Menerima Pembuatan TESIS-SKRIPSI-PKP UT, Silahkan Baca Cara Pemesanan di bawah ini

Lencana Facebook

banner image

Rabu, 25 Juni 2025

KOLABORASI MULTISTAKEHOLDER DALAM PENGELOLAAN DANA DESA SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN TATA KELOLA DESA YANG PARTISIPATIF DAN TRANSPARAN MAPU5101/TEORI ADMINISTRASI MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK

 

 

 

 

 

 

 


TUGAS 3

 

 

KOLABORASI MULTISTAKEHOLDER DALAM PENGELOLAAN DANA DESA SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN TATA KELOLA DESA YANG PARTISIPATIF DAN TRANSPARAN

 

 

 

MAPU5101/TEORI ADMINISTRASI

MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK

 

 

 

 

Oleh

…………………………………..

…………………………

 

 

 

 

 

PROGRAM PASCA SARJANA

MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK

UNIVERSITAS TERBUKA

2025


BAB I

PENDAHULUAN

 

Pembangunan desa menjadi salah satu fokus utama dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dari tingkat yang paling bawah. Melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pemerintah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada desa untuk dapat mengelola urusan pemerintahan dan pembangunan, termasuk permasalahan pengalokasian Dana Desa. Namun dalam pelaksanaannya pengelolaan dana desa tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada perangkat desa saja. Diperlukan kerja sama serta keterlibatan secara aktif berbagai pihak yang disebut sebagai multi stakeholders untuk menjamin proses pengelolaan berjalan secara partisipatif dan transparan(Awaluddin, 2021).

Kolaborasi multi stakeholder dalam pengelolaan dana desa adalah bentuk kerja sama yang melibatkan berbagai pihak yang memiliki kepentingan, tanggung jawab, maupun pengaruh dalam pembangunan desa. Pihak-pihak tersebut terdiri dari pemerintah desa sebagai pengelola utama, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai lembaga legislatif desa, masyarakat sebagai penerima manfaat sekaligus pengawas langsung, tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh sosial, lembaga swadaya masyarakat yang sering kali hadir membawa perspektif pemberdayaan, serta sektor swasta yang potensial dalam mendukung pendanaan atau inovasi pembangunan (Putri & Murdhani, 2025). Sinergi antar unsur tersebut menciptakan ruang kolaboratif yang inklusif dan terbuka untuk membangun desa secara bersama-sama.

Tujuan dari kolaborasi ini bukan sekadar mempercepat pelaksanaan program pembangunan, melainkan juga untuk memperkuat aspek pengawasan dan akuntabilitas publik (Yadisar, 2025). Ketika berbagai pihak terlibat sejak tahap perencanaan hingga evaluasi, maka transparansi penggunaan dana desa akan lebih mudah untuk diwujudkan. Masyarakat tidak lagi hanya melihat dan menjadi penonton, melainkan turut serta dalam menjaga agar proses pengelolaan berjalan sesuai aturan dan kebutuhan. Hal tersebut sekaligus menjadi bentuk penguatan kapasitas kelembagaan desa dalam membangun sistem tata kelola yang sehat dan berorientasi pada kepentingan bersama (Sentanu et al., 2024).

Stone, Crosby dan Bryson (2013) menyatakan bahwa kolaborasi multistakeholder adalah bentuk kerja sama lintas sektor yang dirancang untuk menangani persoalan publik yang kompleks melalui proses deliberatif dan keterlibatan semua aktor terkait. Dalam konteks desa, model kolaboratif ini menjadi sangat relevan karena banyak persoalan pembangunan di tingkat desa bersifat multidimensi dan tidak bisa diselesaikan oleh satu pihak saja. Pendekatan ini memungkinkan desa untuk mengoptimalkan berbagai sumber daya, memperkuat legitimasi kebijakan, dan menciptakan solusi yang lebih berkelanjutan serta responsif terhadap kebutuhan masyarakat lokal (Awaluddin, 2021).Arnstein (2019) menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat secara bermakna. Ketika masyarakat hanya diberi informasi, maka belum terjadi partisipasi yang sejati. Namun saat mereka dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi, maka tercipta pengelolaan yang partisipatif dan demokratis.

