BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Secara
konseptual pengakuan terhadap keberadaan profesi guru mengandung arti recognition, endorsement, acceptance, trust,
dan confidence yang diberikan oleh
masyarakat kepada guru untuk mendidik tunas-tunas muda dan membantu
mengembangkan potensinya secara professional. Kepercayaan, keyakinan, dan
penerimaan ini merupakan substansi dari pengakuan masyarakat terhadap profesi
guru. Implikasi dari pengakuan tersebut mensyaratkan guru harus memiliki
kualitas yang memadai. Tidak hanya pada tataran normatif saja namun mampu
mengembangkan kompetensi yang dimiliki, baik kompetensi personal, professional,
maupun kemasyarakatan dalam selubung aktualisasi kebijakan pendidikan.
Hal
tersebut lantaran guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui
kinerjanya pada tataran institusional dan eksperiensial, sehingga upaya
meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari aspek "guru" dan
tenaga kependidikan lainnya yang menyangkut kualitas keprofesionalannya maupun
kesejahteraan dalam satu manajemen pendidikan yang professional. Melalui supervisi pengajaran, seorang kepala
sekolah dapat memberi bimbingan, motivasi, dan arahan agar guru dapat
meningkatkan profesionalismenya.
B.
Permasalahan
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang hendak dibahas dalam
makalah ini adalah bagaimana upaya yang dapat dilakukan dalam pembinaan
profesional melalui supervisi pengajaran sebagai upaya peningkatan
profesionalisme guru?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Mutu Pendidikan
Proses
pendidikan yang bermutu ditentukan oleh berbagai unsur dinamis yang akan ada di
dalam sekoalh itu dan lingkungannya sebagai suatu kesatuan sistem. Menurut
Townsend dan Butterworth (1992:35) dalam bukunya Your Child's Scholl, ada
sepuluh faktor penentu terwujudnya proses pendidikan yang bermutu, yakni:
1)
keefektifan
kepemimpinan kepala sekolah,
2)
partisipasi
dan rasa tanggung jawab guru dan staf,
3)
proses
belajar-mengajar yang efektif,
4)
pengembangan
staf yang terpogram,
5)
kurikulum
yang relevan,
6)
memiliki
visi dan misi yang jelas,
7)
iklim
sekolah yang kondusif,
8)
penilaian
diri terhadap kekuatan dan kelemahan,
9)
komunikasi
efektif baik internal maupun eksternal, dan
10) keterlibatan orang tua
dan masyarakat secara instrinsik.
Dalam
konsep yang lebih luas, mutu pendidikan mempunyai makna sebagai suatu kadar
proses dan hasil pendidikan secara keseluruhan yang ditetapkan sesuai dengan
pendekatan dan kriteria tertentu (Surya, 2002:12).
Dalam
konteks pendidikan, pengertian mutu mencakup input, proses, dan output pendidikan
(Depdiknas, 2001:5). Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia
karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Proses pendidikan merupakan
berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain dengan mengintegrasikan input
sekolah sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong
motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik.
Output pendidikan adalah merupakan kinerja sekolah yang dapat diukur dari
kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, dan
moral kerjanya.
Berdasarkan
konsep mutu pendidikan maka dpaat dipahami bahwa pembangunan pendidikan bukan
hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan tetapi juga harus lebih
memperhatikan faktor proses pendidikan..Input pendidikan merupakan hal yang
mutlak harus ada dalam batas - batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan
dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan (school resources are
necessary but not sufficient condition to improve student achievement).
Selama
tahun 2002 dunia pendidikan ditandai dengan berbagai perubahan yang datang
bertubi-tubi, serempak, dan dengan frekuensi yang sangat tinggi. Belum tuntas
sosialisasi perubahan yang satu, datang perubahan yang lain. Beberapa inovasi
yang mendominasi panggung pendidikan selama tahun 2002 antara lain adalah
Pendidikan Berbasis Luas (PBL/BBE) dengan life skills-nya, Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK/CBC), Manajemen Berbasis Sekolah (MBS/SBM), Ujian Akhir
Nasional (UAN) pengganti EBTANAS, pembentukan dewan sekolah dan dewan
pendidikan kabupaten/kota. Setiap pembaruan tersebut memiliki kisah dan
problematiknya sendiri.
