Menerima Pembuatan TESIS-SKRIPSI-PKP UT, Silahkan Baca Cara Pemesanan di bawah ini

Lencana Facebook

banner image

Sabtu, 14 Juni 2025

KARIL - KARYA ILMIAH UT Jurusan Ilmu Administrasi Bisnis, FHISIP, Universitas Terbuka

 

PERTANGGUNG JAWABAN HUKUM OLEH PENYEDIA PLATFORM TERHADAP PELANGGARAN MEREK DI MARKETPLACE

 

 

.................), .................2)

1)Mahasiswa Jurusan  Ilmu Administrasi Bisnis, FHISIP, Universitas Terbuka

2) Dosen Dosen Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Institut Agama Islam ................

..........................@gmail.com, ............................@gmail.com

 

ABSTRAK

 

Perkembangan pesat e-commerce di Indonesia telah mendorong perubahan dalam sistem transaksi jual beli melalui platform marketplace. Transformasi ini menimbulkan permasalahan baru, yaitu maraknya pelanggaran merek. Permasalahan yang dikaji adalah bagaimana pengaturan hukum terhadap penggunaan merek di Indonesia serta bentuk pertanggungjawaban hukum penyedia platform atas peredaran produk yang melanggar merek dalam marketplace. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan undang-undang (statute approach), serta menganalisis bahan hukum primer dan sekunder melalui pendekatan deduktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hukum terhadap merek telah diatur dalam UU No. 20 Tahun 2016 dan UU ITE, namun implementasinya belum efektif. Surat Edaran Kemenkominfo No. 5 Tahun 2016 hanya bersifat administratif dan tidak memuat sanksi yang tegas, sehingga tidak memberikan efek jera bagi platform yang lalai. Situasi ini membuka celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk memperdagangkan produk pelanggaran merek. Untuk meningkatkan perlindungan hukum terhadap merek di ranah digital, diperlukan penguatan regulasi dan penerapan pengawasan berbasis teknologi secara lebih aktif.

 

Kunci : marketplace, pertanggungjawaban hukum, penyedia platform, pelanggaran merek

 

 

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Dunia perdagangan mengalami perubahan besar sebagai akibat dari perkembangan era digital yang begitu cepat. Dengan dukungan dari kemajuan dalam teknologi dan informasi, globalisasi memungkinkan lebih banyak perdagangan barang dan jasa yang terjadi di masyarakat (Panjaitan, 2021).  Munculnya internet menjadikan sistem perdagangan berubah dari model konvensional ke model digital. Transaksi dagang sekarang tidak lagi memerlukan penjual dan pembeli bertemu secara langsung; mereka sekarang dapat melakukannya dari lokasi yang berbeda dengan bantuan teknologi digital. Perdagangan elektronik, atau e-commerce, adalah proses yang disebut sebagai perdagangan elektronik. Sistem elektronik yang terus berkembang membuat e-commerce menjadi bentuk baru dari transaksi jual beli yang lebih mudah dan efektif dibandingkan dengan cara lama (Dianda & Pandin, 2021). E-commerce adalah jenis bisnis yang menggunakan internet sebagai platform utama untuk menjalankan aktivitasnya, mulai dari promosi hingga transaksi. Dunia maya memungkinkan penjual dan pembeli berinteraksi tanpa bertemu langsung, menggantikan toko fisik (Akbar  & Alam, 2020).

Berdasarkan data PDSI Kemendag, dalam rentang 5 tahun terakhir besaran pengguna e-commerce menunjukkan pertambahan signifikan sebesar 69%. Pada tahun 2020, pengguna e-commerce berjumlah sekitar 38 juta, dan angka tersebut melonjak menjadi 65 juta pada tahun 2024. Tren ini diperkirakan akan terus berlanjut, dengan proyeksi mencapai sekitar 99 juta pengguna pada tahun 2029 (PDSI Kemendag, 2024).

Dua kelompok yang sangat penting dalam bisnis e-commerce adalah penyedia layanan platform yang juga bertanggung jawab atas pengoperasian sistem elektronik dan pengguna yang terdaftar di dalamnya. Pengguna ini adalah bagian dari masyarakat yang terdaftar dengan akun resmi pada web e-commerce untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Adanya konten yang dihasilkan langsung oleh pengguna yaitu User Generated Content sebagai keunikan dari platform. UGC dapat berupa interaksi antara penjual dan pembeli selama proses transaksi atau penawaran produk oleh pengguna yang bertindak sebagai penjual. Sistem seperti ini biasanya diterapkan pada jenis e-commerce marketplace (Giantama, & Kholil, 2020).

