CRITICAL REVIEW
JURNAL DESENTRATISASI DALAM SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA: POLITIK NEGARA DI TENGAH HUBUNGAN PUSAT-DAERAH
…………………………………………
NIM. ……………………………..
PROGRAM STUDI
MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK
UNIVERSITAS TERBUKA
……………………………………………………
2025
BAB I
PENDAHULUAN
A. Identitas Jurnal
Artikel yang dikaji dalam penelitian ini ditulis oleh Prayudi dan diterbitkan dalam Jurnal Kajian, Volume 19, Nomor 4, Tahun 2014. Artikel tersebut berjudul "Desentralisasi dalam Sistem Pemerintahan Indonesia: Politik Negara di Tengah Hubungan Pusat-Daerah". Tulisan ini menjadi salah satu kontribusi penting dalam studi hubungan pusat dan daerah dalam konteks sistem pemerintahan Indonesia pascareformasi (Prayudi, 2014).
B. Pengantar
Desentralisasi menempati posisi strategis dalam arsitektur pemerintahan kontemporer sebagai mekanisme untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat serta memperkuat demokrasi lokal. Implementasi desentralisasi tidak semata merupakan transformasi administratif dalam pembagian urusan antara pemerintah pusat dan daerah, tetapi juga mencerminkan dimensi politik yang kompleks. Pasca runtuhnya rezim masa Orde Baru pada tahun 1998, desentralisasi dijadikan sebagai instrumen politik untuk mengatasi krisis legitimasi kekuasaan yang bersifat sentralistik dan represif. Hal ini dilakukan dengan memberikan otonomi luas kepada daerah melalui regulasi sebagai bentuk pengakuan terhadap aspirasi lokal yang selama Orde Baru ditekan secara sistematis (Hidayat et al., 2025).
Realitanya proses ini bukan tanpa problematika. Desentralisasi sering kali dijalankan bukan karena pertimbangan rasional kelembagaan, melainkan sebagai respons politik terhadap tekanan elit politik. Kebijakan desentralisasi pada awal reformasi lebih tampak sebagai manuver politik negara dalam mendistribusikan kembali kekuasaan, tetapi tanpa perencanaan kelembagaan yang matang dan konsistensi ideologis. Sebagai hasilnya pelaksanaan desentralisasi kerap memunculkan fragmentasi kebijakan, lemahnya koordinasi vertikal dan horisontal serta terbentuknya oligarki lokal yang justru menghambat efektivitas otonomi daerah itu sendiri (Negara & Hutchinson, 2021).
Pandangan Prayudi (2014) mengungkapkan bahwa desentralisasi di Indonesia lebih mencerminkan uji coba politik dari pemerintah yang sedang berkuasa. Setiap kali terjadi perubahan undang-undang terkait pemerintahan daerah seperti contohnya UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004, hingga UU No. 23 Tahun 2014, hal itu tidak lepas dari tarik menarik kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah, serta antar elit politik. Pola hubungan antara pusat dan daerah dibentuk bukan berdasarkan aturan konstitusi yang tetap melainkan mengikuti kepentingan politik jangka pendek. Akibat yang ditimbulkan kebijakan sering berubah-ubah, pembagian wewenang menjadi tidak jelas, dan kemampuan pemerintah daerah untuk berkembang pun tidak maksimal.
Setelah reformasi tahun 1998, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah menjadi lebih terbuka dan penuh perubahan. Banyak daerah mengalami perpecahan kekuasaan, lemahnya pengawasan dari pemerintah pusat, dan munculnya kelompok-kelompok penguasa lokal yang tidak sejalan dengan prinsip pemerintahan yang baik. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dibuat untuk memperbaiki aturan sebelumnya, tetapi tetap menyisakan masalah, seperti pembagian tugas antara pusat dan daerah yang belum jelas, peran gubernur yang membingungkan sebagai wakil pemerintah pusat, serta lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan otonomi di daerah (Habibi, 2024).