Fenomena
yang menarik adalah perubahan itu umumnya memiliki sifat yang sama, yakni
menggunakan kata berbasis (based). Bila diamati lebih jauh, perubahan yang
"berbasis" itu umumnya dari atas ke bawah: dari pusat ke daerah, dari
pengelolaan di tingkat atas menuju sekolah, dari pemerintah ke masyarakat, dari
sesuatu yang sifatnya nasional menuju yang lokal. Istilah-istilah lain yang
populer dan memiliki nuansa yang sama dengan "berbasis" adalah
pemberdayaan (empowerment), akar rumput (grass-root), dari bawah ke atas
(bottom up), dan sejenisnya. Apa itu artinya?
Simak
saja label-label perubahan yang dewasa ini berseliweran dalam dunia pendidikan
nasional (kadang-kadang dipahami secara beragam): manajemen berbasis sekolah (school based management), peningkatan
mutu berbasis sekolah (school based
quality improvement), kurikulum berbasis kompetensi (competence based curriculum), pengajaran/pelatihan berbasis
kompetensi (competence based
teaching/training), pendidikan berbasis luas (broad based education), pendidikan berbasis masyarakat (community based education), evaluasi
berbasis kelas (classroom based evaluation),
evaluasi berbasis siswa (student based
evaluation) dikenal juga dengan evaluasi portofolio, manajemen pendidikan
berbasis lokal (local based educational
management), pembiayaan pendidikan berbasis masyarakat (community based educational financing),
belajar berbasis internet (internet based
learning), dan entah apa lagi.
Supriadi
(2002:17) mengatakan: "orang yang mendalami teori difusi inovasi akan
segera tahu bahwa setiap perubahan atau inovasi dalam bidang apa pun, termasuk
dalam pendidikan, memerlukan tahap-tahap yang dirancang dengan benar sejak ide
dikembangkan hingga dilaksanakan".
Sejak
awal, berbagai kondisi perlu diperhitungkan, mulai substansi inovasi itu
sendiri sampai kondisi-kondisi lokal tempat inovasi itu akan diimplementasikan.
Intinya, suatu perubahan yang mendasar, melibatkan banyak pihak, dan dengan
skala yang luas akan selalu memerlukan waktu. Suatu inovasi mestinya jelas
kriterianya, terukur dan realistik dalam sasarannya, dan dirasakan manfaatnya
oleh pihak yang melaksanakannya.
Langkah
percepatan dapat saja dilakukan, tetapi dengan risiko kegagalan yang besar
akibat inovasi itu kurang dihayati secara penuh oleh pelaksananya. Saya menilai
bahwa banyak inovasi pendidikan yang diluncurkan di Indonesia dewasa ini yang
melanggar prinsip-prinsip tersebut, di samping secara konseptual "cacat
sejak lahir", serba tergesa-gesa, serba instan, targetnya tidak realistik,
didasari asumsi yang linier seakan-akan suatu inovasi akan bergulir mulus
begitu diluncurkan, dan secara implisit dimuati obsesi demi menanamkan
"aset politik" di masa depan.
B.
Profesionalisme Guru
Profesionalisme
menjadi tuntutan dari setiap pekerjaan. Apalagi profesi guru yang sehari-hari
menangani benda hidup yang berupa anak-anak atau siswa dengan berbagai
karakteristik yang masing-masing tidak sama. Pekerjaaan sebagai guru menjadi
lebih berat tatkala menyangkut peningkatan kemampuan anak didiknya, sedangkan
kemampuan dirinya mengalami stagnasi.
