BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pembelajaran matematika
bukanlah pelajaran tentang
menghapal rumus dan hitung
menghitung saja, tetapi
matematika merupakan kombinasi
antara panca indra dan mental pikiran dalam menangkap suatu konsep atau
pengetahuan yang baru. Belajar
matematika merupakan operasi
mental dalam pikiran
untuk memodifikasi objek pengetahuan.
Dalam kegiatan belajar
matematika memerlukan
keaktifan otak untuk
menangkap informasi, mengolahnya,
dan menjadi pola fikir.
Pembelajaran matematika
harus dapat mengantarkan
anak didik untuk memiliki kompetensi
matematika yang mencakup:
pemahaman konsep,
keterampilan menjalankan prosedur,
kemampuan berfikir logis,
kemampuan merumuskan, menyajikan, dan
menyelesaikan masalah matematika,
serta memiliki sikap atau merasakan bahwa matematika itu berguna dan
akhirnya siswa memiliki daya fikir yang unggul dan berguna bagi dirinya
sendiri.
Proses
pembelajaran Matematika pada materi pokok menyederhanakan
pecahan
siswa kelas
IV ……………… belum sesuai harapan,
rendahnya keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika materi menyederhanakan
pecahan
menjadi salah satu penyebab rendahnya hasil pembelajaran matematika materi
pokok tersebut.
Pada studi pendahuluan pembelajaran matematika materi menyederhanakan
pecahan, menunjukkan hasil tes formatif siswa sangat rendah, yaitu dari 22
siswa hanya 4 siswa (18,18%) yang mencapai nilai di atas 80, sedangkan keaktifan belajar mencapai 27,27% , atau 6 orang siswa dengan perolehan nilai rata-rata hasil
belajar secara klasikal sebesar 65,45.
1.
Identifikasi
Masalah
Melihat
hasil tersebut, peneliti dibantu oleh teman sejawat mencoba untuk mengidentifikasi
masalah yang ada dalam pembelajaran. Dari hasil observasi dan diskusi terungkap
beberapa masalah yang terjadi dalam
pembelajaran. Masalah-masalah itu antara lain :
a. Rendahnya hasil belajar siswa
b. Keterlibatan siswa secara aktif dalam
proses pembelajaran masih sangat kurang
c. Suasana pembelajaran yang membosankan
d. Siswa kurang menguasai konsep tentang
penyederhanaan berbagai bentuk pecahan.
e. Kurang dipahaminya materi
pembelajaran yang disampaikan oleh guru
2.
Analisis
Masalah
Berdasarkan
identifikasi pada masalah pembelajaran matematika materi menyederhanakan
pecahan maka ada beberapa pertanyaan yang merefleksi diri (peneliti) tentang
masalah tersebut. Adapun penyebab
rendahnya keaktifan dan hasil belajar siswa pada materi menyederhanakan pecahan,
antara lain :
a. Guru belum melibatkan siswa secara
aktif dalam proses kegiatan belajar mengajar
b. Penyampaian materi pembelajaran oleh guru kurang mengena pada peserta didik
c. Guru kurang mampu mengaitkan materi yang dipelajari dengan konsep nyata
yang ada dalam keseharian siswa.
d. Pusat belajar bukan pada materi, melainkan pada guru. Atau, proses
pembelajaran bersifat abstrak, sehingga siswa pasif.
e. Metode pembelajaran yang diambil tidak tepat dan penjelasan materi terlalu
cepat, sehingga berakibat pada berkurangnya minat belajar siswa terhadap materi
pembelajaran.
Permasalahan
di atas, perlu
segera dicari pemecahan
atau solusinya agar pelajaran matematika mudah dicerna dan
disenangi oleh siswa sehingga keaktifan dan hasil belajar matematika dapat
meningkat. Salah satunya adalah menerapkan metode pembelajaran berdasarkan
masalah karena metode ini akan melibatkan para siswa secara aktif untuk
memecahkan masalah secara mandiri baik individual maupun berkelompok.
Dipilihnya metode pembelajaran melalui penerapan pembelajaran
berdasarkan masalah dapat meningkatkan keaktifan
dan hasil belajar siswa pada pembelajaran matematika materi menyederhanakan
pecahan dengan pertimbangan anak kelas IV termasuk tahap operasional konkrit
sehingga diharapkan pelaksanaan perbaikan di kelas ................. dapat
berhasil sesuai dengan kriteria keberhasilan yang telah ditentukan.
B.
Perumusan Masalah
Penyebab menurunnya
hasil belajar matematika salah satunya adalah proses pembelajaran belum efektif
yang berakibat pada hasil belajar tidak sesuai yang diharapkan, Sehingga yang
menjadi rumusan masalah pada penelitian ini adalah :
1.
Bagaimana
meningkatkan keaktifan siswa kelas IV .............. pada
pembelajaran matematika materi menyederhanakan pecahan melalui penerapan metode pembelajaran berdasarkan masalah?
2.
Bagaimana
meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV .......... pada
pembelajaran matematika materi menyederhanakan pecahan melalui penerapan metode pembelajaran berdasarkan masalah?
C.
Tujuan Penelitian
a. Untuk meningkatkan keaktifan belajar siswa dalam pembelajaran materi pokok menyederhanakan pecahan melalui penerapan metode pembelajaran
berdasarkan masalah.
b. Untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran Matematika menyederhanakan
pecahan melalui penerapan metode pembelajaran berdasarkan masalah.
D.
Manfaat Penelitian
Hasil
dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat yang meliputi :
1.
Siswa
a.
Meningkatkan
hasil belajar matematika materi menyederhanakan pecahan
b.
Mengembangkan kreativitas
dan keterampilan berpikir
siswa dalam menemukan dan
membangun sendiri konsep
yang dipelajarinya.
2.
Guru
Dapat dijadikan wahana
bagi guru supaya lebih professional dalam mengelola pembelajaran matematika materi
pokok menyederhanakan pecahan di sekolah dasar.
3.
Sekolah
Dapat
menambah literatur dan membantu sekolah di dalam mengambil kebijakan yang
berkenaan dengan peningkatan mutu pembelajaran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Kajian Teori
1.
Hakikat
Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
a.