Potensi pertumbuhan e-commerce yang begitu besar di Indonesia membuat banyak pelaku usaha melihat sektor ini sebagai peluang strategis untuk memperluas bisnis mereka. Terlebih lagi, dengan hadirnya model marketplace yang menerapkan sistem User Generated Content (UGC), masyarakat tidak hanya berperan sebagai konsumen, tetapi juga diberi ruang untuk menjual produk mereka sendiri melalui platform tersebut.

Data Statista  secara global tercatat transaksi e-commerce mencapai USD 4,9 triliun di tahun 2021, dan diperkirakan mengalami peningkatan USD 6,4 triliun di tahun 2024. Kementerian Komunikasi dan Informatika melaporkan bahwa pada tahun 2022, sektor e-commerce menyumbang sekitar 64,5% dari total nilai ekonomi nasional yang dilakukan secara digital senilai USD 77 miliar. Angka-angka tersebut mencerminkan peran strategis e-commerce sebagai salah satu motor utama penggerak ekonomi, baik di tingkat global maupun domestik (Dewati Ayu & Jakaria, 2023).

Meluasnya jangkauan transaksi e-commerce melampaui limit kenormalan karena dukungan teknologi informasi turut menimbulkan tantangan hukum baru. Isu yang marak adalah perlindungan terhadap HAKI khususnya hak merek dalam aktivitas jual beli daring. Dalam praktiknya masih sering ditemukan pelanggaran hak merek di platform e-commerce berbasis marketplace di mana produk-produk yang beredar meniru atau menyerupai merek dagang yang telah terdaftar tanpa izin resmi dari pemiliknya. Meskipun Undang-Undang Merek telah mengatur perlindungan bagi pemilik merek terdaftar, kenyataannya praktik pemalsuan dan peniruan merek masih terjadi, baik secara keseluruhan maupun sebagian, dan salah satu sarana yang digunakan untuk pelanggaran tersebut adalah platform e-commerce (Giantama & Kholil, 2020).

Transaksi e-commerce memberikan peluang produk yang ditampilkan dikenal lebih luas, bahkan di luar negeri, melalui berbagai inovasi dan strategi pemasaran yang efektif. Pelaku usaha yang telah memiliki hak merek melihat kesempatan besar untuk memperkenalkan merek mereka kepada konsumen lebih luas di pasar domestik dan internasional. Ketika sebuah merek telah mencapai tahap di mana kualitasnya diakui secara luas oleh masyarakat, maka merek tersebut memiliki peluang besar untuk meraih keuntungan. Namun, meningkatnya jumlah penjual di platform marketplace turut mendorong maraknya peredaran produk tiruan dari merek-merek ternama. Hal ini terjadi karena sejumlah marketplace memberikan ruang bagi berbagai pihak memasarkan barang secara bebas termasuk barang dari toko resmi (official store). Penjual yang nakal memanfaatkan kesempatan ini untuk menipu konsumen agar membeli barang palsu bermerek dengan harga yang lebih murah. Bahkan, dalam beberapa kasus, konsumen secara sadar memilih produk tiruan karena pertimbangan harga. Tindakan-tindakan seperti ini pada akhirnya merugikan pemilik hak atas merek tersebut (Nanda, 2022).

Upaya memberikan payung hukum terhadap pemegang merek yang sah adalah memberikan perlindungan dan hak istimewa kepada pemegang merek sebagai langkah pencegahan pihak ketiga menggunakan ciri-ciri yang identik atau sama pada jenis barang atau jasa yang serupa. Hak eksklusif ini bersifat monopolistik, di mana hanya pemegang merek yang memiliki kewenangan untuk memanfaatkan merek tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penggunaan merek harus dilakukan tanpa melanggar aturan yang berlaku, termasuk hak untuk melarang pihak lain menggunakan atau memberikan izin atas penggunaan merek tersebut. Penggunaan merek terkenal tanpa izin tidak hanya berpotensi merugikan pemiliknya secara finansial, tetapi juga dapat merusak citra merek yang telah dibangun melalui proses panjang dan strategis. Praktik tersebut secara jelas melanggar ketentuan hukum yang mengikat menurut ketentuan hukum dalam skala nasional hingga internasional (Rusman, 2020).