Dewasa
ini banyak guru, dengan berbagai alasan dan latar belakangnya menjadi sangat
sibuk sehingga tidak jarang yang mengingat terhadap tujuan pendidikan yang
menjadi kewajiban dan tugas pokok mereka. Seringkali kesejahteraan yang kurang
atau gaji yang rendah menjadi alasan bagi sebagian guru untuk menyepelekan
tugas utama yaitu mengajar sekaligus mendidik siswa. Guru hanya sebagai
penyampai materi yang berupa fakta-fakta kering yang tidak bermakna karena guru
menang belajar lebih dulu semalam daripada siswanya. Terjadi ketidaksiapan
dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar ketika guru tidak memahami tujuan umum
pendidikan. Bahkan ada yang mempunyai kebiasaan mengajar yang kurang baik yaitu
tiga perempat jam pelajaran untuk basa-basi bukan apersepsi -red- dan
seperempat jam untuk mengajar. Suatu proporsi yang sangat tidak relevan dengan keadaan
dan kebutuhan siswa. Guru menganggap siswa hanya sebagai pendengar setia yang
tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai dengan kemampuannya.
Banyak
kegiatan belajar mengajar yang tidak sesuai dengan tujuan umum pendidikan yang
menyangkut kebutuhan siswa dalam belajar, keperluan masyarakat terhadap sekolah
dan mata pelajaran yang dipelajari. Guru memasuki kelas tidak mengetahui tujuan
yang pasti, yang penting demi menggugurkan kewajiban. Idealisme menjadi luntur
ketika yang dihadapi ternyata masih anak-anak dan kalah dalam pengalaman.
Banyak guru enggan meningkatkan kualitas pribadinya dengan kebiasaan membaca
untuk memperluas wawasan. Jarang pula yang secara rutin pergi ke perpustakaan
untuk melihat perkembangan ilmu pengetahuan. Kebiasaan membeli buku menjadi
suatu kebiasaan yang mustahil dilakukan karena guru sudah merasa puas mengajar
dengan menggunakan LKS ( Lembar Kegiatan Siswa ) yang berupa soal serta sedikit
ringkasan materi.
Dapat
dilihat daftar pengunjung di perpustakaan sekolah maupun di perpustakaan umum,
jarang sekali guru memberi contoh untuk mengunjungi perpustakaan secara rutin.
Lebih banyak pengunjung yang berseragam sekolah daripada berseragam PSH. Kita
masih harus "Khusnudhon" bahwa dirumah mereka berlangganan koran harian
yang siap disantap setiap pagi. Tetapi ada juga kekhawatiran bahwa yang lebih
banyak dibaca adalah berita-berita kriminal yang menempati peringkat pertama
pemberitaan di koran maupun televisi. Sedangkan berita-berita mengenai
pendidikan, penemuan-penemuan baru tidak menarik untuk dibaca dan tidak menarik
perhatian. Kebiasaan membaca saja sulit dilakukan apalagi kebiasaan menulis
menjadi lebih mustahil dilakukan. Ini adalah realita dilapangan yang patut
disesalkan.
Sarana
dan prasarana penunjang pelajaran yang kurang memadai, terutama di daerah
terpencil. Tetapi hal ini tidak bisa dijadikan alasan bahwa dengan sarana yang
minimpun dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin agar mendaptkan hasil yang
bagus. Terkadang kita juga harus memakai prisip ekonomi yang ternyata dapat
membawa kemajuan. Yang sering dijumpai adalah sudah ada sarana tetapi tidak
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Peta
dunia hanya dipajang di depan kelas, globe atau bola dunia dibiarkan berkarat
tidak pernah tersentuh, buku-buku pelajaran diperpustakaan dimakan rayap
alat-alat praktek di laboratorium hanya tersimpan rapi alamari tidak pernah
dipergunakan. Media pengajaran yang sudah ada jangan dibiarkan rusak atau
berkarat gara-gara disimpan. Lebih baik rusak karena digunakan untuk praktek
siswa. Guru dituntut lebih kreatif dan inovatif dalam pemakaian sarana dan
media yang ada demi peningkatan mutu pendidikan. Sekolah juga tidak harus
bergantung pada bantuan dari pemerintah mengingat kebutuhan masing-masing
sekolah tidaklah sama.
Tingkat
kesejahteraan guru yang kurang mengakibatkan banyak guru yang malas untuk
berprestasi karena disibukkan mencari tambahan kebutuhan hidup yang semakin
berat. Anggaran pendidikan minimal 20 % harus dilaksanakan dan diperjuangkan
unutk ditambah karena pendidikan menyangkut kelangsungan hidup suatu bangsa.