Pengertian Pembelajaran Matematika
Berbagai
pendapat para ahli
pendidikan tentang pengertian matematika, diantaranya menurut asal usul kata atau etimologi dalam kamus
umum Bahasa Indonesia
kata matematika mempunyai
arti ilmu menghitung dengan menggunakan
bilangan-bilangan, (J.S. Badudu,
Suanan Muhammad Zain, Op,
Cit, h. 875)
Sedangkan menurut (James
dalam karso dkk. (Jakarta: UT, 2001,
h.2) mengatakan bahwa,
matematika adalah ilmu
tentang logika mengenai bentuk,
susunan, besaran, dan
konsep-konsep yang berhubungan satu dengan
rangkaian metode untuk
menarik kesimpulan, esensi
ilmu terhadap dunia fisik
dan sebagai aktivitas
intelektual. Dalam bukunya
R. Soedjadi (Jakarta: Depdiknas,
2000, h.11) mendefinisikan matematika menjadi beberapa
pengertian, yaitu (a)
matematika adalah cabang
ilmu pengetahuan eksak dan terorganisir secara sistematik, (b) matematika adalah pengetahuan tentang
bilangan atau kalkulasi,
(c) matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logik
yang berhubungan dengan bilangan, (d) matematika adalah
pengetahuan tentang fakta-fakta
kuantitatif dan masalah tentang ruang dan bentuk (e)
matematika adalah pengetahuan tentang struktur yang logik,
(f) matematika adalah
pengetahuan tentang aturan-aturan
yang tepat
Depdiknas mendefinisikan matematika sebagai
berikut: Matematika merupakan suatu bahan
kajian yang memiliki
objek abstrak dan di
bangun melalui proses
penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu
konsep di peroleh
sebagai akibat logis
dari kebenaran. Sebelumnya sudah
diterima, sehingga keterkaitan
antar konsep dalam matematika
bersifat sangat kuat
dan jelas. (Jakarta: Balit Bang Depdiknas, 2003, h. 2).
Menurut
Suherman dan Soedjana
(Saleh D, 2010:11)
“Pendekatan-pendekatan
pembelajaran dalam matematika
merupakan suatu konsep
atau prosedur yang digunakan
dalam membahas suatu
bahan pembelajaran untuk
mencapai tujuan mengajar.
Sedangkan metode pembelajaran
adalah cara yang dapat digunakan
untuk mengajarkan tiap
bahan pembelajaran misalnya
metode ceramah, tanya jawab,
dan lain-lain”. Proses
pembelajaran seyogyanya bukan sekedar
transfer gagasan dari
guru kepada siswa
untuk melihat dan
memikirkan gagasan yang diberikan.
Dalam pembelajaran matematika
lebih memasyarakat dan tidak
dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit dan menakutkan.
Istilah Matematika berasal dari bahasa Yunani
“Mathematikos” secara ilmu pasti,
atau “Mathesis” yang berarti ajaran,
pengetahuan abstrak dan deduktif, dimana kesimpulan tidak ditarik berdasarkan
pengalaman keindraan, tetapi atas kesimpulan yang ditarik dari
kaidah-kaidah tertentu melalui deduksi (Ensiklopedia Indonesia, 2006 :
249).
Dalam Garis Besar Program Pembelajaran (GBPP)
terdapat istilah Matematika Sekolah yang dimaksudnya untuk memberi penekanan
bahwa materi atau pokok bahasan yang terdapat dalam GBPP merupakan materi atau
pokok bahasan yang diajarkan pada jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah
(Direkdikdas : 1994 : 14).
Berdasarkan beberapa pengertian yang telah
dikemukakan di atas dapatlah disimpulkan bahwa Matematika merupakan suatu ilmu
yang mempelajari jumlah-jumlah yang diketahui melalui proses perhitungan dan
pengukuran yang dinyatakan dengan angka-angka atau simbol-simbol.
Banyak orang yang mempertukarkan antara
Matematika dengan Aritmatika atau berhitung. Padahal, matematika memiliki
cakupan yang lebih luas dari pada aritmatika. Aritmatika merupakan bagian dari
Matematika. Dari berbagai bidang studi yang diajarkan di sekolah, matematika
merupakan bidang studi yang dianggap paling sulit oleh para siswa, baik yang
tidak berkesulitan belajar dan lebih- lebih yang mempunyai kesulitan dalam
belajarnya.
Menurut Johnson dan Myklebust (1967:244),
Matematika adalah simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan
hubungan kuantitatif dan keruangan yaitu menunjukan kemampuan strategi dalam
merumuskan, menafsirkan dan menyelesaikan model matematika dalam pemecahan
masalah, sedangkan fungsi teoritisnya untuk memudahkan berfikir. Dalam hal ini
menunjukan pemahaman konsep matematika yang dipelajari, mengkomunikasikan
gagasan dengan simbol, tabel, grafik, atau diagram untuk menjelaskan keadaan
atau masalah.
Matematika merupakan suatu bahan kajian yang
memiliki objek abstrak dan dibangun melalui proses penalaran deduktif, yaitu
kebenaran konsep diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sudah
diterima, sehingga keterkaitan antar konsep dalam matematika bersifat sangat
kuat dan jelas (Depdiknas, 2003 : 2)
Dalam kurikulum 2006 dikemukakan bahwa
standar kompetensi mata pelajaran matematika disusun agar siswa dapat berpikir
secara sistematis, logis, berfikir abstrak, dapat menggunakan matematika dalam
pemecahan masalah dan komunikasi menggunakan simbol, dan diagram yang
dikembangakan melalui pembelajaran yang dilakukan secara bertahap dan
berkesinambungan (Depdiknas, 2003 : 2)
Dalam peraturan Mendiknas RI. No 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk
satuan pendidikan sekolah dasar (SD) / Madrasah Ibtidaiyah (MI), dikemukakan
bahwa mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik
mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan
berfikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif serta kemampuan
bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki
kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan
hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Selain itu
dimaksudkan pula untuk mengembangkan kemampuan menggunakan matematika dalam
pemecahan masalah dan mengkomunikasikan ide atau gagasan dengan menggunakan
simbol, table, diagram, dan media lain
Berdasarkan pengertian tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa mata pelajaran matematika adalah ilmu universal yang
mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peranan penting dalam
berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia
b.
Tujuan Pembelajaran Matematika
Fungsi matematika sekolah adalah salah satu
unsur masukan instrumental, yang
memiliki objek dasar abstrak dan
berlandaskan kebenaran, konsitensi,
pola keteraturan dan struktur yang terorganisasi dalam system proses
belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan.
Tujuan pembelajaran matematika di Sekolah
Dasar (SD) adalah untuk :
1)
Memahami konsep matematika,
menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma,
secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah
2)
Menggunakan penalaran pada
pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi,
menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika
3)
Memecahkan masalah yang
meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan
model dan menafsirkan solusi yang diperoleh
4)
Mengomunikasikan gagasan
dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau
masalah.
5)
Memiliki sikap menghargai
kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian,
dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah (Badan Standart Nasional Pendidikan, 2006:15-16)
c.
Karakteristik Pembelajaran
Matematika
Suherman (2003:67)
karaktersitik pembelajaran matematika di sekolah yaitu sebagai berikut :
1)
Pembelajaran
matematika langsung (bertahap).
Materi pembelajaran diajarkan
secara berjenjang atau bertarap yaitu dari hal konkrit ke abstrak, hal yang
sederhana ke kompleks atau konsep mudah ke konsep yang lebih sukar.
