Lencana Facebook

banner image

Wednesday 4 December 2013

BAGAIMANA PERAN SERTA MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM SEKOLAH GRATIS DI SMP PGRI 01 KARANGPUCUNG KABUPATEN CILACAP




I.       PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Salah satu usaha untuk mengembangkan potensi manusia adalah melalui pendidikan. Tanggung jawab dalam bidang pendidikan seharusnya didukung bersama antara pemerintah, masyarakat, dan para orang tua peserta didik. Kenyataannya, sampai saat ini yang lebih berperan adalah pemerintah dan para orang tua peserta didik.
Peran pemerintah sudah banyak seperti menyelenggarakan sarana dan prasarana, ketenagaan, dan kurikulum. Peranserta orang tua peserta didik selama ini masih terbatas pada pemberian sumbangan dana (iuran BP3/Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan). Sedangkan masyarakat selama ini belum optimal berperanserta.
Perubahan paradigma pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi menghendaki peranserta masyarakat untuk membantu pemerintah daerah dalam mengembangkan potensi daerah termasuk dalam bidang pendidikan. Hal ini tercantum dalam tujuan otonomi daerah yaitu memberdayakan masyarakat, meningkatkan peranserta masyarakat, termasuk dalam meningkatkan sumber dana dan dalam penyelenggaraan pendidikan termasuk dalam pendidikan inklusif (Inclusive Education).
Masyarakat sebagai salah satu penanggung jawab pendidikan termasuk pendidikan inklusif dapat berperanserta sebagai: (1) pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan pelaksanaan kebijakan pendidikan di sekolah; (2) pendukung (supporiting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah; (3) pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di sekolah; dan (4) mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di sekolah.
Peran serta masyarakat (community based participation) dalam pendidikan inklusif dapat dilakukan secara perseorangan; kelompok; atau kelembagaan seperti yayasan, organisasi masyarakat, dan pihak swasta. Agar peran serta masyarakat luas terhadap pendidikan inklusif lebih berhasil dan tepat guna maka diperlukan suatu pedoman.
Reformasi pemerintahan yang terjadi di Indonesia telah mengakibatkan terjadinya pergeseran pemerintahan dengan pemberian otonomi yang luas dan nyata kepada daerah. Maksud pemberian otonomi ini adalah untuk lebih memandirikan daerah dan memberdayakan masyarakatnya sehingga lebih leluasa dalam mengatur dan melaksanakan kewenangan atas prakarsa sendiri.
Pemberian otonomi yang luas dan bertanggung jawab dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peranserta masyarakat, pemerataan, berkeadilan, dan memperhatikan potensi serta keanekaragaman daerah. Hal yang lebih esensial dari otonomi adalah semakin besarnya tanggung jawab daerah untuk mengurus tuntas segala permasalahan yang tercakup di dalam pembangunan masyarakat di daerahnya, termasuk dalam bidang pendidikan. Salah satu tujuan Undang-Undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah adalah untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peranserta masyarakat, termasuk dalam meningkatkan sumber dana dan dalam penyelenggaraan pendidikan. Peran serta masyarakat dalam pendidikan dapat dilakukan oleh perseorangan, kelompok, ataupun lembaga seperti yayasan, organisasi masyarakat atau pihak swasta. Peran serta perseorangan, kelompok, dan swasta dalam pendidikan akan lebih efektif karena hasil peranserta masyarakat dapat secara langsung dinikmati oleh masyarakat itu sendiri.
Partisipasi dapat diartikan sebagai keterlibatan atau peranserta seseorang dalam suatu aktivitas tertentu atau obyek tertentu. Dengan demikian partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah ikutsertaan atau peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Partisipasi seseorang atau suatu kelompok masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif tergantung pada pengetahuan tentang pendidikan inklusif sehingga terlihat pada (1) pengambilan keputusan terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif, (2) reaksi terhadap pendidikan inklusif, (3) sikap terhadap pendidikan inklusif yaitu perasaan terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusi; tingkah laku yakni apa yang hendak dilakukannya terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif; dan keyakinan-keyakinan yang ada tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif tersebut; dan (4) kebutuhan terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif. Sedangkan tingkat partisipasi baik perseorangan maupun kelompok terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dilihat dari berbagai segi, yaitu: (1) derajat keterlibatan, mulai dari yang sekedar mengetahui adanya suatu usaha sampai dengan ikut aktif menyumbangkan pikiran, tenaga, maupun materi; (2) prakarsa keterlibatan, yang dapat dibedakan antara keterlibatan spontan, dengan persuasi, atau melalui paksaan; (3) organisasi keterlibatan, yang dapat dibedakan menjadi keterlibatan secara perseorangan atau secara kelompok; dan (4) sikap dalam keterlibatan, mulai dengan yang mendukung, setuju, sampai yang menentang.
UUSPN pasal 54 ayat 2 menyatakan bahwa peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. Peran serta tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk pendidikan berbasis masyarakat sehingga pendidikan tetap memiliki keterkaitan dengan kondisi dan tuntutan masyarakat. Sementara untuk mewadahi peran serta masyarakat dibentuklah satru institusi yang bersifat independent dengan dewan pendidikan di tingkat kabupaten/kota, sementara untuk tingkat persekolahan dikenal dengan istilah komite sekolah.Peran serta masyarakat yang berbentuk yayasan nirlaba telah bias dilihat dengan nyata dalam ikut serta menyelenggarakan pendidikan baik di tingkat dasar, menengah, maupun pendidikantinggi.
Suyanto (2000) menyatakan saat ini paling tidak yayasan-yayasan pendidikan yang ada dalam masyarakat telah mampu mendirikan sekolah dasar swasta sebanyak 10.120, SLTP, SMA, dan SMK sebanyak 57.554. Namun angka-angka tersebut tidak serta merta memberikan hal yang membahagiakan kita sebab masih terdapat kecenderungan bahwa penyelenggaraan pendidikan oleh sekolah-sekolah swasta tersebut masih belum memenuhi kualitas yang diharapkan. Dengan demikian, untuk melibatkan peran serta masyarakat  harus diawali dari proses sosialisasi yang positif. Pemerintah perlu meyakinkan bahwa dengan ikut serta dalam pengembangan sistem pendidikan nasional.

