Menerima Pembuatan TESIS-SKRIPSI-PKP UT, Silahkan Baca Cara Pemesanan di bawah ini

Lencana Facebook

banner image

Thursday, 3 April 2014

PENERAPAN PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KEAKTIFAN DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MATERI MENYEDERHANAKAN DAN MENGURUTKAN BENTUK PECAHAN SISWA KELAS VI



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Pembelajaran  matematika  bukanlah  pelajaran  tentang  menghapal  rumus dan  hitung  menghitung  saja,  tetapi  matematika  merupakan  kombinasi  antara panca indra dan mental pikiran dalam menangkap suatu konsep atau pengetahuan yang  baru.  Belajar  matematika  merupakan  operasi  mental  dalam  pikiran  untuk memodifikasi  objek  pengetahuan.  Dalam  kegiatan  belajar  matematika memerlukan  keaktifan  otak  untuk  menangkap  informasi,  mengolahnya,  dan menjadi pola fikir.
Pembelajaran  matematika  harus  dapat  mengantarkan  anak  didik  untuk memiliki  kompetensi  matematika  yang  mencakup:  pemahaman  konsep, keterampilan  menjalankan  prosedur,  kemampuan  berfikir  logis,  kemampuan merumuskan,  menyajikan,  dan  menyelesaikan  masalah  matematika,  serta memiliki sikap atau merasakan bahwa matematika itu berguna dan akhirnya siswa memiliki daya fikir yang unggul dan berguna bagi dirinya sendiri.
Proses pembelajaran Matematika pada materi pokok menyederhanakan pecahan siswa kelas IV  ……………… belum sesuai harapan, rendahnya keaktifan siswa dalam pembelajaran  matematika materi menyederhanakan pecahan menjadi salah satu penyebab rendahnya hasil pembelajaran matematika materi pokok tersebut.
Pada studi pendahuluan pembelajaran  matematika materi menyederhanakan pecahan, menunjukkan hasil tes formatif siswa sangat rendah, yaitu dari 22 siswa hanya 4 siswa (18,18%) yang mencapai nilai di atas 80,  sedangkan keaktifan belajar  mencapai 27,27% , atau 6 orang  siswa dengan perolehan nilai rata-rata hasil belajar secara klasikal sebesar 65,45.
1.     Identifikasi Masalah
Melihat hasil tersebut, peneliti dibantu oleh teman sejawat mencoba untuk mengidentifikasi masalah yang ada dalam pembelajaran. Dari hasil observasi dan diskusi terungkap beberapa masalah yang terjadi  dalam pembelajaran. Masalah-masalah itu antara lain :
a.      Rendahnya  hasil belajar siswa
b.     Keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran masih sangat kurang
c.      Suasana pembelajaran yang membosankan
d.     Siswa kurang menguasai konsep tentang penyederhanaan berbagai bentuk pecahan.
e.      Kurang dipahaminya materi pembelajaran yang disampaikan oleh guru
2.     Analisis Masalah
Berdasarkan identifikasi pada masalah pembelajaran matematika materi menyederhanakan pecahan maka ada beberapa pertanyaan yang merefleksi diri (peneliti) tentang masalah tersebut.  Adapun penyebab rendahnya keaktifan dan hasil belajar siswa pada materi menyederhanakan pecahan, antara lain :
a.  Guru belum melibatkan siswa  secara aktif dalam proses kegiatan belajar mengajar
b.  Penyampaian materi pembelajaran oleh guru kurang mengena pada peserta didik
c.  Guru kurang mampu mengaitkan materi yang dipelajari dengan konsep nyata yang ada dalam keseharian siswa.
d. Pusat belajar bukan pada materi, melainkan pada guru. Atau, proses pembelajaran bersifat abstrak, sehingga siswa pasif.
e.  Metode pembelajaran yang diambil tidak tepat dan penjelasan materi terlalu cepat, sehingga berakibat pada berkurangnya minat belajar siswa terhadap materi pembelajaran.
Permasalahan  di  atas,  perlu  segera  dicari  pemecahan  atau  solusinya  agar pelajaran matematika mudah dicerna dan disenangi oleh siswa sehingga keaktifan dan hasil belajar matematika dapat meningkat. Salah satunya adalah menerapkan metode pembelajaran berdasarkan masalah karena metode ini akan melibatkan para siswa secara aktif untuk memecahkan masalah secara mandiri baik individual maupun berkelompok.
Dipilihnya metode pembelajaran melalui penerapan pembelajaran berdasarkan masalah  dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa pada pembelajaran matematika materi menyederhanakan pecahan  dengan pertimbangan anak  kelas IV termasuk tahap operasional konkrit sehingga diharapkan pelaksanaan perbaikan di kelas ................. dapat berhasil sesuai dengan kriteria keberhasilan yang telah ditentukan.

B.       Perumusan Masalah
Penyebab menurunnya hasil belajar matematika salah satunya adalah proses pembelajaran belum efektif yang berakibat pada hasil belajar tidak sesuai yang diharapkan, Sehingga yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini adalah :
1.     Bagaimana meningkatkan keaktifan siswa kelas IV .............. pada pembelajaran matematika materi menyederhanakan pecahan melalui penerapan metode pembelajaran berdasarkan masalah?
2.     Bagaimana meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV .......... pada pembelajaran matematika materi menyederhanakan pecahan melalui penerapan metode pembelajaran berdasarkan masalah?


C.      Tujuan Penelitian
a.      Untuk meningkatkan keaktifan belajar siswa dalam pembelajaran materi pokok menyederhanakan pecahan melalui penerapan metode pembelajaran berdasarkan masalah.
b.     Untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran Matematika menyederhanakan pecahan melalui penerapan metode pembelajaran berdasarkan masalah.

D.      Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat yang meliputi :
1.     Siswa
a.      Meningkatkan hasil belajar matematika materi menyederhanakan pecahan
b.     Mengembangkan  kreativitas  dan  keterampilan  berpikir  siswa dalam  menemukan  dan  membangun  sendiri  konsep  yang dipelajarinya.
2.     Guru
Dapat dijadikan wahana bagi guru supaya lebih professional dalam mengelola pembelajaran matematika materi pokok menyederhanakan pecahan di sekolah dasar.
3.     Sekolah
Dapat menambah literatur dan membantu sekolah di dalam mengambil kebijakan yang berkenaan dengan peningkatan mutu pembelajaran.



BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.   Kajian Teori
1.     Hakikat Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
a.       Pengertian Pembelajaran Matematika
Berbagai  pendapat  para  ahli  pendidikan  tentang  pengertian matematika, diantaranya  menurut asal usul kata atau etimologi dalam kamus umum  Bahasa  Indonesia  kata  matematika  mempunyai  arti  ilmu  menghitung dengan  menggunakan  bilangan-bilangan,  (J.S.  Badudu,  Suanan  Muhammad Zain,  Op,  Cit,  h.  875)  Sedangkan  menurut  (James  dalam  karso  dkk. (Jakarta: UT,  2001,  h.2)  mengatakan  bahwa,  matematika  adalah  ilmu  tentang  logika mengenai  bentuk,  susunan,  besaran,  dan  konsep-konsep  yang  berhubungan satu  dengan  rangkaian  metode  untuk  menarik  kesimpulan,  esensi  ilmu terhadap  dunia  fisik  dan    sebagai  aktivitas  intelektual.  Dalam  bukunya  R. Soedjadi  (Jakarta:  Depdiknas,  2000,  h.11)  mendefinisikan  matematika menjadi  beberapa  pengertian,  yaitu  (a)  matematika  adalah  cabang  ilmu pengetahuan eksak dan terorganisir secara sistematik, (b) matematika  adalah pengetahuan  tentang  bilangan  atau  kalkulasi,  (c)  matematika  adalah pengetahuan tentang penalaran logik yang berhubungan dengan bilangan, (d) matematika  adalah  pengetahuan  tentang  fakta-fakta  kuantitatif  dan  masalah tentang ruang dan bentuk (e) matematika adalah pengetahuan tentang struktur yang  logik,  (f)  matematika  adalah  pengetahuan  tentang  aturan-aturan  yang tepat
Depdiknas mendefinisikan matematika sebagai berikut: Matematika  merupakan suatu  bahan  kajian  yang  memiliki  objek abstrak  dan  di  bangun  melalui  proses  penalaran  deduktif,  yaitu kebenaran  suatu  konsep  di  peroleh  sebagai  akibat  logis  dari kebenaran.  Sebelumnya  sudah  diterima,  sehingga  keterkaitan  antar konsep  dalam  matematika  bersifat  sangat  kuat  dan  jelas.  (Jakarta: Balit Bang Depdiknas, 2003, h. 2).
Menurut  Suherman  dan  Soedjana  (Saleh  D,  2010:11)  “Pendekatan-pendekatan  pembelajaran  dalam  matematika  merupakan  suatu  konsep  atau prosedur   yang   digunakan  dalam  membahas  suatu  bahan  pembelajaran  untuk  mencapai  tujuan  mengajar.  Sedangkan  metode  pembelajaran  adalah  cara yang dapat  digunakan  untuk  mengajarkan  tiap  bahan  pembelajaran  misalnya  metode ceramah,  tanya  jawab,  dan  lain-lain”.  Proses  pembelajaran  seyogyanya  bukan sekedar  transfer  gagasan  dari  guru  kepada  siswa  untuk  melihat  dan  memikirkan gagasan  yang  diberikan.  Dalam  pembelajaran  matematika  lebih  memasyarakat dan tidak dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit dan menakutkan.
Istilah Matematika berasal dari bahasa Yunani “Mathematikos” secara ilmu pasti, atau “Mathesis” yang berarti ajaran, pengetahuan abstrak dan deduktif, dimana kesimpulan tidak ditarik berdasarkan pengalaman keindraan, tetapi atas kesimpulan yang ditarik dari kaidah-kaidah  tertentu melalui deduksi (Ensiklopedia Indonesia, 2006 : 249).
Dalam Garis Besar Program Pembelajaran (GBPP) terdapat istilah Matematika Sekolah yang dimaksudnya untuk memberi penekanan bahwa materi atau pokok bahasan yang terdapat dalam GBPP merupakan materi atau pokok bahasan yang diajarkan pada jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (Direkdikdas : 1994 : 14).
Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dikemukakan di atas dapatlah disimpulkan bahwa Matematika merupakan suatu ilmu yang mempelajari jumlah-jumlah yang diketahui melalui proses perhitungan dan pengukuran yang dinyatakan dengan angka-angka atau simbol-simbol.
Banyak orang yang mempertukarkan antara Matematika dengan Aritmatika atau berhitung. Padahal, matematika memiliki cakupan yang lebih luas dari pada aritmatika. Aritmatika merupakan bagian dari Matematika. Dari berbagai bidang studi yang diajarkan di sekolah, matematika merupakan bidang studi yang dianggap paling sulit oleh para siswa, baik yang tidak berkesulitan belajar dan lebih- lebih yang mempunyai kesulitan dalam belajarnya.
Menurut Johnson dan Myklebust (1967:244), Matematika adalah simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan kuantitatif dan keruangan yaitu menunjukan kemampuan strategi dalam merumuskan, menafsirkan dan menyelesaikan model matematika dalam pemecahan masalah, sedangkan fungsi teoritisnya untuk memudahkan berfikir. Dalam hal ini menunjukan pemahaman konsep matematika yang dipelajari, mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, grafik, atau diagram untuk menjelaskan keadaan atau masalah.
Matematika merupakan suatu bahan kajian yang memiliki objek abstrak dan dibangun melalui proses penalaran deduktif, yaitu kebenaran konsep diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sudah diterima, sehingga keterkaitan antar konsep dalam matematika bersifat sangat kuat dan jelas (Depdiknas, 2003 : 2)
Dalam kurikulum 2006 dikemukakan bahwa standar kompetensi mata pelajaran matematika disusun agar siswa dapat berpikir secara sistematis, logis, berfikir abstrak, dapat menggunakan matematika dalam pemecahan masalah dan komunikasi menggunakan simbol, dan diagram yang dikembangakan melalui pembelajaran yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan (Depdiknas, 2003 : 2)
Dalam peraturan Mendiknas RI.  No 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk satuan pendidikan sekolah dasar (SD) / Madrasah Ibtidaiyah (MI), dikemukakan bahwa mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berfikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Selain itu dimaksudkan pula untuk mengembangkan kemampuan menggunakan matematika dalam pemecahan masalah dan mengkomunikasikan ide atau gagasan dengan menggunakan simbol, table, diagram, dan media lain
Berdasarkan pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa mata pelajaran matematika adalah ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peranan penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia
b.      Tujuan Pembelajaran Matematika
Fungsi matematika sekolah adalah salah satu unsur masukan instrumental, yang  memiliki  objek  dasar  abstrak  dan  berlandaskan  kebenaran,  konsitensi,  pola keteraturan dan struktur yang terorganisasi dalam system proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan.
Tujuan pembelajaran matematika di Sekolah Dasar (SD) adalah untuk :
1)      Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah
2)      Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika
3)      Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh
4)      Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5)      Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (Badan Standart Nasional Pendidikan, 2006:15-16)
c.       Karakteristik Pembelajaran Matematika
Suherman (2003:67) karaktersitik pembelajaran matematika di sekolah yaitu sebagai berikut :
1)      Pembelajaran matematika langsung (bertahap).
