Menerima Pembuatan TESIS-SKRIPSI-PKP UT, Silahkan Baca Cara Pemesanan di bawah ini

Lencana Facebook

banner image

Sabtu, 28 Juni 2025

CRITICAL REVIEW : JURNAL ILMIAH PEMERINTAHAN (DESENTRALISASI), Mata Kuliah: 5203 Pemerintahan Daerah

 

CRITICAL REVIEW

 

JURNAL ILMIAH PEMERINTAHAN (DESENTRALISASI)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Oleh:

Nama: ……………………….

NIM: …………………………..

Jurusan: ……………. ………………..

Mata Kuliah: 5203 Pemerintahan Daerah

 

 

 

 

 

UNIVERSITAS TERBUKA

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER ……………………………………………..

UPBJJ ……………………….

2025

Prayudi.2014. Desentratisasi dalam Sistem Pemerintahan Indonesia: Politik Negara di Tengah Hubungan Pusat Daerah. Jurnal Kajian Volume 19 Nomor 4.

Jurnal yang dikaji berjudul Desentralisasi dalam Sistem Pemerintahan Indonesia: Politik Negara di Tengah Hubungan Pusat-Daerah yang ditulis oleh Prayudi dan diterbitkan dalam Jurnal Kajian Volume 19 Nomor 4, Desember 2014. Topik ini sangat relevan untuk dikaji di tengah proses demokratisasi dan reformasi sistem pemerintahan di Indonesia, khususnya dalam dinamika hubungan antara pusat dan daerah yang semakin kompleks sejak era reformasi (Prayudi, 2014).

Kesan pertama saya terhadap jurnal ini adalah bahwa penulis mampu menyajikan narasi historis dan analitis secara detail mengenai bagaimana desentralisasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari eksperimen politik rezim yang berkuasa. Istilah politik eksperimentasi rezim menurut saya sangat tepat, karena menggarisbawahi bagaimana kebijakan desentralisasi sering kali berubah seiring dengan perubahan orientasi kekuasaan pemerintah pusat. Hal ini menunjukkan bahwa desentralisasi tidak pernah netral; ia selalu menjadi alat negosiasi politik antara pusat dan daerah (Prayudi, 2014).

Politik Eksperimentasi dan Tarik-Menarik Kepentingan

Makna bahwa desentralisasi senantiasa berkaitan dengan politik eksperimentasi rezim yang berkuasa menunjukkan bahwa kebijakan desentralisasi di Indonesia bergantung pada stabilitas kekuasaan politik nasional. Tarik-menarik antara pusat dan daerah adalah refleksi dari perebutan wewenang, anggaran, dan pengaruh politik. Oleh karena itu, hubungan pusat-daerah tidak pernah bersifat tetap, melainkan dinamis sesuai dengan arah politik nasional (Skocpol, 1979). Tarik-menarik kepentingan antara pusat dan daerah kerap kali mencerminkan dua arus besar: di satu sisi ada dorongan dari elite lokal dan masyarakat sipil untuk mendapatkan otonomi yang lebih luas demi mempercepat pembangunan dan meningkatkan representasi politik. Di sisi lain, ada kekhawatiran dari pusat terhadap potensi disintegrasi, penyalahgunaan kekuasaan di daerah, dan ketimpangan fiskal yang bisa mengganggu stabilitas nasional. Kedua arus ini menjadi medan eksperimen bagi setiap rezim yang memerintah untuk menyesuaikan formulasi kebijakan desentralisasi sesuai dengan kondisi sosial politik saat itu.

Sebagai contoh, pada masa awal reformasi, desentralisasi dijalankan dengan semangat euforia politik yang menghasilkan UU No. 22 Tahun 1999, tetapi ternyata menimbulkan berbagai persoalan teknis dan politik yang tidak terantisipasi. Rezim selanjutnya kemudian menyesuaikan arah kebijakan melalui UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 23 Tahun 2014 sebagai bentuk koreksi terhadap pelaksanaan desentralisasi yang dianggap terlalu longgar. Eksperimentasi ini menunjukkan bahwa kebijakan desentralisasi di Indonesia mengalami siklus penguatan dan pelemahan tergantung pada strategi politik rezim yang berkuasa. Negara tidak hanya merespons tekanan dari bawah, tetapi juga membentuk ruang-ruang kekuasaan baru yang tetap menjaga dominasi pusat melalui saluran birokrasi dan hukum formal. Dengan kata lain, politik eksperimentasi ini mencerminkan negara aktif dalam kerangka pemikiran Theda Skocpol, di mana negara bukan hanya entitas pasif yang menanggapi tekanan masyarakat, tetapi juga aktor strategis yang memiliki kepentingan mempertahankan kohesi politik dan legitimasi kekuasaan (Skocpol, 1979).

Judul jurnal sudah cukup menggambarkan isi dan cakupan tulisan. Meskipun topiknya kompleks, bahasa yang digunakan cukup akademik dan dapat diikuti oleh pembaca dengan latar belakang ilmu sosial dan politik. Namun, sebagian kalimat cenderung panjang dan berputar-putar, yang mungkin akan menyulitkan pembaca awam. Dalam pendahuluan, penulis menjelaskan bahwa desentralisasi di Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga era reformasi mengalami tarik-ulur antara kepentingan pusat dan daerah. Namun, struktur pendahuluan bisa lebih rapi apabila penulis menyusun secara kronologis tahapan perubahan politik negara terhadap desentralisasi.

Reformasi Hubungan Pusat-Daerah Pasca 1998

Wujud hubungan pusat-daerah pasca reformasi 1998 mengalami perubahan radikal melalui diterbitkannya UU No. 22 Tahun 1999. UU ini memberikan kewenangan luas kepada daerah, mencerminkan semangat otonomi sebagai antitesis dari sentralisasi Orde Baru. Namun, dalam perjalanannya muncul berbagai persoalan: lemahnya kapasitas daerah, konflik kewenangan, dan korupsi lokal. Hal ini melahirkan koreksi melalui UU No. 32 Tahun 2004 dan akhirnya UU No. 23 Tahun 2014 yang mempertegas kembali peran pusat. Dalam konteks ini, hubungan pusat-daerah terlihat sebagai siklus, di mana negara mencoba menyeimbangkan antara demokratisasi dan stabilitas nasional(Romli, 2007).

Pasca tumbangnya rezim Orde Baru tahun 1998, Indonesia memasuki era baru yang disebut era reformasi, ditandai dengan semangat demokratisasi, keterbukaan, dan desentralisasi. Desentralisasi tidak hanya dianggap sebagai upaya administratif untuk memperpendek jalur birokrasi, tetapi juga sebagai antitesis terhadap sistem pemerintahan yang sentralistik dan otoriter sebelumnya. Dalam konteks inilah, lahirlah UU No. 22 Tahun 1999, yang menjadi tonggak penting dalam transformasi hubungan pusat-daerah di Indonesia(Prayudi, 2014).

Undang-undang ini memberikan kewenangan luas kepada pemerintah daerah kabupaten dan kota, bahkan melebihi peran provinsi sebagai perantara. Pemerintah pusat secara tegas menyerahkan sebagian besar urusan pemerintahan kepada daerah, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga ekonomi lokal. Ini menjadi simbol kuat dari komitmen terhadap otonomi daerah dan pelibatan aktor lokal dalam pembangunan nasional. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan UU tersebut tidak berjalan mulus. Otonomi yang terlalu luas tanpa kesiapan kelembagaan menyebabkan berbagai permasalahan, seperti korupsi di daerah, konflik kewenangan antarlevel pemerintahan, ketimpangan antardaerah, dan munculnya raja-raja kecil di daerah yang menyalahgunakan kekuasaan. Hal ini memunculkan kesadaran baru di tingkat nasional bahwa desentralisasi tidak bisa dilepas begitu saja tanpa kontrol dan koordinasi dari pemerintah pusat (Romli, 2007). Sebagai koreksi, pemerintah kemudian memberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 yang menata ulang sistem desentralisasi. Salah satu poin penting adalah penguatan kembali peran gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. Kemudian, UU No. 23 Tahun 2014 semakin menegaskan arah recentralisasi selektif, khususnya untuk urusan strategis seperti pendidikan menengah, energi dan sumber daya mineral, kehutanan, serta perhubungan.

Ini memperlihatkan bahwa desentralisasi di Indonesia mengalami fase fluktuatif, bukan linier. Hubungan pusat-daerah ditentukan oleh interaksi antara tuntutan demokratisasi dan kebutuhan akan efisiensi pemerintahan. Negara tetap memegang kendali, meskipun memberikan ruang partisipasi kepada daerah. Dengan demikian, kebijakan desentralisasi di Indonesia bersifat adaptif terhadap tantangan yang dihadapi oleh sistem politik dan birokrasi pemerintahan (Prayudi, 2014).

Kerangka teori yang digunakan penulis cukup kuat, di antaranya pemikiran Brian C. Smith(2003), Andrew Heywood(2013), dan Theda Skocpol(1979). Namun, beberapa konsep seperti state autonomy dan liberal democracy sebaiknya dijelaskan lebih rinci agar pembaca tidak kehilangan konteks. Saya mengapresiasi bahwa penulis menempatkan kerangka pikir ini dalam konteks Indonesia, dan tidak sekadar mengutip secara tekstual. Dalam pembahasan utama, penulis memetakan secara kronologis kebijakan pemerintahan dari masa ke masa, mulai dari Orde Lama, Orde Baru, hingga era reformasi. Saya menemukan bagian ini sangat membantu untuk memahami bagaimana UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 menjadi tonggak penting reformasi hubungan pusat-daerah. Penulis juga mengulas implikasi dari perubahan ke UU No. 23 Tahun 2014 secara kritis, termasuk bagaimana penguatan peran gubernur sebagai perpanjangan tangan pusat.

Perbandingan Azas Desentralisasi Indonesia dan Negara Federal

Azas desentralisasi di Indonesia berbeda dengan negara federal seperti Amerika Serikat. Dalam sistem federal, pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan negara bagian bersifat konstitusional dan tidak dapat diubah secara sepihak. Sementara di Indonesia, sebagai negara kesatuan, desentralisasi bersifat delegatif dan bisa ditarik kembali oleh pemerintah pusat. Artinya, meskipun secara administratif tampak serupa dalam hal pembagian wewenang, secara prinsip dan kekuatan hukum, desentralisasi Indonesia lebih sentralistik dibanding federalisme sejati(Huda, 2019).

Pertanyaan penting dalam kajian desentralisasi adalah apakah prinsip desentralisasi di negara kesatuan seperti Indonesia setara atau serupa dengan desentralisasi di negara federal seperti Amerika Serikat. Untuk menjawabnya, perlu dipahami perbedaan mendasar antara sistem negara kesatuan (unitary state) dan sistem federal (federal state). Dalam negara federal seperti Amerika Serikat, pembagian kekuasaan antara pusat (federal) dan negara bagian bersifat konstitusional, tetap, dan setara. Masing-masing unit pemerintahan memiliki kedaulatan terbatas yang dijamin oleh konstitusi. Pemerintah pusat tidak bisa begitu saja menarik kembali kewenangan negara bagian tanpa melalui amandemen konstitusi atau persetujuan bersama. Hal ini menciptakan struktur yang stabil namun juga kaku(Heywood, 2013).

Sebaliknya, Indonesia sebagai negara kesatuan menganut sistem desentralisasi yang bersifat delegatif. Artinya, seluruh kewenangan berasal dari pemerintah pusat dan diberikan kepada daerah melalui undang-undang. Kewenangan tersebut bisa dikurangi, diubah, atau ditarik kembali sewaktu-waktu sesuai dengan pertimbangan politik dan hukum nasional. Tidak ada jaminan konstitusional atas kedaulatan daerah sebagaimana dalam sistem federal.

Karena itu, meskipun secara praktik Indonesia telah mendelegasikan banyak urusan kepada daerah, model desentralisasinya tetap berada dalam kerangka sentralistik. Pemerintah pusat tetap memiliki otoritas tertinggi, dan berbagai koreksi terhadap pelaksanaan otonomi daerah (seperti penarikan urusan strategis ke pusat dalam UU No. 23 Tahun 2014) membuktikan bahwa relasi kekuasaan masih sangat vertikal(Huda, 2019).

Kesimpulannya, desentralisasi di Indonesia tidak bisa disamakan dengan sistem federal. Sistem Indonesia lebih fleksibel dan menyesuaikan dengan dinamika politik dan pembangunan nasional. Sementara federalisme memberikan jaminan stabilitas kelembagaan antarpemerintahan, sistem kesatuan seperti Indonesia memberi ruang untuk manuver politik pusat dalam menjaga integrasi nasional, efisiensi administrasi, dan kontrol atas wilayah yang sangat beragam. Perbedaan ini menjadi sangat penting dalam memahami dinamika dan keterbatasan otonomi daerah di Indonesia.

Evaluasi Metodologi dan Simpulan

Metodologi yang digunakan dalam jurnal ini bersifat kualitatif dengan pendekatan historis dan analisis kebijakan. Meskipun penulis tidak secara eksplisit menyebut metode, namun narasi dan sumber-sumber yang digunakan menunjukkan pendekatan kualitatif-deskriptif yang cukup tepat untuk topik ini. Kesimpulan jurnal ini sangat kuat karena menunjukkan bahwa desentralisasi bukan hanya tentang kebijakan administrasi, melainkan menyangkut strategi kekuasaan dan stabilitas negara. Namun, akan lebih baik jika penulis menambahkan proyeksi atau refleksi terhadap masa depan hubungan pusat-daerah dalam konteks globalisasi dan era digital. Secara keseluruhan, jurnal Prayudi memberi kontribusi penting dalam diskursus kebijakan desentralisasi di Indonesia. Tulisan ini bermanfaat bagi mahasiswa pascasarjana, peneliti, dan pembuat kebijakan yang tertarik pada dinamika hubungan pusat-daerah, serta kompleksitas politik pemerintahan lokal di negara kesatuan.

 

Referensi

Heywood, A. (2013). Politics (4th ed.). Palgrave Macmillan.

 

Huda, N. (2019). Hukum pemerintahan daerah. Nusa Media.

 

Prayudi, P. (2014). Desentralisasi Dalam Sistem Pemerintahan Indonesia: Politik Negara Di Tengah Hubungan Pusat-Daerah. Kajian, 19(4), 293–310.

 

Romli, L. (2007). Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal. Pustaka Pelajar.

 

Skocpol, T. (1979). States and social revolutions: A comparative analysis of France, Russia and China. Cambridge University Press.

 

Smith, B. C. (2003). Understanding Third World Politics: Theories of Political Change and Development (2nd ed.). Palgrave Macmillan.

 

 

 Untuk tindak lanjut silahkan : klik DOWNLOAD atau hub. (WA) 081327121707-(WA) 081327789201 terima kasih 

 

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar, hindari unsur SARA.
Terima kasih