1.2  Identifikasi dan Rumusan Masalah
1.2. 1      Identifikasi Masalah
Maman Rachman (1993 : 33) mengatakan “Permasalahan dapat diartikan sebagai pernyataan mengenai populasi yang menunjukkan adanya jarak antara rencana dan pelaksanaan, antara aspirasi dan kenyataan, antara harapan dan capaian, antara das sollen dan das sein”. Masalah – masalah yang ada banyak sekali dalam hubungannya dengan permasalahan sekolah gratis antara lain :
1.2.1. 1      Pengelolaan sekolah gratis yang lebih transparan
1.2.1. 2      Pemberian pendidikan yang sama dengan sekolah yang lainnya
1.2.1. 3      Peran masyarakat dalam pengelolaan sekolah gratis
Berdasarkan identifikasi masalah-masalah  yang ada, peneliti hanya membatasi pada masalah peran masyarakat dalam program sekolah gratis, karena peran masyarakat disini diharapkan dapat menjadi pemantau dan pengendali dalam pelaksanaan sekolah gratis.
1.2. 2      Perumusan Masalah
Berkaitan dengan identifikasi permasalahan yang dihadapi, maka diajukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut  :
1.2.2.1              Bagaimana peran masyarakat sebagai salah satu aktor/stakeholders penting dalam pencapaian target sekolah gratis di SMP PGRI 01 Karangpucung ?
1.2.2.2              Bagaimana transparansi tentang sekolah gratis di SMP PGRI 01 Karangpucung?
1.2.2.3              Faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam penyaluran sekolah gratis di SMP PGRI 01 Karangpucung ?

1.3   Maksud dan Tujuan Penelitian
Mengacu pada perumusan masalah tersebut di atas, dalam penelitian ini ada beberapa hal yang ingin dicapai, secara umum yaitu untuk memberikan gambaran mendalam tentang segala hal yang berkaitan dengan sekolah gratis di SMP PGRI 01 Karangpucung.  Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:
1.3.1                    Mendeskripsikan, menganalisa dan menginteprestasikan pandangan dan sikap aktor/stakeholders dalam pencapaian target sekolah gratis di SMP PGRI 01 Karangpucung
1.3.2                    Mendeskripsikan, menganalisa dan menginterprestasikan transparansi mengenai sekolah gratis di SMP PGRI 01 Karangpucung ?
1.3.3                    Mendeskripsikan, menganalisa dan menginterprestasikan faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam penyaluran sekolah gratis di SMP PGRI 01 Karangpucung.

1.4   Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan berupa informasi mengenai segala permasalahan khususnya mengenai keterlibatan dan peran masyarakat dan komite dalam pencapaian target dan penyaluran sekolah gratis yang menjadi program pemerintah untuk dapat menuntaskan program wajib belajar sembilan tahun. Dan penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan pandangan tentang sekolah gratis yang selama ini dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat karena mutu dan kualitas yang dianggap tidak sama dengan sekolah standar lainnya.