Beberapa penelitian mendukung pentingnya kolaborasi ini. Penelitian oleh Putri dan Murdhani (2025) menemukan bahwa pelibatan berbagai pemangku kepentingan secara langsung dalam pengelolaan dana desa berdampak positif terhadap transparansi anggaran dan kepercayaan masyarakat. Sementara itu, Pratama et al., (2021) menyebut bahwa kolaborasi antara BPD, pemerintah desa, dan masyarakat mendorong lahirnya inovasi kebijakan lokal yang lebih adaptif terhadap kebutuhan desa. Penelitian lainnya oleh Wardani dan Fauzi (2019) menegaskan bahwa tata kelola dana desa yang berbasis kolaborasi multistakeholder lebih efektif dalam mengurangi konflik internal dan meningkatkan efisiensi penggunaan anggaran. Bahkan studi dari Yuliandari dan Wulandari (2022) menunjukkan bahwa kolaborasi ini berperan dalam mengurangi risiko penyimpangan dana dan memperkuat kontrol sosial masyarakat terhadap pemerintah desa.

Berdasarkan paparan di atas, maka makalah ini akan mengulas dua rumusan masalah utama: (1) Bagaimana bentuk kolaborasi multistakeholder dalam pengelolaan dana desa? dan (2) Sejauh mana kolaborasi multistakeholder dapat mewujudkan tata kelola desa yang partisipatif dan transparan? Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memahami bagaimana kolaborasi lintas pemangku kepentingan dapat memperkuat prinsip-prinsip partisipasi dan transparansi dalam pengelolaan dana desa, serta memberikan gambaran mengenai praktik kolaboratif yang efektif di tingkat desa.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.  Bentuk Kolaborasi Multistakeholder dalam Pengelolaan Dana Desa

Kolaborasi multi stakeholder dalam pengelolaan dana desa pada dasarnya merupakan upaya membangun sinergi antar pemangku kepentingan dalam seluruh tahapan pengelolaan dana desa, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan. Bentuk kolaborasi ini dapat berwujud dalam forum-forum musyawarah desa, pembentukan tim pelaksana kegiatan yang inklusif, keterlibatan lembaga lokal, serta kerja sama strategis dengan sektor swasta maupun LSM (Hardi, 2020). Yang terpenting dari bentuk kolaborasi tersebut adanya ruang dialog dan pengambilan keputusan yang terbuka, sehingga setiap pihak dapat berkontribusi sesuai kapasitas dan perannya masing-masing.

Pengelolaan dana desa di Indonesia melibatkan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan lintas sektor. Pengawasan dana desa yang efektif membutuhkan keterlibatan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, BPD, dan masyarakat desa itu sendiri. Dengan demikian, kolaborasi antar pemangku kepentingan dari perencanaan hingga pengawasan sangat penting untuk akuntabilitas dan keberhasilan program (Yuliandari & Wulandari, 2022).

1.    Tahap Perencanaan

Langkah-langkah dalam tahap perencanaan.

a.    Musyawarah Dusun dan Desa. Perencanaan dana desa difasilitasi melalui forum partisipatif. Pada musyawarah dusun (Musdus), perangkat desa mengumpulkan warga bersama BPD, tokoh masyarakat, dan bahkan aparat kepolisian untuk sosialisasi anggaran dan menampung usulan rakyat. Tahap musyawarah desa (Musdes) berikutnya dihadiri unsur serupa (Perangkat Desa, BPD, kepolisian, tokoh masyarakat) untuk membahas Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDesa) yang akan dijadikan dasar APBDes (Zulaifah, 2020).

b.    Tim Penyusun RKPDesa. Desa membentuk tim perencanaan resmi yang mencakup berbagai elemen desa. Misalnya di Lipulalongo, tim RKPDesa terdiri dari “Kepala Desa, Perangkat Desa, Tokoh-Tokoh dan Lembaga yang ada di Desa serta BPD”. Pembentukan tim kolaboratif ini ditujukan agar rancangan anggaran desa terarah pada kebutuhan dan peningkatan kesejahteraan warga (Wardani & Fauzi, 2019).

c.    Dialog Terbuka dan Kepercayaan. Kolaborasi dibangun melalui komunikasi langsung antar-aktor. Proses perencanaan mengedepankan face-to-face dialogue dalam setiap musyawarah, sehingga setiap pihak dapat menyampaikan pandangan secara terbuka. Pendekatan transparan dan dialogis ini membangun kepercayaan (trust building) antar-aktor desa; pemerintah desa mengedepankan asas transparansi agar kepercayaan masyarakat tumbuh bersama pemahaman program.