Peredaran barang yang melanggar hak merek dapat menghambat perkembangan sektor e-commerce di Indonesia. Meskipun sektor ini memiliki prospek yang menjanjikan dan didukung oleh kebijakan pemerintah, rendahnya  pemahaman khalayak umum tentang urgensi perlindungan HAKI, khususnya hak merek masih menjadi problematika dan tantangan tersendiri dalam penerapannya. Kondisi ini diperburuk oleh banyaknya pedagang di platform marketplace, yang membuat pengawasan terhadap barang palsu semakin sulit dilakukan melalui saluran e-commerce (Sinaga & Ferdian, 2020).

Pemaparan di atas menjadi landasan utama perumusan masalah pada artikel ini yaitu menjelaskan aturan penggunaan merek menurut perundang-undangan yang berlaku dan bagaimana pertanggungjawaban hukum penyedia platform terhadap barang yang melanggar merek dalam marketplace sesuai dengan hukum yang berlaku. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaturan hukum mengenai penggunaan merek dalam perundang-undangan Indonesia serta mendeskripsikan bentuk pertanggungjawaban hukum penyedia platform terhadap pelanggaran merek di marketplace. Diharapkan kajian ini dapat mengungkap solusi yang tepat untuk menangani permasalahan hukum  terkait pertanggung jawaban hukum oleh penyedia platform terhadap pelanggaran merek di marketplace secara efektif.

 

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menerapkan metode penelitian hukum normatif atau lebih dikenal sebagai penelitian doktrinal. Metode ini berfokus pada analisis sistematis terhadap sumber-sumber hukum tertulis, termasuk peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, doktrin hukum, serta pendapat para pakar hukum (Marune, 2023). Tujuan utamanya adalah untuk mengeksplorasi, menafsirkan, dan mengevaluasi penerapan serta koherensi norma-norma hukum dalam konteks tertentu. Penelitian ini mengadopsi pendekatan preskriptif melalui metode statute approach, yang mengutamakan kajian terhadap produk legislasi guna mengkaji konsistensi hierarki peraturan dan asas-asas hukum terkait topik penelitian. Bahan hukum primer terdiri atas peraturan perundang-undangan dan regulasi terkait, sedangkan bahan hukum sekunder mencakup literatur akademik dan publikasi resmi yang relevan (Marzuki, 2021).

Penelitian ini memanfaatkan pendekatan analitis terhadap materi hukum yang relevan dengan pendekatan deduktif, yang diawali dengan kajian terhadap prinsip-prinsip hukum umum dan dilanjutkan dengan analisis terhadap objek spesifik penelitian. Pendekatan deduktif dalam analisis hukum terdiri atas dua premis utama: premis mayor dan premis minor. Premis mayor merujuk pada aturan hukum yang berlaku secara umum, sedangkan premis minor berfokus pada fakta atau kondisi tertentu yang relevan dengan aturan tersebut. Melalui kombinasi kedua premis tersebut, diperoleh kesimpulan yang merumuskan solusi atau jawaban atas permasalahan hukum yang dianalisis (Hehanussa,  et al, 2023).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

1.    Aturan Penggunaan Merek menurut Perundang-Undangan

Indonesia telah mempunyai ketetapan hukum mengikat tentang Merek sebagaimana tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Payung hukum terhadap merek menjadi sangat penting karena merek tidak hanya memiliki nilai ekonomis, tetapi juga berfungsi sebagai penanda kualitas produk atau jasa pada kegiatan transaksi komersil, dan sebagai pembeda dari produk atau jasa lain yang sejenis. Hanuka & Supanto (2020) memberikan penjelasan bahwa kegunaan hukum merek berawal dari kebutuhan akan perlindungan hukum di ranah komersial, seperti hak cipta, mengingat merek dagang umumnya mencakup unsur desain seperti ikon dan tipografi yang berfungsi menjadi ciri pembeda dengan produk atau jasa sejenis lainnya.

