I. PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Salah
satu usaha untuk mengembangkan potensi manusia adalah melalui pendidikan.
Tanggung jawab dalam bidang pendidikan seharusnya didukung bersama antara
pemerintah, masyarakat, dan para orang tua peserta didik. Kenyataannya, sampai
saat ini yang lebih berperan adalah pemerintah dan para orang tua peserta
didik.
Peran
pemerintah sudah banyak seperti menyelenggarakan sarana dan prasarana,
ketenagaan, dan kurikulum. Peranserta orang tua peserta didik selama ini masih
terbatas pada pemberian sumbangan dana (iuran BP3/Badan Pembantu Penyelenggara
Pendidikan). Sedangkan masyarakat selama ini belum optimal berperanserta.
Perubahan
paradigma pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi menghendaki
peranserta masyarakat untuk membantu pemerintah daerah dalam mengembangkan
potensi daerah termasuk dalam bidang pendidikan. Hal ini tercantum dalam tujuan
otonomi daerah yaitu memberdayakan masyarakat, meningkatkan peranserta
masyarakat, termasuk dalam meningkatkan sumber dana dan dalam penyelenggaraan
pendidikan termasuk dalam pendidikan inklusif (Inclusive Education).
Masyarakat
sebagai salah satu penanggung jawab pendidikan termasuk pendidikan inklusif
dapat berperanserta sebagai: (1) pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan pelaksanaan kebijakan pendidikan
di sekolah; (2) pendukung (supporiting
agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan
pendidikan di sekolah; (3) pengontrol (controlling
agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan
keluaran pendidikan di sekolah; dan (4) mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di sekolah.
Peran
serta masyarakat (community based
participation) dalam pendidikan inklusif dapat dilakukan secara
perseorangan; kelompok; atau kelembagaan seperti yayasan, organisasi
masyarakat, dan pihak swasta. Agar peran serta masyarakat luas terhadap
pendidikan inklusif lebih berhasil dan tepat guna maka diperlukan suatu
pedoman.
Reformasi
pemerintahan yang terjadi di Indonesia
telah mengakibatkan terjadinya pergeseran pemerintahan dengan pemberian otonomi
yang luas dan nyata kepada daerah. Maksud pemberian otonomi ini adalah untuk
lebih memandirikan daerah dan memberdayakan masyarakatnya sehingga lebih
leluasa dalam mengatur dan melaksanakan kewenangan atas prakarsa sendiri.
Pemberian
otonomi yang luas dan bertanggung jawab dilaksanakan berdasarkan
prinsip-prinsip demokrasi, peranserta masyarakat, pemerataan, berkeadilan, dan
memperhatikan potensi serta keanekaragaman daerah. Hal yang lebih esensial dari
otonomi adalah semakin besarnya tanggung jawab daerah untuk mengurus tuntas
segala permasalahan yang tercakup di dalam pembangunan masyarakat di daerahnya,
termasuk dalam bidang pendidikan. Salah satu tujuan Undang-Undang No. 22/1999
tentang Pemerintahan Daerah adalah untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan
prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peranserta masyarakat, termasuk dalam
meningkatkan sumber dana dan dalam penyelenggaraan pendidikan. Peran serta
masyarakat dalam pendidikan dapat dilakukan oleh perseorangan, kelompok,
ataupun lembaga seperti yayasan, organisasi masyarakat atau pihak swasta. Peran
serta perseorangan, kelompok, dan swasta dalam pendidikan akan lebih efektif
karena hasil peranserta masyarakat dapat secara langsung dinikmati oleh
masyarakat itu sendiri.
Partisipasi
dapat diartikan sebagai keterlibatan atau peranserta seseorang dalam suatu
aktivitas tertentu atau obyek tertentu. Dengan demikian partisipasi masyarakat
dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah ikutsertaan atau peranserta
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Partisipasi
seseorang atau suatu kelompok masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan
inklusif tergantung pada pengetahuan tentang pendidikan inklusif sehingga
terlihat pada (1) pengambilan keputusan terhadap penyelenggaraan pendidikan
inklusif, (2) reaksi terhadap pendidikan inklusif, (3) sikap terhadap pendidikan
inklusif yaitu perasaan terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusi; tingkah
laku yakni apa yang hendak dilakukannya terhadap penyelenggaraan pendidikan
inklusif; dan keyakinan-keyakinan yang ada tentang penyelenggaraan pendidikan
inklusif tersebut; dan (4) kebutuhan terhadap penyelenggaraan pendidikan
inklusif. Sedangkan tingkat partisipasi baik perseorangan maupun kelompok
terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dilihat dari berbagai segi,
yaitu: (1) derajat keterlibatan, mulai dari yang sekedar mengetahui adanya
suatu usaha sampai dengan ikut aktif menyumbangkan pikiran, tenaga, maupun
materi; (2) prakarsa keterlibatan, yang dapat dibedakan antara keterlibatan
spontan, dengan persuasi, atau melalui paksaan; (3) organisasi keterlibatan,
yang dapat dibedakan menjadi keterlibatan secara perseorangan atau secara
kelompok; dan (4) sikap dalam keterlibatan, mulai dengan yang mendukung,
setuju, sampai yang menentang.