Materi pembelajaran diajarkan secara berjenjang atau bertarap yaitu dari hal konkrit ke abstrak, hal yang sederhana ke kompleks atau konsep mudah ke konsep yang lebih sukar.
2)      Pembelajaran matematika mengikuti metode spiral.
Setiap mempelajari konsep baru perlu memperhatikan konsep atau bahan yang telah dipelajari sebelumnya. Bahan yang baru selalu dikaitkan dengan bahan yang telah dipelajari. Pengulangan konsep dalam bahan ajar dengan cara mempeluas dan memperdalam adalah perlu dalam pembelajaran matematika (spiral melebar dan naik).
3)      Pembelajaran matematika menekankan pola pikir deduktif.
Matematika adalah deduktif, matematika tersusun secara deduktif, aksiomatik. Namun demikian harus dapat dipilihkan pendekatan yang cocok dengan kondisi siswa. Dalam pembelajaran belum sepenuhnya menggunakan pendekatan tetapi masih campur dengan deduktif.
4)      Pembelajaran matematika mengandung kebenaran konsistensi. Kebenaran-kebenaran dalam matematika pada dasarnya merupakan kebenaran konsistensi, tidak bertentangan antara kebenaran suatu konsep dengan yang lainnya. Suatu pernyataan dianggap benar bila didasarkan atas pernyataan-pernyataan yang terdahulu yang telah diterima kebenarannya
Berdasarkan  pendapat  di atas  dapat  dikemukakan  bahwa  seorang  guru  SD  perlu mengetahui  beberapa  karakteristik  pembelajaran  matematika  di  SD,  karena  pembelajaran matematika  di  SD  selalu  tidak  terlepas  dari  hakikat  matematika  dan  hakikat  anak  didik  di  SD yang  masih  berada  pada  tahap  oprasional  konkrit  yang  belum  dapat  berpikir  formal.  Kelima karakteristik  pembelajaran  matematika  di  SD  diatas  hendaknya  menjadi  acuan  bagi  setiap guru dalam melaksanakan pembelajaran matematika.
d.      Ciri-ciri Pembelajaran Matematika di SD
Menurut Suwangsih (2006: 25), pembelajaran matematika di SD selalu berbeda. Adapun ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
1)      Pembelajaran  matematika  menggunakan  metode  spiral  yaitu  pendekatan  dimana pembelajaran  konsep  atau  suatu  topik  matematika  selalu  menghubungkan  dengan topik sebelumnya. 
2)      Pembelajaran  matematika  bertahap  yaitu  materi  pelajaran  matematika  diajarkan secara  bertahap,  dimulai  dari  konsep-konsep  yang  sederhana,  menuju  konsep  yang lebih sulit.
3)      Pembelajaran  matematika  menggunakan  metode  induktif  yaitu  sesuai  tahap perkembangan  siswa  pada  pembelajaran  matematika  di  SD  digunakan  pendekatan induktif.
4)      Pembelajaran  matematika  menganut  kebenaran  konsistensi  yaitu  kebenaran  yang konsisten  artinya  tidak  ada  pertentangan  antara  kebenaran  yang  satu  dan  kebenaran yang lain.
5)      Pembelajaran  matematika  hendaknya  bermakna  yaitu  cara  mengajarkan  materi pelajaran yang mengutamakan pengertian daripada hapalan.
e.       Fungsi  Matematika di Sekolah Dasar
Suwangsih (2006:9) menyebutkan bahwa fungsi pembelajaran matematika di Sekolah Dasar adalah :
1)      Matematika sebagai pelayan ilmu yang lain. Banyak  ilmu-ilmu  yang  penemuan  dan  pengembangannya  bergantung  dari matematika. Contoh: penemuan dan pengembangan Teori Mendel dalam Biologi melalui konsep probabilitas, dalam ilmu kependudukan matematika digunakan untuk memprediksi jumlah penduduk, dan lain-lain.
2)      Matematika sebagai pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Matematika digunakan manusia untuk memecahkan masalahnya dalam kehidupan sehari-hari.  Contoh:  memecahkan  persoalan  dunia  nyata,  menghitung  luas daerah,  mengitung  laju kecepatan kendaraan, dan lain-lain.
Nahrowi, (2006 :  42) menjelaskan bahwa fungsi pembelajaran matematika di sekolah dasar adalah  untuk  mengembangkan  kemampuan  menghitung,  mengukur,  menurunkan  dan menggunakan  rumus  matematika  sederhana  yang  diperlukan  dalam  kehidupan  sehari-hari melalui  materi  bilangan,  pengukuran  dan  geometri”.  Secara  singkat  dapat  disimpulkan  bahwa matematika  berfungsi  mengembangkan  kemampuan  mengkomunikasikan  gagasan  dengan bahasa  melalui  model  matematika  yang  dapat  berupa  kalimat  dan  persamaan  matematika, diagram, grafik atau tabel 
f.       Prinsip-prinsip Pelaksanaan Pembelajaran Matematika di SD
Ada beberapa prinsip pembelajaran matematika di SD sesuai dengan kurikulum KTSP tahun 2006 yaitu: 
1)      Guru  di  Sekolah  Dasar  dapat  menyusun  silabus  atau  perencanaan  pembelajaran  dengan  mengacu dan berpedoman kepada Kurikulum KTSP  tahun 2006.
2)      Kecakapan  matematika  atau  kemahiran  matematika  yang  perlu  dimiliki  oleh  siswa.
3)      Pembelajarannya  tidak  diberikan  tersendiri  tetapi  harus  di  integrasikan  dengan  materi  matematika.  Kemahiran  matematika  yang  disajikan  secara  eksplisit  dalam  Kurikulum KTSP dapat  menjadi  perhatian  dan  pertimbangan  guru  untuk  melaksanakan kegiatan pembelajaran dan penilaian hasil belajar siswa.
4)      Kompetensi  dasar  yang  tertuang  dalam  Standar  Kompetensi  dalam  Kurikulum  KTSP merupakan  kemampuan minimal  yang dapat dikembangkan  oleh sekolah. Guru dapat  memberikan  pembelajaran  dengan  mengkaitkan  materi-materi  matematika  mulai  dari kelas  1  sampai  dengan  kelas  6  pada  Standar  Kompetensi  ini  atau  dapat  menambah  dan memperluas materi tersebut.
5)      Untuk  mengetahui  tingkat  keberhasilan  efisiensi  suatu  pembelajaran  guru  perlu  melakukan penilaian.