II.    KAJIAN PUSTAKA DAN PENDEKATAN MASALAH
2. 1      Kajian Pustaka
2.1.1                    Bentuk Partisipasi Masyarakat
Permasalahan dalam pendidikan tidak mungkin diatasi hanya oleh pemerintah dan atau lembaga persekolahan. Peran serta aktif dari masyarakat (orang tua, keluarga/wali, masyarakat luas) diperlukan dalam mengatasi persoalan pendidikan inklusif dan pelaksanaan program-program pendidikan inklisif. Partisipasi masyarakat hendaknya tidak hanya dalam pendanaan, tetapi juga dalam bentuk sumbangan pemikiran dan ketenagaan.
Bentuk peran serta masyarakat dalam pendidikan nasional tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 39/1992 pasal 4 dan dikaitkan dengan penyelenggaraan pendidikan inklusif yaitu:
2.1.1.1              Pendirian dan penyelenggaraan satuan pendidikan pada jalur pendidikan sekolah atau jalur pendidikan luar sekolah, pada semua jenis pendidikan kecuali pendidikan kedinasan, dan pada semua jenjang pendidikan di jalur pendidikan sekolah.
2.1.1.2              Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga kependidikan untuk melaksanakan atau membantu pelaksanaan pengajaran, pembimbingan, dan/atau pelatihan peserta didik. Dalam ayat ke 2 ini dapat dikatakan bahwa bagi orang tua yang kebetulan memiliki keahlian (profesi) dan waktu luang sebagai tenaga pengajar, diharapkan dapat membantu sebagai tenaga pengajar di kelas inklusif, baik sebagai Guru Kelas, Guru Bidang Studi, maupun guru Pembimbing Khusus.
2.1.1.3              Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga ahli untuk membantu pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar dan/atau penelitian dan pengembangan.
2.1.1.4              Pengadaan dan atau penyelenggaraan program pendidikan yang belum diadakan dan/atau diselenggarakan oleh pemerintah untuk menunjang pendidikan nasional.
2.1.1.5              dan pemberian bantuan yang dapat berupa wakaf, hibah, sumbangan, pinjaman, beasiswa, dan bentuk lain yang sejenis.
2.1.1.6              Pengadaan dana dan pemberian bantuan ruangan, gedung, dan tanah untuk melaksanakan kegiatan belajar-mengajar.
2.1.1.7              Pengadaan dana dan pemberian bantuan buku pelajaran dan peralatan pendidikan untuk melaksanakan kegiatan belajar-mengajar.
2.1.1.8              Pemberian kesempatan untuk magang dan/atau latihan kerja.
2.1.1.9              Pemberian bantuan manajemen bagi penyelenggaraan satuan pendidikan dan pengembangan pendidikan nasional Dapat diartikan bahwa masyarakat dapat melibatkan diri dalam: membantu (1) merencanakan (planning), (2) mengorganisasikan (organizing), (3) mengarahkan (directing), (4) mengkoordinasikan (coordinating), (5) mengawasi (controlling), dan (6) mengevaluasi (evaluation), penyelenggaraan sekolah-sekolah inklusif

2.1.2                    `Menstimulasi Partisipasi Masyarakat
Kualitas sumber daya manusia (SDM) pada suatu daerah, tidak hanya bergantung pada upaya-upaya yang dilakukan sekolah, namun juga tergantung pada tingkat partisipasi masyarakat terhadap pendidikan. Semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat terhadap pendidikan di suatu daerah, semakin maju SDM pada daerah tersebut dan sebaliknya, semakin rendah tingkat partisipasi masyarakat terhadap pendidikan di suatu daerah, semakin mundur pula SDM pada daerah tersebut.
Oleh karena itu, masyarakat hendaknya selalu dilibatkan dalam pembangunan pendidikan di daerahnya. “Rasa ikut memiliki” sekolah inklusif hendaknya ditumbuhkan pada masyarakat di daerah sekitarnya, sehingga kualitas sekolah inklusif juga merupakan tanggungjawab bersama masyarakat setempat, bukan hanya tanggung jawab Pemerintah, Kepala Sekolah, dan Dewan Guru.
Sosialisasi tentang konsep, penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan inklusif kepada para pembina dan pelaksana pendidikan di lapangan (baik sekolah negeri maupun sekolah swasta), agar mereka memiliki persepsi yang sama.
Pemerintah memfasilitasi berbagai kegiatan sekolah yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan inklusi, antara lain:
2.1.2.1              Pengidentifikasian siswa yang memiliki kebutuhan khusus;
2.1.2.2              Pengembangan kurikulum dan bahan ajar;
2.1.2.3              Pengadaan dan pembinaan tenaga kependidikan. Tenaga kependidikan yang terlibat dalam pelaksanaan pendidikan inklusif perlu diberi insentif seperti tambahan penghasilan dan penghargaan lainnya (sertifikat, kemudahan naik pangkat, dan sebagainya);
2.1.2.4              Pengadaan dan pengelolaan sarana-prasarana;
2.1.2.5              Manajemen sekolah;
2.1.2.6              Kegiatan belajar-mengajar; dan
2.1.2.7              Pemberdayaan masyarakat.
Pemerintah bersama Sekolah mensosialisasikan kepada masyarakat (perseorangan, organisasi, yayasan, dunia usaha, dan dunia industri) baik secara lisan maupun dengan bahan tertulis (brosur dan sejenisnya), mengenai:
2.1.2.1              Konsep dan perlunya penyelenggaraan pendidikan inklusif, sehingga masyarakat memiliki persepsi yang sama mengenai pendidikan inklusif;
2.1.2.2              Program-program Pemerintah/Sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, baik program yang telah dilaksanakan, yang sedang dilaksanakan, maupun yang akan dilaksanakan sehingga masyarakat mendapat gambaran yang jelas.