Apabila tingkat kesejahteraan diperhatikan, konsentrasi guru dalam mengajar
akan lebih banyak tercurah untuk siswa.
Penataran
dan pelatihan mutlak diperlukan demi meningkatkan pengetahuan, wawasan dan
kompetensi guru. Kegiatan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tetapi
hasilnya juga akan seimbang jika dilaksanakan secara baik. Jika kegiatan
penataran, pelatihan dan pembekalan tidak dilakuakan, guru tidak akan mampu
mengembangkan diri, tidak kreatif dan cenderung apa adanya. Kecenderungan ini
ditambah dengan tidak adanya rangsangan dari pemerintah atau pejabat terkait
terhadap profesi guru. Rangsangan itu dapat berupa penghargaan terhadap
guru-guru yang berprestasi atau guru yang inovatif dalam proses belajar
mengajar.
Guru
harus diberi keleluasaan dalam menetapkan dengan tepat apa yang digagas,
dipikirkan, dipertimbangkan, direncanakan dan dilaksanakan dalam pengajaran
sehari-hari, karena di tangan gurulah keberhasilan belajar siswa ditentukan,
tidak oleh Bupati, Gubernur, Walikota, Pengawas, Kepala Sekolah bahkan Presiden
sekalipun.
Mutlak
dilakukan ketika awal menjadi guru adalah memahami tujuan umum pendidikan,
mamahami karakter siswa dengan berbagai perbedaan yang melatar belakanginya.
Sangatlah penting untuk memahami bahwa siswa balajar dalam berbagai cara yang
berbeda, beberapa siswa merespon pelajaran dalam bentuk logis, beberapa lagi
belajar dengan melalui pemecahan masalah (problem solving), beberapa senang
belajar sendiri daripada berkelompok.
Cara
belajar siswa yang berbeda-beda, memerlukan cara pendekatan pembelajaran yang
berbeda. Guru harus mempergunakan berbagai pendekatan agar anak tidak cepat
bosan. Kemampuan guru untuk melakukan berbagai pendekatan dalam belajar perlu
diasah dan ditingkatkan. Jangan cepat merasa puas setelah mengajar, tetapi
lihat hasil yang didapat setelah mengajar. Sudahkah sesuai dengan tujuan umum
pendidikan. Perlu juga dipelajari penjabaran dari kurikulum ang dipergunakan
agar yang diajarkan ketika di kelas tidak melencenga dari GBBP/kurikulum yang
sudah ditentukan.
Guru
juga perlu membekali diri dengan pengetahuan tentang psikologi pendidikan dalam
menghadapai siswa yang berneka ragam. Karena tugas guru tidak hanya sebagai
pengajar, tetapi sekaligus sebagai pendidik yang akan membentuk jiwa dan
kepribadian siswa. Maju dan mundur sebuah bangsa tergantung pada keberhasilan
guru dalam mendidik siswanya.
Pemerintah
juga harus senantiasa memperhatikan tingkat kesejahteraan guru, karena mutlak
diperlukan kondisi yang sejahtera agar dapat bekerja secara baik dan
meningkatkan profesionalisme. Makin kuatnya tuntutan akan profesionalisme guru
bukan hanya berlangsung di Indonesia,
melainkan di negara-negara maju. Seperti Amerika Serikat, isu tentang
profesionalisme guru ramai dibicarakan pada pertengahan tyahun 1980-an. Jurnal
terkemuka manajemen pendidikan, Educational Leadership edisi Maret 1933
menurunkan laporan mengenai tuntutan guru professional.
Menurut
Jurnal tersebut, untuk menjadi professional, seorang guru dituntut memiliki lima hal, yakni:
a.
Guru
mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen
tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswanya.
b. Guru menguasai secara
mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkan serta cara mengajarkannya kepada
siswa. Bagi guru, hal ini meryupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
c.
Guru
bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik
evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampau tes hasil belajar.
d. Guru mampu berpikir
sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya.
Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan koreksi
terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia
harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada
proses belajar siswa.
e.