2.    Tahap Pelaksanaan

Tahapan pelaksanaan meliputi.

a.    Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) dan Partisipasi Warga: Pelaksanaan program dana desa dikelola oleh tim terpadu di tingkat desa. Tim ini umumnya terdiri dari perangkat desa, tokoh masyarakat, serta perwakilan warga (sering didampingi pendamping profesional). Mahadiansar et al., (2020) mencatat bahwa warga desa harus aktif terlibat dalam eksekusi proyek fisik dan kegiatan pemberdayaan sesuai kesepakatan RKPDesa.

b.    Kolaborasi Lintas Sektor. Pelaksanaan dana desa kerap melibatkan sinergi dengan pihak di luar desa. Sebagai contoh, perguruan tinggi, dinas terkait, atau sektor swasta dapat dilibatkan sebagai mitra pendamping. Penelitian Kamuli et al. (2023) menyarankan penguatan “kolaborasi lintas sektor” untuk keberlanjutan program pemberdayaan desa. Sinergi ini membantu menambah sumber daya dan keahlian yang dibutuhkan, seperti pendampingan teknis atau akses tambahan pembiayaan.

3.    Tahap Pengawasan

a.    Pengawasan Lintas Pihak.Pengelolaan dana desa diawasi bersama oleh berbagai elemen. Selain aparat desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan warga desa terlibat aktif mengawal realisasi anggaran. Hasil studi Kholik (2020) menegaskan pengawasan efektif memerlukan keterlibatan “pemerintah daerah, BPD, dan masyarakat desa”. Lewat kolaborasi ini, masyarakat dan wakil desa dapat mengidentifikasi dan melaporkan penyimpangan secara dini.

b.    Peran Aparat Penegak Hukum. Aparat keamanan seperti kepolisian juga dilibatkan untuk mencegah pelanggaran. Kepolisian hadir di musyawarah desa dan memberikan saran agar warga ikut menjaga ketertiban serta “mengawal dan mengawasi pengelolaan dana Desa”. Kehadiran pihak penegak hukum ini memperkuat mekanisme kontrol bersama antar-stakeholder (Rizkyandi et al., 2022).

c.    Transparansi dan Akuntabilitas. Keterbukaan informasi adalah kunci kolaborasi dalam pengawasan. Pemerintah desa secara rutin mempublikasikan laporan keuangan dan kegiatan (sesuai regulasi), sehingga masyarakat dapat mengakses data secara transparan. Pendekatan terbuka ini terbukti menumbuhkan kepercayaan warga; misalnya, desa mengedepankan asas transparansi agar “kepercayaan masyarakat dapat tumbuh” dalam setiap program desa (Hendrawati & Pramudianti, 2020).

Secara keseluruhan, pengelolaan dana desa di Indonesia memerlukan sinergi penuh antar-aktor desa pada semua tahap. Forum musyawarah bersama, tim lintas-lembaga, dan mekanisme pengawasan partisipatif mencerminkan praktik collaborative governance dalam program dana desa. Kolaborasi semacam ini menjadi landasan agar dana desa digunakan tepat sasaran, efisien, dan akuntabel. Kolaborasi multistakeholder merupakan sebuah konsep kerja sama antara berbagai pihak yang memiliki kepentingan dan peran dalam mengelola sumber daya publik secara bersama-sama.

Bryson, Crosby, dan Stone (2013) menyebutkan bahwa kolaborasi multistakeholder adalah proses di mana berbagai organisasi dan aktor lintas sektor bergabung untuk mengatasi masalah publik yang kompleks secara kolektif. Dalam konteks pengelolaan dana desa, bentuk kolaborasi ini mencakup keterlibatan pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), masyarakat, tokoh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM), hingga sektor swasta yang berperan sebagai mitra pembangunan (Yuliandari & Wulandari, 2022).

Salah satu bentuk kolaborasi yang paling umum ditemui adalah Musyawarah Desa (Musdes). Musdes menjadi ruang utama partisipasi masyarakat dalam menetapkan arah pembangunan dan prioritas penggunaan dana desa (Putri & Murdhani, 2025). Di dalam forum ini, perwakilan dari pemerintah desa, BPD, tokoh masyarakat, perempuan, pemuda, dan kelompok rentan duduk bersama untuk menyampaikan aspirasi dan melakukan penilaian terhadap kebutuhan desa. Arnstein (2019) melalui teorinya ladder of citizen participation menjelaskan bahwa partisipasi sejati terjadi ketika masyarakat dilibatkan secara aktif dalam pengambilan keputusan, bukan hanya sebagai objek informasi. Musdes menjadi ruang bagi warga untuk memberikan aspirasi dan menilai kebutuhan desa dalam perencanaan penggunaan dana desa. Menurut Darin et al., (2022) keterbukaan dalam forum musyawarah desa berperan penting dalam meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana desa, sekaligus mengurangi potensi konflik dan penyimpangan. Musdes tidak hanya bersifat formalitas, melainkan menjadi wadah deliberasi yang sangat menentukan kualitas tata kelola dana desa. Ketika forum ini dilaksanakan secara terbuka dan inklusif, potensi terjadinya penyimpangan atau kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat dapat diminimalisir.