6)      Guru  dapat  menggunakan  teknologi  komputer,  alat  peraga  atau  media  lainnya  untuk meningkatkan efisiensi pembelajaran
2.     Keaktifan Belajar
Menurut Anton M. Mulyono (2001 : 26) keaktifan adalah kegiatan atau aktivitas atau segala sesuatu yang dilakukan atau kegiatankegiatan yang terjadi baik fisik maupun non fisik. Menurut Sanjaya (2007:101-106) aktivitas tidak hanya ditentukan oleh aktivitas fisik semata, tetapi juga ditentukan oleh aktivitas non fisik seperti mental, intelektual dan emosional. Keaktifan yang dimaksudkan di sini penekanannya adalah pada siswa, sebab dengan adanya keaktifan siswa dalam proses pembelajaran akan tercipta situasi belajar aktif.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, keaktifan adalah kegiatan sedang belajar merupakan proses perubahan pada diri individu kearah yang lebih baik yang bersifat tetap berkat adanya interaksi dan latihan. Jadi keaktifan belajar adalah suatu kegiatan individu yang dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik pada diri individu karena adanya interaksi antara individu dengan individu dan individu dengan lingkungan (Poerwodarminto, 1992 : 17),
Keaktifan belajar adalah suatu kegiatan yang menimbulkan perubahan pada diri individu baik tingkah laku maupun kepribadian yang bersifat kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian yang bersifat konstan dan berbekas. Keaktifan belajar akan terjadi pada diri siswa apabila terdapat interaksi antara situasi stimulus dengan isi memori, sehingga perilaku siswa berubah dari waktu sebelum dan sesudah adanya situasi stimulus tersebut.
Selama proses belajar siswa dituntut aktivitasnya untuk mendengarkan, memperhatikan dan mencerna pelajaran yang diberikan guru, disamping itu sangat dimungkinkan para siswa memberikan balikan berupa pertanyaan, gagasan pikiran, perasaan, keinginannya. Guru hendaknya mampu membina rasa keberanian, keingintahuan siswa, untuk itu siswa hendaknya merasa aman, nyaman, dan kondusif dalam belajar. Peran guru dalam pembelajaran siswa aktif adalah sebagai fasilitator dan pembimbing siswa yang memberi berbagai kemudahan siswa dalam belajar serta mampu mendorong siswa untuk belajar seoptimal mungkin.
Keaktifan adalah kegiatan atau aktivitas atau segala sesuatu yang dilakukan atau kegiatankegiatan yang terjadi baik fisik maupun non fisik (Anton M. Mulyono, 2001 : 26).  Aktivitas tidak hanya ditentukan oleh aktivitas fisik semata, tetapi juga ditentukan oleh aktivitas non fisik seperti mental, intelektual dan emosional. Keaktifan yang dimaksudkan di sini penekanannya adalah pada siswa, sebab dengan adanya keaktifan siswa dalam proses pembelajaran akan tercipta situasi belajar aktif. belajar aktif adalah suatu sistem belajar mengajar yang menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental intelektual dan emosional guna memperoleh hasil belajar yang berupa perpaduan antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Belajar aktif sangat diperlukan oleh siswa untuk mendapatkan hasil belajar yang maksimum. Ketika siswa pasif atau hanya menerima informasi dari guru saja, akan timbul kecenderungan untuk cepat melupakan apa yang telah diberikan oleh guru, oleh karena itu diperlukan perangkat tertentu untuk dapat mengingatkan yang baru saja diterima dari guru (Rochman Natawijaya, 2005 : 31)
Proses pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas merupakan aktivitas mentransformasikan pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Dalam kegiatan pembelajaran ini sangat dituntut keaktifan siswa, dimana siswa adalah subjek yang banyak melakukan kegiatan, sedangkan guru lebih banyak membimbing dan mengarahkan. Keaktifan siswa dalam kegiatan pembelajaran dapat dilaksanakan manakala : (1) pembelajaran yang dilakukan lebih berpusat pada siswa, (2) guru berperan sebagai pembimbing supaya terjadi pengalaman dalam belajar (3) tujuan kegiatan pembelajaran tercapai kemampuan minimal siswa (kompetensi dasar), (4) pengelolaan kegiatan pembelajaran lebih menekankan pada kreativitas siswa, meningkatkan kemampuan minimalnya, dan mencapai siswa yang kreatif serta mampu menguasai konsep-konsep, dan (5) melakukan pengukuran secara kontinu dalam berbagai aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan (Martinis Yamin, 2007: 80- 81).
Menurut Rochman Natawijaya (dalam Depdiknas 2005 : 31) belajar aktif adalah suatu sistem belajar mengajar yang menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental intelektual dan emosional guna memperoleh hasil belajar yang berupa perpaduan antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Belajar aktif sangat diperlukan oleh siswa untuk mendapatkan hasil belajar yang maksimum. Ketika siswa pasif atau hanya menerima informasi dari guru saja, akan timbul kecenderungan untuk cepat melupakan apa yang telah diberikan oleh guru, oleh karena itu diperlukan perangkat tertentu untuk dapat mengingatkan yang baru saja diterima dari guru.
Proses pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas merupakan aktivitas mentransformasikan pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Dalam kegiatan pembelajaran ini sangat dituntut keaktifan siswa, dimana siswa adalah subjek yang banyak melakukan kegiatan, sedangkan guru lebih banyak membimbing dan mengarahkan.
Menurut Raka Joni (1992: 19-20) dan Martinis Yamin (2007: 80- 81) menjelaskan bahwa keaktifan siswa dalam kegiatan pembelajaran dapat dilaksanakan manakala : (1) pembelajaran yang dilakukan lebih berpusat pada siswa, (2) guru berperan sebagai pembimbing supaya terjadi pengalaman dalam belajar (3) tujuan kegiatan pembelajaran tercapai kemampuan minimal siswa (kompetensi dasar), (4) pengelolaan kegiatan pembelajaran lebih menekankan pada kreativitas siswa, meningkatkan kemampuan minimalnya, dan mencapai siswa yang kreatif serta mampu menguasai konsep-konsep, dan (5) melakukan pengukuran secara kontinyu dalam berbagai aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, keaktifan adalah kegiatan (Poerwodarminto, 1992 : 17), sedang belajar merupakan proses perubahan pada diri individu kearah yang lebih baik yang bersifat tetap berkat adanya interaksi dan latihan. Jadi keaktifan belajar adalah suatu kegiatan individu yang dapat membawa perubahan kearah yang lebih baik pada diri individu karena adanya interaksi antara individu dengan individu dan individu dengan lingkungan.
Keaktifan belajar adalah suatu kegiatan yang menimbulkan perubahan pada diri individu baik tingkah laku maupun kepribadian yang bersifat kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian yang bersifat konstan dan berbekas. Keaktifan belajar akan terjadi pada diri siswa apabila terdapat interaksi antara situasi stimulus dengan isi memori, sehingga perilaku siswa berubah dari waktu sebelum dan sesudah adanya situasi stimulus tersebut.