UUSPN
pasal 54 ayat 2 menyatakan bahwa peran serta masyarakat dalam pendidikan
meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi,
pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian
mutu pelayanan pendidikan. Peran serta tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk
pendidikan berbasis masyarakat sehingga pendidikan tetap memiliki keterkaitan
dengan kondisi dan tuntutan masyarakat. Sementara untuk mewadahi peran serta
masyarakat dibentuklah satru institusi yang bersifat independent dengan dewan
pendidikan di tingkat kabupaten/kota, sementara untuk tingkat persekolahan
dikenal dengan istilah komite sekolah.Peran serta masyarakat yang berbentuk
yayasan nirlaba telah bias dilihat dengan nyata dalam ikut serta
menyelenggarakan pendidikan baik di tingkat dasar, menengah, maupun
pendidikantinggi.
Suyanto
(2000) menyatakan saat ini paling tidak yayasan-yayasan pendidikan yang ada
dalam masyarakat telah mampu mendirikan sekolah dasar swasta sebanyak 10.120,
SLTP, SMA, dan SMK sebanyak 57.554. Namun angka-angka tersebut tidak serta
merta memberikan hal yang membahagiakan kita sebab masih terdapat kecenderungan
bahwa penyelenggaraan pendidikan oleh sekolah-sekolah swasta tersebut masih
belum memenuhi kualitas yang diharapkan. Dengan demikian, untuk melibatkan peran
serta masyarakat harus diawali dari
proses sosialisasi yang positif. Pemerintah perlu meyakinkan bahwa dengan ikut
serta dalam pengembangan sistem pendidikan nasional.
1.2 Identifikasi dan Rumusan Masalah
1.2. 1 Identifikasi Masalah
Maman
Rachman (1993 : 33) mengatakan “Permasalahan dapat diartikan sebagai pernyataan
mengenai populasi yang menunjukkan adanya jarak antara rencana dan pelaksanaan,
antara aspirasi dan kenyataan, antara harapan dan capaian, antara das sollen
dan das sein”. Masalah – masalah yang ada banyak sekali dalam hubungannya dengan
permasalahan sekolah gratis antara lain :
1.2.1. 1
Pengelolaan sekolah gratis yang lebih transparan
1.2.1. 2
Pemberian pendidikan yang sama dengan sekolah yang
lainnya
1.2.1. 3
Peran masyarakat dalam pengelolaan sekolah gratis
Berdasarkan
identifikasi masalah-masalah yang ada,
peneliti hanya membatasi pada masalah peran masyarakat dalam program sekolah
gratis, karena peran masyarakat disini diharapkan dapat menjadi pemantau dan
pengendali dalam pelaksanaan sekolah gratis.
1.2. 2
Perumusan Masalah
Berkaitan dengan identifikasi permasalahan yang dihadapi, maka diajukan
beberapa rumusan masalah sebagai berikut
:
1.2.2.1
Bagaimana peran masyarakat sebagai salah satu
aktor/stakeholders penting dalam pencapaian target sekolah gratis di SMP PGRI
01 Karangpucung ?
1.2.2.2
Bagaimana transparansi tentang sekolah gratis di SMP
PGRI 01 Karangpucung?
1.2.2.3
Faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam
penyaluran sekolah gratis di SMP PGRI 01 Karangpucung ?
1.3 Maksud
dan Tujuan Penelitian
Mengacu
pada perumusan masalah tersebut di atas, dalam penelitian ini ada beberapa hal
yang ingin dicapai, secara umum yaitu untuk memberikan gambaran mendalam
tentang segala hal yang berkaitan dengan sekolah gratis di SMP PGRI 01
Karangpucung. Secara khusus, penelitian
ini bertujuan untuk:
1.3.1
Mendeskripsikan, menganalisa dan menginteprestasikan
pandangan dan sikap aktor/stakeholders dalam pencapaian target sekolah gratis
di SMP PGRI 01 Karangpucung
1.3.2
Mendeskripsikan, menganalisa dan menginterprestasikan
transparansi mengenai sekolah gratis di SMP PGRI 01 Karangpucung ?
1.3.3
Mendeskripsikan, menganalisa dan menginterprestasikan
faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam penyaluran sekolah gratis di SMP
PGRI 01 Karangpucung.
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan berupa informasi mengenai
segala permasalahan khususnya mengenai keterlibatan dan peran masyarakat dan
komite dalam pencapaian target dan penyaluran sekolah gratis yang menjadi
program pemerintah untuk dapat menuntaskan program wajib belajar sembilan
tahun. Dan penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan pandangan tentang
sekolah gratis yang selama ini dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat
karena mutu dan kualitas yang dianggap tidak sama dengan sekolah standar
lainnya.
II. KAJIAN PUSTAKA DAN PENDEKATAN MASALAH
2. 1 Kajian Pustaka
2.1.1
Bentuk Partisipasi Masyarakat
Permasalahan
dalam pendidikan tidak mungkin diatasi hanya oleh pemerintah dan atau lembaga
persekolahan. Peran serta aktif dari masyarakat (orang tua, keluarga/wali,
masyarakat luas) diperlukan dalam mengatasi persoalan pendidikan inklusif dan
pelaksanaan program-program pendidikan inklisif. Partisipasi masyarakat
hendaknya tidak hanya dalam pendanaan, tetapi juga dalam bentuk sumbangan
pemikiran dan ketenagaan.
Bentuk
peran serta masyarakat dalam pendidikan nasional tercantum dalam Peraturan
Pemerintah No. 39/1992 pasal 4 dan dikaitkan dengan penyelenggaraan pendidikan
inklusif yaitu:
2.1.1.1
Pendirian dan penyelenggaraan satuan pendidikan pada
jalur pendidikan sekolah atau jalur pendidikan luar sekolah, pada semua jenis
pendidikan kecuali pendidikan kedinasan, dan pada semua jenjang pendidikan di
jalur pendidikan sekolah.