2)
Pembelajaran
matematika mengikuti metode spiral.
Setiap mempelajari konsep baru
perlu memperhatikan konsep atau bahan yang telah dipelajari sebelumnya. Bahan
yang baru selalu dikaitkan dengan bahan yang telah dipelajari. Pengulangan
konsep dalam bahan ajar dengan cara mempeluas dan memperdalam adalah perlu
dalam pembelajaran matematika (spiral melebar dan naik).
3)
Pembelajaran
matematika menekankan pola pikir deduktif.
Matematika adalah deduktif,
matematika tersusun secara deduktif, aksiomatik. Namun demikian harus dapat
dipilihkan pendekatan yang cocok dengan kondisi siswa. Dalam pembelajaran belum
sepenuhnya menggunakan pendekatan tetapi masih campur dengan deduktif.
4)
Pembelajaran
matematika mengandung kebenaran konsistensi. Kebenaran-kebenaran dalam
matematika pada dasarnya merupakan kebenaran konsistensi, tidak bertentangan
antara kebenaran suatu konsep dengan yang lainnya. Suatu pernyataan dianggap
benar bila didasarkan atas pernyataan-pernyataan yang terdahulu yang telah
diterima kebenarannya
Berdasarkan
pendapat di atas dapat
dikemukakan bahwa seorang
guru SD perlu mengetahui beberapa
karakteristik pembelajaran matematika
di SD, karena
pembelajaran matematika di SD
selalu tidak terlepas
dari hakikat matematika
dan hakikat anak
didik di SD yang
masih berada pada
tahap oprasional konkrit
yang belum dapat
berpikir formal. Kelima karakteristik pembelajaran
matematika di SD
diatas hendaknya menjadi
acuan bagi setiap guru dalam melaksanakan pembelajaran
matematika.
d.
Ciri-ciri Pembelajaran Matematika
di SD
Menurut Suwangsih (2006: 25), pembelajaran
matematika di SD selalu berbeda. Adapun ciri-cirinya adalah
sebagai berikut:
1)
Pembelajaran matematika
menggunakan metode spiral
yaitu pendekatan dimana pembelajaran konsep
atau suatu topik
matematika selalu menghubungkan
dengan topik sebelumnya.
2)
Pembelajaran matematika
bertahap yaitu materi
pelajaran matematika diajarkan secara bertahap,
dimulai dari konsep-konsep
yang sederhana, menuju
konsep yang lebih sulit.
3)
Pembelajaran matematika
menggunakan metode induktif
yaitu sesuai tahap perkembangan siswa
pada pembelajaran matematika
di SD digunakan
pendekatan induktif.
4)
Pembelajaran matematika
menganut kebenaran konsistensi
yaitu kebenaran yang konsisten artinya
tidak ada pertentangan
antara kebenaran yang
satu dan kebenaran yang lain.
5)
Pembelajaran matematika
hendaknya bermakna yaitu
cara mengajarkan materi pelajaran yang mengutamakan pengertian
daripada hapalan.
e.
Fungsi Matematika di Sekolah Dasar
Suwangsih (2006:9) menyebutkan bahwa fungsi pembelajaran matematika di Sekolah
Dasar adalah :
1)
Matematika sebagai pelayan
ilmu yang lain. Banyak ilmu-ilmu yang
penemuan dan pengembangannya bergantung
dari matematika. Contoh: penemuan dan pengembangan Teori Mendel dalam
Biologi melalui konsep probabilitas,
dalam ilmu kependudukan matematika digunakan untuk memprediksi jumlah penduduk,
dan lain-lain.
2)
Matematika sebagai
pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Matematika digunakan manusia
untuk memecahkan masalahnya dalam kehidupan sehari-hari. Contoh:
memecahkan persoalan dunia
nyata, menghitung luas daerah,
mengitung laju kecepatan kendaraan,
dan lain-lain.
Nahrowi, (2006 : 42) menjelaskan
bahwa fungsi pembelajaran matematika di sekolah dasar adalah untuk
mengembangkan kemampuan menghitung,
mengukur, menurunkan dan menggunakan rumus matematika
sederhana yang diperlukan
dalam kehidupan sehari-hari melalui materi
bilangan, pengukuran dan
geometri”. Secara singkat
dapat disimpulkan bahwa matematika berfungsi
mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan gagasan
dengan bahasa melalui model
matematika yang dapat
berupa kalimat dan
persamaan matematika, diagram,
grafik atau tabel
f.
Prinsip-prinsip Pelaksanaan
Pembelajaran Matematika di SD
Ada beberapa prinsip pembelajaran matematika di SD sesuai dengan kurikulum
KTSP tahun 2006 yaitu:
1)
Guru di
Sekolah Dasar dapat
menyusun silabus atau
perencanaan pembelajaran dengan
mengacu dan berpedoman kepada Kurikulum KTSP tahun 2006.
2)
Kecakapan matematika
atau kemahiran matematika
yang perlu dimiliki
oleh siswa.
3)
Pembelajarannya tidak
diberikan tersendiri tetapi
harus di integrasikan
dengan materi matematika.
Kemahiran matematika yang
disajikan secara eksplisit
dalam Kurikulum KTSP dapat menjadi
perhatian dan pertimbangan
guru untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran dan penilaian
hasil belajar siswa.
4)
Kompetensi dasar
yang tertuang dalam
Standar Kompetensi dalam
Kurikulum KTSP merupakan kemampuan minimal yang dapat dikembangkan oleh sekolah. Guru dapat memberikan
pembelajaran dengan mengkaitkan
materi-materi matematika mulai
dari kelas 1 sampai
dengan kelas 6
pada Standar Kompetensi
ini atau dapat
menambah dan memperluas materi
tersebut.
5)
Untuk mengetahui
tingkat keberhasilan efisiensi
suatu pembelajaran guru
perlu melakukan penilaian.
6)
Guru dapat
menggunakan teknologi komputer,
alat peraga atau
media lainnya untuk meningkatkan efisiensi pembelajaran
2.
Keaktifan
Belajar
Menurut Anton M. Mulyono
(2001 : 26) keaktifan adalah kegiatan atau aktivitas atau segala sesuatu yang
dilakukan atau kegiatankegiatan yang terjadi baik fisik maupun non fisik. Menurut Sanjaya (2007:101-106) aktivitas tidak hanya ditentukan oleh
aktivitas fisik semata, tetapi juga ditentukan oleh aktivitas non fisik seperti
mental, intelektual dan emosional. Keaktifan yang dimaksudkan di sini
penekanannya adalah pada siswa, sebab dengan adanya keaktifan siswa dalam
proses pembelajaran akan tercipta situasi belajar aktif.