Selain itu ada juga daerah yang justru menggunakan otonomi untuk kepentingan kelompok atau elite politik lokal, bukan untuk kepentingan masyarakat. Akibat yang ditimbulkan masyarakat sering tidak diajak terlibat dalam keputusan penting yang menyangkut daerah mereka. Seharusnya desentralisasi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah dan mendorong tumbuhnya demokrasi lokal. Jika yang terjadi hanya perpindahan kekuasaan dari pusat ke kelompok tertentu di daerah tanpa pengawasan dan partisipasi publik, maka tujuan itu tidak akan tercapai. Kondisi ini menunjukkan bahwa desentralisasi di Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh kepentingan politik pemerintah yang berkuasa, bukan benar-benar untuk memperbaiki layanan publik atau menciptakan keadilan di daerah (Prayudi, 2014).
Penting untuk melihat lebih dalam bagaimana hubungan antara pemerintah pusat dan daerah berkembang selama lebih dari dua puluh tahun sejak reformasi. Salah satu hal yang perlu ditelaah adalah apakah prinsip desentralisasi yang diterapkan di Indonesia sebagai negara kesatuan memiliki kesamaan atau perbedaan yang mendasar dengan sistem federal seperti yang diterapkan di Amerika Serikat. Kajian ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan menelaah berbagai literatur dan peraturan yang berlaku, dengan menjadikan artikel Prayudi (2014) sebagai sumber utama dalam pembahasan.
C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam kajian kritis ini difokuskan untuk menjawab tiga pertanyaan utama yaitu.
1. Apa makna bahwa desentralisasi senantiasa berkaitan dengan politik eksperimentasi rezim yang berkuasa, yang cenderung terjadi saling tarik-menarik kepentingan dalam pengaturan hubungan pusat dan daerah?
2. Bagaimana wujud penerapan hubungan pusat-daerah di tengah tuntutan demokratisasi dan reformasi sistem pemerintahan daerah pasca-1998 sebagai antitesis yang terjadi hingga diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 dan penggantian menjadi UU No. 23 Tahun 2014?
3. Apakah asas desentralisasi di Indonesia sebagai negara kesatuan sama dengan di negara federal seperti Amerika Serikat?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari kajian ini adalah untuk.
1. Mengkaji secara kritis argumentasi yang disampaikan oleh Prayudi (2014) terkait makna desentralisasi dalam sistem pemerintahan Indonesia.
2. Menguraikan secara analitis bentuk relasi pusat dan daerah yang terjadi pascareformasi hingga perubahan regulasi UU No. 23 Tahun 2014.
3. Membandingkan konsep desentralisasi di Indonesia sebagai negara kesatuan dengan praktik desentralisasi di negara federal.
E. Tujuan Kajian Kritis (Critical Review)
Kajian ini bertujuan untuk.
1. Menilai secara kritis substansi, argumentasi, dan kontribusi keilmuan artikel Prayudi (2014).
2. Menemukan kekuatan, kelemahan, dan celah konseptual dari tulisan tersebut, baik dari segi kerangka teori, data, maupun konsistensi argumentasi.