Selama proses belajar siswa dituntut aktivitasnya untuk mendengarkan, memperhatikan dan mencerna pelajaran yang diberikan guru, disamping itu sangat dimungkinkan para siswa memberikan balikan berupa pertanyaan, gagasan pikiran, perasaan, keinginannya. Guru hendaknya mampu membina rasa keberanian, keingintahuan siswa, untuk itu siswa hendaknya merasa aman, nyaman, dan kondusif dalam belajar.
Keaktifan belajar adalah aktivitas yang bersifat fisik maupun mental (Sardiman: 2001: 99). Selama kegiatan belajar kedua aktivitas tersebut harus terkait, sehingga akan mengahasilkan aktivitas belajar yang optimal
3.     Hasil belajar
Hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar (Mulyono Abdurrahman, 2003:37). Sedangkan menurut benyamin S. Bloom (1966:7) ada tiga ranah (domain) hasil belajar, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor.
Menurut A. J Rominszowski yang dikutip Mulyono Abdurrahman hasil belajar merupakan keluaran (output) dari suatu system pemrosesan masukan (input). Masukan dari sistem tersebut berupa bermacam-macam informasi sedangkan keluarannya adalah perbuatan atau kinerja (performance).
Menurut Romiszowski, perbuatan merupakan petunjuk bahwa proses belajar telah terjadi dan hasil belajar dapat dikelompokan kedalam dua macam saja yaitu pengetahuan dan keterampilan.
Hasil  belajar  adalah  tingkat  perubahan  atau  keberhasilan  siswa  yang mencakup  aspek  kemampuan  pemahaman,  sikap,  dan  nilai  serta  keterampilan setelah mengikuti proses belajar mengajar. Tingkat keberhasilan dalam mengikuti kegiatan belajar merupakan hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa.
Dalam kamus umum bahasa Indonesia bahwa hasil belajar adalah sesuatu yang diperoleh  atau  dicapai  dalam  belajar.  Hasil  belajar  menurut  Nana  Sudjana (2005:65)  adalah  kemampuan-kemampuan  yang  dimiliki  siswa  setelah  ia menerima  pengalaman  belajar.  Hasil  belajar  menurut  pengertian  di  atas adalah kemampuan-kemampuan  yang  muncul  setelah  seseorang  belajar. Kemampuan tersebut terbentuk dari pengalaman siswa dalam proses belajar.
Gagne seperti dikutip Suprayekti mengklasifikasikan hasil belajar menjadi lima  kategori  yaitu  :  a.  Informasi  verbal,  b.  Kemahiran  intelektual,  c.  Strategi kognetif, d. Sikap, e. keterampilan motorik. Kemampuan informasi verbal adalah mengembangkan  kemampuan  menyimpan  informasi  dalam  ingatan.  Pada kemahiran  intelektual  dapat  dilihat  berupa  kemampuan  menggunakan  simbol untuk  berinteraksi,  mengorganisir,  dan  membentuk  arti.  Strategi  kognitif adalah kemampuan  untuk  mengatur  dan  mengontrol  proses  berpikir  dalam  diri  sendiri.
Hasil  belajar  motorik  berhubungan  dengan  melakukan  gerakan  tubuh  dengan lancar  dan  tepat.  Sedangkan  pada  hasil  belajar  sikap  merupakan  suatu kondisi mental yang mempengaruhi pemilihan perilaku. Penilaian  hasil  belajar  mengisyaratkan  hasil  belajar  sebagai  program  atau objek  yang  menjadi  sasaran  penelitian.  Hasil  belajar  sebagai  objek  penilaian dalam hakikatnya menilai penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan instruksional.  Hal  ini  adalah  karena  isi  rumusan  tujuan  instruksional  menggambarkan  hasil  belajar  yang  harus  dikuasai  siswa  berupa  kemampuan-kemampuan  siswa  setelah menerima atau menyelesaikan pengalaman belajarnya. Hasil belajar sebagai objek dapat  dibedakan  kedalam  beberapa  kategori,  antara  lain  keterampilan  dan kebiasaan, pengetahuan dan pengertian, sikap dan cita-cita.
Hasil  belajar  merupakan  tingkat  keberhasilan  siswa  dalam  mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu program. Merupakan padanan kata hasil belajar adalah prestasi belajar, Muhibbin Syah (1995:150) mengungkapkan bahwa prestasi  sebagai  hasil  belajar  adalah  taraf  keberhasilan  sebuah  proses.  Berkaitan erat  dengan  hal  ini  adalah  evaluasi,  evaluasi  merupakan  alat  penilaian  tingkat keberhasilan (prestasi)  tersebut.
Berdasarkan  uraian  di  atas,  kita  dapat  menggarisbawahi  bahwa  evaluasi hasil  belajar  merupakan  proses  untuk  menentukan  hasil  belajar  siswa  melalui kegiatan  penilaian.  Tujuan  utama  evaluasi  hasil  belajar  adalah  untuk mengetahui tingkat  keberhasilan  yang  dicapai  oleh  peserta  didik  setelah  mengikuti  suatu kegiatan-kegiatan  proses  belajar  mengajar,  dengan  tingkat  keberhasilan  diberi nilai  yang  berupa  angka  atau  huruf.  Jika  tujuan  sudah  tercapai  hasilnya  dapat digunakan untuk keperluan tertentu.
Belajar  merupakan  usaha  secara  sadar  untuk  menghasilkan  suatu perbuatan,  baik  perubahan  pengetahuan,  tingkah  laku  dan  sebagainya  terhadap tujuan  yang  telah  ditetapkan.  Perubahan  hasil  belajar  ini  adalah  semua  ranah psikologi dalam belajar, yaitu ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor. Pada  dasarnya  hasil  belajar  atau  prestasi  belajar  yang  utama  meliputi  ranah psikologi  yaitu  kognitif,  afektif  dan  psikomotor.  Yang  sulit  diukur  adalah ranah rasa.
Bloom dalam “Taxonomy of Education Objectives” menyebutkan bahwa : Perubahan  tingkah  sebagai  hasil  belajar  meliputi  tiga  domain,  yaitu  domain kognitif,  domain  afektif,  domain  psikomotor.  Domain  kognitif  adalah  tujuan-tujuan belajar yang berhubungan dengan memanggil kembali (recall) pengetahuan dan  pengembangan  kemampuan  intelektual  dan  keterampilan.  Domain  afektif adalah  tujuan-tujuan  yang  menjelaskan  perubahan  sikap,  minat,  dan  nilai nilai, dan  pengembangan  apresiasi  serta  penyesuaian.  Domain  psikomotor  (motor  skill  area  manipulative)  memuat  perubahan  tingkah  laku  yang  menunjukkan  bahwa  siswa  telah  mempelajari  keterampilan  manipulatif  fisik  tertentu,  sedangkan domain  kognitif  memuat  enam  kategori  yang  disusun  mulai  dari  yang  paling sederhana  sampai  ke  yang  paling  komplek,  yaitu  :  (1)  pengetahuan,  (2) pemahaman, (3) aplikasi, (4) analisis, (5) sintesis, dan (6) evaluasi.