Menurut
kamus besar bahasa Indonesia, keaktifan adalah kegiatan sedang belajar
merupakan proses perubahan pada diri individu kearah yang lebih baik yang
bersifat tetap berkat adanya interaksi dan latihan. Jadi keaktifan belajar
adalah suatu kegiatan individu yang dapat membawa perubahan ke arah yang lebih
baik pada diri individu karena adanya interaksi antara individu dengan individu
dan individu dengan lingkungan (Poerwodarminto, 1992 : 17),
Keaktifan
belajar adalah suatu kegiatan yang menimbulkan perubahan pada diri individu
baik tingkah laku maupun kepribadian yang bersifat kecakapan, sikap, kebiasaan,
kepandaian yang bersifat konstan dan berbekas. Keaktifan belajar akan terjadi
pada diri siswa apabila terdapat interaksi antara situasi stimulus dengan isi
memori, sehingga perilaku siswa berubah dari waktu sebelum dan sesudah adanya
situasi stimulus tersebut.
Selama
proses belajar siswa dituntut aktivitasnya untuk mendengarkan, memperhatikan
dan mencerna pelajaran yang diberikan guru, disamping itu sangat dimungkinkan
para siswa memberikan balikan berupa pertanyaan, gagasan pikiran, perasaan,
keinginannya. Guru hendaknya mampu membina rasa keberanian, keingintahuan
siswa, untuk itu siswa hendaknya merasa aman, nyaman, dan kondusif dalam
belajar. Peran guru dalam pembelajaran siswa aktif adalah sebagai fasilitator
dan pembimbing siswa yang memberi berbagai kemudahan siswa dalam belajar serta
mampu mendorong siswa untuk belajar seoptimal mungkin.
Keaktifan
adalah kegiatan atau aktivitas atau segala sesuatu yang dilakukan atau
kegiatankegiatan yang terjadi baik fisik maupun non fisik (Anton M. Mulyono, 2001
: 26). Aktivitas tidak hanya ditentukan
oleh aktivitas fisik semata, tetapi juga ditentukan oleh aktivitas non fisik
seperti mental, intelektual dan emosional. Keaktifan yang dimaksudkan di sini
penekanannya adalah pada siswa, sebab dengan adanya keaktifan siswa dalam
proses pembelajaran akan tercipta situasi belajar aktif. belajar aktif adalah
suatu sistem belajar mengajar yang menekankan keaktifan siswa secara fisik,
mental intelektual dan emosional guna memperoleh hasil belajar yang berupa
perpaduan antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Belajar aktif sangat
diperlukan oleh siswa untuk mendapatkan hasil belajar yang maksimum. Ketika
siswa pasif atau hanya menerima informasi dari guru saja, akan timbul
kecenderungan untuk cepat melupakan apa yang telah diberikan oleh guru, oleh
karena itu diperlukan perangkat tertentu untuk dapat mengingatkan yang baru
saja diterima dari guru (Rochman Natawijaya, 2005 : 31)
Proses
pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas merupakan aktivitas
mentransformasikan pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Dalam kegiatan
pembelajaran ini sangat dituntut keaktifan siswa, dimana siswa adalah subjek
yang banyak melakukan kegiatan, sedangkan guru lebih banyak membimbing dan
mengarahkan. Keaktifan siswa dalam kegiatan pembelajaran dapat dilaksanakan
manakala : (1) pembelajaran yang dilakukan lebih berpusat pada siswa, (2) guru
berperan sebagai pembimbing supaya terjadi pengalaman dalam belajar (3) tujuan
kegiatan pembelajaran tercapai kemampuan minimal siswa (kompetensi dasar), (4)
pengelolaan kegiatan pembelajaran lebih menekankan pada kreativitas siswa,
meningkatkan kemampuan minimalnya, dan mencapai siswa yang kreatif serta mampu
menguasai konsep-konsep, dan (5) melakukan pengukuran secara kontinu dalam
berbagai aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan (Martinis Yamin, 2007: 80-
81).
Menurut
Rochman Natawijaya (dalam Depdiknas 2005 : 31) belajar aktif adalah suatu
sistem belajar mengajar yang menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental
intelektual dan emosional guna memperoleh hasil belajar yang berupa perpaduan
antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Belajar aktif sangat diperlukan
oleh siswa untuk mendapatkan hasil belajar yang maksimum. Ketika siswa pasif
atau hanya menerima informasi dari guru saja, akan timbul kecenderungan untuk
cepat melupakan apa yang telah diberikan oleh guru, oleh karena itu diperlukan
perangkat tertentu untuk dapat mengingatkan yang baru saja diterima dari guru.
Proses
pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas merupakan aktivitas mentransformasikan
pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Dalam kegiatan pembelajaran ini sangat
dituntut keaktifan siswa, dimana siswa adalah subjek yang banyak melakukan
kegiatan, sedangkan guru lebih banyak membimbing dan mengarahkan.
Menurut
Raka Joni (1992: 19-20) dan Martinis Yamin (2007: 80- 81) menjelaskan bahwa
keaktifan siswa dalam kegiatan pembelajaran dapat dilaksanakan manakala : (1)
pembelajaran yang dilakukan lebih berpusat pada siswa, (2) guru berperan
sebagai pembimbing supaya terjadi pengalaman dalam belajar (3) tujuan kegiatan
pembelajaran tercapai kemampuan minimal siswa (kompetensi dasar), (4)
pengelolaan kegiatan pembelajaran lebih menekankan pada kreativitas siswa,
meningkatkan kemampuan minimalnya, dan mencapai siswa yang kreatif serta mampu
menguasai konsep-konsep, dan (5) melakukan pengukuran secara kontinyu dalam
berbagai aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
Menurut kamus besar
bahasa Indonesia, keaktifan adalah kegiatan (Poerwodarminto, 1992 : 17), sedang
belajar merupakan proses perubahan pada diri individu kearah yang lebih baik
yang bersifat tetap berkat adanya interaksi dan latihan. Jadi keaktifan belajar
adalah suatu kegiatan individu yang dapat membawa perubahan kearah yang lebih
baik pada diri individu karena adanya interaksi antara individu dengan individu
dan individu dengan lingkungan.
Keaktifan belajar adalah
suatu kegiatan yang menimbulkan perubahan pada diri individu baik tingkah laku
maupun kepribadian yang bersifat kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian yang
bersifat konstan dan berbekas. Keaktifan belajar akan terjadi pada diri siswa
apabila terdapat interaksi antara situasi stimulus dengan isi memori, sehingga
perilaku siswa berubah dari waktu sebelum dan sesudah adanya situasi stimulus
tersebut.
Selama proses belajar
siswa dituntut aktivitasnya untuk mendengarkan, memperhatikan dan mencerna
pelajaran yang diberikan guru, disamping itu sangat dimungkinkan para siswa
memberikan balikan berupa pertanyaan, gagasan pikiran, perasaan, keinginannya.