2.1.3                    Wadah Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat perlu diwadahi agar dapat dikelola dan dikoordinasikan dengan baik dan lebih bermakna bagi sekolah, terutama dalam meningkatkan mutu dan efektivitas dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Oleh karena itu sesuai dengan UU nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004 untuk lingkup sekolah inklusif wadah yang perlu dibentuk adalah Komite Sekolah, dan untuk lingkup Propinsi dan/atau Kabupaten/Kota wadah berbentuk Dewan Pendidikan.
Komite sekolah inklusif ditetapkan untuk pertama kali dengan Surat Keputusan kepala satuan pendidikan, dan selanjutnya diatur dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART). Untuk kekuatan hukum maka Komite Sekolah inklusif dapat dikukuhkan oleh pejabat pemerintah setempat seperti Kepala Dinas Kabupaten, bupati atau walikota.
Peran Komite Sekolah inklusif sebagai:
2.1.3.1              Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan pelaksanaan kebijakan pendidikan di sekolah;
2.1.3.2              Pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah;
2.1.3.3              Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di sekolah;
2.1.3.4              Mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di sekolah.
 Fungsi Komite Sekolah inklusif adalah:
2.1.3.1              Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif yang bermutu;
2.1.3.2              Melakukan kerja sama dengan masyarakat (perorangan/ organisasi/dunia usaha/dunia industri) dan pemerintah berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan inklusif yang bermutu;
2.1.3.3              Menampung dan menganalisis asspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan inklusif yang diajukan oleh masyarakat;
2.1.3.4              Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada sekolah mengenai:
2.1.3.4.1  Kebijakan dan program pendidikan inklusif;
2.1.3.4.2  Rencana Angaran Pendidikan inklusif dan Belanja Sekolah (RAPBS);
2.1.3.4.3  Kriteria kinerja sekolah inklusif;
2.1.3.4.4              Kriteria tenaga kependidikan pada sekolah inklusif
2.1.3.4.5  Kriteria fasilitas pendidikan inklusif, dan;
2.1.3.4.6  Hal lain yang terkait dengan pendidikan inklusif.
2.1.3.5              Mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan inklusif guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan;
2.1.3.6              Menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan sekolah inklusif;
2.1.3.7              Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan sekolah inklusif.
Komite sekolah pun menjadi penengah antara guru dan kepala sekolah yang tak akur. Ya, pengelolaan sekolah tak akan berjalan jika komite sekolah berpihak ke salah satunya. Tapi ketakakuran guru dan kepala sekolah adalah error dalam managemen sekolah yang tak bisa dibiarkan saja. Dan komite sekolah mungkin tak punya power untuk ini. Karenanya saya punya ide menghadirkan lembaga konsultan sekolah untuk membantu agar guru dan kepala sekolah memahami peran masing-masing dan memahami pola bekerja Plan Do Check Action (PDCA). Saya pikir guru perlu belajar menganalisa pendapat kepala sekolah sebelum menyatakan penolakan, demikian pula kepala sekolah harus bisa menganalisa idenya dengan tepat, misal menggunakan SWOT, sehingga idenya dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dipahami. Nah, bagaimana peran komite sekolah ? Komite sekolah yang sudah menanam kepercayaan di mata pengelola sekolah harus bergerak mendanai pelatihan bagi guru dan kepsek. Seharusnya memang tugas pemerintah, tapi DIKNAS sepertinya punya pola kebijakan yang sama untuk semua sekolah tanpa ada penspesifikasian jenis masalah yang dihadapi setiap sekolah.