Guru
seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan
profesinya, misalnya PGRI dan organisasi profesi lainnya (Supriadi, 1999:98).
Dalam
konteks yang aplikatif, kemampuan professional guru dapat diwujudkan dalam
penguasaan sepuluh kompetensi guru, yang meliputi:
1. Menguasai bahan,
meliputi: a) menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum, b) menguasai bahan
pengayaan/penunjang bidang studi.
2. Mengelola program belajar-mengajar,
meliputi: a) merumuskan tujuan pembelajaran, b) mengenal dan menggunakan
prosedur pembelajaran yang tepat, c) melaksanakan program belajar-mengajar, d)
mengenal kemampuan anak didik.
3. Mengelola kelas,
meliputi: a) mengatur tata ruang kelas untuk pelajaran, b) menciptakan iklim
belajar-mengajar yang serasi.
4. Penggunaan media atau
sumber, meliputi: a) mengenal, memilih dan menggunakan media, b) membuat alat
bantu yang sederhana, c) menggunakan perpustakaan dalam proses
belajar-mengajar, d) menggunakan micro teaching untuk unit program pengenalan
lapangan.
5. Menguasai
landasan-landasan pendidikan.
6. Mengelola
interaksi-interaksi belajar-mengajar.
7. Menilai prestasi siswa
untuk kepentingan pelajaran.
8. Mengenal fungsi layanan
bimbingan dan konseling di sekolah, meliputi: a) mengenal fungsi dan layanan
program bimbingan dan konseling, b) menyelenggarakan layanan bimbingan dan
konseling.
9. Mengenal dan
menyelenggarakan administrasi sekolah.
10. Memahami prinsip-prinsip
dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran
(Suryasubrata 1997:4-5).
C.
Supervisi Pengajaran
Nealey and Evans in
their book of “ Hand book for supervision of instruction” …….. the term “
supervision “is used to describe those activities which are primarily and
directly concerned with studying and improving the conditions which surround
the learning and growth of the pupil and teacher.
Secara umum tujuan supervisi pengajaran
adalah:
(1)
meningkatkan
efektivitas dan efisiensi belajar-mengajar,
(2)
mengendalikan
penyelenggaraan bidang teknis edukatif di sekolah sesuai dengan
ketentuan-ketentuan dan kebijakan yang telah ditetapkan,
(3)
menjamin
agar kegiatan sekolalah berlangsung sesuai dengan ketentuan yang berlaku
sehingga segala sesuatunya berjalan lancar dan diperoleh hasil yang optimal,
(4)
menilai
keberhasilan sekolah dalam pelaksanaan tugasnya, dan
(5)
memberikan
bimbingan langsung untuk memperbaiki kesalahan, kekurangan dan kekilafan serta
membantu memecahkan masalah yang dihadapi sekolah sehingga dapat dicegah
kesalahan dan penyimpangan yang lebih jauh (Suprihatin, 1989:305).
Tujuan
supervisi adalah memberikan layanan dan bantuan untuk meningkatkan kualitas
mengajar guru di kelas yang pada gilirannya untuk meningkatkan kualitas belajar
siswa. Bukan saja memperbaiki kemampuan mengajar tetapi juga mengembangkan
potensi kualitas guru (Sahertian, 2000:19).
Permasalahan
yang dihadapi dalam melaksanakan supervisi di lingkungan pendidikan dasar
adalah bagaimana cara mengubah pola pikir yang bersifat otokrat dan korektif
menjadi sikap yang konstruktif dan kreatif, yaitu sikap yang menciptakan
situasi dan relasi di mana guru-guru merasa aman dan diterima sebagai subjek
yang dapat berkembang sendiri. Untuk itu, supervisi harus dilaksanakan
berdasarkan data, fakta yang objektif (Sahertian, 2000:20).
Supandi
(1986:252), menyatakan bahwa ada dua hal yang mendasari pentingnya supervisi
dalam proses pendidikan.
a.