Guru hendaknya mampu membina rasa keberanian, keingintahuan siswa, untuk itu
siswa hendaknya merasa aman, nyaman, dan kondusif dalam belajar.
Keaktifan
belajar adalah aktivitas yang bersifat fisik maupun mental (Sardiman: 2001:
99). Selama kegiatan belajar kedua aktivitas tersebut harus terkait, sehingga
akan mengahasilkan aktivitas belajar yang optimal
3.
Hasil
belajar
Hasil belajar adalah
kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar (Mulyono
Abdurrahman, 2003:37). Sedangkan menurut benyamin S. Bloom (1966:7) ada tiga
ranah (domain) hasil belajar, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor.
Menurut A. J
Rominszowski yang dikutip Mulyono Abdurrahman hasil belajar merupakan keluaran
(output) dari suatu system pemrosesan
masukan (input). Masukan dari sistem
tersebut berupa bermacam-macam informasi sedangkan keluarannya adalah perbuatan
atau kinerja (performance).
Menurut Romiszowski,
perbuatan merupakan petunjuk bahwa proses belajar telah terjadi dan hasil
belajar dapat dikelompokan kedalam dua macam saja yaitu pengetahuan dan
keterampilan.
Hasil belajar
adalah tingkat perubahan
atau keberhasilan siswa
yang mencakup aspek kemampuan
pemahaman, sikap, dan
nilai serta keterampilan setelah mengikuti proses belajar
mengajar. Tingkat keberhasilan dalam mengikuti kegiatan belajar merupakan hasil
belajar yang telah dicapai oleh siswa.
Dalam kamus umum bahasa
Indonesia bahwa hasil belajar adalah sesuatu yang diperoleh atau
dicapai dalam belajar.
Hasil belajar menurut
Nana Sudjana (2005:65) adalah
kemampuan-kemampuan yang dimiliki
siswa setelah ia menerima
pengalaman belajar. Hasil
belajar menurut pengertian
di atas adalah kemampuan-kemampuan yang
muncul setelah seseorang
belajar. Kemampuan tersebut terbentuk dari pengalaman siswa dalam proses
belajar.
Gagne seperti dikutip
Suprayekti mengklasifikasikan hasil belajar menjadi lima kategori
yaitu : a.
Informasi verbal, b.
Kemahiran intelektual, c.
Strategi kognetif, d. Sikap, e. keterampilan motorik. Kemampuan
informasi verbal adalah mengembangkan
kemampuan menyimpan informasi
dalam ingatan. Pada kemahiran intelektual
dapat dilihat berupa
kemampuan menggunakan simbol untuk
berinteraksi, mengorganisir, dan
membentuk arti. Strategi
kognitif adalah kemampuan untuk mengatur
dan mengontrol proses
berpikir dalam diri
sendiri.
Hasil belajar
motorik berhubungan dengan
melakukan gerakan tubuh
dengan lancar dan tepat.
Sedangkan pada hasil
belajar sikap merupakan
suatu kondisi mental yang mempengaruhi pemilihan perilaku.
Penilaian hasil belajar
mengisyaratkan hasil belajar
sebagai program atau objek
yang menjadi sasaran
penelitian. Hasil belajar
sebagai objek penilaian dalam hakikatnya menilai penguasaan
siswa terhadap tujuan-tujuan instruksional.
Hal ini adalah
karena isi rumusan
tujuan instruksional menggambarkan
hasil belajar yang
harus dikuasai siswa
berupa kemampuan-kemampuan siswa
setelah menerima atau menyelesaikan pengalaman belajarnya. Hasil belajar
sebagai objek dapat dibedakan kedalam
beberapa kategori, antara
lain keterampilan dan kebiasaan, pengetahuan dan pengertian,
sikap dan cita-cita.
Hasil belajar
merupakan tingkat keberhasilan
siswa dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam
suatu program. Merupakan padanan kata hasil belajar adalah prestasi belajar,
Muhibbin Syah (1995:150) mengungkapkan bahwa prestasi sebagai
hasil belajar adalah
taraf keberhasilan sebuah
proses. Berkaitan erat dengan
hal ini adalah
evaluasi, evaluasi merupakan
alat penilaian tingkat keberhasilan (prestasi) tersebut.
Berdasarkan uraian
di atas, kita
dapat menggarisbawahi bahwa
evaluasi hasil belajar merupakan
proses untuk menentukan
hasil belajar siswa
melalui kegiatan penilaian. Tujuan
utama evaluasi hasil
belajar adalah untuk mengetahui tingkat keberhasilan
yang dicapai oleh
peserta didik setelah
mengikuti suatu
kegiatan-kegiatan proses belajar
mengajar, dengan tingkat
keberhasilan diberi nilai yang
berupa angka atau
huruf. Jika tujuan
sudah tercapai hasilnya
dapat digunakan untuk keperluan tertentu.
Belajar merupakan
usaha secara sadar
untuk menghasilkan suatu perbuatan, baik
perubahan pengetahuan, tingkah
laku dan sebagainya
terhadap tujuan yang telah
ditetapkan. Perubahan hasil
belajar ini adalah
semua ranah psikologi dalam
belajar, yaitu ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor. Pada dasarnya
hasil belajar atau
prestasi belajar yang
utama meliputi ranah psikologi yaitu
kognitif, afektif dan
psikomotor. Yang sulit
diukur adalah ranah rasa.
Bloom dalam “Taxonomy of Education Objectives”
menyebutkan bahwa : Perubahan
tingkah sebagai hasil
belajar meliputi tiga
domain, yaitu domain
kognitif, domain afektif,
domain psikomotor. Domain
kognitif adalah tujuan-tujuan belajar yang berhubungan dengan
memanggil kembali (recall)
pengetahuan dan pengembangan kemampuan
intelektual dan keterampilan.
Domain afektif adalah tujuan-tujuan
yang menjelaskan perubahan
sikap, minat, dan
nilai nilai, dan
pengembangan apresiasi serta
penyesuaian. Domain psikomotor (motor skill
area manipulative) memuat
perubahan tingkah laku
yang menunjukkan bahwa
siswa telah mempelajari
keterampilan manipulatif fisik
tertentu, sedangkan domain
kognitif memuat enam
kategori yang disusun
mulai dari yang
paling sederhana sampai ke
yang paling komplek,
yaitu : (1)
pengetahuan, (2) pemahaman, (3)
aplikasi, (4) analisis, (5) sintesis, dan (6) evaluasi.
Hasil belajar
adalah perwujudan dari
proses belajar, yakni
terjadinya perubahan tingkah laku
secara keseluruhan. Macam-macam
tipe hasil belajar sangat penting
diketahui oleh guru dalam rangka
merumuskan tujuan pengajaran dan menyusun alat-alat penilaian,
baik melalui tes maupun bukan tes.