3. Memberikan refleksi akademik terhadap perkembangan pemikiran desentralisasi dalam sistem pemerintahan Indonesia.
F. Ringkasan Artikel
Artikel Prayudi (2014) mengangkat permasalahan hubungan pusat dan daerah dalam konteks desentralisasi yang tidak hanya dipahami sebagai upaya administratif, tetapi juga sebagai strategi politik negara dalam mempertahankan stabilitas kekuasaan. Penulis menekankan bahwa desentralisasi di Indonesia merupakan bentuk eksperimentasi politik dari tiap rezim pemerintahan, yang menyebabkan fluktuasi kebijakan dan ketidakkonsistenan dalam pembagian kewenangan pusat-daerah. Artikel ini juga mengulas perkembangan undang-undang pemerintahan daerah mulai dari UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004, hingga UU No. 23 Tahun 2014, yang menunjukkan kecenderungan re-sentralisasi kekuasaan. Prayudi menilai bahwa praktik desentralisasi di Indonesia belum memiliki pijakan ideologis dan konstitusional yang kuat, serta cenderung bersifat responsif terhadap tekanan politik dan kelemahan struktural birokrasi daerah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kekuatan Substansi Artikel
Artikel yang ditulis oleh Prayudi (2014) memiliki sejumlah keunggulan penting dalam membahas persoalan hubungan pusat dan daerah di Indonesia. Salah satu kekuatannya adalah pertama cara penulis membangun sudut pandang yang tajam dan kritis dalam melihat desentralisasi. Artikel tersebut tidak memaknai desentralisasi hanya sebagai pembagian tugas antara pemerintah pusat dan daerah, tetapi lebih dari itu sebagai bagian dari strategi dan kepentingan politik negara. Penulis mampu menunjukkan bahwa kebijakan desentralisasi tidak lahir di ruang hampa tetapi dipengaruhi oleh berbagai dinamika sosial politik yang terjadi seperti krisis legitimasi setelah jatuhnya rezim Orde Baru.
Pendekatan ini menjadi kelebihan utama karena penulis tidak hanya terpaku pada penjelasan hukum atau teori formal, tetapi mengaitkannya dengan realitas politik yang membentuk dan mengarahkan kebijakan. Sehingga artikel ini tidak sekadar menggambarkan aturan tetapi juga mengajak pembaca memahami latar belakang politik yang mendorong muncul dan berubahnya kebijakan desentralisasi dari waktu ke waktu. Kekuatan analisis inilah yang membuat tulisan Prayudi relevan bagi siapa pun yang ingin memahami desentralisasi secara lebih mendalam, tidak hanya dari sisi legal formal tetapi juga dari sisi praksis kekuasaan yang terjadi di lapangan.
Kelebihan kedua dari artikel ini adalah argumen utamanya yang menempatkan desentralisasi sebagai bagian dari percobaan politik penguasa, bukan sekadar kebijakan pemerintahan biasa. Pendekatan ini memberikan sudut pandang yang berbeda dibandingkan kebanyakan tulisan lain yang lebih fokus pada aspek teknis atau aturan formal. Melalui pandangan tersebut, Prayudi (2014) menunjukkan bahwa hubungan antara pusat dan daerah di Indonesia tidak sepenuhnya dibentuk oleh rencana kelembagaan yang tertata, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh tarik-menarik kepentingan politik dan kekuasaan dari elite yang sedang berkuasa.
Kelebihan ketiga adalah kemampuan penulis dalam menjelaskan perubahan kebijakan desentralisasi dari waktu ke waktu. Mulai dari masa awal kemerdekaan, masa Orde Baru, sampai masa Reformasi, penulis menggambarkan bagaimana aturan mengenai otonomi daerah terus berubah. Penulis secara rinci membahas perubahan dari UU No. 22 Tahun 1999, kemudian ke UU No. 32 Tahun 2004, hingga UU No. 23 Tahun 2014. Dari penjelasan itu terlihat bahwa arah desentralisasi di Indonesia tidak berjalan secara konsisten, tetapi sering berubah karena dipengaruhi oleh kepentingan politik yang berkembang di tiap masa pemerintahan.
Kelebihan keempat dari artikel ini adalah kemampuannya memberikan pandangan yang kritis terhadap pelaksanaan otonomi daerah setelah reformasi. Prayudi (2014) dengan jelas menunjukkan bahwa otonomi yang diberikan kepada daerah justru bisa disalahgunakan oleh elite lokal untuk kepentingan sendiri. Selain itu, pengawasan dari pemerintah pusat menjadi lemah, dan masyarakat sering tidak dilibatkan dalam keputusan penting di daerahnya. Analisis ini menjadi sangat penting karena membantu kita melihat bahwa desentralisasi tidak selalu berjalan sesuai harapan. Meskipun awalnya dimaksudkan untuk memperbaiki sistem yang terlalu terpusat, dalam praktiknya justru menimbulkan persoalan baru yang perlu dievaluasi secara serius.