2.1.1.2
Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga kependidikan
untuk melaksanakan atau membantu pelaksanaan pengajaran, pembimbingan, dan/atau
pelatihan peserta didik. Dalam ayat ke 2 ini dapat dikatakan bahwa bagi orang
tua yang kebetulan memiliki keahlian (profesi) dan waktu luang sebagai tenaga
pengajar, diharapkan dapat membantu sebagai tenaga pengajar di kelas inklusif,
baik sebagai Guru Kelas, Guru Bidang Studi, maupun guru Pembimbing Khusus.
2.1.1.3
Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga ahli untuk
membantu pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar dan/atau penelitian dan
pengembangan.
2.1.1.4
Pengadaan dan atau penyelenggaraan program pendidikan
yang belum diadakan dan/atau diselenggarakan oleh pemerintah untuk menunjang
pendidikan nasional.
2.1.1.5
dan pemberian bantuan yang dapat berupa wakaf, hibah,
sumbangan, pinjaman, beasiswa, dan bentuk lain yang sejenis.
2.1.1.6
Pengadaan dana dan pemberian bantuan ruangan, gedung,
dan tanah untuk melaksanakan kegiatan belajar-mengajar.
2.1.1.7
Pengadaan dana dan pemberian bantuan buku pelajaran dan
peralatan pendidikan untuk melaksanakan kegiatan belajar-mengajar.
2.1.1.8
Pemberian kesempatan untuk magang dan/atau latihan
kerja.
2.1.1.9
Pemberian bantuan manajemen bagi penyelenggaraan satuan
pendidikan dan pengembangan pendidikan nasional Dapat diartikan bahwa
masyarakat dapat melibatkan diri dalam: membantu (1) merencanakan (planning),
(2) mengorganisasikan (organizing), (3) mengarahkan (directing), (4)
mengkoordinasikan (coordinating), (5) mengawasi (controlling), dan (6)
mengevaluasi (evaluation), penyelenggaraan sekolah-sekolah inklusif
2.1.2
`Menstimulasi Partisipasi Masyarakat
Kualitas
sumber daya manusia (SDM) pada suatu daerah, tidak hanya bergantung pada
upaya-upaya yang dilakukan sekolah, namun juga tergantung pada tingkat
partisipasi masyarakat terhadap pendidikan. Semakin tinggi tingkat partisipasi
masyarakat terhadap pendidikan di suatu daerah, semakin maju SDM pada daerah
tersebut dan sebaliknya, semakin rendah tingkat partisipasi masyarakat terhadap
pendidikan di suatu daerah, semakin mundur pula SDM pada daerah tersebut.
Oleh
karena itu, masyarakat hendaknya selalu dilibatkan dalam pembangunan pendidikan
di daerahnya. “Rasa ikut memiliki” sekolah inklusif hendaknya ditumbuhkan pada
masyarakat di daerah sekitarnya, sehingga kualitas sekolah inklusif juga
merupakan tanggungjawab bersama masyarakat setempat, bukan hanya tanggung jawab
Pemerintah, Kepala Sekolah, dan Dewan Guru.
Sosialisasi
tentang konsep, penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan inklusif kepada para
pembina dan pelaksana pendidikan di lapangan (baik sekolah negeri maupun
sekolah swasta), agar mereka memiliki persepsi yang sama.
Pemerintah
memfasilitasi berbagai kegiatan sekolah yang terkait dengan penyelenggaraan
pendidikan inklusi, antara lain:
2.1.2.1
Pengidentifikasian siswa yang memiliki kebutuhan
khusus;
2.1.2.2
Pengembangan kurikulum dan bahan ajar;
2.1.2.3
Pengadaan dan pembinaan tenaga kependidikan. Tenaga
kependidikan yang terlibat dalam pelaksanaan pendidikan inklusif perlu diberi
insentif seperti tambahan penghasilan dan penghargaan lainnya (sertifikat,
kemudahan naik pangkat, dan sebagainya);
2.1.2.4
Pengadaan dan pengelolaan sarana-prasarana;
2.1.2.5
Manajemen sekolah;
2.1.2.6
Kegiatan belajar-mengajar; dan
2.1.2.7
Pemberdayaan masyarakat.
Pemerintah
bersama Sekolah mensosialisasikan kepada masyarakat (perseorangan, organisasi,
yayasan, dunia usaha, dan dunia industri) baik secara lisan maupun dengan bahan
tertulis (brosur dan sejenisnya), mengenai:
2.1.2.1
Konsep dan perlunya penyelenggaraan pendidikan
inklusif, sehingga masyarakat memiliki persepsi yang sama mengenai pendidikan
inklusif;
2.1.2.2
Program-program Pemerintah/Sekolah dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusif, baik program yang telah dilaksanakan, yang
sedang dilaksanakan, maupun yang akan dilaksanakan sehingga masyarakat mendapat
gambaran yang jelas.
2.1.3
Wadah Partisipasi Masyarakat
Partisipasi
masyarakat perlu diwadahi agar dapat dikelola dan dikoordinasikan dengan baik
dan lebih bermakna bagi sekolah, terutama dalam meningkatkan mutu dan
efektivitas dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Oleh karena itu sesuai
dengan UU nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas)
2000-2004 untuk lingkup sekolah inklusif wadah yang perlu dibentuk adalah
Komite Sekolah, dan untuk lingkup Propinsi dan/atau Kabupaten/Kota wadah
berbentuk Dewan Pendidikan.