Hasil  belajar  adalah  perwujudan  dari  proses  belajar,  yakni  terjadinya perubahan  tingkah  laku  secara  keseluruhan.  Macam-macam  tipe  hasil  belajar sangat  penting  diketahui  oleh  guru  dalam  rangka  merumuskan  tujuan  pengajaran dan menyusun alat-alat penilaian, baik melalui tes maupun bukan tes.
Pada umumnya hasil belajar dinilai melalui tes, baik itu tes uraian maupun tes objektif.  Pelaksaan  penilaian  bisa  secara  lisan,  tulisan,  dan  tindakan  atau perbuatan.  Tes  uraian  mempunyai  keunggulan  dari  tes  objektif  karena  dapat mengungkapkan  aspek  atau  abilitas  mental  yang  lebih  tinggi  yang  tercermin dalam  logika  berpikir  dan  kemampuan  berbahasa  lisan.  Sedangkan  tes objektif lebih  unggul  dalam  hal  materi  diujikan  dapat  lebih  banyak  dan  mudah  dalam memeriksa dan mengolah hasilnya. Tujuan  penilaian  proses  belajar  mengajar  pada  hakikatnya  adalah  untuk mengetahui  kegiatan  belajar  mengajar,  terutama  efisiensi,  keefektifan,  dan produktivitasnya dalam mencapai tujuan pengajaran. 
Berdasarkan  pengertian  hasil  belajar  dari  beberapa  para  ahli  di  atas  dapat kita ambil garis besar yaitu : jika ketika proses belajar mengajar berlangsung dan pengajar  dapat  memanfaatkan  waktu  sebaik  mungkin  supaya  materi  yang disampaikan  bisa  terserap  baik  oleh  siswa,  berarti  akan  memberikan  peluang kepada  siswa  untuk  meraih  hasil  belajar  yang  semaksimal  mungkin.  Jadi hasil belajar adalah suatu hasil akhir dari proses pembelajaran siswa, baik itu di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Jika ingin mencapai hasil akhir yang memuaskan maka siswa harus belajar secara maksimal.
Hasil  belajar  matematika  siswa  sekolah  dasar  dalam  penelitian  ini merupakan  kemahiran  matematika  yang  mencakup  kemampuan  penalaran, komunikasi,  pemecahan  masalah,  keterkaitan  pengetahuan,  dan  kegunaan matematika  setelah  mengikuti  pembelajaran  matematika  yang  terwujud  dalam bentuk  skor  hasil  belajar  matematika. 
Pengetahuan terdiri empat kategori, yaitu (1) Pengetahuan tentang fakta, (2) Pengetahuan tentang prosedur, (3)  Pengetahuan tentang konsep, (4) Pengetahuan tentang prinsip. Keterampilan juga terdiri dari empat kategori, yaitu (1) Keterampilan untuk berfikir atau keterampilan kognitif, (2) Keterampilan untuk bertindak atau keterampilan motorik, (3) Keterampilan bereaksi atau bersikap, dan (4) Keterampilan berinteraksi.
Dari berbagai pengertian hasil belajar di atas maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar yang meliputi berbagai aspek, yaitu kognitif, afektif, maupun psikomotor yang dipengaruhi oleh faktor masukan pribadi maupun masukan yang berasal dari lingkungan.
Berdasarkan data uji kompetensi matematika pada kompetensi dasar pemecahan masalah yang berkaitan dengan waktu, jarak, dan kecepatan menunjukan hasil belajar yang dicapai siswa belum mencapai standar yang ditetapkan atau dengan kata lain hasil belajar matematika kompetensi dasar pemecahan masalah yang berkaitan dengan waktu, jarak, dan kecepatan masih rendah. Hal ini dibuktikan masih banyak siswa yang memperoleh nilai di bawah criteria ketuntasan minimal yang ditetapkan.
Muara dari rendahnya hasil belajar matematika kompetensi dasar pemecahan masalah yang berkaitan dengan waktu, jarak, dan kecepatan, siswa belum memahami materi tersebut dikarenakan pembelajaran matematika yang selama ini dilaksanakan belum menggunakan teknik pembelajaran yang tepat.
Dengan teknik penggunaan alat peraga pada pembelajaran matematika aspek geometri dan pengukuran diharapkan pemahaman siswa meningkat, yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar matematika kompetensi dasar pemecahan masalah yang berkaitan dengan waktu, jarak, dan kecepatan.
4.     Pengertian Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Menurut Saripuddin (Abbas, 2000:10), model pembelajaran didefinisikan sebagai kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar. Sedangkan menurut Arends (Abbas, 2000:10) menyatakan bahwa model pembelajaran mengacu kepada pendekatan pembelajaran termasuk didalamnya tujuan pembelajaran, tahap-tahap kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas.
Model pembelajaran menurut Joyce dan Weil (1996:4) adalah suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam seting tutorial dan untuk menentukan perangkat- perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, komputer,  kurikulum dan lain-lain. Saripuddin (1996:78) mengatakan bahwa model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai  tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang dan para  pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar.
Dari kedua pandangan di atas menunjukkan bahwa model pembelajaran itu  tidak lain adalah suatu pola atau kerangka konseptual yang berisi prosedur yang  sistematik dalam mengorganisasikan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Model atau pola ini menjadi pedoman bagi guru dan perancang pembelajaran dalam merancang dan melaksanakan kegiatan pembelajaran
Model pembelajaran berdasarkan masalah (problem-based instruction)  merupakan salah satu dari berbagai model pembelajaran yang dapat digunakan  guru dalam mengaktifkan siswa dalam belajar. Model pembelajaran berdasarkan  masalah bercirikan penggunaan masalah dunia nyata. Model ini dapat digunakan  untuk melatih dan meningkatkan keterampilan berpikir krittis dan memecahkan  masalah serta untuk mendapatkan pengetahuan tentang konsep-konsep penting.  Pendekatan pembelajaran ini mengutamakan proses belajar, dimana tugas guru  harus memfokuskan diri untuk membantu siswa mencapai keterampilan  mengarahkan diri. Pembelajaran berdasarkan masalah penggunaannya di dalam tingkat berpikir yang lebih tinggi, dalam situasi berorientasi masalah, termasuk  bagaimana belajar (Arends, 1997:156).