Secara keseluruhan, kekuatan utama artikel ini ada pada kemampuannya menggabungkan sudut pandang politik dan hukum secara kritis. Artikel ini tidak hanya menjelaskan aturan tetapi juga mengajak pembaca untuk berpikir lebih jauh tentang bagaimana hubungan antara pusat dan daerah seharusnya dibangun agar lebih adil, seimbang dan mendukung demokrasi yang sehat.
B. Kelemahan Substansi Artikel
Walaupun artikel Prayudi (2014) memiliki banyak kelebihan dalam mengangkat isu desentralisasi, ada beberapa kelemahan yang penting untuk dikritisi. Kekurangan pertama adalah tidak adanya dukungan data empiris. Sebagian besar pendapat yang disampaikan hanya bersifat teoritis dan berdasarkan pandangan pribadi, tanpa disertai bukti nyata dari lapangan. Padahal, untuk memperkuat argumen bahwa desentralisasi setelah reformasi berisiko disalahgunakan oleh elite lokal, seharusnya disertai contoh kasus atau data faktual agar penjelasannya lebih meyakinkan dan bisa diuji kebenarannya.
Kelemahan kedua dari artikel ini adalah pembahasan mengenai perubahan peraturan, mulai dari UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004, hingga UU No. 23 Tahun 2014, masih disampaikan secara umum dan kurang mendalam. Penulis belum menjelaskan secara rinci bagaimana perbedaan isi dari masing-masing undang-undang tersebut memengaruhi pembagian kewenangan, kemampuan lembaga daerah, maupun mekanisme pengawasan antar jenjang pemerintahan. Sehingga kajian kebijakan dalam artikel ini terasa kurang tajam dalam menjelaskan dampak nyata dari setiap perubahan regulasi yang terjadi.
Kelemahan ketiga adalah artikel ini tidak menyertakan perbandingan dengan praktik desentralisasi di negara lain. Padahal, dalam kajian tentang desentralisasi, membandingkan dengan negara-negara yang memiliki sistem politik berbeda seperti negara federal dapat memberikan sudut pandang yang lebih luas. Seandainya penulis menyertakan contoh dari negara seperti Amerika Serikat, Jerman atau beberapa negara di Asia Tenggara maka analisis yang disajikan akan terasa lebih mendalam dan relevan dalam konteks global.
Kelemahan keempat artikel ini juga belum membahas secara khusus peran masyarakat sipil dan kelompok non-pemerintah dalam pelaksanaan desentralisasi. Fokus pembahasan hanya tertuju pada relasi antara pemerintah pusat dan daerah, tanpa menggambarkan bagaimana masyarakat dilibatkan atau terdampak dalam proses pengambilan keputusan di tingkat lokal. Padahal, partisipasi publik merupakan bagian penting dari desentralisasi yang demokratis. Tanpa keterlibatan masyarakat, otonomi daerah bisa menjadi ruang tertutup yang hanya dinikmati oleh elite politik di daerah.
Meskipun artikel Prayudi (2014) menawarkan analisis politik yang kuat dan menarik masih ada beberapa hal yang bisa dikembangkan lebih lanjut. Artikel ini akan menjadi lebih lengkap jika disertai dengan data lapangan, pembahasan tentang peran pihak di luar pemerintah serta perbandingan dengan praktik di negara lain. Bagian tersebut penting agar pemahaman tentang desentralisasi tidak hanya sebatas teori tetapi juga dapat menggambarkan situasi nyata yang terjadi di masyarakat dan pemerintahan.