Komite
sekolah inklusif ditetapkan untuk pertama kali dengan Surat Keputusan kepala
satuan pendidikan, dan selanjutnya diatur dalam Anggaran Dasar (AD) dan
Anggaran Rumah Tangga (ART). Untuk kekuatan hukum maka Komite Sekolah inklusif
dapat dikukuhkan oleh pejabat pemerintah setempat seperti Kepala Dinas
Kabupaten, bupati atau walikota.
Peran Komite
Sekolah inklusif sebagai:
2.1.3.1
Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan
pelaksanaan kebijakan pendidikan di sekolah;
2.1.3.2
Pendukung (supporting agency), baik yang berwujud
finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di
sekolah;
2.1.3.3
Pengontrol (controlling agency) dalam rangka
transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di
sekolah;
2.1.3.4
Mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan
masyarakat di sekolah.
Fungsi Komite Sekolah inklusif adalah:
2.1.3.1
Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat
terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif yang bermutu;
2.1.3.2
Melakukan kerja sama dengan masyarakat (perorangan/
organisasi/dunia usaha/dunia industri) dan pemerintah berkenaan dengan
penyelenggaraan pendidikan inklusif yang bermutu;
2.1.3.3
Menampung dan menganalisis asspirasi, ide, tuntutan,
dan berbagai kebutuhan pendidikan inklusif yang diajukan oleh masyarakat;
2.1.3.4
Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi
kepada sekolah mengenai:
2.1.3.4.1
Kebijakan dan program pendidikan inklusif;
2.1.3.4.2
Rencana Angaran Pendidikan inklusif dan Belanja Sekolah
(RAPBS);
2.1.3.4.3
Kriteria kinerja sekolah inklusif;
2.1.3.4.4
Kriteria
tenaga kependidikan pada sekolah inklusif
2.1.3.4.5
Kriteria fasilitas pendidikan inklusif, dan;
2.1.3.4.6
Hal lain yang terkait dengan pendidikan inklusif.
2.1.3.5
Mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam
pendidikan inklusif guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan;
2.1.3.6
Menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan
penyelenggaraan pendidikan sekolah inklusif;
2.1.3.7
Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan,
program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan sekolah inklusif.
Komite
sekolah pun menjadi penengah antara guru dan kepala sekolah yang tak akur. Ya,
pengelolaan sekolah tak akan berjalan jika komite sekolah berpihak ke salah
satunya. Tapi ketakakuran guru dan kepala sekolah adalah error dalam
managemen sekolah yang tak bisa dibiarkan saja. Dan komite sekolah mungkin tak
punya power untuk ini. Karenanya saya punya ide menghadirkan lembaga konsultan
sekolah untuk membantu agar guru dan kepala sekolah memahami peran
masing-masing dan memahami pola bekerja Plan Do Check Action (PDCA). Saya pikir
guru perlu belajar menganalisa pendapat kepala sekolah sebelum menyatakan
penolakan, demikian pula kepala sekolah harus bisa menganalisa idenya dengan
tepat, misal menggunakan SWOT, sehingga idenya dapat dipertanggungjawabkan dan
mudah dipahami. Nah, bagaimana peran komite sekolah ? Komite sekolah yang sudah
menanam kepercayaan di mata pengelola sekolah harus bergerak mendanai pelatihan
bagi guru dan kepsek. Seharusnya memang tugas pemerintah, tapi DIKNAS
sepertinya punya pola kebijakan yang sama untuk semua sekolah tanpa ada
penspesifikasian jenis masalah yang dihadapi setiap sekolah.
Beberapa
komite sekolah dipegang oleh bapak-bapak, dan kaum ibu biasanya menempati
posisi bendahara atau sekretaris. Ini masalah gender juga. Berdasarkan kisah
teman saya dan juga keluhan beberapa sekolah yang mengatakan pengurus komite
sekolahnya sulit dihubungi karena orang-orang sibuk semua, sehingga cenderung
menyarankan untuk memercayakan pengelolaan komite sekolah kepada kaum ibu.
Mereka sangat paham dengan keperluan anak-anaknya, menerima laporan langsung
dari anak-anaknya tentang peristiwa di sekolah setiap hari, dan mereka punya
jaringan yang kuat. Ibu-ibu dengan mudah bersosialisasi dan membentuk network
semacam kelompok pengajian atau arisan. Ini yang menjadikan motivasi dan
intensitas pertemuan mereka tinggi. Dibandingkan dengan kaum bapak. Tinggal
menyeleksi dari kalangan ibu, siapa yang punya gaya
leader, yang punya gaya memanage, gaya sosialisasi tinggi,
pandai bernegosiasi, dialah yang harus dijadikan ketua komite sekolah.