Pada umumnya hasil
belajar dinilai melalui tes, baik itu tes uraian maupun tes objektif. Pelaksaan
penilaian bisa secara
lisan, tulisan, dan
tindakan atau perbuatan. Tes
uraian mempunyai keunggulan
dari tes objektif
karena dapat mengungkapkan aspek
atau abilitas mental
yang lebih tinggi
yang tercermin dalam logika
berpikir dan kemampuan
berbahasa lisan. Sedangkan
tes objektif lebih unggul dalam
hal materi diujikan
dapat lebih banyak
dan mudah dalam memeriksa dan mengolah hasilnya.
Tujuan penilaian proses
belajar mengajar pada
hakikatnya adalah untuk mengetahui kegiatan
belajar mengajar, terutama
efisiensi, keefektifan, dan produktivitasnya dalam mencapai tujuan
pengajaran.
Berdasarkan pengertian
hasil belajar dari
beberapa para ahli
di atas dapat kita ambil garis besar yaitu : jika
ketika proses belajar mengajar berlangsung dan pengajar dapat
memanfaatkan waktu sebaik
mungkin supaya materi
yang disampaikan bisa terserap
baik oleh siswa,
berarti akan memberikan
peluang kepada siswa untuk
meraih hasil belajar
yang semaksimal mungkin.
Jadi hasil belajar adalah suatu hasil akhir dari proses pembelajaran
siswa, baik itu di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Jika ingin mencapai
hasil akhir yang memuaskan maka siswa harus belajar secara maksimal.
Hasil belajar
matematika siswa sekolah
dasar dalam penelitian
ini merupakan kemahiran matematika
yang mencakup kemampuan
penalaran, komunikasi,
pemecahan masalah, keterkaitan
pengetahuan, dan kegunaan matematika setelah
mengikuti pembelajaran matematika
yang terwujud dalam bentuk
skor hasil belajar
matematika.
Pengetahuan terdiri
empat kategori, yaitu (1) Pengetahuan tentang fakta, (2) Pengetahuan tentang
prosedur, (3) Pengetahuan tentang
konsep, (4) Pengetahuan tentang prinsip. Keterampilan juga terdiri dari empat
kategori, yaitu (1) Keterampilan untuk berfikir atau keterampilan kognitif, (2)
Keterampilan untuk bertindak atau keterampilan motorik, (3) Keterampilan bereaksi
atau bersikap, dan (4) Keterampilan berinteraksi.
Dari berbagai pengertian
hasil belajar di atas maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah
kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar yang meliputi
berbagai aspek, yaitu kognitif, afektif, maupun psikomotor yang dipengaruhi
oleh faktor masukan pribadi maupun masukan yang berasal dari lingkungan.
Berdasarkan data uji
kompetensi matematika pada kompetensi dasar pemecahan masalah yang berkaitan
dengan waktu, jarak, dan kecepatan menunjukan hasil belajar yang dicapai siswa
belum mencapai standar yang ditetapkan atau dengan kata lain hasil belajar
matematika kompetensi dasar pemecahan masalah yang berkaitan dengan waktu,
jarak, dan kecepatan masih rendah. Hal ini dibuktikan masih banyak siswa yang
memperoleh nilai di bawah criteria ketuntasan minimal yang ditetapkan.
Muara dari rendahnya
hasil belajar matematika kompetensi dasar pemecahan masalah yang berkaitan
dengan waktu, jarak, dan kecepatan, siswa belum memahami materi tersebut
dikarenakan pembelajaran matematika yang selama ini dilaksanakan belum
menggunakan teknik pembelajaran yang tepat.
Dengan teknik penggunaan
alat peraga pada pembelajaran matematika aspek geometri dan pengukuran
diharapkan pemahaman siswa meningkat, yang pada akhirnya dapat meningkatkan
hasil belajar matematika kompetensi dasar pemecahan masalah yang berkaitan
dengan waktu, jarak, dan kecepatan.
4.
Pengertian Model
Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Menurut
Saripuddin (Abbas, 2000:10), model pembelajaran didefinisikan sebagai kerangka
konseptual yang menggambarkan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan
pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi
sebagai pedoman bagi perancang dan para pengajar dalam merencanakan dan
melaksanakan aktivitas belajar mengajar. Sedangkan menurut Arends (Abbas,
2000:10) menyatakan bahwa model pembelajaran mengacu kepada pendekatan
pembelajaran termasuk didalamnya tujuan pembelajaran, tahap-tahap kegiatan
pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas.
Model
pembelajaran menurut Joyce dan Weil (1996:4) adalah suatu pola yang digunakan
sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran
dalam seting tutorial dan untuk menentukan perangkat- perangkat pembelajaran
termasuk di dalamnya buku-buku, film, komputer,
kurikulum dan lain-lain. Saripuddin (1996:78) mengatakan bahwa model
pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur yang
sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi
sebagai pedoman bagi perancang dan para
pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar.
Dari
kedua pandangan di atas menunjukkan bahwa model pembelajaran itu tidak lain adalah suatu pola atau kerangka
konseptual yang berisi prosedur yang
sistematik dalam mengorganisasikan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan pembelajaran. Model atau pola ini menjadi pedoman bagi guru dan
perancang pembelajaran dalam merancang dan melaksanakan kegiatan pembelajaran
Model pembelajaran
berdasarkan masalah (problem-based
instruction) merupakan salah satu
dari berbagai model pembelajaran yang dapat digunakan guru dalam mengaktifkan siswa dalam belajar.
Model pembelajaran berdasarkan masalah
bercirikan penggunaan masalah dunia nyata. Model ini dapat digunakan untuk melatih dan meningkatkan keterampilan
berpikir krittis dan memecahkan masalah
serta untuk mendapatkan pengetahuan tentang konsep-konsep penting. Pendekatan pembelajaran ini mengutamakan
proses belajar, dimana tugas guru harus
memfokuskan diri untuk membantu siswa mencapai keterampilan mengarahkan diri. Pembelajaran berdasarkan
masalah penggunaannya di dalam tingkat berpikir yang lebih tinggi, dalam
situasi berorientasi masalah, termasuk
bagaimana belajar (Arends, 1997:156).
Pada model pembelajaran
ini peran guru adalah mengajukan masalah,
mengajukan pertanyaan, memberikan kemudahan suasana berdialog, dan memberikan fasilitas penelitian, serta
melakukan penelitian. Kegiatan ini dapat
dilakukan guru saat pembelajaran di kelas dan melalui latihan yang
cukup (Arends, 1997:10). Ini berarti
bahwa model pembelajaran berdasarkan masalah
hanya dapat terjadi jika guru mampu menciptakan lingkungan kelas yang
terbuka dan membimbing pertukaran
gagasan, sehingga peran guru adalah sebagai
pemberi rangsangan, pembimbing kegiatan siswa, dan penentu arah belajar
siswa.