C. Analisis
1. Desentralisasi sebagai Instrumen Politik Rezim: Antara Eksperimentasi dan Tarik Ulur Kepentingan
Desentralisasi yang umumnya dipahami sebagai proses pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke daerah justru menunjukkan kecenderungan sebagai alat kompromi kekuasaan. Prayudi (2014) menekankan bahwa pelaksanaan desentralisasi tidak dapat dilepaskan dari kepentingan politik rezim yang sedang berkuasa. Hal ini berarti desentralisasi di Indonesia lebih bersifat politis daripada teknokratis. Desentralisasi lahir bukan semata karena dorongan penguatan kelembagaan lokal melainkan lebih sebagai strategi politik untuk merespons krisis legitimasi dan tekanan reformasi pasca 1998.
Kenyataan dinamika politik sangat mempengaruhi bentuk dan arah kebijakan desentralisasi. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 muncul sebagai respons terhadap tekanan perubahan politik setelah Orde Baru. Namun revisi kebijakan melalui UU No. 32 Tahun 2004 dan kemudian UU No. 23 Tahun 2014 justru menunjukkan arah yang berbalik. Pemerintah pusat kembali mengambil alih berbagai kewenangan strategis dengan alasan efisiensi dan harmonisasi kebijakan. Fenomena ini menguatkan pandangan bahwa arah desentralisasi tidaklah konsisten, melainkan mengikuti arus politik nasional yang dominan (Harsasto, 2020).
Pandangan Warburton (2025) tentang desentralisasi di Indonesia juga membuka ruang tumbuhnya oligarki lokal di mana elite daerah memanfaatkan otonomi untuk memperkuat kekuasaan politik dan ekonomi mereka. Hal ini menunjukkan bahwa desentralisasi sering kali digunakan sebagai instrumen untuk menyesuaikan distribusi kekuasaan antara pusat dan daerah, tanpa benar-benar memperkuat kapasitas pelayanan publik dan partisipasi masyarakat. Pandangan senada juga dikemukakan oleh Hadiz (2022) yang menyatakan bahwa model desentralisasi di Indonesia cenderung elitis dan transaksional. Relasi pusat-daerah tidak dibangun atas prinsip pembagian kewenangan yang adil dan rasional, melainkan berdasarkan kebutuhan penguasa untuk menjaga stabilitas politik dan kontrol terhadap daerah.
Kesimpulannya bahwa desentralisasi di Indonesia bukanlah proses yang netral. Ia menjadi bagian dari strategi kekuasaan, yang dijalankan dalam konteks tarik-menarik kepentingan antar elite baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini berdampak pada ketidakpastian arah kebijakan dan lemahnya pelembagaan demokrasi lokal.
2. Hubungan Pusat-Daerah dalam Dinamika Reformasi dan Regulasi Desentralisasi
Sejak jatuhnya rezim Orde Baru tahun 1998 hubungan antara pemerintah pusat dan daerah mengalami perubahan besar. Reformasi membuka jalan bagi sistem pemerintahan yang lebih terbuka dan partisipatif. Salah satu bentuk konkretnya adalah diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, yang memberikan otonomi luas kepada daerah, terutama di tingkat kabupaten dan kota. Kebijakan ini menjadi awal desentralisasi modern di Indonesia, dengan harapan bisa memperbaiki pelayanan publik dan mendorong demokrasi lokal (Simanjuntak, 2015).
Praktek pelaksanaannya otonomi daerah justru menimbulkan berbagai persoalan. Banyak daerah belum siap secara kelembagaan dan sumber daya. Beberapa pemerintah daerah justru menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Lemahnya pengawasan dari pemerintah pusat juga memperburuk keadaan. Menurut Nuradhawati (2019) kondisi ini menimbulkan krisis kepercayaan terhadap pelaksanaan otonomi daerah, sehingga mendorong pemerintah pusat untuk kembali mengevaluasi arah desentralisasi.
Perubahan terjadi ketika diterbitkan UU No. 32 Tahun 2004 yang berusaha memperkuat peran gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. Namun, aturan ini pun belum berhasil mengatasi ketidakharmonisan hubungan pusat-daerah. Akhirnya, UU No. 23 Tahun 2014 dikeluarkan dengan pendekatan yang lebih tegas, yakni menarik kembali beberapa kewenangan strategis ke pusat dan provinsi, seperti pendidikan menengah, kehutanan, kelautan, dan energi. Pemerintah pusat beralasan bahwa langkah ini diambil demi menciptakan efisiensi, penyelarasan kebijakan nasional, serta mencegah penyimpangan di daerah (Prayudi, 2014).