Beberapa komite sekolah dipegang oleh bapak-bapak, dan kaum ibu biasanya menempati posisi bendahara atau sekretaris. Ini masalah gender juga. Berdasarkan kisah teman saya dan juga keluhan beberapa sekolah yang mengatakan pengurus komite sekolahnya sulit dihubungi karena orang-orang sibuk semua, sehingga cenderung menyarankan untuk memercayakan pengelolaan komite sekolah kepada kaum ibu. Mereka sangat paham dengan keperluan anak-anaknya, menerima laporan langsung dari anak-anaknya tentang peristiwa di sekolah setiap hari, dan mereka punya jaringan yang kuat. Ibu-ibu dengan mudah bersosialisasi dan membentuk network semacam kelompok pengajian atau arisan. Ini yang menjadikan motivasi dan intensitas pertemuan mereka tinggi. Dibandingkan dengan kaum bapak. Tinggal menyeleksi dari kalangan ibu, siapa yang punya gaya leader, yang punya gaya memanage, gaya sosialisasi tinggi, pandai bernegosiasi, dialah yang harus dijadikan ketua komite sekolah.
Dasar hukum utama pembentukan Komite Sekolah untuk pertama kalinya adalah Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), Rumusan Propenas tentang pembentukan Komite Sekolah kemudian dijabarkan dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 044/U/2002 yang merupakan acuan utama pembentukan Komite Sekolah. Disebutkan sebagai acuan karena pembentukan Komite Sekolah di berbagai satuan pendidikan atau kelompok satuan pendidikan disesuaikan dengan kondisi di masing-masing satuan pendidikan atau kelompok satuan pendidikan. Demikian pula sebutan Komite Sekolah dapat berbeda di setiap satuan pendidikan atau kelompok satuan pendidikan. Namun demikian ada prinsip yang harus difahami dalam pembentukan Komite Sekolah.
berdasarkan pada prakarsa masyarakat yang peduli pendidikan, bukan didasarkan pada arahan atau instruksi dari lembaga pemerintahan. Pembentukan Komite Sekolah harus dilakukan secara transparan, akuntabel, dan demokratis. Transparan berarti pembentukan Komite Sekolah dilakukan secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat khususnya masyarakat lingkungan sekolah mulai dari tahap pembentukan panitia persiapan, sosialisasi oleh panitia persiapan, penentuan kriteria calon anggota, pengumuman calon anggota, proses pemilihan, sampai penyampaian hasil pemilihan kepada masyarakat. Akuntabel berarti pembentukan Komite Sekolah yang dilakukan oleh panitia persiapan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat baik secara substansi maupun finansial. Demokratis berarti bahwa proses pembentukan Komite Sekolah dilakukan dengan melibatkan seluruh masyarakat khususnya masyarakat lingkungan sekolah, baik secara musyawarah mufakat maupun melalui pemungutan suara. Mekanisme Pembentukan Komite Sekolah Sejak awal disosialisasikan pembentukan Komite Sekolah melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 044/U/2002 diperkirakan Komite Sekolah telah terbentuk di hampir lebih 200 ribu satuan pendidikan mulai jenjang SD/MI sampai jenjang sekolah menengah. Namun diperkirakan pula pembentukan Komite Sekolah tersebut tidak atau belum mengikuti prinsip pembentukan Komite Sekolah yang diharapkan. Oleh karena itu perlu disosialisasikan kembali mekanisme pembentukan Komite Sekolah yang baku. Pembentukan Komite Sekolah diawali dengan pembentukan panitia persiapan atas prakarsa masyarakat atau dipelopori oleh orang tua/wali peserta didik, tokoh masyarakat/pemimpin informal, atau kepala satuan pendidikan. Panitia persiapan sekurang-kurangnya 5 orang terdiri atas kalangan praktisi pendidikan (guru, kepala satuan pendidikan, penyelenggara pendidikan), pemerhati pendidikan (LSM berorientasi atau peduli pendidikan, tokoh masyarakat/pemimpin informal, tokoh agama, dunia usaha/dunia industri), serta orang tua/wali peserta didik.