Perkembangan
kurikulum merupakan gejala kemajuan pendidikan. Perkembangan tersebut sering
menimbulkan perubahan struktur maupun fungsi kurikulum. Pelaksanaan kurikulum
tersebut memerlukan penyesuaian yang terus-menerus dengan keadaan nyata di
lapangan. Hal ini berarti bahwa guru-guru senantiasa harus berusaha
mengembangkan kreativitasnya agar daya upaya pendidikan berdasarkan kurikulum
dapat terlaksana secara baik. Namun demikian, upaya tersebut tidak selamanya
berjalan mulus. Banyak hal sering menghambat, yaitu tidak lengkapnya informasi
yang diterima, keadaan sekolah yang tidak sesuai dengan tuntutan kurikulum,
masyarakat yang tidak mau membantu, keterampilan menerapkan metode yang masih
harus ditingkatkan dan bahkan proses memecahkan masalah belum terkuasai. Dengan
demikian, guru dan Kepala Sekolah yang melaksanakan kebijakan pendidikan di
tingkat paling mendasar memerlukan bantuan-bantuan khusus dalam memenuhi
tuntutan pengembangan pendidikan, khususnya pengembangan kurikulum.
b. Pengembangan personel,
pegawai atau karyawan senantiasa merupakan upaya yang terus-menerus dalam suatu
organisasi. Pengembangan personal dapat dilaksanakan secara formal dan
informal. Pengembangan formal menjadi tanggung jawab lembaga yang bersangkutan
melalui penataran, tugas belajar, loka karya dan sejenisnya. Sedangkan
pengembangan informal merupakan tanggung jawab pegawai sendiri dan dilaksanakan
secara mandiri atau bersama dengan rekan kerjanya, melalui berbagai kegiatan
seperti kegiatan ilmiah, percobaan suatu metode mengajar, dan lain sebagainya.
Kegiatan
supervisi pengajaran merupakan kegiatan yang wajib dilaksanakan dalam
penyelenggaraan pendidikan. Pelaksanaan kegiatan supervisi dilaksanakan oleh
kepala sekolah dan pengawas sekolah dalam memberikan pembinaan kepada guru. Hal
tersebut karena proses belajar-mengajar yang dilaksakan guru merupakan inti
dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan
utama. Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung
serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang
berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena
kegiatan supervisi dipandang perlu untuk memperbaiki kinerja guru dalam proses
pembelajaran.
Secara
umum ada 2 (dua) kegiatan yang termasuk dalam kategori supevisi pengajaran,
yakni:
a.
Supervsi
yang dilakukan oleh Kepala Sekolah kepada guru-guru SD.
Secara
rutin dan terjadwal Kepala Sekolah melaksanakan kegiatan supervisi kepada
guru-guru SD dengan harapan agar guru mampu memperbaiki proses pembelajaran
yang dilaksanakan. Dalam prosesnya, kepala sekolah memantau secara langsung
ketika guru sedang mengajar. Guru mendesain kegiatan pembelajaran dalam bentuk
Rencana Pembelajaran kemudian kepala sekolah mengamati proses pembelajaran yang
dilakukan guru.
Saat
kegiatan supervisi berlangsung, kepala sekolah menggunakan leembar observasi
yang sudah dibakukan, yakni Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG). APKG terdiri
atas APKG 1 (untuk menilai Rencana Pembelajaran yang dibuat guru) dan APKG 2
(untuk menilai pelaksanaan proses pembelajaran) yang dilakukan guru.
b. Supervisi yang dilakukan
oleh Pengawas Sekolah kepada Kepala Sekolah dan guru-guru untuk meningkatkan
kinerja.
Menurut Suryaman ;
“Kepemimpinan yang kuat adalah kemempuan yang memiliki vision (visi) yang
jelas, dalam arti sebenarnya maupun dalam arti arti singkatan”.
Kegiatan
supervisi ini dilakukan oleh Pengawas Sekolah yang bertugas di suatu Gugus
Sekolah. Gugus Sekolah adalah gabungan dari beberapa sekolah terdekat, biasanya
terdiri atas 5-8 Sekolah Dasar. Hal-hal yang diamati pengawas sekolah ketika
melakukan kegiatan supervisi untuk memantau kinerja kepala sekolah, di
antaranya administrasi sekolah, meliputi:
1)
Bidang
Akademik, mencakup kegiatan:
(1) menyusun program tahunan
dan semester,
(2) mengatur jadwal
pelajaran,
(3) mengatur pelaksanaan
penyusunan model satuan pembelajaran,
(4) menentukan norma
kenaikan kelas,
(5) menentukan norma
penilaian,
(6) mengatur pelaksanaan
evaluasi belajar,
(7) meningkatkan perbaikan
mengajar,
(8) mengatur kegiatan kelas
apabila guru tidak hadir, dan
(9) mengatur disiplin dan
tata tertib kelas.