Selain Musdes, bentuk kolaborasi juga terlihat dari keterlibatan langsung masyarakat dalam Tim Pelaksana Kegiatan (TPK). Tim ini biasanya dibentuk berdasarkan hasil musyawarah desa dan melibatkan warga secara langsung dalam pelaksanaan program pembangunan, seperti pembangunan infrastruktur jalan desa, irigasi, atau fasilitas publik lainnya. Hatu et al.,(2024) menekankan bahwa partisipasi aktif masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan mampu memperkuat rasa kepemilikan dan meningkatkan efektivitas penggunaan dana desa. Melibatkan warga tidak hanya sebagai penerima manfaat tetapi juga pelaksana dan pengawas menjadikan proses pengelolaan dana desa lebih partisipatif dan berkelanjutan. Dengan begitu, warga bukan hanya penerima manfaat, tapi juga menjadi pelaksana sekaligus pengawas kegiatan. Ini menjadi contoh nyata dari kolaborasi berbasis community empowerment yang memperkuat rasa memiliki masyarakat terhadap hasil pembangunan.

Bentuk kolaborasi lain yang mulai berkembang adalah kerja sama antara desa dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan sektor swasta. Rahman et al., (2023) menunjukkan dalam penelitiannya bahwa kemitraan antara desa dan LSM dalam pendampingan pengembangan produk unggulan desa dapat memaksimalkan manfaat dana desa dan memperluas jaringan pemasaran. Pendekatan ini menguatkan kapasitas lokal sekaligus memperkuat tata kelola desa yang transparan dan akuntabel.

Misalnya, dalam hal pemberdayaan ekonomi lokal, beberapa desa menjalin kerja sama dengan koperasi atau pelaku UMKM untuk memanfaatkan dana desa sebagai stimulan usaha masyarakat. LSM tidak hanya memberikan pelatihan, tetapi juga mendampingi pemasaran hingga membangun jejaring dengan pihak luar. Ini membuktikan bahwa kolaborasi yang dirancang secara strategis dapat memberikan dampak ekonomi yang berkelanjutan.

Kolaborasi juga bisa dilakukan melalui pendayagunaan teknologi informasi, misalnya dengan membentuk sistem informasi pengelolaan keuangan desa berbasis digital yang dapat diakses masyarakat. Desa Ponggok, yang sudah disebutkan sebelumnya, mengembangkan sistem pelaporan terbuka yang memungkinkan masyarakat mengetahui secara langsung pengeluaran dan penggunaan dana desa melalui media digital dan papan informasi desa. Transparansi seperti ini hanya mungkin terjadi jika semua pihak menyepakati pentingnya keterbukaan dan pengawasan kolektif.

Dari berbagai bentuk di atas, dapat disimpulkan bahwa kolaborasi multistakeholder dalam pengelolaan dana desa tidak bersifat kaku atau satu model saja. Bentuknya sangat bergantung pada kapasitas lokal, komitmen pemerintah desa, dan tingkat partisipasi masyarakat. Yang terpenting adalah adanya kesadaran bersama bahwa dana desa bukan milik pemerintah desa semata, melainkan milik bersama yang harus dikelola dengan prinsip inklusivitas, transparansi, dan akuntabilitas.

B.  Peran Kolaborasi Multistakeholder dalam Mewujudkan Tata Kelola Desa yang Partisipatif dan Transparan

Tata kelola desa yang partisipatif dan transparan merupakan fondasi utama dalam memastikan bahwa pengelolaan dana desa berjalan efektif, akuntabel, dan mampu menjawab kebutuhan masyarakat secara nyata. Kolaborasi multistakeholder berperan krusial dalam hal ini, karena melibatkan berbagai elemen masyarakat yang saling mengawasi sekaligus memberikan kontribusi dalam pengambilan keputusan. Menurut Fung (2015), partisipasi publik yang bermakna dalam tata kelola publik tidak hanya meningkatkan kualitas kebijakan, tapi juga memperkuat legitimasi dan kepercayaan publik terhadap pemerintah lokal.