Pada model pembelajaran ini peran guru adalah mengajukan masalah,  mengajukan pertanyaan, memberikan kemudahan suasana berdialog, dan  memberikan fasilitas penelitian, serta melakukan penelitian. Kegiatan ini dapat  dilakukan guru saat pembelajaran di kelas dan melalui latihan yang cukup  (Arends, 1997:10). Ini berarti bahwa model pembelajaran berdasarkan masalah  hanya dapat terjadi jika guru mampu menciptakan lingkungan kelas yang terbuka  dan membimbing pertukaran gagasan, sehingga peran guru adalah sebagai  pemberi rangsangan, pembimbing kegiatan siswa, dan penentu arah belajar siswa.
Pada pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah, selain guru  menjadi penentu keberhasilan pembelajaran, juga faktor sumber belajar, sarana  yang digunakan, dan kurikulum turut berperan. Hal ini sesuai dengan yang  dikemukakan Sujana (1989:93) bahwa keberhasilan model pembelajaran  berdasarkan masalah tergantung adanya sumber belajar bagi siswa, alat-alat untuk  menguji jawaban atau dugaan. Menuntut adanya perlengkapan kurikulum,  menyediakan waktu yang cukup, apa lagi data yang diperoleh dari lapangan, serta  kemampuan guru dalam mengangkat dan merumuskan masalah.
a.      Ciri-Ciri Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Ciri-ciri podel pembelajaran berdasarkan masalah adalah sebagai berikut:
1)     Pengajuan masalah atau pertanyaan.
Pembelajaran berdasarkan masalah mengorganisasikan pembelajaran disekitar pertanyaan dan masalah sosial yang penting bagi siswa dan masyarakat.  Pertanyaan atau masalah itu bersifat autentik (nyata) bagi siswa dan tidak  mempunyai jawaban sederhana. Pertanyaan atau masalah itu menurut Arends  (1997:170) harus memenuhi kriteria (1) autentik, yaitu masalah didasarkan  dan diambil dari kehidupan sehari-hari sesuai dengan pengalaman siswa dan  prinsip-prinsip akademik, (2) Jelas, yaitu masalah dirumuskan dengan jelas,  dalam arti tidak menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya  menyulitkan penyelesaian siswa, (3) mudah dipahami, (4) luas dan sesuai  dengan tujuan pembelajaran, dan (5) bermanfaat.
2)     Berfokus pada keterkaitan antar disiplin ilmu
Masalah yang diajukan dalam pembelajaran berdasarkan masalah hendaknya  mengaitkan atau melibatkan berbagai disiplin ilmu.
3)     Penyelidikan yang autentik
Pembelajaran berdasarkan masalah mengharuskan siswa melakukan  penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Siswa harus menganalisis dan mendefinisikan masalah,  mengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan dan  menganalisis informasi, melakukan eksperimen (jika perlu), membuat  referensi, dan merumuskan kesimpulan.
4)     Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya
Pembelajaran berdasarkan masalah menuntut siswa untuk menghasilkan  produk tertentu dalam bentuk karya dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang ditemukan. Produk itu dapat berupa laporan, model fisik, video, maupun program komputer. Hasil karya tersebut ditampilkan siswa didepan teman-temannya.
5)     Kolaborasi
Pembelajaran berdasarkan masalah dicirikan oleh siswa yang bekerja sama satu dengan lainnya, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok  kecil.
b.     Langkah-Langkah Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Menurut Arends (1997:161) ada lima tahap kegiatan pembelajaran  berorientasi model pembelajaran berdasarkan masalah, yaitu :
1)     Tahap pertama: Orientasi siswa pada masalah
Pada tahap ini guru menjelaskan tujuan pembelajaran, alat peraga dan memotivasi siswa untuk terlibat aktif dalam pemecahan masalah.
2)     Tahap kedua : Mengorganisasi siswa untuk belajar
Pada tahap ini guru membagi siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil,  membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang  berhubungan dengan masalah.
3)     Tahap ketiga : Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok
Pada tahap ini guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai dengan masalah yang dibahas, melaksanakan eksperimen dan  penyelidikan untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah
4)     Tahap keempat : Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Pada tahap ini guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model dan membantu  siswa membagi tugas dengan temannya.
5)     Tahap kelima : Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Pada tahap ini guru membantu siswa dalam melakukan evaluasi dan  refleksi terhadap penyelidikan dan proses yang digunakan dalam memecahkan  masalah
Berdasar definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar, yang mempunyai fungsi sebagai pedoman bagi guru dalam merancang dan melaksanakan kegiatan pembelajaran, mengelola lingkungan pembelajaran dan mengelola kelas. Strategi pembelajaran berbasis masalah dapat diterapkan melalui kegiatan individu, tidak hanya melalui kegiatan kelompok. Penerapan ini tergantung pada tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan materi yang akan diajarkan. Apabila materi yang akan diajarkan dirasa membutuhkan pemikiran yang dalam, maka sebaiknya pembelajaran dilakukan melalui kegiatan kelompok, begitupula sebaliknya.
Pierce dan Jones (Ratnaningsih, 2003) mengemukakan bahwa kejadian-kejadian yang harus muncul  pada waktu pelaksanaan pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut:
1)        Keterlibatan (engagement) meliputi mempersiapkan siswa untuk berperan sebagai pemecah masalah  yang bisa bekerja sama dengan pihak lain, menghadapkan siswa pada situasi yang mendorong untuk  mampu menemukan  masalah dan meneliti permasalahan sambil mengajukan dugaan dan rencana  penyelesaian.
2)        Inkuiri dan investigasi (inquiry  dan  investigation) yang mencakup kegiatan mengeksplorasi dan mendistribuskan informasi.
3)        Performansi (performance) yaitu menyajikan temuan.
4)        Tanya jawab (debriefing) yaitu menguji keakuratan dari solusi dan melakukan refleksi terhadap proses  pemecahan masalah.
Pembelajaran berbasis masalah membuat siswa menjadi pembelajar yang mandiri, artinya ketika siswa  belajar, maka siswa dapat memilih strategi belajar yang sesuai, terampil menggunakan strategi tersebut untuk  belajar dan mampu mengontrol proses belajarnya, serta termotivasi untuk menyelesaikan belajarnya itu (Depdiknas, 2003). Dalam pembelajaran berbasis masalah siswa memahami konsep suatu materi dimulai dari  belajar dan bekerja pada situasi masalah (tidak terdefinisi dengan baik) atau  open ended yang disajikan pada  awal pembelajaran, sehingga siswa diberi kebebasan berpikir dalam mencari solusi dari situasi masalah yang  diberikan.

B.    Hasil Penelitian yang Relevan
1.   Santoso, A.M.B. 2010. Peningkatan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas V Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah Di SDN Kerjen Kabupaten Blitar. Skripsi, Jurusan Kependidikan Sekolah Dasar dan Prasekolah FIP Universitas Negeri Malang. Pembimbing: (I) Drs. H. Zaenudin, S.Pd., M.Pd., (II) Dra. Wasih D.S, S.Pd, M. Pd.. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan keterampilan dalam memecahkan suatu masalah dan hasil belajar siswa. Rata-rata keterampilan dalam memecahkan masalah pada pra tindakan mencapai 11.4% meningkat menjadi 66.4% pada siklus I dan pada siklus II meningkat menjadi 77%. Sedangkan hasil belajar yang di peroleh setelah kegiatan pembelajaran juga mengalami peningkatan. Rata-rata hasil belajar pada pra tindakan adalah 58.2% meningkat menjadi 68.4% pada siklus I dan pada siklus II meningkatan menjadi 80.4%. Sedangkan ketercapaian belajar secara klasikal pada pra tindakan 37.04% meningkat menjadi 62.96% dan pada siklus II meningkat menjadi 85.2%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan penerapan pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan keterampilan siswa dalam memecahkan masalah dan hasil belajar matematika siswa kelas V SDN Kerjen Kabupaten Blitar. Dalam membelajarkan siswa guru disarankan menciptakan pembelajaran dengan menghadirkan suatu permasalahan yang berkaitan dengan lingkungan.
2.   Lestari, Rakhmawati. 2009. Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Materi Operasi Hitung di Kelas IV SDN Tanjungrejo V Malang. Skripsi, Jurusan KSDP Universitas Negeri Malang. Pembimbing: (1) Dra. Endang Setyo Winarni, M.Pd., Pembimbing (II) Drs. Tomas Iriyanto, S.Pd, M.Pd. Hasil observasi terhadap siswa kelas IV SDN Tanjungrejo V Malang tahun ajaran 2009/2010 berjumlah 30 siswa menunjukkan tingkat berpikir kritis menyangkut pemahaman materi "Operasi hitung" kurang. Hal tersebut dapat dilihat pula pada hasil ulangan harian siswa sebelum diterapkan pembelajaran berbasis masalah. Ada 9 siswa (30%) yang kemampuan menyelesaikan soal "Operasi hitung" mencapai nilai 75-100, terdapat 10 siswa (33, 33%) yang mencapai nilai antara 60-75, dan ada 11 siswa (36, 67%) yang memperoleh nilai di bawah 50, padahal nilai standar ketuntasan minimal untuk pelajaran matematika yang ditentukan oleh SDN Tanjungrejo V Malang adalah 60. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa selama pemberian tindakan. Aspek kemampuan berpikir kritis pada siklus I yang diamati meliputi merumuskan masalah, prosentase rata-rata skor kelompok untuk aspek ini adalah 50%. Aspek yang kedua yaitu memberikan argumen dengan prosentase rata-rata skor kelompok sebesar 56,75%. Aspek yang ketiga adalah melakukan deduksi dengan prosentase rata-rata skor kelompok sebesar 53,25%. Aspek yang keempat adalah melakukan induksi dengan prosentase rata-rata skor kelompok sebesar 53,25%. Aspek yang kelima adalah melakukan evaluasi dengan prosentase rata-rata skor kelompok sebesar 54,25%. Dan aspek yang terakhir adalah memutuskan dan melaksanakan dengan perolehan prosentase rata-rata skor kelompok sebesar 57,50%. Untuk siklus II ada peningkatan kemampuan berpikir kritis bila dibandingkan dengan siklus I, diantaranya: untuk aspek  merumuskan masalah prosentase rata-rata skor kelompok untuk aspek ini adalah 58,25% meningkat  8,25%. Aspek yang kedua yaitu memberikan argumen dengan prosentase rata-rata skor kelompok sebesar 59,25% meningkat sebesar 2,5%. Aspek yang ketiga adalah melakukan deduksi dengan prosentase rata-rata skor kelompok sebesar 65,75% meningkat sebesar 12,5%. Aspek yang keempat adalah melakukan induksi dengan prosentase rata-rata skor kelompok sebesar 65% meningkat sebesar 11,75%.

C.   Kerangka Pikir
Proses pembelajaran matematika pada materi pokok menyederhanakan pecahan siswa kelas ……………….. belum sesuai harapan, rendahnya kemampuan siswa dalam pembelajaran  matematika materi menyederhanakan pecahan menjadi salah satu masalah rendahnya hasil pembelajaran matematika materi pokok tersebut.  Melihat kondisi awal sebagaimana tersebut di atas, maka peneliti berusaha untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik sehingga prestasi belajar siswa dapat tercapai dengan melaksanakan perbaikan pembelajaran.
Upaya yang dilakukan untuk mengatasi permasalah sebagaimana tersebut di atas adalah memperbaiki proses pelaksanaan  pembelajaran yang akan dilaksanakan  dengan penerapan pembelajaran berdasarkan masalah  dengan harapan dapat meningkatkan  motivasi dan hasil belajar siswa belajar sehingga tingkat ketuntasan belajar siswa dapat tercapai secara maksimal.
Kondisi akhir setelah dilaksanakan perbaikan pembelajaran dengan penerapan pembelajaran berdasarkan masalah  adalah untuk meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa sehingga tingkat ketuntasan belajar siswa dapat tercapai.
Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai jalannya alur berpikir dari permasalahan yang akan diatasi dan solusi tindakan yang akan dilaksanakan serta hasil yang diharapkan dari penelitian ini dapat digambarkan pada bagan sebagai berikut :
 
























Gambar 2.1 : Bagan Kerangka Berpikir
D.   Hipotesis Tindakan
Dengan mempertimbangkan dan merujuk pada beberapa pendapat ahli, disusunlah hipotesis tindakan sebagai berikut :
1.     Penerapan pembelajaran berdasarkan masalah  dapat meningkatkan keaktifan belajar siswa kelas IV .............pada pembelajaran matematika materi menyederhanakan pecahan.
2.     Penerapan pembelajaran berdasarkan masalah  dapat meningkatkan hasil  belajar siswa kelas IV ................. pada pembelajaran matematika materi menyederhanakan pecahan.

 
Konfirmasi file secara utuh, silahkan hub. 081327121707 (SMS only)
Mohon tidak disadur secara utuh, hanya sebagai referensi penulisan. Terima kasih atas kerjasamanya.

0 comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar, hindari unsur SARA.
Terima kasih