2)
Bidang
Kesiswaan, mencakup kegiatan:
(1) mengatur pelaksanaan
penerimaan siswa baru berdasarkan peraturan penerimaan siswa baru,
(2) mengelola layanan
bimbingan dan konseling,
(3) mencatat kehadiran dan
ketidakhadiran siswa, dan
(4) mengatur dan mengelola
kegiatan ekstrakurikuler.
3)
Bidang
Personalia, mencakup kegiatan:
(1) mengatur pembagian tugas
guru,
(2) mengajukan kenaikan
pangkat, gaji, dan mutasi guru,
(3) mengatur program
kesejahteraan guru,
(4) mencatat kehadiran dan
ketidakhadiran guru, dan
(5) mencatat masalah atau
keluhan-keluhan guru.
4)
Bidang
Keuangan, mencakup kegiatan:
(1) menyiapkan rencana anggaran
dan belanja sekolah,
(2) mencari sumber dana
untuk kegiatan sekolah,
(3) mengalokasikan dana
untuk kegiatan sekolah, dan
(4) mempertanggungjawab-kan
keuangan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
5)
Bidang
Sarana dan Prasarana, mencakup kegiatan:
(1) penyediaan dan seleksi
buku pegangan guru,
(2) layanan perpustakaan dan
laboratorium,
(3) penggunaan alat peraga,
(4) kebersihan dan keindahan
lingkungan sekolah,
(5) keindahan dan kebersihan
kelas, dan
(6) perbaikan kelengkapan
kelas.
6)
Bidang
Hubungan Masyarakat, mencakup kegiatan:
(1) kerjasama sekolah dengan
orangtua siswa,
(2) kerjasama sekolah dengan
Komite Sekolah,
(3) kerjasama sekolah dengan
lembaga-lembaga terkait, dan
(4) kerjasama sekolah dengan
masyarakat sekitar (Depdiknas 1997).
Sedangkan
ketika mensupervisi guru, hal-hal yang dipantau pengawas juga terkait dengan
administrasi pembelajaran yang harus dikerjakan guru, diantaranya:
a.
Penggunaan
program semester
b.
Penggunaan
rencana pembelajaran
c.
Penyusunan
rencana harian
d.
Program
dan pelaksanaan evaluasi
e.
Kumpulan
soal
f.
Buku
pekerjaan siswa
g.
Buku
daftar nilai
h.
Buku
analisis hasil evaluasi
i.
Buku
program perbaikan dan pengayaan
j.
Buku
program Bimbingan dan Konseling
k.
Buku
pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kebijakan
pendidikan harus ditopang oleh pelaku pendidikan yang berada di front terdepan
yakni guru melalui interaksinya dalam pendidikan. Upaya meningkatkan mutu
pendidikan perlu dilakukan secara bertahap dengan mengacu pada rencana
strategis. Keterlibatan seluruh komponen pendidikan (guru, Kepala Sekolah,
masyarakat, Komite Sekolah, Dewan Pendidikan, dan isntitusi) dalam perencanaan
dan realisasi program pendidikan yang diluncurkan sangat dibutuhkan dalam
rangka mengefektifkan pencapaian tujuan.
Implementasi
kemampuan professional guru mutlak diperlukan sejalan diberlakukannya otonomi
daerah, khsususnya bidang pendidikan. Kemampuan professional guru akan terwujud
apabila guru memiliki kesadaran dan komitmen yang tinggi dalam mengelola
interaksi belajar-mengajar pada tataran mikro, dan memiliki kontribusi terhadap
upaya peningkatan mutu pendidikan pada tataran makro.