Kolaborasi ini memungkinkan terjadinya checks and balances antar stakeholder, sehingga praktik pengelolaan dana desa yang selama ini rawan penyimpangan bisa diminimalkan. Menurut Yuliandri dan Wulandari (2022), penguatan mekanisme partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dana desa terbukti mampu meningkatkan transparansi, karena masyarakat memperoleh akses informasi yang memadai terkait penggunaan dana dan hasil pembangunan. Dengan adanya keterbukaan informasi, masyarakat dapat mengawasi pelaksanaan program secara langsung dan memberikan masukan konstruktif kepada pemerintah desa.

Lebih jauh, Rahman et al., (2023) menekankan bahwa kolaborasi antara pemerintah desa, BPD, LSM, dan sektor swasta menciptakan lingkungan kerja yang saling menguntungkan serta mengoptimalkan sumber daya yang ada. Lingkungan yang kolaboratif ini secara otomatis mendorong tata kelola yang terbuka dan responsif terhadap aspirasi masyarakat. Misalnya, pemanfaatan teknologi digital dalam pelaporan keuangan desa yang dapat diakses oleh masyarakat luas meningkatkan tingkat transparansi serta mengurangi peluang korupsi atau penyalahgunaan dana.

Jurnal dari Kamuli et al. (2023) juga mengungkapkan bahwa kolaborasi yang efektif tidak hanya menghasilkan pengawasan yang lebih baik, tapi juga memperkuat rasa memiliki masyarakat terhadap pembangunan desa. Ketika masyarakat merasa dilibatkan secara langsung dalam pengelolaan dan pengawasan dana desa, tingkat partisipasi meningkat dan kebijakan menjadi lebih relevan dengan kebutuhan nyata di lapangan. Dengan demikian, kolaborasi multistakeholder secara signifikan berkontribusi pada terciptanya tata kelola desa yang partisipatif dan transparan.

Namun, efektivitas kolaborasi ini sangat bergantung pada komitmen semua pihak untuk menjaga komunikasi yang terbuka, menghindari konflik kepentingan, serta membangun budaya saling percaya. Tanpa itu, kolaborasi hanya akan menjadi formalitas tanpa dampak nyata. Oleh karena itu, pembinaan kapasitas dan penguatan peran lembaga-lembaga desa perlu terus dilakukan agar kolaborasi ini dapat berjalan optimal.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

 

A.  Simpulan

Kolaborasi multistakeholder dalam pengelolaan dana desa menjadi kunci utama untuk mewujudkan tata kelola desa yang partisipatif dan transparan. Bentuk kolaborasi yang melibatkan pemerintah desa, masyarakat, Badan Permusyawaratan Desa, lembaga swadaya masyarakat, dan sektor swasta tidak hanya memperkuat proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, tetapi juga memastikan adanya mekanisme pengawasan yang efektif. Melalui partisipasi aktif masyarakat dalam musyawarah desa, pelibatan dalam tim pelaksana kegiatan, serta kemitraan strategis dengan berbagai pihak, pengelolaan dana desa dapat berjalan dengan lebih akuntabel dan responsif terhadap kebutuhan lokal. Selain itu, kolaborasi ini mampu membangun budaya transparansi dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan dana desa.

Namun, keberhasilan kolaborasi ini sangat bergantung pada komitmen semua pihak untuk menjaga komunikasi yang terbuka, mendorong partisipasi yang inklusif, serta memanfaatkan teknologi informasi sebagai alat pendukung transparansi. Dengan demikian, pengelolaan dana desa tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah desa, tetapi menjadi milik bersama yang harus dikelola dengan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas.

B.  Rekomendasi

1.    Penguatan kapasitas pemangku kepentingan desa

Pemerintah daerah dan pusat perlu menyediakan pelatihan dan pembinaan bagi pemerintah desa, BPD, dan masyarakat agar mampu menjalankan kolaborasi secara efektif dan memahami prinsip-prinsip tata kelola yang baik.

 

 

 

2.    Pengembangan mekanisme partisipatif yang lebih terstruktur

Desa perlu mengembangkan mekanisme partisipatif yang terstruktur, seperti forum musyawarah yang rutin dan inklusif, serta sistem pelibatan warga dalam pengawasan penggunaan dana desa.