Pasal 1 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, merek merupakan simbol yang dapat divisualisasikan secara grafis, mencakup elemen seperti gambar, logo, kata-kata, huruf, angka, kombinasi warna, serta bentuk dalam dua maupun tiga dimensi. Selain itu, merek juga bisa berbentuk suara, hologram, atau perpaduan dari berbagai unsur tersebut. Fungsi utamanya adalah untuk membedakan barang atau jasa yang diproduksi oleh individu atau badan hukum agar konsumen dapat mengenali sumbernya secara jelas. Meskipun secara fisik merek bukanlah sesuatu yang spesifik, keberadaannya sangat penting dalam konteks sosial. Ketika seseorang menggunakan produk dari merek tertentu, reputasi merek tersebut akan menjadi tolak ukur penilaian (Nopiana & Disemadi, 2021). Konsumen cenderung merasa puas jika produk yang mereka pilih memiliki kualitas sesuai dengan citra merek yang diharapkan.

Hak merek merupakan hak eksklusif yang memberikan perlindungan khusus bagi pemiliknya. Menurut UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, hak eksklusif terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Hak moral bersifat abadi dan hanya dapat dialihkan kepada pihak tertentu setelah pemiliknya wafat. Sementara itu, hak ekonomi memungkinkan pemilik untuk melakukan kegiatan seperti penerbitan, reproduksi, dan distribusi karya.

Pengaturan hukum terkait merek diatur melalui sejumlah peraturan perundang-undangan. Pengaturan dimulai dengan PP No. 24 Tahun 1993 yang mengatur kelas barang dan jasa untuk pendaftaran merek. Selanjutnya, pada tahun 1995, diterbitkan PP No. 32 yang membentuk Komisi Banding Merek sebagai forum penyelesaian sengketa merek. Pada tahun 2005, struktur organisasi dan fungsi Komisi Banding Merek diperjelas melalui PP No. 07 Tahun 2005. Regulasi tersebut kemudian diperkuat oleh UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yang bertujuan untuk meningkatkan perlindungan merek secara lebih komprehensif. Pada tahun yang sama, Menteri Hukum dan HAM menetapkan PP No. 67 Tahun 2016 yang mengatur prosedur pendaftaran merek. Diikuti dengan Keputusan DJKI No. HKI-02.KI.06.01 Tahun 2017, tentang ketentuan mengenai formulir permohonan merek. Selanjutnya, PP No. 22 Tahun 2018 diterbitkan untuk mengakomodasi sistem pendaftaran merek internasional berdasarkan Protokol Madrid. Terakhir, pemerintah menetapkan PP. No. 28 Tahun 2019 yang mengatur jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak di Kementerian Hukum dan HAM terkait layanan kekayaan intelektual (Khelvin & Disemadi, 2022).

2.    Bagaimana Pertanggungjawaban Hukum Penyedia Platform terhadap Barang yang Melanggar Merek dalam Marketplace sesuai Hukum yang Berlaku di Indonesia

Pelanggaran merek melalui platform e-commerce telah diatur secara jelas terkait tanggung jawab penyedia platform dalam UU No. 19 Tahun 2016. Di mana termaktub dalam pasal 15 (1) yang secara tegas menjelaskan UU ITE penyelenggara sistem elektronik bertanggung jawab atas operasional sistem elektroniknya termasuk pengelolaan konten yang diunggah oleh pengguna. Terdapat pengecualian sebagaimana dijelaskan Pasal 15 (3) UU ITE, bahwa penyelenggara sistem elektronik tidak bertanggung jawab apabila dapat dibuktikan bahwa pelanggaran terjadi akibat keadaan memaksa, kesalahan, atau kelalaian pihak pengguna (Sofian, 2024).

Peraturan lain yang mengatur pertanggungjawaban platform e-commerce adalah SE Kemenkominfo No. 5 Tahun 2016 tentang Batasan dan Tanggung Jawab Penyedia Platform dan Pedagang (Merchant) dalam Electronic Commerce yang Berbentuk User Generated Content (Djamaludin & Fuad, 2024). Surat edaran ini mengatur kewajiban bagi platform e-commerce untuk melakukan pengawasan terhadap konten yang dipublikasikan serta menghapus barang atau jasa yang berpotensi melanggar hak kekayaan intelektual dan konten negatif. Langkah ini bertujuan untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi serta menjaga integritas ekosistem perdagangan digital.

Penjelasan tersebut dapat dipahami secara logis, mengingat Surat Edaran Menteri tidak termasuk dalam jenis peraturan perundang-undangan. Hal ini menyebabkan ketentuan dalam SE Kemenkominfo No. 5 Tahun 2016 tentang pembatasan tanggungjawab pengguna e-commerce tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dalam pemberian ketegasan terhadap penyedia platform. Di mana apabila penyedia platform marketplace tidak mentaati peraturan dimaksud, maka penyedia layanan tidak bisa dikenakan pertanggungjawab hukum karena SE Kemenkominfo tidak dijelaskan secara eksplisit tentang muatan dan sankdi hukumnya.

