikan, Bandung : PT Remaja Rosda Karya
Abu Ahmadi dan Joko Tri
Prasetya. Strategi Belajar
Mengajar. Bandung :
Pustaka Setia
E. Mulyasa. 2004. Implementasi
Kurikulum 2004; Panduan Pembelajaran KBK. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
E. Mulyasa.2003. Kurikulum
Berbasis Kompetensi. Konsep; Karakteristik dan Implementasi. Bandung : P.T.
Remaja Rosdakarya.
Maghfira
Wijayanti,
(2007),Alternatif Mengatasi Kesulitan Belajar, http://www.tujuhtujuhtiga.com/73/index.php?name=News&file=article&sid=50
Prayitno (2003), Panduan
Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdikbud Direktorat Pendidikan Dasar
dan Menengah
Prayitno dan Erman Anti,
(1995), Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta : P2LPTK Depdikbud
Seri Pemandu
Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Sekolah,(1995), Pelayanan Bimbingan dan
Konseling di Sekolah Menengah Umum (SMU) Buku IV, Jakarta : IPBI
Syarif Hidayat,
(2004) Tes Diagnostik Atasi Siswa Sulit Belajar, Suplemen Teropong, Www.pikiran -rakyat.com
Udin S. Winataputra, dkk.
2003. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Pusat Penerbitan Universitas
Terbuka
W. Gulo. 2005. Strategi
Belajar Mengajar Jakarta :. Grasindo.
Winkel, W.S. (1991),
Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta : Gramedia
Untuk mendapatkan file silahkan klik : Download
Untuk mendapatkan file silahkan klik : Download
0 comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar, hindari unsur SARA.
Terima kasih