3.    Pemanfaatan teknologi informasi

Penggunaan teknologi digital dalam pelaporan dan pengawasan dana desa harus didorong agar transparansi dapat diakses oleh seluruh warga desa dengan mudah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Arnstein, S. R. (2019). A ladder of citizen participation. Journal of the American planning association, 85(1), 24–34.

Awaluddin, K. (2021). Partisipasi Politik Masyarakat Dan Multi Stakeholder Dalam Perencanaan Pembangunan Bendungan Di Kelurahan Pajalele Kecamatan Tellu Limpoe.

Darin, D., Moonti, U., & Dai, S. I. S. (2022). Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) Desa. Oikos Nomos: Jurnal Kajian Ekonomi dan Bisnis, 15(1), 11–21.

Fung, A. (2015). Putting the public back into governance: The challenges of citizen participation and its future. Public administration review, 75(4), 513–522.

Hardi, W. (2020). Collaborative Governance Dalam Perspektif Administrasi Publik.

Hatu, R. A., Ibrahim, R., Bumulo, S., & Adahati, F. S. (2024). Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Dana Desa di Desa Biluango, Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango. Dynamics of Rural Society Journal, 2(1, January), 1–10.

Hendrawati, E., & Pramudianti, M. (2020). Partisipasi, Transparansi Dan Akuntabilitas Perencanaan Dan Penganggaran Dana Desa. JRAK, 12(2), 100–108.

Kamuli, S., Wantu, S. M., Hamim, U., Djafar, L., Sahi, Y., & Dahiba, H. (2023). Pemberdayaan Berkelanjutan Melalui Pemanfaatan Dana Desa Bagi Masyarakat Pesisir di Desa Momalia Kecamatan Posigadan Provinsi Sulawesi Utara. Jambura Journal Civic Education, 3(2).

Kholik, S. (2020). Perencanaan pembangunan daerah dalam era otonomi daerah. Jurnal Hukum Mimbar Justitia, 6(1), 56–70.

Mahadiansar, M., Ikhsan, K., Sentanu, I. G. E. P. S., & Aspariyana, A. (2020). Paradigma pengembangan model pembangunan nasional Di Indonesia. Jurnal Ilmu Administrasi: Media Pengembangan Ilmu Dan Praktek Administrasi, 17(1), 77–92.

Pratama, A. K., Badaruddin, B., & Kadir, A. (2021). Peran Badan Permusyawaratan Desa dalam Pengawasan Dana Desa. PERSPEKTIF, 10(2), 371–382.

Putri, N. R., & Murdhani, L. A. (2025). Kolaborasi Multi-Stakeholder Dalam Pengelolaan Sampah Di Kota Parepare Provinsi Sulawesi Selatan. IPDN.

Rahman, A., Wasistiono, S., Riyani, O., & Tahir, I. (2023). Peran Organisasi Masyarakat (Ormas) dan Lembaga Swadaya Masyarat (LSM) dalam Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Ekonomis: Journal of Economics and Business, 7(2), 1461–1471.

Rizkyandi, M. D., Taufiqurrahman, T., & Jiwantara, F. A. (2022). Analisa Batas Kewenangan Bhabinkamtibmas Dalam Pengawasan Anggaran Dana Desa. Jurnal Ilmiah Hospitality, 11(1), 667–672.

Sentanu, I. G. E. P. S., Yustiari, S. H., & S AP, M. P. A. (2024). Mengelola Kolaborasi Stakeholder Dalam Pelayanan Publik. PT Indonesia Delapan Kreasi Nusa.

Stone, M. M., Crosby, B. C., & Bryson, J. M. (2013). Adaptive governance in collaborations: Design propositions from research and practice. In Nonprofit Governance (hal. 249–271). Routledge.

Wardani, M. K., & Fauzi, A. S. (2019). Analisis Penerapan Good Corporate Governance Dalam Pengelolaan Dana Desa Di Desa Sewurejo Karanganyar. Among Makarti, 11(2).

Yadisar, A. M. (2025). Strategi Peningkatan Kapasitas Aparatur Dalam Mengoptimalkan Pelayanan Publik. Fokus: Publikasi Ilmiah untuk Mahasiswa, Staf Pengajar dan Alumni Universitas Kapuas Sintang, 23(1).

Yuliandari, E., & Wulandari, S. M. (2022). Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dana desa. Souvereignty, 1(4), 745–757.

Zulaifah, I. A. (2020). Perencanaan Pengelolaan Keuangan Desa (Studi Kasus pada Desa Jlumpang, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang). Jurnal Akuntansi Dan Pajak, 21(01).

 

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar, hindari unsur SARA.
Terima kasih