Dalam penjelasan lanjutan, apabila terjadi proses jual beli dengan pelanggaran hak merek yang dilakukan melalui  platform e-commerce sehingga memunculkan fakta adanya perbuatan melanggar hukum antara penjual dan pemegang sah merek. Proses hukum yang terjadi adalah bentukan ikatan sistem undang-undang. Hal tersebut dijelaskan pasal 1352 dan 1353 KUHPerdata  menimbulkan hubungan hukum antara pelaku usaha (penjual) dan pemilik merek yang sah. Hubungan hukum ini berbentuk perikatan yang lahir karena undang-undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 1352 dan Pasal 1353 KUHPer. Pasal 1352 menjelakan ikatan dari pemberlakukan undang-undang dapat muncul karena ketentuan undang-undang itu sendiri atau sebagai akibat dari suatu perbuatan. Sementara itu, Pasal 1353 memberikan ketegasan tentang perikatan yang timbul dari tindakan seseorang dapat berupa perbuatan yang sah, yaitu sesuai hukum, atau perbuatan melanggar hukum yang bertentangan dengan peraturan dan berpotensi merugikan pihak lain.

Pembebanan tanggung jawab hukum terhadap penyedia platform e-commerce dapat didasarkan pada ketentuan Pasal 1365 KUHPer, yang memberikan dasar bahwa setiap tindakan yang melanggar hukum dan menimbulkan kerugian dapat digugat untuk pemulihan kerugian sesuai hukum yang berlaku serta mengharuskan pihak yang melakukan kesalahan untuk mengganti kerugian tersebut. Syarat-syarat untuk mengajukan gugatan atas dasar kesalahan ini meliputi  unsur-unsur perbuatan melawan hukum mencakup: pertama, adanya tindakan yang tidak sesuai dengan standar kehati-hatian yang wajar; dan kedua, terbuktinya kelalaian tergugat dalam menjalankan kewajiban untuk bertindak hati-hati terhadap penggugat. dan ketiga, adanya hubungan sebab-akibat langsung (proximate cause) antara tindakan tersebut dan kerugian yang timbul (Mohd, et all, 2024)

Ketentuan termaktub Pasal 1365 KUHPer prinsip dasarnya mengedepankan pertanggungjawaban yang didasari oleh kesalahan perbuatan. Dengan kata lain, seseorang hanya dapat dimintai pertanggungjawaban hukum apabila dapat dibuktikan terdapat elemen mendasar terhadap perbuatan melanggar hukum yang telah dilakukan (Kristiyanti, 2022). Dalam konteks marketplace, walaupun terdapat pembuktian bahwa pelanggaran merek tidak berasal dari penyedia platform secara langsung, maka pelaku tetap dikenakan pertanggungjawaban atas peran dalam pendistribusian barang tersebut. Penyedia platform seharusnya melakukan kontrol dan pengawasan terhadap produk-produk yang diunggah oleh penjual untuk mengidentifikasi potensi pelanggaran.

Jaminan perlindungan terhadap hak-hak pemilik merek juga sejalan dengan Pasal 83 UU No. 20 Tahun 2016 memberikan hak kepada pemilik merek untuk mengajukan gugatan terhadap pihak yang menggunakan merek tanpa izin. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan Pasal 15 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2016 tidak dapat dijadikan alasan untuk menghindari tanggung jawab sepenuhnya. Pasal tersebut pada dasarnya memberikan pengecualian bagi penyedia platform jika terbukti akibat adanya keadaan memaksa (overmacht), kesalahan (schuld), atau kelalaian (nalatigheid) dari pengguna yang mengakibatkan kerugian bagi pihak lain., namun tidak berarti penyedia platform bebas dari kewajiban untuk melakukan pengawasan. Pembebanan tanggung jawab kepada penyedia platform berlandaskan pada fundamental hukum, kehati-hatian dan niatan baik  seperti diatur Pasal 3 UU No. 19 Tahun 2016. Dengan demikian, pengaturan mengenai tanggung jawab penyedia platform dalam konteks marketplace perlu diperjelas dan diperkuat, baik melalui revisi UU ITE maupun peraturan khusus yang mengatur penyelenggaraan e-commerce di Indonesia.

 

Pembahasan

Sebagai bangsa yang memiliki kekayaan seni dan budaya yang melimpah, Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan terhadap hak cipta milik warganya dari berbagai bentuk pelanggaran. Praktik pembajakan dan pemalsuan semakin marak terjadi dan, ironisnya, mulai dianggap sebagai hal yang lumrah di masyarakat, meskipun tindakan tersebut jelas merugikan para pencipta dan melanggar hukum. Baik sebagai pelaku pemalsuan maupun sebagai konsumen produk palsu, sebagian masyarakat Indonesia tampak semakin terbiasa dengan praktik ilegal tersebut (Risandi & Disemadi, 2022).

Peningkatan aktivitas perdagangan turut berkontribusi pada semakin meluasnya peredaran merek palsu. Awalnya, pengaturan mengenai merek diatur melalui UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Namun, seiring berkembangnya kebutuhan masyarakat di bidang merek dan indikasi geografis, undang-undang tersebut dinilai tidak lagi memadai. Oleh karena itu, dilakukan pembaruan melalui UU No. 20 Tahun 2016 yang mempunyai tujuan mulia yaitu memperkuat payung hukum yang melindungi potensi ekonomi daerah dan nasional.

Prinsip yang digunakan di Indonesia adalah first-to-file, di mana kepemilikan merek ditentukan berdasarkan urutan pendaftaran, bukan penggunaan (Nurainy & Danyathi, 2023). Hak atas merek dilindungi selama 10 tahun sejak pendaftaran dan dapat diperbarui untuk durasi yang setara, dengan ketentuan bahwa permohonan perpanjangan diajukan maksimal enam bulan sebelum masa berlaku berakhir, atau dalam waktu 6 bulan setelahnya dengan dikenakan denda. Sesuai Pasal 36 UU No. 20 Tahun 2016, perpanjangan hanya berlaku jika merek digunakan sesuai klasifikasi dalam sertifikat dan produk atau jasa tersebut masih aktif diperdagangkan. (Utomo et al., 2021).

Alih kepemilikan merek tidak bisa dilakukan secara bebas, karena legitimasi kepemilikan hanya dapat dibuktikan melalui sertifikat resmi yang diterbitkan oleh DJKI setelah pendaftaran dilakukan sesuai prosedur. Pendaftaran ini bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum, terutama di negara dengan sistem civil law, di mana bukti tertulis sangat penting. Potensi sengketa kepemilikan merek tetap tinggi, sehingga penting bagi pencipta merek untuk mendapatkan persetujuan dari DJKI sebagai pemegang hak pertama yang mendaftarkan merek tersebut (Nopiana & Disemadi, 2021).

SE Kemenkominfo No. 5 Tahun 2016 mengatur tanggung jawab penyedia platform e-commerce untuk mengawasi dan menghapus barang atau jasa yang melanggar hak kekayaan intelektual, termasuk konten negatif. Namun, pengawasan hanya dilakukan jika ada laporan dari pihak yang dirugikan, sehingga penyedia platform tidak diwajibkan melakukan kontrol aktif atas produk yang diperdagangkan. Akibatnya, efektivitas aturan ini dianggap masih lemah dalam mencegah pelanggaran hak merek. Ketentuan ini membuka peluang bagi penyedia platform e-commerce untuk menghindari tanggung jawab atas konten yang diunggah oleh penggunanya, termasuk produk yang melanggar hak merek. Pada praktiknya, model bisnis marketplace yang memungkinkan pengguna untuk mengunggah produk mereka sendiri menimbulkan kerentanan terhadap potensi pelanggaran merek. Kondisi ini berpotensi mengaburkan batas tanggung jawab penyedia platform dalam memastikan bahwa produk yang diperdagangkan tidak melanggar hak merek pihak lain (Shidiq et al, 2021). Meskipun ketentuan tersebut secara formal memberikan dasar bagi penyedia platform untuk melakukan pengawasan terhadap barang yang melanggar merek, mekanismenya hanya dapat dijalankan apabila terdapat laporan dari pihak yang merasa dirugikan. Artinya, tidak ada kewajiban bagi penyedia platform untuk melakukan kontrol aktif terhadap produk-produk yang diperdagangkan di situs mereka.

SE Kemenkominfo No. 5 Tahun 2016 hanya mewajibkan penghapusan konten pelanggaran setelah adanya laporan, sehingga efektivitasnya dinilai lemah. Arkan & Rahaditya (2024) menekankan bahwa surat edaran tidak memiliki kekuatan mengikat seperti peraturan perundang-undangan karena tidak memuat norma hukum berupa larangan, perintah, atau kewenangan tertentu. Akibatnya, keberlakuan dan efektivitas SE Kemenkominfo No 5 Tahun 2016 tersebut masih terbatas dalam penerapannya. Ketiadaan tanggung jawab hukum bagi penyedia platform terkait pelanggaran merek yang dilakukan oleh pengguna menjadi persoalan mendesak yang perlu diatur lebih jelas dalam peraturan perundang-undangan. Dalam konteks marketplace, konten yang ditampilkan merupakan tanggung jawab penjual sebagai user. Namun, sebagai pihak pengelola platform, penyedia marketplace tetap memiliki kewenangan menentukan konten dan pengawasan terhadap produk yang dijual.

Pembiaran atas peredaran barang yang melanggar hak merek dapat dianggap sebagai bentuk kelalaian yang merugikan pihak yang berhak. Dalam hal ini, penyedia platform tidak dapat beralasan bahwa mereka tidak bertanggung jawab sepenuhnya atas konten yang diunggah oleh pengguna platformnya. Sebagai pengelola e-commerce, mereka tetap berperan dalam memfasilitasi transaksi, termasuk menerima pembayaran dari konsumen dan menyerahkan dana kepada merchant dalam jangka waktu tertentu (Rerung, 2018).). Dengan demikian, mereka turut serta dalam proses distribusi produk yang berpotensi melanggar hukum.

 

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penelitian ini mengidentifikasi urgensi perlindungan hukum terhadap merek di Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis serta regulasi terkait lainnya. Perlindungan merek tidak hanya memiliki nilai ekonomis, tetapi juga berfungsi sebagai penjamin kualitas produk dalam transaksi komersial. Namun, dalam konteks perdagangan digital melalui platform marketplace, mekanisme pengawasan terhadap pelanggaran merek belum efektif. SE Nomor 5 Tahun 2016 hanya mengatur penghapusan konten setelah adanya laporan, tanpa disertai sanksi tegas bagi penyedia platform yang tidak menjalankan kewajibannya secara optimal. Akibatnya, celah hukum ini berpotensi dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk memperdagangkan produk yang melanggar hak merek.

Saran

Berdasarkan temuan penelitian ini, disarankan agar pemerintah memperkuat regulasi terkait tanggung jawab penyedia platform digital dalam mengawasi konten yang berpotensi melanggar hak merek. Regulasi yang lebih tegas dan dilengkapi dengan sanksi yang jelas akan mendorong platform e-commerce untuk lebih bertanggung jawab dalam memastikan tidak adanya produk ilegal yang diperdagangkan di situs mereka. Selain itu, penerapan sistem pengawasan aktif berbasis teknologi sangat penting untuk mendeteksi potensi pelanggaran hak merek secara lebih efektif. Penyedia platform harus proaktif dalam melakukan kontrol terhadap produk-produk yang diunggah oleh pengguna, bukan hanya menunggu laporan dari pihak yang dirugikan. Edukasi kepada masyarakat terkait pentingnya perlindungan hak merek juga perlu ditingkatkan. Sosialisasi ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran hukum, baik bagi pelaku usaha agar tidak memperdagangkan produk palsu, maupun bagi konsumen agar lebih selektif dalam memilih produk. Terakhir, diperlukan kolaborasi yang lebih erat antara Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta penyedia platform digital dalam melakukan pengawasan terhadap pelanggaran hak merek di ruang digital. Koordinasi antarlembaga ini akan memperkuat upaya penegakan hukum dan menciptakan lingkungan perdagangan digital yang lebih tertib dan terlindungi.

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

A. Dianda and M. G. R. Pandin, (2021) “E-Commerce in Strengthening The Economy During The Covid- 19 Pandemic: A Historical Review,” J. Ekon. Bisnis JAGADITHA, 8(2), 179–186

Akbar, M. A., & Alam, S. N. (2020). E-Commerce Dasar Teori Dalam Bisnis Digital. Yayasan Kita Menulis.

Arkan, Muhammad & Rahaditya. 2024. Pertanggungjawaban Hukum Penyedia Platform Terhadap Fenomena Pelanggaran Merek di Marketplace. Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia. 8(1). 632-641

Budi, I. B. K. T. (2020). Implementasi Ketentuan Pidana Sebagaimana Di Atur Dalam Pasal 100 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis Terkait Pelanggaran Merek Di Pasar Anyar Singaraja. Tesis. Universitas Pendidikan Ganesha.