Dasar
hukum utama pembentukan Komite Sekolah untuk pertama kalinya adalah
Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
(Propenas), Rumusan Propenas tentang pembentukan Komite Sekolah kemudian
dijabarkan dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 044/U/2002 yang
merupakan acuan utama pembentukan Komite Sekolah. Disebutkan sebagai acuan
karena pembentukan Komite Sekolah di berbagai satuan pendidikan atau kelompok
satuan pendidikan disesuaikan dengan kondisi di masing-masing satuan pendidikan
atau kelompok satuan pendidikan. Demikian pula sebutan Komite Sekolah dapat
berbeda di setiap satuan pendidikan atau kelompok satuan pendidikan. Namun
demikian ada prinsip yang harus difahami dalam pembentukan Komite Sekolah.
berdasarkan
pada prakarsa masyarakat yang peduli pendidikan, bukan didasarkan pada arahan
atau instruksi dari lembaga pemerintahan. Pembentukan Komite Sekolah harus
dilakukan secara transparan, akuntabel, dan demokratis. Transparan berarti
pembentukan Komite Sekolah dilakukan secara terbuka dan diketahui oleh
masyarakat khususnya masyarakat lingkungan sekolah mulai dari tahap pembentukan
panitia persiapan, sosialisasi oleh panitia persiapan, penentuan kriteria calon
anggota, pengumuman calon anggota, proses pemilihan, sampai penyampaian hasil
pemilihan kepada masyarakat. Akuntabel berarti pembentukan Komite Sekolah yang
dilakukan oleh panitia persiapan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat baik secara substansi maupun finansial. Demokratis berarti bahwa proses
pembentukan Komite Sekolah dilakukan dengan melibatkan seluruh masyarakat
khususnya masyarakat lingkungan sekolah, baik secara musyawarah mufakat maupun
melalui pemungutan suara. Mekanisme Pembentukan Komite Sekolah Sejak awal
disosialisasikan pembentukan Komite Sekolah melalui Keputusan Menteri
Pendidikan Nasional No. 044/U/2002 diperkirakan Komite Sekolah telah terbentuk
di hampir lebih 200 ribu satuan pendidikan mulai jenjang SD/MI sampai jenjang
sekolah menengah. Namun diperkirakan pula pembentukan Komite Sekolah tersebut
tidak atau belum mengikuti prinsip pembentukan Komite Sekolah yang diharapkan.
Oleh karena itu perlu disosialisasikan kembali mekanisme pembentukan Komite
Sekolah yang baku.
Pembentukan Komite Sekolah diawali dengan pembentukan panitia persiapan atas
prakarsa masyarakat atau dipelopori oleh orang tua/wali peserta didik, tokoh
masyarakat/pemimpin informal, atau kepala satuan pendidikan. Panitia persiapan
sekurang-kurangnya 5 orang terdiri atas kalangan praktisi pendidikan (guru,
kepala satuan pendidikan, penyelenggara pendidikan), pemerhati pendidikan (LSM
berorientasi atau peduli pendidikan, tokoh masyarakat/pemimpin informal, tokoh
agama, dunia usaha/dunia industri), serta orang tua/wali peserta didik.
2.1.4
Program Sekolah Gratis
Ada kabar gembira
bagi pendidikan Indonesia,
di Januari 2009 ini anak-anak Indonesia
usia SD dan SMP dapat menikmati Sekolah bebas SPP.Sebuah harapan yang sudah
lama diidam-idamkan , Sekolah Indonesia
bebas biaya. Para orang tua bisa bernafas
lega karena Departemen Pendidikan Nasional mengeluarkan kebijakan
yang memberlakukan sekolah gratis, terutama pada sekolah negeri tingkat
pendidikan dasa mulai SD sampai SMP. Hal tersebut terwujud berkat adanya
kenaikan jumlah biaya santunan BOS (Biaya Operasional Sekolah) yang di dalamnya
termasuk sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP), uang penerimaan siswa baru
(PSB), biaya ujian sekolah dan juga BOS buku. Adapun perincian dana BOS yang
akan diterima oleh tiap siswa adalah sebesar Rp. 400.000/ tahun untuk SD / SDLB
di wilayah kota,
Rp. 397.000/ tahun untuk SD/ SDLB di kabupaten. Sedangkan untuk siswa SMP/
SMPLB/ SMPT di kota
Rp. 575.000/ tahun dan SMP/ SMPLB/ SMPT di kabupaten Rp. 570.000/ tahun.
Dengan BOS, orang tua siswa tak perlu bingung soal biaya.
Angka putus sekolah akan berkurang, dan pendidikan pun akan lebih terfokus
kepada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Untuk siswa miskin yang belajar di sekolah swasta, juga tak
perlu khawatir. Pemerintah juga telah menginstruksikan kepada sekolah-sekolah
swasta, untuk mendata siswa yang kurang mampu dan membebaskannya dari punguntan
biaya operasional sekolah dan tidak ada juga pungutan biaya yang berlebihan
kepada siswa yang mampu.
Pemberlakuan sekolah gratis bukan berarti penurunan kualitas
pendidikan. Untuk itu bukan hanya siswa saja yang diringankan dalam hal biaya,
namun kini para guru juga akan merasa lega dengan kebijakan pemerintah tentang
kenaikan akan kesejahteraan guru. Tahun 2009 ini pemerintah telah memutuskan
untuk memenuhi ketentuan UUD 1945 pasal 31 tentang alokasi APBN untuk
pendidikan sebesar 20%. Sehingga akan tersedianya anggaran untuk menaikkan
pendapatan guru, terutama guru pegawai negeri sipil (PNS) berpangkat rendah
yang belum berkeluarga dengan masa kerja 0 tahun, sekurang-kurangnya berpendapatan
Rp. 2 juta.
Dari dana BOS yang diterima sekolah wajib menggunakan dana
tersebut untuk pembiayaan seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru,
sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP), pembelian buku teks pelajaran, biaya
ulangan harian dan ujian, serta biaya perawatan operasional sekolah. Sedangkan
biaya yang tidak menjadi prioritas sekolah dan memiliki biaya besar, seperti:
studytour (karyawisata), studi banding, pembelian seragam bagi siswa dan guru
untuk kepentingan pribadi (bukan inventaris sekolah), serta pembelian bahan
atau peralatan yang tidak mendukung kegiatan sekolah, semuanya tidak ditanggung
biaya BOS. Dan pemungutan biaya tersebut juga akan tergantung dengan kebijakan
tiap-tiap sekolah. Serta tentunya pemerintah akan terus mengawasi dan menjamin
agar biaya-biaya tersebut tidak memberatkan para siswa dan orangtua.
Semua pasti berharap terealisasinya pendidikan gratis. Agar
anak-anak Indonesia
dapat mengenyam pendidikan dasar 9 tahun dan dapat mengangkat martabat dan
derajat bangsa kita. Bagaimana jika suatu waktu terjadi hambatan atau ada
sekolah yang masih kekurangan dalam pemenuhan biaya operasionalnya? Tenang
saja… karena pemerintah daerah wajib untuk memenuhi kekurangannya dari dana
APBD yang ada. Agar proses belajar-mengajar pun tetap terlaksana tanpa
kekurangan biaya.
Kebijakan sekolah gratis yang digembar-gemborkan pemerintah
saat ini masih sangat lemah. Bahkan di sisi lain masih berpeluang memunculkan
praktik pungutan karena pemerintah hanya menanggung biaya operasional non personal.
Artinya, biaya yang ditanggung oleh pemerintah sebatas biaya operasional
lembaga dan belajar mengajar, seperti listrik, air, telepon dan sarana dan
prasarana belajar di dalam kelas seperti kapur tulis dan sebagainya. Sementara
itu, untuk kebutuhan siswa, salah satunya buku pelajaran, menjadi tanggungan
siswa. Padahal, celah itulah yang selama ini sering dimanfaatkan pengelola
sekolah untuk memungut uang dari orang tua siswa. Kendati dalam pelaksanaannya
belum sempurna, untuk sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama negeri
(SMPN) Depdiknas menggariskan secara tegas tidak boleh ada pungutan dalam
bentuk apapun. Kecuali untuk sekolah yang berstatus sekolah berstandar
internasional atau rintisan sekolah berstandar internasional.
Guru adalah ujung tombak dunia pendidikan. Mereka salah satu
yang memungkinkan talenta anak berkembang atau malah mati sebelum berkembang.
Guru sekolah gratisan mengalami keterbatasan mengembangkan diri dan akhirnya
akan kesulitan memotivasi peserta didik sebab harus berpikir soal ”bertahan
hidup”. Lebih celaka lagi jika guru berpikiran: pelayanan pada peserta didik
sebesar honor saja. Jika demikian situasinya, maka ”jauh panggang dari api”
untuk menaikkan mutu pendidikan. Sekolah, terutama sekolah swasta kecil, akan
kesulitan menutup biaya operasional sekolah, apalagi menyejahterakan gurunya.
Pos pembiayaan seperti listrik, air, perawatan gedung, komputer, alat tulis
kantor, transpor, uang makan, dan biaya lain harus dibayar. Mencari donor pun
semakin sulit. Sekolah masih bertahan hanya berlandaskan semangat pengabdian
pengelolanya. Tanpa iuran dari peserta didik, bagaimana akan menutup pembiayaan
itu.
Masyarakat harus cerdas mencermati wacana sekolah gratis.
Banyak janji menggratiskan pendidikan di sana-sini, yaitu pendidikan murah,
iuran sekolah, bantuan buku, dan warga kurang mampu. Tak semua gratis.
Masyarakat harus cerdas menghadapi fakta, anggaran Depdiknas dipangkas Rp 4,918
triliun untuk penghematan. Langkah ini mengganggu pemberantasan buta huruf,
bantuan operasional sekolah, dan tunjangan guru.
2. 2
Pendekatan Masalah
III. METODE PENELITIAN
a.
PendekatanPenelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif fenomenologis. Dikatakan demikian karena pendekatan kualitatif pada penelitian ini mempunyai ciri-ciri antara lain mempunyai setting yang aktual, peneliti adalah instrumen kunci, data biasanya bersifat deskriptif, menekankan kepada proses, analisis datanya bersifat induktif, dan meaning (pemaknaan) tiap even adalah merupakan perhatian yang esensial dalam penelitian kualitatif (Bogdan dan Biklen, 1998). Dikatakan fenomenologis, karena sesuai dengan tujuan penelitian yaitu mendeskripsikan peristiwa sosial (Dimiyati, 1997), selain itu karena dapat mengungkapkan peristiwa-peristiwa riil di lapangan, juga dapat mengungkapkan nilai-nilai yang tersembunyi (hidden value), lebih peka terhadap informasi-informasi yang bersifat deskriptif dan berusaha mempertahankan keutuhan obyek yang diteliti (Strauss dan Corbin, 1987).
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif fenomenologis. Dikatakan demikian karena pendekatan kualitatif pada penelitian ini mempunyai ciri-ciri antara lain mempunyai setting yang aktual, peneliti adalah instrumen kunci, data biasanya bersifat deskriptif, menekankan kepada proses, analisis datanya bersifat induktif, dan meaning (pemaknaan) tiap even adalah merupakan perhatian yang esensial dalam penelitian kualitatif (Bogdan dan Biklen, 1998). Dikatakan fenomenologis, karena sesuai dengan tujuan penelitian yaitu mendeskripsikan peristiwa sosial (Dimiyati, 1997), selain itu karena dapat mengungkapkan peristiwa-peristiwa riil di lapangan, juga dapat mengungkapkan nilai-nilai yang tersembunyi (hidden value), lebih peka terhadap informasi-informasi yang bersifat deskriptif dan berusaha mempertahankan keutuhan obyek yang diteliti (Strauss dan Corbin, 1987).
b.
Fokus Penelitian
1.
Pandangan dan sikap masyarakat dalam pelaksanaan
sekolah gratis di SMP PGRI 01 Karangpucung.
2.
Katerlibatan dan partisipasi masyarakat dalam
penyaluran sekolah gratis di SMP PGRI 01 Karangpucung.
3.
Faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala atau
hambatan dalam penyaluran sekolah gratis di SMP PGRI 01 Karangpucung.
c.
Penetapan Lokasi dan Situs Penelitian
Penelitian
ini mengambil lokasi di SMP PGRI 01 Kecamatan Karangpucung, Kabupaten Cilacap,
Jawa Tengah. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive (sengaja), dengan
pertimbangan :
1.
Sebagai bentuk satuan pendidikan dasar yang
menyelenggarakan program sekolah gratis, dan pada tahap inilah keberhasilan
murid ditentukan, anak memperoleh dasar-dasar pendidikan yang penting untuk
pendidikan selanjutnya, dan diharapkan tahap ini akan membantu mengarahkan
pendidikan lebih lanjut termasuk membangun “imajinasi” tentang kehidupannya
kelak di kemudian hari. Di samping itu keberhasilan pendidikan di tingkat akan sangat membantu satuan-satuan pendidikan
berikutnya.
2.
Keunikan yang dimiliki sekolah, antara lain ditunjukkan
dengan keberhasilannya dalam melaksanakan program sekolah gratis. Keunikan ini
didasar kepada :
a)
Kemampuan Kepala Sekolah dalam melaksanakan
fungsi-fungsi manajemen, meliputi : perencanaan, pengorganisasian, pengarahan
dan pengawasan.
b)
Kemampuan guru dalam melaksanakan proses belajar
mengajar dan menerapkan strategi pembelajaran siswa di kelas yang sesuai dengan
situasi dan kondisi yang ada di sekolah,
c)
Tingkat keterlibatan/partisipasi masyarakat, sebagai
aktor/stakeholders, serta alokasi
anggaran yang tersedia di sekolah.
d.
Sumber dan Jenis
Data
1.
Sumber Data
Lofland
dan Lofland (lihat Moleong, 2000) mengemukakan bahwa : “Sumber data utama dalam
penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan-tindakan, bisa juga berupa
data tambahan seperti dokumentasi dan lain-lain. Selain itu sumber data adalah
informan, kegiatan yang bisa diamati dan dokumen. Informan menurut Miles dan
Huberman (1992) bisa dibedakan menjadi pelaku utama dan bukan pelaku utama.
Sumber data dalam penelitian ini adalah :
a)
Informan kunci (key
informan), informan awal dipilih secara purposive (purposive sampling). Hal ini dimaksudkan untuk memilih informan
yang benar-benar relevan dan kompeten dengan masalah penelitian sehingga data
yang diperoleh dapat digunakan untuk membangun teori. Sedangkan informan
selanjutnya diminta kepada informan awal untuk menunjuk orang lain yang dapat
memberikan informasi, dan kemudian informan ini diminta pula untuk menunjuk
orang lain yang dapat memberikan informasi, dan seterusnya sampai menunjukkan
tingkat kejenuhan informasi. Artinya, bila dengan menambah informan hanya
diperoleh informasi yang sama, berarti jumlah informan sudah cukup (sebagai
informan terakhir) karena informasinya sudah jenuh (Muhajir, 1996). Cara serupa
ini lazim disebut “snowball sampling”,
yaitu informan dipilih secara bergilir sampai menunjukkan tingkat kejenuhan
informasi. Dalam penelitian ini yang dipandang sebagai informan awal (sumber
informasi) adalah masyarakat sekitar Sedangkan informan selanjutnya adalah komite
sekolah dan masyarakat lainnya yang
terlibat di dalam organisasi dewan sekolah/BP3 maupun masyarakat pemerhati
pendidikan, serta pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Kecamatan.
b)
Tempat dan Peristiwa, yaitu berbagai peristiwa atau
kejadian dan situasi sosial yang berkaitan dengan masalah atau fokus penelitian
yang akan diobservasi, antara lain meliputi keberadaan sumber daya, proses
belajar mengajar, proses pengambilan keputusan, rapat-rapat dewan guru,
rapat-rapat Komite Sekolah/BP3, sosialisasi dan pengelolaan program, serta
proses pengelolaan kelembagaan dan jaringan kerja,dan lain-lain.
c)
Dokumen, sebagai sumber data lainnya yang bersifat
melengkapi data utama yang relevan dengan masalah dan fokus penelitian, antara
lain meliputi hasil-hasil rapat, hasil belajar siswa, kondisi sarana prasarana.
Data ini dipergunakan untuk melengkapi hasil wawancara dan pengamatan terhadap
tempat dan peristiwa.
2.
Jenis Data
Moleong
(2000) menegaskan bahwa sesuai dengan data yang dipilih, maka jenis data dalam
penelitian kualitatif dibagi ke dalam kata-kata dan tindakan, tulisan, foto dan
statistik. Jenis-jenis data tersebut di atas semuanya dapat digunakan sebagai
informasi yang diperlukan. Perlu ditegaskan bahwa keterangan berupa kata-kata
atau cerita dari informan penelitian yang diwawancarai dan tindakan yang
diamati, dalam penelitian kualitatif dijadikan sebagai data utama (primer),
sedangkan tulisan, foto dan data statistik dari berbagai dokumen yang relevan
dengan fokus penelitian dijadikan sebagai data pelengkap(sekunder).
e.
Proses Pengumpulan Data
Dalam
penelitian kualitatif, proses pengumpulan data meliputi 3 (tiga) kegiatan yang
dilakukan oleh peneliti. Lofland dan Lofland (1984) menegaskan bahwa dalam
rangka pengumpulan data ada tiga kegiatan yaitu : Proses memasuki lokasi
penelitian (getting in), Ketika berada di lokasi penelitian (getting along) dan
tahap pengumpulan data (logging the data).
1.
Proses memasuki lokasi penelitian (getting in)
Dalam tahap ini
peneliti, dengan membawa izin formal sebagai bukti bahwa peneliti benar-benar
akan mengadakan penelitian memasuki lokasi penelitian yaitu di SMP PGRI 01 Karangpucung.
2.
Ketika berada di lokasi penelitian (gettingalong)
Ketika tanpa ini
peneliti berusaha menjalin hubungan secara pribadi yang lebih akrab dengan
subjek penelitian, mencari informasi yang dibutuhkan secara lengkap dan
berupaya menangkap makna dari informasi dan pengamatanyangdiperoleh.
3.
Mengumpulkan data (logging the data)
Pada tahap ini
peneliti menggunakan tiga macam teknik pengumpulan data yaitu :
a)
Observasi (pengamatan). Teknik observasi baik yang
“partisipatif” maupun “non partisipatif” digunakan untuk mengamati tentang
pandangan dan sikap aktor/stakeholders, keterlibatan atau partisipasi
masyarakat sebagai salah satu aktor/stakeholders penting, dan faktor-faktor apa
saja yang menjadi kendala dalam pelaksanaan sekolah gratis di SMP PGRI 01
Karangpucung.
b)
Wawancara mendalam (in depth-interview). Teknik ini
dilakukan atau digunakan untuk mendapatkan dan mengungkat informasi (data
empiris) yang berhubungan dengan: pandangan dan sikap aktor/stakeholders dalam
keterlibatan atau partisipasi masyarakat sebagai salah satu aktor/stakeholders
penting dalam pelaksanaan sekolah gratis, dan faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala
terkait dengan hal-hal dalam pelaksanaan sekolah gratis.
c)
Dokumentasi digunakan untuk menghimpun berbagai
informasi dan data yang diambil dari dokumen, berupa surat-surat keputusan,
hasil rapat dan dokumen lain yang berhubungan dengan pelaksanaan sekolah
gratis.
f.
Analisis Data
Analisis
dilakukan untuk menemukan pola. Caranya dengan melakukan pengujian sistematik
untuk menetapkan bagian-bagian, hubungan antar kajian, dan hubungan terhadap
keseluruhannya. Untuk dapat menemukan pola tersebut peneliti akan melakukan
penelusuran melalui catatan-catatan lapangan, hasil wawancara dan bahan-bahan
yang dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap semua hal yang
dikumpulkan dan memungkinkan menyajikan apa yang ditemukan.
Proses analisis data ini peneliti lakukan secara terus menerus, bersamaan dengan pengumpulan data dan kemudian dilanjutkan setelah pengumpulan data selesai dilakukan. Di dalam melakukan analisis data peneliti mengacu kepada tahapan yang dijelaskan Miles dan Huberman (1987) yang terdiri dari tiga tahapan yaitu: reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (conclusion drawing verivication).
Proses analisis data ini peneliti lakukan secara terus menerus, bersamaan dengan pengumpulan data dan kemudian dilanjutkan setelah pengumpulan data selesai dilakukan. Di dalam melakukan analisis data peneliti mengacu kepada tahapan yang dijelaskan Miles dan Huberman (1987) yang terdiri dari tiga tahapan yaitu: reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (conclusion drawing verivication).
IV. DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, Prof.Dr., 2006. Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktik. Bandung : Rosdakarya
Belalana, Bangbang. AD dan ART serta Rincian Tugas Komite
Sekolah. Subang : CV. Jembar Ati.
Depdiknas, 2000, Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan
Depdiknas, 2007. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta :
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah
Menengah.
Dimyati dan Mudjiono. 1994. Balajar dan Pembelajaran. Jakarta: Depdikbud. Jakarta:PT. Asdi Mahasatya
Latif, Abdul. H. Drs.MPd., Pendidikan Berbasis Nilai
Kemasyarakatan. Bandung : Refika Aditama.
Muchlas Samami dkk., 2000, Panduan Manajemen Sekolah,
Jakarta: Dirjen Dikdasmen, Direktorat SLTP Depdiknas.
Peraturan Pemerintah No. 39/1992 pasal 4
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun
2008 tentang Guru, Jakarta: CV Eko Jaya
Suyanto dan Djihad Hisyam; 2000; Pendidikan di Indonesia
Memasuki Milenium III; Yogyakarta;
Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional (Propenas)
0 comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar, hindari unsur SARA.
Terima kasih