Salah
satu upaya peningkatan profesional guru adalah melalui supervisi pengajaran.
Pelaksanaan supervisi pengajaran perlu dilakukan secara sistematis oleh kepala
sekolah dan pengawas sekolah bertujuan memberikan pembinaan kepada guru-guru
agar dapat melaksanakan tugasnya secara efektif dan efisien. Dalam
pelaksanaannya, baik kepala sekolah dan pengawas menggunakan lembar pengamatan
yang berisi aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam peningkatan kinerja guru
dan kinerja sekolah. Untuk mensupervisi guru digunakan lembar observasi yang
berupa alat penilaian kemampuan guru (APKG), sedangkan untuk mensupervisi
kinerja sekolah dilakukan dengan mencermati bidang akademik, kesiswaan,
personalia, keuangan, sarana dan prasarana, serta hubungan masyarakat.
Implementasi
kemampuan professional guru mensyaratkan guru agar mampu meningkatkan peran
yang dimiliki, baik sebagai informator, organisator, motivator, director, inisiator,
transmitter, fasilitator, mediator, dan evaluator sehingga diharapkan mampu
mengembangkan kompetensinya.
B.
Saran
Mewujudkan
kondisi ideal di mana kemampuan professional guru dapat diimplementasikan
sejalan diberlakukannya otonomi daerah, bukan merupakan hal yang mudah. Hal
tersebut lantaran aktualisasi kemampuan guru tergantung pada berbagai komponen
system pendidikan yang saling berkolaborasi. Oleh karena itu, keterkaitan
berbagai komponen pendidikan sangat menentukan implementasi kemampuan guru agar
mampu mengelola pembelajaran yang efektif, selaras dengan paradigma
pembelajaran yang direkomendasiklan Unesco, "belajar mengetahui (learning
to know), belajar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama (learning to
live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be)".
DAFTAR PUSTAKA
Balitbang
Depdiknas. 2001. Data Standardisasi
Kompetensi Guru. http://www.depdiknas.go.id.html).
Berliner,
David. 2000. Educational Reform in an Era
of Disinformation. http://www.olam.asu.edu/epaa/v1n2.html).
Depdiknas.
1997. Petunjuk Pengelolaan Adminstrasi
Sekolah Dasar.Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas.
2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah (Buku 1). Jakarta:
Depdiknas.
Fullan
& Stiegerbauer.1991. The New Meaning
of Educational Change. Boston:
Houghton Mifflin Company.
Sapari,
Achmad. 2002. Pemahaman Guru Terhadap
Inovasi Pendidikan. Artikel. Jakarta:
Kompas (16 Agustus 2002).
Sahertian,
Piet A. 2000. Konsep-Konsep dan Teknik
Supervisi Pendidikan Dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
Sucipto.
2003. Profesionalisasi Guru Secara
Internal, Akuntabiliras Profesi. Makalah Seminar Nasional. Semarang:
Universitas Negeri Semarang.
Supandi.
1996. Administrasi dan Supervisi
Pendidikan. Jakarta:
Departemen Agama Universitas Terbuka.
Supriadi,
Dedi. 1999. Mengangkat Citra dan Martabat
Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Supriadi,
Dedi. 2002. Laporan Akhir Tahun Bidang
Pendidikan & Kebudayaan. Artikel. Jakarta
: Kompas.
Suprihatin, MD. 1989. Administrasi Pendidikan (Fungsi dan Tanggung
Jawab Kepala Sekolah sebagai Administrator dan Supervisor Sekolah. Semarang: IKIP Semarang
Press.
Surya,
Mohamad. 2002. Peran Organisasi Guru
dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan. Seminar Lokakarya Internasional. Semarang : IKIP PGRI.
Suryasubrata.1997.
Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Wardani,
IGK. 1996. Alat Penilaian Kemampuan Guru
(APKG). Jakarta:
Dirjen Dikti.
Townsend,
Diana & Butterworth. 1992. Your
Child's Scholl. New York:
A Plime Book.
Usman,
Moh Uzer. 2000. Menjadi Guru Profesional.
Bandung: Remaja
Rosdakarya.
0 comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar, hindari unsur SARA.
Terima kasih