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa hubungan pusat dan daerah dalam dua dekade reformasi berjalan tidak stabil. Desentralisasi yang awalnya dimaksudkan untuk memperkuat peran daerah, justru mengalami perubahan arah ke model yang lebih sentralistik. Menurut Azhari dan Negoro (2019), perubahan regulasi yang berulang ini mencerminkan belum matangnya desain tata kelola hubungan pusat-daerah, baik dari segi peraturan maupun pelaksanaan teknis di lapangan.
Kesimpulannya hubungan antara pusat dan daerah di era reformasi cenderung bergerak secara fluktuatif. Desentralisasi tidak berkembang sebagai proses kelembagaan yang mantap, melainkan sebagai respons politik terhadap persoalan yang muncul dari pelaksanaannya sendiri. Situasi ini memperkuat argumen bahwa pengaturan hubungan pusat-daerah di Indonesia masih perlu pembenahan baik dari sisi regulasi maupun kapasitas kelembagaan.
3. Perbandingan Desentralisasi dalam Negara Kesatuan dan Negara Federal
Desentralisasi dalam sistem pemerintahan negara kesatuan seperti Indonesia tentu berbeda dengan yang diterapkan di negara federal seperti Amerika Serikat. Perbedaan mendasarnya terletak pada asal usul kewenangan. Di negara federal, kewenangan pemerintah daerah atau negara bagian berasal langsung dari konstitusi. Daerah memiliki hak yang melekat dan tidak bisa dihapus sepihak oleh pemerintah pusat. Sedangkan di Indonesia, sebagai negara kesatuan, kewenangan daerah diberikan oleh pemerintah pusat melalui undang-undang, sehingga dapat ditarik kembali kapan saja sesuai keputusan politik nasional.
Desentralisasi di Indonesia merupakan bentuk pendelegasian atau pelimpahan kewenangan. Pemerintah pusat tetap menjadi pemegang kekuasaan tertinggi. Daerah hanya melaksanakan tugas yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Menurut Larasati (2022), sistem ini sering kali menciptakan kebingungan karena pembagian kewenangan yang tidak konsisten, terutama ketika terjadi perubahan regulasi seperti peralihan dari UU No. 22 Tahun 1999 ke UU No. 23 Tahun 2014.
Tetapi sebaliknya di negara federal seperti Amerika Serikat negara bagian memiliki otonomi yang lebih kuat. Mereka dapat membuat undang-undang sendiri dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, kesehatan, hingga perpajakan, selama tidak bertentangan dengan konstitusi federal. Hubungan antara pemerintah federal dan negara bagian diatur secara seimbang melalui sistem checks and balances. Ini menjadikan kewenangan daerah lebih stabil dan tidak mudah diganggu oleh pemerintah pusat.
Prayudi (2014) menyebut bahwa meskipun Indonesia bukan negara federal, praktik desentralisasi pascareformasi sempat menyerupai model federal dalam hal luasnya kewenangan daerah. Karena tidak didukung oleh struktur konstitusional yang kuat seperti dalam sistem federal, otonomi daerah di Indonesia cenderung lemah dan mudah berubah mengikuti arah politik nasional.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa desentralisasi di negara kesatuan seperti Indonesia lebih bersifat fleksibel dan bergantung pada kehendak pemerintah pusat, sedangkan di negara federal, desentralisasi bersifat permanen dan dilindungi oleh konstitusi. Hal ini menjelaskan mengapa hubungan pusat dan daerah di Indonesia cenderung tidak stabil dan sering mengalami perubahan arah kebijakan.
BAB III
SIMPULAN
Kajian Prayudi tentang desentralisasi dalam sistem pemerintahan Indonesia, yang berjudul “Politik Negara di Tengah Hubungan Pusat-Daerah”, bukanlah sekadar pembacaan historis terhadap kebijakan otonomi daerah. Ia menawarkan sebuah kritik struktural terhadap cara negara memproduksi, mengontrol, dan merekayasa wacana desentralisasi sebagai bagian dari strategi kekuasaan. Penulis menolak anggapan umum bahwa desentralisasi adalah instrumen netral dalam distribusi kewenangan administratif. Sebaliknya, ia membongkar desentralisasi sebagai instrumen politik yang sejak awal telah dikonstruksi secara ideologis oleh rezim yang berkuasa untuk menjaga stabilitas dan legitimasi negara. Dalam kerangka ini, negara tidak hadir sebagai fasilitator demokratisasi, tetapi sebagai aktor hegemonik yang memainkan eksperimen atas struktur kekuasaan lokal.
Dengan desain penelitian yang bersifat reflektif-kualitatif dan mengandalkan pembacaan longitudinal terhadap dokumen sejarah, regulasi, dan kebijakan negara sejak kemerdekaan hingga pasca-reformasi, artikel ini menyusun satu argumentasi besar: bahwa desentralisasi tidak pernah menjadi proses yang bebas nilai. Penulis menempatkan negara sebagai entitas otonom, bukan sekadar sebagai agregat kepentingan masyarakat sipil. Dalam hal ini, ia merujuk pada pendekatan teoretik Theda Skocpol, yang menyatakan bahwa negara merupakan struktur yang mampu bertindak atas dasar logika dan interesnya sendiri, seringkali terlepas dari tekanan masyarakat atau pasar. Skocpol menyebut ini sebagai state autonomy, sebuah perspektif yang memungkinkan kita melihat desentralisasi sebagai produk artikulatif dari kebutuhan strategis negara untuk mengatur, mengintervensi, dan sekaligus membatasi dinamika politik lokal.
Pendekatan yang ditawarkan Prayudi tidak sekadar deskriptif; ia secara sadar membenturkan pandangan-pandangan normatif dalam teori pemerintahan daerah dengan realitas politik yang tak pernah steril. Desentralisasi, dalam kerangka ini, merupakan medan ideologis yang terus diperebutkan, bukan konsensus administratif yang stabil. Penulis mencatat bahwa inkonsistensi kebijakan, tarik-ulur kewenangan, bahkan dekonstruksi regulasi dari masa ke masa, adalah cerminan dari dinamika hegemoni antara pusat dan daerah. Hal ini menjawab satu pertanyaan krusial dalam penelitian ini: mengapa desentralisasi di Indonesia cenderung gagal memenuhi janji demokratisasi dan kesejahteraan, meskipun secara formal telah diperluas?
Namun, di sinilah juga muncul ambiguitas yang layak dikritik. Meskipun narasi historis dan politik dibangun secara sistematis, tulisan Prayudi terlalu mengandalkan perangkat konseptual normatif tanpa diimbangi dengan data empirik yang konkret. Ia menyatakan, misalnya, bahwa desentralisasi pascareformasi telah membuka ruang bagi korupsi lokal, kebangkitan oligarki, dan penyimpangan kewenangan. Namun, semua pernyataan tersebut tidak ditopang dengan studi kasus atau data yang dapat memverifikasi klaim tersebut secara meyakinkan. Dalam konteks ini, artikel ini lebih tampil sebagai kritik konseptual ketimbang sebagai riset sosial-politik yang dapat diuji validitasnya secara empiris.
Selain itu, konstruksi dikotomis antara dekonstruksi kebijakan dan reformasi parsial yang menjadi pilar akhir dari analisisnya, sayangnya tidak diperjelas dalam batas operasional. Apakah yang dimaksud dengan dekonstruksi di sini adalah pembongkaran total sistem sentralisasi atau hanya perubahan simbolik pada regulasi? Apakah reformasi parsial berarti hanya substitusi aktor tanpa perubahan struktur? Ketidakjelasan ini membuat argumentasi politis di bagian akhir tulisan cenderung abstrak dan bersifat dugaan reflektif, bukan kesimpulan analitis berbasis bukti.
Meski demikian, kontribusi artikel ini tidak dapat diremehkan. Di tengah kecenderungan studi desentralisasi yang terlalu larut dalam semangat otonomi normatif, Prayudi justru memaksa pembaca untuk mengkritisi logika kekuasaan di balik kebijakan publik. Dengan menggugah pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti untuk siapa desentralisasi dijalankan, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang tetap termarginalkan tulisan ini berperan penting dalam memulihkan kesadaran kritis dalam wacana tata kelola pemerintahan di Indonesia. Ia mengajak kita untuk berhenti mengidealkan desentralisasi sebagai instrumen keadilan, dan mulai melihatnya sebagai medan kuasa yang sarat manipulasi, ambiguitas, dan kooptasi.
Dengan menggabungkan pendekatan teori negara, refleksi historis, dan kritik atas struktur regulatif, Prayudi berhasil merumuskan bahwa desentralisasi di Indonesia bukanlah proyek demokratisasi yang linear, melainkan arena kontestasi antara nasionalisme negara dan pluralisme lokal yang selalu direduksi. Oleh sebab itu, politik desentralisasi tidak bisa dipisahkan dari logika ideologis negara yang secara konsisten mempertahankan hegemoni dalam balutan jargon-jargon otonomi.
Sebagai telaah kritis, artikel ini mengingatkan bahwa membahas desentralisasi tanpa mempersoalkan relasi kuasa negara adalah simplifikasi yang berbahaya. Dan justru karena itu, artikulasi Prayudi penting: bukan karena ia menawarkan solusi, tetapi karena ia mengganggu kenyamanan kita dalam mengandaikan bahwa desentralisasi itu pada dasarnya baik.
DAFTAR PUSTAKA
Azhari, A. K., & Negoro, A. H. S. (2019). Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Malang: Intrans Publishing, 2019.
Habibi, M. (2024). Ketimpangan Pembangunan Daerah di Era Otonomi Daerah. Multiverse: Open Multidisciplinary Journal, 3(1), 59–63.
Hadiz, V. (2022). Lokalisasi kekuasaan di Indonesia pascaotoritarianisme. Kepustakaan Populer Gramedia.
Harsasto, P. (2020). Desentralisasi dan Resentralisasi: Upaya menyeimbangkan pendulum Pusat-Daerah. JIIP: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, 5(2), 149–162.
Hidayat, A. R., Hospes, O., & Termeer, C. (2025). Why Democratization and Decentralization in Indonesia Have Mixed Results on the Ground: A Systematic Literature Review. Public Administration and Development, 45(2), 159–172.
Larasati, G. P. (2022). Implementasi Desentralisasi Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jurnal Komunikasi Hukum (JKH), 8(1), 244–251.
Negara, S. D., & Hutchinson, F. E. (2021). The impact of indonesia’s decentralization reforms two decades on. Journal of Southeast Asian Economies, 38(3), 289–295.
Nuradhawati, R. (2019). Dinamika sentralisasi dan desentralisasi di Indonesia. Jurnal Academia Praja: Jurnal Magister Ilmu Pemerintahan, 2(01), 152–170.
Prayudi, P. (2014). Desentralisasi Dalam Sistem Pemerintahan Indonesia: Politik Negara Di Tengah Hubungan Pusat-Daerah. Kajian, 19(4), 293–310.
Simanjuntak, K. M. (2015). Implementasi kebijakan desentralisasi pemerintahan di Indonesia. Jurnal Bina Praja, 7(2), 111–130.
Warburton, E. (2025). The Politics of Indonesia. In Oxford Research Encyclopedia of Politics.
Untuk tindak lanjut silahkan : klik DOWNLOAD atau hub. (WA) 081327121707 - (WA) 081327789201 terima kasih
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar, hindari unsur SARA.
Terima kasih