2.1.4                    Program Sekolah Gratis
Ada kabar  gembira  bagi pendidikan Indonesia, di Januari 2009 ini  anak-anak Indonesia usia SD dan SMP dapat menikmati Sekolah bebas SPP.Sebuah harapan yang sudah lama diidam-idamkan , Sekolah Indonesia bebas biaya. Para orang tua bisa bernafas lega  karena Departemen Pendidikan Nasional  mengeluarkan kebijakan yang memberlakukan sekolah gratis, terutama pada sekolah negeri tingkat pendidikan dasa mulai SD sampai SMP. Hal tersebut terwujud berkat adanya kenaikan jumlah biaya santunan BOS (Biaya Operasional Sekolah) yang di dalamnya termasuk sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP), uang penerimaan siswa baru (PSB), biaya ujian sekolah dan juga BOS buku. Adapun perincian dana BOS yang akan diterima oleh tiap siswa adalah sebesar Rp. 400.000/ tahun untuk SD / SDLB di wilayah kota, Rp. 397.000/ tahun untuk SD/ SDLB di kabupaten. Sedangkan untuk siswa SMP/ SMPLB/ SMPT di kota Rp. 575.000/ tahun dan SMP/ SMPLB/ SMPT di kabupaten Rp. 570.000/ tahun.
Dengan BOS, orang tua siswa tak perlu bingung soal biaya. Angka putus sekolah akan berkurang, dan pendidikan pun akan lebih terfokus kepada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Untuk siswa miskin yang belajar di sekolah swasta, juga tak perlu khawatir. Pemerintah juga telah menginstruksikan kepada sekolah-sekolah swasta, untuk mendata siswa yang kurang mampu dan membebaskannya dari punguntan biaya operasional sekolah dan tidak ada juga pungutan biaya yang berlebihan kepada siswa yang mampu.
Pemberlakuan sekolah gratis bukan berarti penurunan kualitas pendidikan. Untuk itu bukan hanya siswa saja yang diringankan dalam hal biaya, namun kini para guru juga akan merasa lega dengan kebijakan pemerintah tentang kenaikan akan kesejahteraan guru. Tahun 2009 ini pemerintah telah memutuskan untuk memenuhi ketentuan UUD 1945 pasal 31 tentang alokasi APBN untuk pendidikan sebesar 20%. Sehingga akan tersedianya anggaran untuk menaikkan pendapatan guru, terutama guru pegawai negeri sipil (PNS) berpangkat rendah yang belum berkeluarga dengan masa kerja 0 tahun, sekurang-kurangnya berpendapatan Rp. 2 juta.
Dari dana BOS yang diterima sekolah wajib menggunakan dana tersebut untuk pembiayaan seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru, sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP), pembelian buku teks pelajaran, biaya ulangan harian dan ujian, serta biaya perawatan operasional sekolah. Sedangkan biaya yang tidak menjadi prioritas sekolah dan memiliki biaya besar, seperti: studytour (karyawisata), studi banding, pembelian seragam bagi siswa dan guru untuk kepentingan pribadi (bukan inventaris sekolah), serta pembelian bahan atau peralatan yang tidak mendukung kegiatan sekolah, semuanya tidak ditanggung biaya BOS. Dan pemungutan biaya tersebut juga akan tergantung dengan kebijakan tiap-tiap sekolah. Serta tentunya pemerintah akan terus mengawasi dan menjamin agar biaya-biaya tersebut tidak memberatkan para siswa dan orangtua.
Semua pasti berharap terealisasinya pendidikan gratis. Agar anak-anak Indonesia dapat mengenyam pendidikan dasar 9 tahun dan dapat mengangkat martabat dan derajat bangsa kita. Bagaimana jika suatu waktu terjadi hambatan atau ada sekolah yang masih kekurangan dalam pemenuhan biaya operasionalnya? Tenang saja… karena pemerintah daerah wajib untuk memenuhi kekurangannya dari dana APBD yang ada. Agar proses belajar-mengajar pun tetap terlaksana tanpa kekurangan biaya.
Kebijakan sekolah gratis yang digembar-gemborkan pemerintah saat ini masih sangat lemah. Bahkan di sisi lain masih berpeluang memunculkan praktik pungutan karena pemerintah hanya menanggung biaya operasional non personal. Artinya, biaya yang ditanggung oleh pemerintah sebatas biaya operasional lembaga dan belajar mengajar, seperti listrik, air, telepon dan sarana dan prasarana belajar di dalam kelas seperti kapur tulis dan sebagainya. Sementara itu, untuk kebutuhan siswa, salah satunya buku pelajaran, menjadi tanggungan siswa. Padahal, celah itulah yang selama ini sering dimanfaatkan pengelola sekolah untuk memungut uang dari orang tua siswa. Kendati dalam pelaksanaannya belum sempurna, untuk sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama negeri (SMPN) Depdiknas menggariskan secara tegas tidak boleh ada pungutan dalam bentuk apapun. Kecuali untuk sekolah yang berstatus sekolah berstandar internasional atau rintisan sekolah berstandar internasional.
Guru adalah ujung tombak dunia pendidikan. Mereka salah satu yang memungkinkan talenta anak berkembang atau malah mati sebelum berkembang. Guru sekolah gratisan mengalami keterbatasan mengembangkan diri dan akhirnya akan kesulitan memotivasi peserta didik sebab harus berpikir soal ”bertahan hidup”. Lebih celaka lagi jika guru berpikiran: pelayanan pada peserta didik sebesar honor saja. Jika demikian situasinya, maka ”jauh panggang dari api” untuk menaikkan mutu pendidikan. Sekolah, terutama sekolah swasta kecil, akan kesulitan menutup biaya operasional sekolah, apalagi menyejahterakan gurunya. Pos pembiayaan seperti listrik, air, perawatan gedung, komputer, alat tulis kantor, transpor, uang makan, dan biaya lain harus dibayar. Mencari donor pun semakin sulit. Sekolah masih bertahan hanya berlandaskan semangat pengabdian pengelolanya. Tanpa iuran dari peserta didik, bagaimana akan menutup pembiayaan itu.
Masyarakat harus cerdas mencermati wacana sekolah gratis. Banyak janji menggratiskan pendidikan di sana-sini, yaitu pendidikan murah, iuran sekolah, bantuan buku, dan warga kurang mampu. Tak semua gratis. Masyarakat harus cerdas menghadapi fakta, anggaran Depdiknas dipangkas Rp 4,918 triliun untuk penghematan. Langkah ini mengganggu pemberantasan buta huruf, bantuan operasional sekolah, dan tunjangan guru.
2. 2      Pendekatan Masalah