Dewati Ayu, N.M.Y., & Jakaria. (2023). Pengaruh E-Commerce Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Jurnal Ekonomi Trisakti, 3(2), 2891– 2900. 9

Djamaludin, Samsul & Fuad, Fokky. (2024). Pertanggungjawaban Hukum Marketplace di Indonesia terkait Pelanggaran Hak Cipta: Tantangan, Regulasi, dan Upaya Pencegahan dalam Era E-Commerce. Jurnal : UNES Law Review. 6(3). 7980-7992

Giantama, A.N. dan Kholil, Munawar. (2020). Pertanggungjawaban Hukum Penyedia Platform Terhadap Barang Yang Melanggar Merek Dalam Marketplace. Junal Privat Law. 8(1). 21-27

Hanuka, K., & Supanto. (2020). Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pemalsuan Merek Helm Sebagai Tindak Pidana Hak Kekayaan Intelektual. Jurnal Hukum Pidana dan Penanggulangan Kejahatan, 9(3), 195–202.

Hehanussa, Deassy J., et al. (2023). Metode Penelitian Hukum. Bandung : CV. Widina Media Utama

Kemendag RI. 2024. Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Perdagangan, Jakarta : Kemendag

Khelvin Risandi, & Hari Sutra Disemadi. (2022). Pemalsuan Merek Sepatu di Indonesia: Pengaturan Dan Sanksi?. Jurnal Komunikasi Hukum (JKH), 8(2), 315–326.

Kristiyanti, Celina Tri Siwi. (2022), Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : Sinar Grafika

Marune, A. E. M. S. (2023). Metamorfosis Metode Penelitian Hukum: Mengarungi Eksplorasi Yang Dinamis. Civilia: Jurnal Kajian Hukum Dan Pendidikan Kewarganegaraan, 2(4), 73–81.

Marzuki, Peter Mahmud. (2021). Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana

Mohd, Y. D., Siti Yulia Makkininnawa YD, S., & M Fadly Daeng Yusuf, F. (2024). Hukum Perlindungan Konsumen. Pekanbaru : Taman Karya

 

Nanda, Wella Mareta, (2022). Tanggung Jawab Penyelenggara Platform Atas Peredaran Produk Imitasi Pada Marketplace. Jurnal Pamator : Jurnal Ilmiah Universitas Trunojoyo. 15(2). 1-10

Nopiana, N., & Disemadi, H. S. (2021). Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Hak Merek: Suatu Kajian Komparatif antara Jepang dan Indonesia. Widya Yuridika: Jurnal Hukum, 4(2). 389-400

Nurainy, D.A, & Danyathi, A.P.L. (2023). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Merek Di Indonesia. Jurnal : Kertha Desa, 11(4). 2314-2322

Panjaitan, H. (2021). Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta : Jala Permata Aksara

Rerung, R. R. (2018). E-Commerce, Menciptakan Daya Saing Melalui Teknologi Informasi. Yogyakarta : Deepublish.

Rusman, Rahman Syawal, (2020). Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak Merek dalam Perdagangan Elektronik di Marketplace.  Procceding: Call for Paper, National Conference on Law Studies. 2(1). 170-181.

Shidiq, M. P., Suseno, S., & Safiranita, T. (2021). Transaksi Elektronik Illegal Pada Platform Marketplace Tokopedia. Jurnal Sains Sosio Humaniora, 5(1), 352–362.

Sinaga, Niru Anita, & Ferdian, Muhammad. (2020) Hak Merek yang Dilakukan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Transaksi Elektronik (e-commerce). Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, 10(2). 76-90

Sofian, Rahman. (2024).  Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Transaksi Cash On Delivery (COD) Online Marketplace Atas Kasus “Ghosting Order”. Jurnal Kertha Semaya, 12(5). 882-905

Utomo, Y., Pranawa, B., & Putra, T. H. (2021). Pendaftaran Merek Sepatu Vans Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak Merek Berdasarkan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2016. Jurnal Bedah Hukum, 5(2), 94–105.

 

 Untuk tindak lanjut silahkan : klik DOWNLOAD atau hub. (WA) 081327121707 - (WA) 081327789201 terima kasih 

 

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar, hindari unsur SARA.
Terima kasih