Pada pelaksanaan model
pembelajaran berdasarkan masalah, selain guru
menjadi penentu keberhasilan pembelajaran, juga faktor sumber belajar,
sarana yang digunakan, dan kurikulum
turut berperan. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan Sujana (1989:93) bahwa keberhasilan model pembelajaran berdasarkan masalah tergantung adanya sumber
belajar bagi siswa, alat-alat untuk
menguji jawaban atau dugaan. Menuntut adanya perlengkapan
kurikulum, menyediakan waktu yang cukup,
apa lagi data yang diperoleh dari lapangan, serta kemampuan guru dalam mengangkat dan
merumuskan masalah.
a.
Ciri-Ciri Model
Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Ciri-ciri
podel pembelajaran berdasarkan masalah adalah sebagai berikut:
1)
Pengajuan masalah atau
pertanyaan.
Pembelajaran
berdasarkan masalah mengorganisasikan pembelajaran disekitar pertanyaan dan
masalah sosial yang penting bagi siswa dan masyarakat. Pertanyaan atau masalah itu bersifat autentik (nyata) bagi siswa dan
tidak mempunyai jawaban sederhana.
Pertanyaan atau masalah itu menurut Arends
(1997:170) harus memenuhi kriteria (1) autentik, yaitu masalah didasarkan
dan diambil dari kehidupan sehari-hari sesuai dengan pengalaman siswa
dan prinsip-prinsip akademik, (2) Jelas,
yaitu masalah dirumuskan dengan jelas,
dalam arti tidak menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada
akhirnya menyulitkan penyelesaian siswa,
(3) mudah dipahami, (4) luas dan sesuai
dengan tujuan pembelajaran, dan (5) bermanfaat.
2)
Berfokus pada keterkaitan
antar disiplin ilmu
Masalah
yang diajukan dalam pembelajaran berdasarkan masalah hendaknya mengaitkan atau melibatkan berbagai disiplin
ilmu.
3)
Penyelidikan yang autentik
Pembelajaran
berdasarkan masalah mengharuskan siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari
penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Siswa harus menganalisis dan
mendefinisikan masalah, mengembangkan
hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan dan
menganalisis informasi, melakukan eksperimen (jika perlu), membuat referensi, dan merumuskan kesimpulan.
4)
Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya
Pembelajaran berdasarkan masalah menuntut siswa untuk
menghasilkan produk tertentu dalam
bentuk karya dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian
masalah yang ditemukan. Produk itu dapat berupa laporan, model fisik, video,
maupun program komputer. Hasil karya tersebut ditampilkan siswa didepan
teman-temannya.
5)
Kolaborasi
Pembelajaran berdasarkan masalah dicirikan oleh siswa
yang bekerja sama satu dengan lainnya, paling sering secara berpasangan atau
dalam kelompok kecil.
b.
Langkah-Langkah Model
Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Menurut Arends (1997:161) ada lima tahap kegiatan
pembelajaran berorientasi model
pembelajaran berdasarkan masalah, yaitu :
1) Tahap pertama:
Orientasi siswa pada masalah
Pada
tahap ini guru menjelaskan tujuan pembelajaran, alat peraga dan memotivasi
siswa untuk terlibat aktif dalam pemecahan masalah.
2)
Tahap kedua : Mengorganisasi siswa untuk belajar
Pada tahap ini guru membagi siswa ke dalam
kelompok-kelompok kecil, membantu siswa
mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah.
3)
Tahap ketiga : Membimbing
penyelidikan individu maupun kelompok
Pada
tahap ini guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai dengan
masalah yang dibahas, melaksanakan eksperimen dan penyelidikan untuk mendapatkan penjelasan dan
pemecahan masalah
4)
Tahap keempat : Mengembangkan dan menyajikan hasil
karya
Pada
tahap ini guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang
sesuai seperti laporan, video, dan model dan membantu siswa membagi tugas dengan temannya.
5)
Tahap kelima : Menganalisis dan mengevaluasi proses
pemecahan masalah
Pada tahap ini guru
membantu siswa dalam melakukan evaluasi dan
refleksi terhadap penyelidikan dan proses yang digunakan dalam
memecahkan masalah
Berdasar definisi di
atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran merupakan kerangka konseptual
yang menggambarkan prosedur sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman
belajar untuk mencapai tujuan belajar, yang mempunyai fungsi sebagai pedoman
bagi guru dalam merancang dan melaksanakan kegiatan pembelajaran, mengelola
lingkungan pembelajaran dan mengelola kelas. Strategi pembelajaran berbasis
masalah dapat diterapkan melalui kegiatan individu, tidak hanya melalui kegiatan
kelompok. Penerapan ini tergantung pada tujuan pembelajaran yang ingin dicapai
dan materi yang akan diajarkan. Apabila materi yang akan diajarkan dirasa
membutuhkan pemikiran yang dalam, maka sebaiknya pembelajaran dilakukan melalui
kegiatan kelompok, begitupula sebaliknya.
Pierce dan Jones
(Ratnaningsih, 2003) mengemukakan bahwa kejadian-kejadian yang harus
muncul pada waktu pelaksanaan
pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut:
1)
Keterlibatan
(engagement) meliputi mempersiapkan
siswa untuk berperan sebagai pemecah masalah
yang bisa bekerja sama dengan pihak lain, menghadapkan siswa pada situasi
yang mendorong untuk mampu
menemukan masalah dan meneliti
permasalahan sambil mengajukan dugaan dan rencana penyelesaian.
2)
Inkuiri
dan investigasi (inquiry dan
investigation) yang mencakup kegiatan mengeksplorasi dan
mendistribuskan informasi.
3)
Performansi
(performance) yaitu menyajikan
temuan.
4)
Tanya
jawab (debriefing) yaitu menguji
keakuratan dari solusi dan melakukan refleksi terhadap proses pemecahan masalah.
Pembelajaran berbasis
masalah membuat siswa menjadi pembelajar yang mandiri, artinya ketika
siswa belajar, maka siswa dapat memilih
strategi belajar yang sesuai, terampil menggunakan strategi tersebut untuk belajar dan mampu mengontrol proses
belajarnya, serta termotivasi untuk menyelesaikan belajarnya itu (Depdiknas,
2003). Dalam pembelajaran berbasis masalah siswa memahami konsep suatu materi
dimulai dari belajar dan bekerja pada
situasi masalah (tidak terdefinisi dengan baik) atau open
ended yang disajikan pada awal
pembelajaran, sehingga siswa diberi kebebasan berpikir dalam mencari solusi
dari situasi masalah yang diberikan.
B.