III. METODE PENELITIAN
a.       PendekatanPenelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif fenomenologis. Dikatakan demikian karena pendekatan kualitatif pada penelitian ini mempunyai ciri-ciri antara lain mempunyai setting yang aktual, peneliti adalah instrumen kunci, data biasanya bersifat deskriptif, menekankan kepada proses, analisis datanya bersifat induktif, dan meaning (pemaknaan) tiap even adalah merupakan perhatian yang esensial dalam penelitian kualitatif (Bogdan dan Biklen, 1998). Dikatakan fenomenologis, karena sesuai dengan tujuan penelitian yaitu mendeskripsikan peristiwa sosial (Dimiyati, 1997), selain itu karena dapat mengungkapkan peristiwa-peristiwa riil di lapangan, juga dapat mengungkapkan nilai-nilai yang tersembunyi (hidden value), lebih peka terhadap informasi-informasi yang bersifat deskriptif dan berusaha mempertahankan keutuhan obyek yang diteliti (Strauss dan Corbin, 1987).

b.      Fokus Penelitian
1.      Pandangan dan sikap masyarakat dalam pelaksanaan sekolah gratis di SMP PGRI 01 Karangpucung.
2.      Katerlibatan dan partisipasi masyarakat dalam penyaluran sekolah gratis di SMP PGRI 01 Karangpucung.
3.      Faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala atau hambatan dalam penyaluran sekolah gratis di SMP PGRI 01 Karangpucung.
c.       Penetapan Lokasi dan Situs Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di SMP PGRI 01 Kecamatan Karangpucung, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive (sengaja), dengan pertimbangan :
1.      Sebagai bentuk satuan pendidikan dasar yang menyelenggarakan program sekolah gratis, dan pada tahap inilah keberhasilan murid ditentukan, anak memperoleh dasar-dasar pendidikan yang penting untuk pendidikan selanjutnya, dan diharapkan tahap ini akan membantu mengarahkan pendidikan lebih lanjut termasuk membangun “imajinasi” tentang kehidupannya kelak di kemudian hari. Di samping itu keberhasilan pendidikan di tingkat  akan sangat membantu satuan-satuan pendidikan berikutnya.
2.      Keunikan yang dimiliki sekolah, antara lain ditunjukkan dengan keberhasilannya dalam melaksanakan program sekolah gratis. Keunikan ini didasar kepada :
a)      Kemampuan Kepala Sekolah dalam melaksanakan fungsi-fungsi manajemen, meliputi : perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan.
b)      Kemampuan guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar dan menerapkan strategi pembelajaran siswa di kelas yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada di sekolah,
c)      Tingkat keterlibatan/partisipasi masyarakat, sebagai aktor/stakeholders,  serta alokasi anggaran yang tersedia di sekolah.
d.      Sumber dan  Jenis Data
1.      Sumber Data
Lofland dan Lofland (lihat Moleong, 2000) mengemukakan bahwa : “Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan-tindakan, bisa juga berupa data tambahan seperti dokumentasi dan lain-lain. Selain itu sumber data adalah informan, kegiatan yang bisa diamati dan dokumen. Informan menurut Miles dan Huberman (1992) bisa dibedakan menjadi pelaku utama dan bukan pelaku utama. Sumber data dalam penelitian ini adalah :
a)      Informan kunci (key informan), informan awal dipilih secara purposive (purposive sampling). Hal ini dimaksudkan untuk memilih informan yang benar-benar relevan dan kompeten dengan masalah penelitian sehingga data yang diperoleh dapat digunakan untuk membangun teori. Sedangkan informan selanjutnya diminta kepada informan awal untuk menunjuk orang lain yang dapat memberikan informasi, dan kemudian informan ini diminta pula untuk menunjuk orang lain yang dapat memberikan informasi, dan seterusnya sampai menunjukkan tingkat kejenuhan informasi. Artinya, bila dengan menambah informan hanya diperoleh informasi yang sama, berarti jumlah informan sudah cukup (sebagai informan terakhir) karena informasinya sudah jenuh (Muhajir, 1996). Cara serupa ini lazim disebut “snowball sampling”, yaitu informan dipilih secara bergilir sampai menunjukkan tingkat kejenuhan informasi. Dalam penelitian ini yang dipandang sebagai informan awal (sumber informasi) adalah masyarakat sekitar Sedangkan informan selanjutnya adalah komite sekolah dan  masyarakat lainnya yang terlibat di dalam organisasi dewan sekolah/BP3 maupun masyarakat pemerhati pendidikan, serta pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Kecamatan.
b)      Tempat dan Peristiwa, yaitu berbagai peristiwa atau kejadian dan situasi sosial yang berkaitan dengan masalah atau fokus penelitian yang akan diobservasi, antara lain meliputi keberadaan sumber daya, proses belajar mengajar, proses pengambilan keputusan, rapat-rapat dewan guru, rapat-rapat Komite Sekolah/BP3, sosialisasi dan pengelolaan program, serta proses pengelolaan kelembagaan dan jaringan kerja,dan lain-lain.
c)      Dokumen, sebagai sumber data lainnya yang bersifat melengkapi data utama yang relevan dengan masalah dan fokus penelitian, antara lain meliputi hasil-hasil rapat, hasil belajar siswa, kondisi sarana prasarana. Data ini dipergunakan untuk melengkapi hasil wawancara dan pengamatan terhadap tempat dan peristiwa.
2.      Jenis Data
Moleong (2000) menegaskan bahwa sesuai dengan data yang dipilih, maka jenis data dalam penelitian kualitatif dibagi ke dalam kata-kata dan tindakan, tulisan, foto dan statistik. Jenis-jenis data tersebut di atas semuanya dapat digunakan sebagai informasi yang diperlukan. Perlu ditegaskan bahwa keterangan berupa kata-kata atau cerita dari informan penelitian yang diwawancarai dan tindakan yang diamati, dalam penelitian kualitatif dijadikan sebagai data utama (primer), sedangkan tulisan, foto dan data statistik dari berbagai dokumen yang relevan dengan fokus penelitian dijadikan sebagai data pelengkap(sekunder).