Hasil Penelitian yang
Relevan
1. Santoso, A.M.B. 2010. Peningkatan
Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas V Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah Di
SDN Kerjen Kabupaten Blitar. Skripsi, Jurusan
Kependidikan Sekolah Dasar dan Prasekolah FIP Universitas Negeri Malang.
Pembimbing: (I) Drs. H. Zaenudin, S.Pd., M.Pd., (II) Dra. Wasih D.S, S.Pd, M. Pd..
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan
keterampilan dalam memecahkan suatu masalah dan hasil belajar siswa. Rata-rata keterampilan dalam memecahkan
masalah pada pra tindakan mencapai 11.4% meningkat menjadi 66.4% pada siklus I
dan pada siklus II meningkat menjadi 77%. Sedangkan hasil belajar yang di
peroleh setelah kegiatan pembelajaran juga mengalami peningkatan. Rata-rata
hasil belajar pada pra tindakan adalah 58.2% meningkat menjadi 68.4% pada
siklus I dan pada siklus II meningkatan menjadi 80.4%. Sedangkan ketercapaian
belajar secara klasikal pada pra tindakan 37.04% meningkat menjadi 62.96% dan
pada siklus II meningkat menjadi 85.2%. Berdasarkan
hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan penerapan pembelajaran
berbasis masalah dapat meningkatkan keterampilan siswa dalam memecahkan masalah
dan hasil belajar matematika siswa kelas V SDN Kerjen Kabupaten Blitar. Dalam membelajarkan siswa guru
disarankan menciptakan pembelajaran dengan menghadirkan suatu permasalahan yang
berkaitan dengan lingkungan.
2. Lestari, Rakhmawati.
2009. Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan
Berpikir Kritis Siswa Materi Operasi Hitung di Kelas IV SDN Tanjungrejo V
Malang. Skripsi, Jurusan KSDP Universitas Negeri Malang. Pembimbing: (1) Dra.
Endang Setyo Winarni, M.Pd., Pembimbing (II) Drs. Tomas Iriyanto, S.Pd, M.Pd. Hasil
observasi terhadap siswa kelas IV SDN Tanjungrejo V Malang tahun ajaran
2009/2010 berjumlah 30 siswa menunjukkan tingkat berpikir kritis menyangkut
pemahaman materi "Operasi hitung" kurang. Hal tersebut dapat dilihat
pula pada hasil ulangan harian siswa sebelum diterapkan pembelajaran berbasis
masalah. Ada 9 siswa (30%) yang kemampuan menyelesaikan soal "Operasi
hitung" mencapai nilai 75-100, terdapat 10 siswa (33, 33%) yang mencapai
nilai antara 60-75, dan ada 11 siswa (36, 67%) yang memperoleh nilai di bawah
50, padahal nilai standar ketuntasan minimal untuk pelajaran matematika yang
ditentukan oleh SDN Tanjungrejo V Malang adalah 60. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa ada peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa selama
pemberian tindakan. Aspek kemampuan berpikir kritis pada siklus I yang diamati
meliputi merumuskan masalah, prosentase rata-rata skor kelompok untuk aspek ini
adalah 50%. Aspek yang kedua yaitu memberikan argumen dengan prosentase
rata-rata skor kelompok sebesar 56,75%. Aspek yang ketiga adalah melakukan
deduksi dengan prosentase rata-rata skor kelompok sebesar 53,25%. Aspek yang
keempat adalah melakukan induksi dengan prosentase rata-rata skor kelompok
sebesar 53,25%. Aspek yang kelima adalah melakukan evaluasi dengan prosentase
rata-rata skor kelompok sebesar 54,25%. Dan aspek yang terakhir adalah
memutuskan dan melaksanakan dengan perolehan prosentase rata-rata skor kelompok
sebesar 57,50%. Untuk siklus II ada peningkatan kemampuan berpikir kritis bila
dibandingkan dengan siklus I, diantaranya: untuk aspek merumuskan masalah
prosentase rata-rata skor kelompok untuk aspek ini adalah 58,25%
meningkat 8,25%. Aspek yang kedua yaitu memberikan argumen dengan
prosentase rata-rata skor kelompok sebesar 59,25% meningkat sebesar 2,5%. Aspek
yang ketiga adalah melakukan deduksi dengan prosentase rata-rata skor kelompok
sebesar 65,75% meningkat sebesar 12,5%. Aspek yang keempat adalah melakukan
induksi dengan prosentase rata-rata skor kelompok sebesar 65% meningkat sebesar
11,75%.
C.
Kerangka Pikir
Proses
pembelajaran matematika pada materi pokok menyederhanakan
pecahan
siswa kelas ……………….. belum sesuai harapan, rendahnya kemampuan siswa dalam
pembelajaran matematika materi menyederhanakan pecahan menjadi salah satu masalah rendahnya hasil pembelajaran
matematika materi pokok tersebut. Melihat kondisi awal sebagaimana tersebut di atas, maka peneliti berusaha
untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul agar proses pembelajaran dapat
berjalan dengan baik sehingga prestasi belajar siswa dapat tercapai dengan
melaksanakan perbaikan pembelajaran.
Upaya
yang dilakukan untuk mengatasi permasalah sebagaimana tersebut di atas adalah
memperbaiki proses pelaksanaan
pembelajaran yang akan dilaksanakan
dengan penerapan pembelajaran berdasarkan masalah dengan harapan dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa belajar
sehingga tingkat ketuntasan belajar siswa dapat tercapai secara maksimal.
Kondisi akhir setelah dilaksanakan perbaikan pembelajaran
dengan penerapan pembelajaran berdasarkan masalah adalah untuk meningkatkan keaktifan dan hasil
belajar siswa sehingga tingkat ketuntasan belajar siswa dapat tercapai.
Untuk memperoleh gambaran
yang lebih jelas mengenai jalannya alur berpikir dari permasalahan yang akan
diatasi dan solusi tindakan yang akan dilaksanakan serta hasil yang diharapkan
dari penelitian ini dapat digambarkan pada bagan sebagai berikut :
Gambar 2.1 : Bagan Kerangka Berpikir
D.
Hipotesis Tindakan
Dengan mempertimbangkan dan merujuk pada beberapa
pendapat ahli, disusunlah hipotesis tindakan sebagai berikut :
1. Penerapan pembelajaran berdasarkan masalah dapat meningkatkan keaktifan belajar siswa kelas
IV .............pada pembelajaran matematika materi menyederhanakan pecahan.
2. Penerapan pembelajaran berdasarkan masalah
dapat meningkatkan hasil belajar
siswa kelas IV ................. pada pembelajaran matematika materi menyederhanakan
pecahan.
Konfirmasi file secara utuh, silahkan hub. 081327121707 (SMS only)
Mohon tidak disadur secara utuh, hanya sebagai referensi penulisan. Terima kasih atas kerjasamanya.
0 comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar, hindari unsur SARA.
Terima kasih