e.       Proses Pengumpulan Data
Dalam penelitian kualitatif, proses pengumpulan data meliputi 3 (tiga) kegiatan yang dilakukan oleh peneliti. Lofland dan Lofland (1984) menegaskan bahwa dalam rangka pengumpulan data ada tiga kegiatan yaitu : Proses memasuki lokasi penelitian (getting in), Ketika berada di lokasi penelitian (getting along) dan tahap pengumpulan data (logging the data).
1.      Proses memasuki lokasi penelitian (getting in)
Dalam tahap ini peneliti, dengan membawa izin formal sebagai bukti bahwa peneliti benar-benar akan mengadakan penelitian memasuki lokasi penelitian yaitu  di SMP PGRI 01 Karangpucung.
2.      Ketika berada di lokasi penelitian (gettingalong)
Ketika tanpa ini peneliti berusaha menjalin hubungan secara pribadi yang lebih akrab dengan subjek penelitian, mencari informasi yang dibutuhkan secara lengkap dan berupaya menangkap makna dari informasi dan pengamatanyangdiperoleh.
3.      Mengumpulkan data (logging the data)
Pada tahap ini peneliti menggunakan tiga macam teknik pengumpulan data yaitu :
a)      Observasi (pengamatan). Teknik observasi baik yang “partisipatif” maupun “non partisipatif” digunakan untuk mengamati tentang pandangan dan sikap aktor/stakeholders, keterlibatan atau partisipasi masyarakat sebagai salah satu aktor/stakeholders penting, dan faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam pelaksanaan sekolah gratis di SMP PGRI 01 Karangpucung.
b)      Wawancara mendalam (in depth-interview). Teknik ini dilakukan atau digunakan untuk mendapatkan dan mengungkat informasi (data empiris) yang berhubungan dengan: pandangan dan sikap aktor/stakeholders dalam keterlibatan atau partisipasi masyarakat sebagai salah satu aktor/stakeholders penting dalam pelaksanaan sekolah gratis, dan  faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala terkait dengan hal-hal dalam pelaksanaan sekolah gratis.
c)      Dokumentasi digunakan untuk menghimpun berbagai informasi dan data yang diambil dari dokumen, berupa surat-surat keputusan, hasil rapat dan dokumen lain yang berhubungan dengan pelaksanaan sekolah gratis.
f.       Analisis Data
Analisis dilakukan untuk menemukan pola. Caranya dengan melakukan pengujian sistematik untuk menetapkan bagian-bagian, hubungan antar kajian, dan hubungan terhadap keseluruhannya. Untuk dapat menemukan pola tersebut peneliti akan melakukan penelusuran melalui catatan-catatan lapangan, hasil wawancara dan bahan-bahan yang dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap semua hal yang dikumpulkan dan memungkinkan menyajikan apa yang ditemukan.
Proses analisis data ini peneliti lakukan secara terus menerus, bersamaan dengan pengumpulan data dan kemudian dilanjutkan setelah pengumpulan data selesai dilakukan. Di dalam melakukan analisis data peneliti mengacu kepada tahapan yang dijelaskan Miles dan Huberman (1987) yang terdiri dari tiga tahapan yaitu: reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (conclusion drawing verivication).

IV. DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, Prof.Dr., 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Bandung : Rosdakarya

Belalana, Bangbang. AD dan ART serta Rincian Tugas Komite Sekolah. Subang : CV. Jembar Ati.

Depdiknas, 2000, Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Depdiknas, 2007. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah.

Dimyati dan Mudjiono. 1994. Balajar dan Pembelajaran. Jakarta: Depdikbud.  Jakarta:PT. Asdi Mahasatya

Latif, Abdul. H. Drs.MPd., Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan. Bandung : Refika Aditama.

Muchlas Samami dkk., 2000, Panduan Manajemen Sekolah, Jakarta: Dirjen Dikdasmen, Direktorat SLTP Depdiknas.

Peraturan Pemerintah No. 39/1992 pasal 4

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, Jakarta: CV Eko Jaya

Suyanto dan Djihad Hisyam; 2000; Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III; Yogyakarta;

Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas)