Menerima Pembuatan TESIS-SKRIPSI-PKP UT, Silahkan Baca Cara Pemesanan di bawah ini

Lencana Facebook

banner image

Sunday 9 June 2024

TESIS - TAPM S2 UNIVERSITAS TERBUKA

 

PENGARUH KEPEMIMPINAN SITUASIONAL KEPALA SEKOLAH DAN LINGKUNGAN KERJA TERHADAP KOMPETENSI SOSIAL GURU DI SD NEGERI KECAMATAN ................ KOTA ................

 

 

 TESIS

 

 

 

 

 

 

 

OLEH

 

……………………………………

NIM. ………………….

 

 

 

 

 

PROGRAM STUDI MAGISTER PRODI ADMINISTRASI PENDIDIKAN

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ………………………………………

……………………………..

2023

ABSTRAK

 

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh kepemimpinan situasional kepala sekolah terhadap kompetensi sosial guru di Sekolah Dasar Negeri Kecamatan ................ Kota ................, mengetahui apakah terdapat pengaruh lingkungan kerja terhadap kompetensi sosial guru di Sekolah Dasar Negeri Kecamatan ................ Kota ................ dan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh kepemimpinan situasional kepala sekolah terhadap lingkungan kerja di Sekolah Dasar Negeri Kecamatan ................ Kota ................. Penelitian dilakukan di Sekolah Dasar Negeri Kecamatan ................ Kota ................  dengan populasi penelitian adalah seluruh  guru di Sekolah Dasar Negeri Kecamatan ................ Kota ................. Dari populasi tersebut, diambil sampel sebanyak 157 guru  yang diperoleh dengan menggunakan teknik pengambilan sampel acak proporsional. Penelitian ini menggunakan metode causal study. Data penelitian dijaring melalui instrumen penelitian berupa kuesioner dengan skala Likert, kemudian diolah dan dianalisis dengan teknik analisis jalur. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Hasil uji pertama menyatakan bahwa ada pengaruh positif dan signifikan antara Kepemimpinan Situasional Kepala Sekolah Terhadap Kompetensi Sosial Guru  dengan nilai signifikan regresi bernilai 0,021> 0,05 maka Ho ditolak dan H1 diterima  jadi semakin tinggi kepemimpinan situasional kepala sekolah maka akan semakin tinggi pula kompetensi sosial guru. (2)Hasil uji kedua menyatakan bahwa ada pengaruh positif dan signifikan antara Lingkungan Kerja Terhadap Kompetensi Sosial Guru dengan nilai signifikan regresi bernilai 0,000> 0,05 maka Ho ditolak dan H1 diterima  jadi semakin baik lingkungan kerja maka akan semakin baik pula kompetensi sosial guru.(3) Hasil uji ketiga menyatakan bahwa ada pengaruh positif dan signifikan antara Kepemimpinan Situasional Kepala Sekolah Terhadap Lingkungan Kerja  dengan nilai signifikan regresi bernilai 0,049 > 0,05 maka Ho ditolak dan H1 diterima jadi semakin meningkat kepemimpinan situasional kepala sekolah maka akan semakin baik pula lingkungan kerja yang diciptakan.

Kata Kunci : kompetensi sosial, kepemimpinan situasional, lingkungan kerja

 

 

 

 

ABSTRACT

 

The purpose of this research is to find out whether there is an influence of the principal's situational leadership on the social competence of teachers at the ................ District Public Elementary School, ................ City, to find out whether there is an influence of the work environment on the social competence of teachers at the ................ District Public Elementary School, ................ City and to find out whether there is The influence of the principal's situational leadership on the work environment at the ................ District Public Elementary School, ................ City. The research was conducted at the State Elementary School, ................ District, ................ City, with the research population being all teachers at the State Elementary School, ................ District, ................ City. From this population, a sample of 157 teachers was taken using proportional random sampling techniques. This research uses the causal study method. Research data was collected through a research instrument in the form of a questionnaire with a Likert scale, then processed and analyzed using path analysis techniques. The results of this research show that: (1) The results of the first test state that there is a positive and significant influence between the Principal's Situational Leadership on Teacher Social Competence with a significant regression value of 0.021> 0.05, so Ho is rejected and H1 is accepted, so the higher the principal's situational leadership. school, the higher the teacher's social competence will be. (2) The results of the second test state that there is a positive and significant influence between the Work Environment on Teacher Social Competence with a significant regression value of 0.000> 0.05, so Ho is rejected and H1 is accepted so the better the work environment, the better the teacher's social competence. (3) The results of the third test state that there is a positive and significant influence between the Principal's Situational Leadership on the Work Environment with a significant regression value of 0.049 > 0.05, so Ho is rejected and H1 is accepted so the more the principal's situational leadership increases, the better the environment will be. work created.

Keywords: social competence, situational leadership, work environment

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah

Kompetensi dikatakan semakna dengan kemampuan. Kemampuan itu sendiri merupakan hasil dari perpaduan antara pendidikan, pelatihan, dan pengalaman yang diperoleh seseorang. Kemampuan atau kompetensi akan menjadi atribut atau merk yang melekat dalam diri seseorang. Kompetensi merupakan komponen terpenting yang tidak terpisahkan dari eksistensi guru dalam melaksanakan profesinya. Kompetensi bagi guru meliputi, kompetensi pendagogik, kompetensi profesional, kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian. Salah satu kompetensi yang harus dimiliki seorang guru adalah kompetensi sosial.

Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Kompetensi sosial adalah kemampuan guru dalam berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah (Wibowo, 2012)

Arikunto juga memberikan argumennya mengenai kompetensi sosial. Menurut beliau, kompetensi sosial haruslah dimiliki seorang guru, yang mana guru harus memiliki kemampuan dalam berkomunikasi dengan siswa, sesama guru, kepala sekolah, dan masyarakat sekitarnya. Seorang guru harus berusaha mengembangkan komunikasi dengan orang tua peserta didik sehingga terjalin komunikasi dua arah yang berkelanjutan (Arikunto, 2021).

Kompetensi sosial guru memiliki dampak global yang signifikan karena guru berperan sebagai agen perubahan dalam membentuk generasi mendatang. Guru perlu memiliki keterampilan sosial yang baik untuk menciptakan lingkungan belajar yang positif dan mendukung pertumbuhan siswa. Isu ini sering kali mencakup pembahasan tentang pelatihan dan pengembangan guru untuk meningkatkan keterampilan ini. Seiring dengan pandemi COVID-19, banyak guru harus beradaptasi dengan pengajaran jarak jauh. Ini menempatkan tekanan tambahan pada kompetensi sosial guru untuk menjaga keterlibatan siswa dan membangun hubungan secara virtual. Guru perlu mampu memahami kebutuhan sosial dan emosional siswa mereka. Isu ini melibatkan upaya untuk memberikan dukungan yang tepat bagi siswa yang mungkin menghadapi tantangan sosial atau emosional.

Perkembangan teknologi membawa tantangan baru dan peluang dalam pendidikan. Guru perlu dapat mengintegrasikan teknologi dengan baik sambil tetap membangun hubungan sosial yang kuat dengan siswa. Teknologi dan literasi digital salah satu aspek yang harus dipahami seorang guru, karena  guru perlu memiliki keterampilan teknologi untuk mengintegrasikan alat-alat digital ke dalam pembelajaran. Literasi digital juga diperlukan agar guru dapat membimbing siswa dalam menggunakan teknologi secara etis dan efektif. Kemampuan dalam kolaborasi dan kemitraan, dimana seorang guru harus dapat bekerja sama dengan rekan sejawat, orang tua, dan pihak lain untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Kolaborasi ini tidak hanya lokal tetapi juga global, memanfaatkan teknologi untuk terhubung dengan guru di seluruh dunia. Seorang guru diharapkan pula mampu meningkatkan keterampilan kritis dan kreativitasnya, yaitu mampu mendorong pengembangan keterampilan berpikir kritis dan kreativitas untuk menghadapi kompleksitas tantangan global. Peningkatan kompetensi sosial guru dalam konteks isu-isu global ini dapat memberikan kontribusi besar terhadap pembentukan generasi yang lebih baik dan mampu menghadapi tantangan masa depan.

Keberadaan kepala sekolah dalam lembaga pendidikan sangat penting, yaitu untuk mencapai tujuan organisasi tersebut. Oleh karena itu, setiap kepala sekolah memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda di masing-masing sekolah. Seorang kepala sekolah yang selalu mendukung para guru dalam melaksanakan tugasnya, kemudian disertai juga dengan kondisi lingkungan kerja yang sesuai dengan harapan guru. Hal tersebut tentunya akan berpengaruh terhadap guru tersebut. Guru akan merasa dihargai dan didukung untuk mengembangkan kemampuannya agar menjadi guru yang berkompeten, namun guru harus memiliki kemampuan dan keahlian. Hal tersebut akan membuat guru termotivasi untuk mengembangkan kemampuan yang dimilikinya agar menjadi guru yang berkompeten.

Kepemimpinan yang dikombinasikan dengan situasi akan mampu menentukan keberhasilan pelaksanaan kerja maka dalam menghadapi situasi yang berbeda diperlukan perilaku atau gaya kepemimpinan yang berbeda-beda. Kepala sekolah sebagai pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya harus dapat beradaptasi dengan lingkungan atau situasi sekolah sehingga semua sumber daya yang ada dapat diberdayakan dengan baik dalam mencapai tujuan sekolah. Kepala sekolah memiliki peran yang sangat penting dalam sekolah, terutama mengenai kesejahteraan para guru. Selain itu, lingkungan kerja yang mendukung juga memiliki peran yang sangat penting bagi guru. Kepala sekolah yang kepemimpinannya disukai guru dan lingkungan kerja yang aman dan nyaman, maka akan membuat guru merasa betah untuk bekerja di sekolah tersebut. Hal tersebut akan mempengaruhi perasaan yang dirasakan oleh guru, sehingga guru akan merasa puas bekerja di sekolah tersebut.

Berdasarkan beberapa penelitian disimpulkan bahwa ada pengaruh positif kompetensi sosial guru yang dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan kepala sekolah terhadap kompetensi sosial guru (Rusdiana, 2018) dan terdapat pengaruh secara langsung lingkungan kerja terhadap kompetensi sosial guru (Apriliana, 2022).

Guru mungkin mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, baik dengan siswa, rekan sejawat, maupun orang tua. Ini dapat mempengaruhi pemahaman siswa terhadap materi pelajaran serta hubungan antara guru, siswa, dan lingkungan sekolah. Guru yang kurang memiliki kompetensi sosial mungkin kesulitan memahami perbedaan individual dan kebutuhan siswa mereka. Ini bisa memengaruhi cara mereka menyampaikan materi pelajaran agar sesuai dengan kebutuhan dan tingkat pemahaman siswa. Kompetensi sosial juga melibatkan kemampuan untuk menangani konflik antara siswa, memberikan dukungan, dan memfasilitasi solusi.

Guru yang kurang terampil dalam hal ini dapat kesulitan menjaga ketertiban di kelas dan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Kemampuan untuk bekerja sama dengan rekan sejawat dan pihak lain di sekolah juga sangatlah penting. Guru yang kurang memiliki kompetensi sosial mungkin kesulitan dalam bekerja sama untuk mengembangkan metode pengajaran yang lebih baik, membagi sumber daya, atau menghadapi masalah bersama. Kompetensi sosial juga melibatkan hubungan dengan orang tua siswa, jika kurang terampil secara sosial mungkin kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang tua, yang dapat mempengaruhi dukungan dan keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak-anak mereka.

Lingkungan kerja atau lingkungan organisasi tidak dapat dilihat, tetapi dapat dirasakan dan dapat mempengaruhi perilaku dalam organisasi. Lingkungan organisasi dapat menyenangkan tetapi dapat pula tidak menyenangkan, karena lingkungan organisasi dibangun melalui kegiatan dan mempunyai akibat atau dampak bagi organisasi. Karena kompetensi guru dapat dipengaruhi dari faktor kepemimpinan kepala sekolah dan lingkungan kerja di sekolah, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti tentang ”Pengaruh Kepemimpinan Situasional Kepala Sekolah dan Lingkungan Kerja Terhadap Kompetensi Sosial Guru di Sekolah Dasar Negeri Kecamatan ................ Kota ................”.

 

 

 

B.   Identifikasi Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi masalah-masalah sebagai berikut:

1.    Kepemimpinan kepala sekolah dalam mempengaruhi kinerja pendidik perlu ditingkatkan.

2.    Kurangnya inisiatif kepala sekolah dan kesadaran guru dalam mengadakan pembinaan guna meningkatkan kompetensi sosial bagi guru.

3.    Komunikasi antar personal belum terjalin dengan baik.

4.    Kurangnya keterlibatan orang tua siswa.

5.    Guru kurang berpartisipatif dalam kegiatan sosial di lingkungan sekitar sekolah.

6.    Program diklat untuk pengembangan kompetensi pendidik frekuensinya masih kurang.

7.    Sarana prasarana yang tersedia di sekolah belum dimanfaatkan secara maksimal.

C.  Pembatasan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah, pembatasan masalah dalam penelitian ini penulis membatasi masalah Kompetensi Sosial Guru (Y) sebagai variabel terikat, Kepemimpinan Situasional Kepala Sekolah (X1) dan Lingkungan Kerja (X2) sebagai variabel bebas.

D.  Perumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 

1.    Apakah terdapat pengaruh positif kepemimpinan situasional kepala sekolah terhadap kompetensi sosial guru di Sekolah Dasar Negeri Kecamatan ................ Kota ................?

2.    Apakah terdapat pengaruh positif lingkungan kerja terhadap kompetensi sosial guru di Sekolah Dasar Negeri Kecamatan ................ Kota ................?

3.    Apakah terdapat pengaruh positif kepemimpinan situasional kepala sekolah terhadap lingkungan kerja di Sekolah Dasar Negeri Kecamatan ................ Kota ................?

E.  Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut:

1.    Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh kepemimpinan situasional kepala sekolah terhadap kompetensi sosial guru di Sekolah Dasar Negeri Kecamatan ................ Kota .................

2.    Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh lingkungan kerja terhadap kompetensi sosial guru di Sekolah Dasar Negeri Kecamatan ................ Kota .................

3.    Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh kepemimpinan situasional kepala sekolah terhadap lingkungan kerja di Sekolah Dasar Negeri Kecamatan ................ Kota .................

F.   Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil penelitian tersebut dapat memberikan manfaat dan kegunaan, sebagai berikut:

1.    Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan pengembangan keilmuan untuk peneliti selanjutnya, terutama yang berhubungan dengan peningkatan kompetensi sosial guru di sekolah.

2.    Praktis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi bagi para pendidik, praktisi pendidikan, dan pengambil kebijakan khususnya kebijakan yang berkenaan dengan upaya meningkatkan kompetensi sosial guru di Sekolah Dasar Negeri Kecamatan ................ Kota .................

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

KERANGKA TEORETIK

A.  Deskripsi Teori

1.    Kompetensi Sosial Guru

a.    Pengertian Kompetensi Sosial Guru

Guru merupakan suatu profesi yang ada pada lembaga pendidikan. Maka sudah menjadi kewajiban seorang guru mempunyai kemampuan pada bidangnya yang disebut dengan kompetensi, meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Selain itu guru juga berperan penting dalam proses pendidikan serta memiliki kedudukan yang terhormat dikalangan masyarakat. Sehingga perkembangan peserta didik mulai dari kognitif, afektif, dan psikomotorik menjadi tanggung jawab guru demi terwujudnya tujuan pendidikan itu sendiri. Megingat akan pentingnya peran seorang guru, maka tidak lepas dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Demi terwujudnya sebuah tujuan, harapan dan cita-cita diperlukan adanya kerjasama yang baik. Mengingat bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Maka kompetensi sosial guru sangat harus diperhatikan. Kompetensi sosial guru mempunyai definisi yang berbeda, maka perlu diartikan secara terpisah.

Pada dasarnya kompetensi diartikan sebagai kemampuan atau kecakapan. Selanjutnya kompetensi sebagai perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yng dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Pengertian kompetensi menurut beberapa ahli, yaitu sebagai berikut:

Spencer dalam Moeheriono (2014) mengemukakan bahwa:

“Kompetensi adalah karakteristik yang mendasari seseorang berkaitan dengan efektivitas kinerja individu dalam pekerjannya atau karakteristik dasar individu yang memiliki hubungan kausal atau sebagai sebab-akibat dengan kriteria yang dijadikan acuan, efektif atau berkinerja prima atau superior ditempat kerja”.

Sedangkan McClelland dalam Rivai (2013) mendefinisikan bahwa:

“Kompetensi sebagai karakteristik yang mendasar yang dimiliki seseorang yang berpengaruh langsung terhadap atau dapat memprediksi kinerja yang sangat baik, dengan kata lain, kompetensi adalah apa yang para outstanding performers lakukan lebih sering pada lebih banyak situasi dengan hasil yang lebih baik dari pada apa yang dilakukan para average performers”.

Kemudian Marwansyah (2016)  mengemukakan bahwa :

“Kompetensi adalah perpaduan pengetahuan, keterampilan, sikap dan karakteristik pribadi lainnya yang diperlukan untuk mencapai keberhasilan dalam sebuah pekerjaan, yang bisa diukur dengan menggunakan standar yang telah disepakati, dan yang dapat ditingkatkan melalui pelatihan dan pengembangan”. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat dikatakan bahwa kompetensi adalah sebuah karakteristik seseorang yang berkaitan secara langsung dengan motivasi kerja yang membuat orang tersebut mampu menjalankan tugasnya dalam organisasi.

Menurut Sudjana (2015)  memahami kompetensi sebagai suatu kemampuan yang disyaratkan untuk memangku profesi. Senada dengan Sudjana, Sardiman (2016) mengartikan kompetensi adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki seseorang berkenaan dengan tugasnya. Kedua definisi tersebut menjelaskan bahwa kompetensi adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seseorang, dalam hal ini oleh guru.

Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa pengertian tentang kompetensi di atas adalah kompetensi merupakan sesuatu kemampuan, kewenangan, kekuasaan, dan kecakapan yang dimiliki oleh seseorang dalam melaksanakan suatu kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya untuk menentukan suatu tujuan.

Menurut Jamaluddin, guru adalah pendidik, yaitu orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu berdiri sendiri dapat melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah khalifah di muka bumi, sebagai makhluk sosial dan individu yang sanggup berdiri sendiri (Fahruddin, 2014). Kompetensi guru sangat diperlukan terutama menghadapi perkembangan pesat era digital saat ini. Guru memegang peran kunci dalam mencapai tujuan pendidikan.  Kompetensi guru merupakan seperangkat pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Kompetensi guru juga merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung jawab dan layak. Dengan gambaran pengertian tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa kompetensi guru adalah kemampuan dan kewenangan guru dalam melaksanakan profesi keguruannya(Fahruddin, 2014).

Kompetensi guru mengacu kepada kemampuan guru yang diwujudkan dalam pikiran maupun Tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh Masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas pendidikan setelah mengalami proses pembelajaran tertentu. Seorang guru dituntut memiliki kompetensi atau kemampuan dalam ilmu yang dimilikinya, kemampuan penguasaan mata pelajaran, kemampuan berinteraksi sosial baik dengan peserta didik, sesama teman sejawat dan kepala sekolah, bahkan dengan masyarakat luas.

Dari beberapa penelitian diketahui bahwa berbagai cara dapat dilakukan untuk meningkatkan kompetensi guru antara lain; guru dan manajemen sekolah perlu mendorong agar siswa dapat terbuka menyampaikan permasalahan yang dihadapinya kepada guru baik masalah pribadi, belajar dan sosial lainnya. Sehingga kerjasama yang baik dapat terbangun dan penyelesaian masalah segera teratasi. Salah satu keterampilan yang perlu dimiliki untuk itu adalah keterampilan mendengarkan. Guru harus memiliki teknik mengajar yang dapat meningkatkan motivasi belajar siswa dan ini dapat dilakukan dengan meningkatkan keterampilan sosial siswa (Rosni, 2021).

Kompetensi sosial menurut Muchith, adalah seperangkat kemampuan dan keterampilan yang berkaitan dengan hubungan atau interkasi dengan orang lain. Artinya guru harus dituntut memiliki keterampilan berinteraksi dengan masyarakat khususnya dalam mengidentifikasi, menganalisis, dan menyelesaikan problem masyarakat (Sakti, 2017).

Kompetensi sosial guru adalah kemampuan, kecakapan, keterampilan dan kekuasaan seorang guru sebagai pendidik dalam melaksanakan tugas kependidikannya sehari-hari yang tercermin dalam pergaulan, interaksi, sosialisasi dan komunikasi dengan siswa, sesama pendidik, kepala sekolah, tenaga kependidikan, orangtua siswa, serta masyarakat sekitar (Vianora et al., 2022).

Menurut Mulyasa, kompetensi sosial guru ialah salah satu kemampuan yang dimiliki guru untuk mempersiapkan siswa menjadi bagian dari masyarakat yang mempunyai karakter, berwawasan luas, sikap sosial positif serta kemampuan untuk mendidik, membimbing siswa dalam menghadapi kehidupan di masa yang akan datang (Puspitasari, 2023).

Berdasarkan penjelasan teori diatas, dapat disimpulkan kompetensi sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.

b.    Faktor-faktor yang mempengaruhi Kompetensi Sosial Guru

Kompetensi guru dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dengan mengadopsi pendapat Sutermeister dikutip oleh Widoyoko (2016)  kompetensi guru dipengaruhi oleh faktor diri atau faktor internal dan faktor situasional atau faktor eksternal.

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari diri individu guru yang meliputi: latar belakang pendidikan, pengalaman mengajar, penataran dan pelatihan, etos kerja, dan sebagainya, sedangkan faktor situasional (eksternal) yang dapat mempengaruhi kompetensi guru meliputi: lingkungan dan kebijaksanaan organisasi, lingkungan kerja, sarana dan prasarana, gaji, lingkungan sosial dan sebagainya.

Kompetensi sosial guru dipengaruhi oleh berbagai faktor yang kompleks. Beberapa faktor yang dapat memengaruhi kompetensi sosial guru antara lain sebagai berikut:

1)        Pendidikan dan Pelatihan: Tingkat pendidikan dan kualitas pelatihan guru dapat berpengaruh pada kemampuan mereka dalam mengembangkan kompetensi sosial. Pelatihan yang baik dapat membekali guru dengan keterampilan interpersonal dan kemampuan komunikasi yang efektif.

2)        Pengalaman Mengajar: Pengalaman mengajar dapat meningkatkan kompetensi sosial guru. Guru yang memiliki pengalaman mengajar yang beragam cenderung lebih mampu berinteraksi dengan siswa, orang tua, dan rekan kerja.

3)        Kemampuan Komunikasi: Kemampuan berkomunikasi dengan baik sangat penting. Guru yang dapat menyampaikan informasi dengan jelas, mendengarkan dengan baik, dan berkomunikasi dengan efektif dapat membangun hubungan yang positif dengan siswa, rekan kerja, dan orang tua.

4)        Empati: Kemampuan untuk memahami dan merasakan perasaan siswa, serta merespons dengan empati, merupakan aspek penting dari kompetensi sosial. Guru yang empatik dapat menciptakan lingkungan belajar yang mendukung perkembangan sosial dan emosional siswa.

5)        Kesadaran Diri: Guru yang memiliki kesadaran diri yang baik mampu memahami kekuatan dan kelemahan pribadi mereka. Hal ini dapat membantu mereka mengelola stres, merespon secara konstruktif terhadap tantangan, dan terus mengembangkan diri.

6)        Kerjasama Tim: Kemampuan untuk bekerja sama dalam tim sangat penting dalam lingkungan sekolah. Guru yang dapat berkolaborasi dengan rekan kerja, administrasi sekolah, dan orang tua cenderung lebih sukses dalam membangun hubungan sosial yang positif.

7)        Pemahaman Kebutuhan Siswa: Guru yang dapat memahami kebutuhan individual siswa dan merancang pembelajaran yang memperhatikan perbedaan tersebut dapat menciptakan hubungan yang lebih baik dengan siswa dan mendukung perkembangan sosial mereka.

8)        Sikap Positif: Sikap guru dapat memengaruhi atmosfer kelas dan interaksi sosial. Guru yang memiliki sikap positif cenderung menciptakan lingkungan belajar yang mendukung perkembangan sosial siswa.

9)        Pemahaman Kebudayaan dan Keragaman: Pemahaman terhadap beragam budaya dan latar belakang siswa dapat meningkatkan kemampuan guru untuk berinteraksi dengan kelompok siswa yang beragam.

10)    Pendekatan Pembelajaran yang Bersifat Sosial: Menggunakan pendekatan pembelajaran yang mendorong interaksi sosial dapat membantu guru dalam mengembangkan kompetensi sosial siswa dan membangun hubungan yang positif di kelas.

Penting untuk diingat bahwa faktor-faktor ini saling terkait dan kompleks, dan pengembangan kompetensi sosial guru melibatkan perpaduan berbagai faktor-faktor tersebut.

c.  Indikator Kompetensi Sosial Guru

Kemampuan sosial dirinci menjadi beberapa dimensi faktor, yaitu sebagai berikut : bersikap inklusif dan bertindak obyektif, beradaptasi dengan lingkungan tempat bertugas dan dengan lingkungan masyarakat, berkomunikasi secara efektif, empatik dan santun kepada orang lain secara lisan maupun tulisan tulisan, serta berkomunikasi secara empirik dan santun kepada masyarakat (Janawi, 2019).

1)        Kemampuan guru dalam bersikap dan bertindak objektif saat memberikan atau menyampaikan materi.

Bersikap dan bertindak objektif yang dimaksud adalah kemampuan seorang guru untuk selalu berkomunikasi dan selalu bergaul dengan peserta didik dan dalam berkomunikasi terutama saat menyampaikan materi harus jelas dan mudah dipahami. Bagi siswa, seorang guru adalah seorang pembimbing, motivator, fasilitator, penolong, dan teman dalam proses pendidikan.Namun, guru tidak selamanya berada disamping peserta didik. Bertindak objektif disini berarti guru dituntut untuk berlaku bijaksana, arif, dan adil tehadap peserta didik. Kemudian guru juga dituntut untuk objektif dalam perkataan dan perbuatan, objektif dalam bersikap, serta objektif dalam menilai hasil belajar. Bersikap bertindak objektif terhadap peserta didik sesungguhnya bagian dari upaya transformasi agar suatu ketika anak didik mampu menghadapi berbagai persoalan yang dialaminya. Istansi Surviani menyatakan bahwa salah satu bentuk dari belajar yang perlu dikembangkan ialah belajar sikap. Tujuannya ialah mendapatkan kemampuan menerima, merespon, menghargai, menghayati dan menginterprestasikan objek-objek atau nilai nilai moral.

2)        Kemampuan guru beradaptasi dalam menjalin hubungan baik dalam proses belajar mengajar dan interaksi di kelas

Seorang guru harus melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, baik lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat. Pada lingkungan sekolah, guru diharapkan dapat beradaptasi sesama tenaga pendidik dan menyesuiankan diri denagn peserta didik dalam prosesbelajar mengajar.

3)        Kemampuan guru dalam memotivasi belajar siswa dengan berkomunikasi secara Efektif

Kompetensi sosial jelas terlihat dalam berkomunikasi secara efektif. Guru sebagai inspirator dan motivator dalam proses pembelajaran memiliki peran yang sanagt penting dalam melakukan komunikasi yang efektif. Berkomunikasi akan di anggap efektif jika guru dapat memahami karakteristik sosial dan lingkungan yang umumnya berbeda-beda.

Menurut Mulyasa (2022) dimensi kompetensi sosial sebagai berikut:

1)        Berkomunikasi secara lisan tulisan dan isyarat.

2)        Menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional.

3)        Bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua atau wali peserta didik.

4)        Bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.

Menurut pendapat lain Jihad (2013) mengatakan kompetensi sosial memiliki subkompetensi dengan indikator esensial sebagai berikut:

1)        Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, dengan indikator esensial: berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik; guru bisa memahami keinginan dan harapan peserta didik.

2)        Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesama pendidik dan tenaga kependidikan, misalnya bisa berdiskusi tentang masalah-masalah yang dihadapi peserta didik serta solusinya.

3)        Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan orang tua atau wali peserta didik dan masyarakat sekitar. Contohnya, guru bisa memberikan informasi tentang bakat, minat, dan kemampuan peserta didik kepada orang tua peserta didik

Kompetensi sosial seorang guru merupakan modal dasar bagi guru yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas keguruannya secara profesional. Berdasarkan dimensi pengukuran kompetensi sosial guru yang telah diuraikan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa pengukuran kompetensi sosial guru dalam penelitian ini dengan dimensi:  (1) Kemampuan berkomunikasi dengan efektif, (2) Kemampuan membangun hubungan positif, (3)  Kemampuan mengelola konflik, (4) Pengetahuan tentang keragaman budaya, (5) Kemampuan memfasilitasi kerja sama, (6) Kemampuan manajemen kelas yang efektif, (7) Kemampuan memecahkan masalah sosial, (8) Kemampuan beradaptasi dengan beragam kebutuhan siswa

2.    Kepemimpinan Situasional Kepala Sekolah

a.    Pengertian Kepemimpinan Situasional

Kepemimpinan situasional merupakan teori kepemimpinan yang dikembangkan oleh Hersey dan Blanchard. Kepemimpinan situasional ini lebih menekankan pada kriteria–kriteria pemimpin dan situasi. Kepemimpinan situasional adalah dimana kepemimpinan tersebut berusaha menyatukan bersama pemikiran-pemikiran para tokoh utama untuk menjadikan perilaku yang berdasarkan pada situasi yang ada dan berfokus pada bawahannya atau anggota pegawai lainnya (Wahab & Umiarso, 2017).

Penerapan kepemimpinan situasional pada lembaga pendidikan merupakan kepemimpinan yang cenderung fleksibel dan efektif untuk diterapkan dalam lembaga pendidikan, karena kepemimpinan tersebut bergantung pada situasi serta kondisi suatu institusi pendidikan. Kepemimpinan situasional ini mempertimbangkan pada suatu kecerdasan anggota organisasi. Dalam kepemimpinan situasional ini maka kepala sekolah harus mampu mengarahkan dan memberi dukungan kepada bawahannya, serta dapat mengambil keputusan yang tepat dalam menghadapi berbagai perubahan pada persoalan–persoalan yang ada di lembaga pendidikan yang dibawah pimpinannya.

Ada beberapa pengertian kepemimpinan situasional menurut para ahli, antara lain sebagai berikut:

Menurut Robbins kepemimpinan situasional merupakan kepemimpinan yang bertitik fokuskan pada situasi, kondisi, kesiapan dan ketepatan anggota. Dimana ketepatan anggota yang dimaksud adalah menurut Budiwanto yaitu, kemampuan seseorang untuk mengarahkan suatu gerak terhadap sasaran yang sesuai dengan tujuan (Fauzia et al., 2018).

Kepemimpinan situasional menurut Gibson adalah kepemimpinan yang digunakan seorang pemimpin untuk mengetahui kebiasaan anggotanya dalam situasi kondisi yang ada dilingkungannya.  Wahjosumidjo (2013)menyatakan bahwa gaya kepemimpinan situasional mengandung pokok- pokok pikiran sebagai berikut:

1)   Pemimpin itu berada dalam melaksanakan tugasnya dipengaruhi faktor–faktor situasional yaitu jenis pekerjaan,lingkungan organisasi, karakteristik individu yang terlibat dalam organisasi.

2)   Perilaku kepemimpinan yang paling efektif itulah perilaku kepemimpinan yang disesuaikan dengan tingkat kesiapan bawahan.

3)   Pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang selalu membantu bawahan dalam pengembangan dirinya dari tidak siap menjadi siap.

4)   Perilaku kepemimpinan cenderung berbeda–beda dari situasi ke situasi lain. Oleh karena itu, dalam kepemimpinan situasional penting bagi setiap pemimpin untuk mengadakan penentuan dengan baik terhadap situasi.

5)   Pola pikir kepemimpinan berbeda–beda sesuai dengan situasi yang ada.

Berdasarkan pengertian kepemimpinan situasional diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kepemimpinan situasional ialah pola perilaku yang diperlihatkan oleh seorang pemimpin pada saat ia memengaruhi aktifitas orang lain baik sebagai individu maupun dalam kelompok.

b.    Kepemimpinan Situasional Kepala Sekolah

Kepemimpinan situasional kepala sekolah dianggap menjadi salah satu gaya kepemimpinan yang efektif, karena gaya kepemimpinan ini menekankan fleksibilitas dan keterampilan dalam mengkombinasikan  gaya kepemimpinan seorang kepala sekolah bergantung pada situasi yang sedang dihadapi. Menurut Mawardi kepemimpinan situasional kepala sekolah didasarkan pada keterampilan dalam memberikan intensitas petunjuk, arahan, dan dukungan sosioemosional oleh kepala sekolah kepada bawahan atau guru dan tenaga kependidikan dengan memperhatikan tingkat kesiapan dan kematangan mereka (Wahyuningsih & Trihantoyo, 2021).

Kepemimpinan situasional kepala sekolah sangat berperan penting dan aktif dalam setiap kegiatan sekolah. Kepala sekolah bertindak sebagai inisiator dan motivator bagi warga sekolah salah satunya dalam merumuskan program. Kepala sekolah juga selalu melibatkan bawahan dalam suatu kegiatan baik saat melakukan rencana kegiatan sampai dengan pelaksana program yang telah direncanakan. Kepala sekolah juga harus mempunyai kemampuan yang sangat bagus dalam memberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat terhadap bawahan, memberikan pelaksanaan tugas secara merata dan sesuai kemampuannya, menjadikan kepala sekolah tidak banyak ikut campur dalam pelaksanaan program. Kepala sekolah juga harus mampu memberikan arahan yang tegas dan jelas kepada bawahan, sehingga mempunyai tanggung jawab sendiri (Fitriatin, 2020).

Berdasarkan teori gaya kepemimpinan situasional diatas, maka bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa kepemimpinan situasional kepala sekolah ialah pola perilaku yang diperlihatkan oleh seorang kepala sekolah pada saat ia mempengaruhi aktivitas orang lain baik sebagai individu maupun dalam kelompok.

c.    Gaya Dasar Kepemimpinan Situasional.

Hersey dan Blanchard dalam Toha (2023) menyatakan bahwa terdapat empat gaya dasar kepemimpinan situasional, yakni bisa dilihat pada gambar berikut:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2.1 Model Kepemimpinan Situasonal Hersey-Blancard

Berdasar gambar di atas dapat dipahami bahwa empat dasar gaya kepemimpinan merupakan sesuatu yang amat penting bagi seorang pemimpin dalam hubungannya dengan perilaku pemimpin itu sendiri dalam mempengaruhi bawahannya dalam hal perilaku mengarahkan dan perilaku mendukung yang nantinya akan melibatkan hubungan kerja yang berorientasi pada tugas.

1)   Perilaku mengarahkan adalah sejauh mana seorang pemimpin melibatkan dalam komunikasi satu arah. Bentuk pengarahan dalam komunikasi satu arah ini antara lain, menetapkan peranan yang seharusnya dilakukan pengikut, memberitahukan pengikut tentang apa yang seharusnya biasa dikerjakan, dimana melakukan hal tersebut, bagaimana melakukannya, dan melakukan pengawasan secara ketat kepada pengikutnya.

2)   Perilaku mendukung adalah sejauh mana seorang pemimpin melibatkan diri dalam komunikasi dua arah, misalnya mendengar, menyediakan dukungan dan dorongan, memudahkan interaksi, dan melibatkan pengikut dalam pengambilan keputusan.

Dimensi pengukuran gaya kepemimpinan situasional menurut
Hersey dan Blanchard diidentifikasikan dalam 4 dimensi/bentuk yaitu:

1) G1 atau gaya Intruksi, yaitu jika seorang pemimpin banyak memberikan perintah, pengawasan dan arahan. Pemimpin menetapkan peranan bawahan, apa tugas mereka, bagaimana cara melaksanakan, kapan dan dimana dilaksanakan.keputusan diprakarsai oleh pemimpin dan pelaksanaan diawasi secara ketat dan komunikasi hanya satu arah.

2) G2 atau Gaya konsultasi/menjual, yaitu jika seorang pemimpin berprilaku “menjual”. pemimpin masih memberikan direksi yang intensif kepada bawahannya, karena ia dipandang belum mampu, tetapi mengarah kepada kadar suportif yang tinggi karena adanya kemauan yang tinggi dari bawahan.

3) G3 atau Gaya Partisipasi, yaitu jika seorang pemimpin dan yang dipimpin terdapat saling tukar menukar ide/gagasan pengambilan keputusan. Pada gaya ini, bawahan mempunyai kemampuan, tetapi tidak ada motivasi untuk berbuat sesuatu. Pemimpin harus melakukan komunikasi dua arah, secara aktif mendengar dan merespon kesukaran yang dihadapinya. Pemimpin berusaha  mendorong bawahan menggunakan kemampuan yang dimiliki secara optimal. Bawahan banyak dilibatkan dalam proses pembuatan keputusan. Pemimpin banyak mendengar sara-saran bawahan dan tukar pendapat dalam pengambilan keputusan, mengundang guru untuk rapat.

4) G4 atau Gaya Pendelegasian, yaitu jika seorang pemimpin tidak perlu banyak memberikan pengarahan dan support, tanggung jawab  diserahkan kepada bawahan. Mereka diberi kepercayaan untuk melaksanakan sendiri rencana, menetapkan prosedur dan teknis kegiatan. Bawahan diberi kebebasan melakukan tugas menurut cara mereka sendiri, karena mereka memiliki kemampuan dan kepercayaan diri dalam melaksanakan tugas tanggungjawab. Masing-masing gaya kepemimpinan yang ditunjukan dengan mempertimbangkan tingkat kematangan bawahan.

Kontinum kematangan bawahan menurut Hersey dan Blanchard dibagi atas empat kategori dan masing-masing tingkatan dilambangkan dengan huruf M (maturity) yaitu M1, M2, M3 dan M4 sebagaimana gambar dibawah ini:

Mampu dan
mau

Mampu tetapi
tidak mau

Tidak mampu
tetapi mau

Tidak mampu
dan tidak mau

M4

M3

M2

M1

 

Gambar 2.2 Tingkat Kematangan Bawahan

Menurut Gibson, kematangan (maturity) diartikan sebagai kemauan individu atau kelompok memikul tanggung jawab untuk mengarahkan perilaku mereka sendiri. Sedangkan Hersey & Blanchard menyatakan bahwa kematangan sebagai kemampuan dan kemauan orang untuk mengambil tanggung jawab untuk mengukur perilaku dirinya berkaitan dengan tugas-tugas spesifik yang harus dilaksanakan (Toha, 2023).

Berdasarkan penjelasan tersebut diatas memperlihatkan adanya
empat bentuk gaya dasar kepemimpinan situasional. Pada penelitian ini
aspek penilaian yang digunakan untuk mengetahui gaya kepemimpinan
kepala sekolah adalah berdasarkan pendapat Hersey dan Blanchard diatas
yakni gaya instruktif, gaya konsultatif, gaya partisipatif, dan gaya
delegatif
(Dewi, 2018).

d.   Ciri–Ciri Kepemimpinan Situasional

Seorang pemimpin jika ingin menjalin hubungan erat dengan bawahan serta mengembangkan potensinya, maka sebaiknya menggunakan gaya kepemimpinan situasional atau situational leadership. Kepemimpinan situasional memiliki ciri–ciri sebagai berikut:

1)        Pemimpin memiliki sifat yang ramah, luwes, dan supel, dimana seorang pemimpin mempunyai kepribadian yang mudah beradaptasi, mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan.

2)        Memiliki ilmu pengetahuan yang luas serta wawasan yang luas Seorang pemimpin harus memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas agar dapat memimpin dan mengarahkan bawahannya dengan baik dan benar. Jika seorang pemimpin tidak mempunyai ilmu pengetahuan yang cukup luas maka tujuan yang dicapai tidak akan berhasil dengan baik.

3)        Mampu beradaptasi dengan situasi dan kondisi lingkungan

4)        Dapat menggerakkan pengikutnya.

5)        Memiliki komunikasi yang baik dengan bawahan.

6)        Mempunyai prinsip dan tujuan yang konsisten terhadap suatu masalah (Ramayulis & Mulyadi, 2017).

Berdasarkan ciri–ciri kepemimpinan situasional diatas, maka seorang pemimpin harus bisa menerapkan ciri–ciri tersebut didalam diri mereka untuk menciptakan hubungan baik dengan bawahannya dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

e.    Indikator Kepemimpinan Situasional Kepala Sekolah

Kedudukan kepala sekolah sebagai pemimpin di sekolah merupakan tanggung jawab besar bagi siapapun yang menjabatnya. Kepala sekolah merupakan pemimpin yang melakukan manajemen pendidikan di setiap sekolah agar dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Sejalan dengan hal itu, kepala sekolah hendaknya memiliki jiwa kepemimpinan yang mampu mengarahkan, memotivasi, dan membangkitkan semangat guru, karyawan, dan siswanya. Kepala sekolah sebagai leader harus memiliki karakter khusus yaitu kepribadian, keahlian dasar, pengalaman dan pengetahuan profesional, serta pengetahuan administrasi.

Berikut adalah rincian aspek dan indikator leader dalam konteks kepemimpinan kepala sekolah:

1)        Kepribadian: Jujur, percaya diri, tanggung jawab, berani mengambil resiko dan keputusan, berjiwa besar, emosi yang stabil, dan teladan.

2)        Pengetahuan: Memahami kondisi tenaga kepandidikan Memahami kondisi dan karakteristik peserta didik, menyususn program pengembangan tenaga kependidikan, menerima masukan, saran, dan kritikan dari berbagai pihak untuk meningkatkan kemampuannya.

3)        Pemahaman terhadap visi dan misi sekolah: Mengembangkan visi sekolah, mengembangkan misi sekolah, dan melaksanakan program untuk mewujudkan visi dan misi sekolah ke dalam tindakan.

4)        Kemampuan mengambil keputusan: Mengambil keputusan bersama tenaga kependidikan di sekolah, mengambil keputusan untuk kepentingan internal sekolah, dan mengambil keputusan untuk kepentingan eksternal sekolah.

5)        Kemampuan berkomunikasi: Berkomunikasi secara lisan dengan tenaga kependidikan di sekolah, menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan, berkomunikasi secara langsung dengan peserta didik,dan berkomunikasi secara lisan dengan orang tua dan masyarakat sekitar.

Indikator kepemimpinan kepala sekolah harus dikuasai kepala sekolah agar kualitas pendidikan dapat sesuai dengan tujuan.  Begitu pula dengan indikator-indikator yang ada pada setiap aspek, masing-masing indikator perlu dikuasai satu per satu. Apabila aspek dan indikator sudah dikuasai seorang kepala sekolah, maka akan berdampak baik bagi sekolah masing-masing pada khusunya dan pendidikan pada umumnya. Aspek atau indikator kepemimpinan kepala sekolah tidak hanya terbatas pada tugas memimpin, namun juga hal lain yang berkaitan dengan interaksi terhadap warga sekolah dan seisinya.

Berdasarkan penjelasan tentang pengukuran kepemimpinan situasional kepala sekolah dalam penelitian ini yang menjadi dimensi pengukurannya adalah (1) pengidentifikasian situasi, (2) komunikasi efektif, (3) penyesuaian staf, (4) pengambilan keputusan kolaboratif, (50 evaluasi hasil dan (6) delegasi yang tepat.

3.    Lingkungan Kerja

a.    Pengertian Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kompetensi seorang guru dalam suatu sekolah. Lingkungan kerja yang sesuai dengan kondisi keadaan seperti suasana yang nyaman saat melakukan pekerjaan akan dapat mempengaruhi guru dalam menjalankan tugas-tugas yang efektif dan efisien.

Pengertian mengenai lingkungan kerja diungkapkan oleh Zainul dan Taufiq (2012) yang menyatakan bahwa lingkungan kerja merupakan keadaan tempat kerja pegawai baik secara fisik maupun non fisik yang dapat mempengaruhi pegawai saat bekerja. Senada dengan pendapat diatas, menurut Nitisemito (2015), lingkungan kerja sebagai segala sesuatu yang ada disekitar para pekerja yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang diberikan naik fisik maupun non fisik.

Lingkungan kerja secara umum memiliki arti sebagai tempat dimana para karyawan mengerjakan kegiatan pekerjaannya. Di tempat kerja, setiap orang tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya. Optimalisasi kinerja seseorang juga dapat dipengaruhi oleh lingkungan kerja. Lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada di sekitar pekerja dan berdampak pada pelaksanaan tugas yang diberikan (Ferawati, 2017). Semakin baik lingkungan kerja seseorang, maka kinerja pekerjaannya akan semakin baik.

Lingkungan kerja harus dibentuk sedemikian rupa supaya tercipta hubungan kerja yang mengikat pekerja dengan lingkungan. Lingkungan kerja dapat dikatakan baik apabila para karyawannya dapat melaksanakan kegiatan bekerja dengan optimal, aman, sehat dan nyaman. Lingkungan kerja yang buruk dapat memberikan dampak yang tidak baik pula bagi perusahaan karena membuat karyawan tidak dapat bekerja secara efisien.

Menurut Sidanti (2015), lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang berada di lingkungan personal dalam berhubungan dengan pekerjaanya, atau hubungan erat lingkungan personal dengan guru, termasuk didalamnya faktor fisik maupun non fisik. Lingkungan kerja jug sebagai keseluruhan sarana prasarana kerja yang ada disekitar guru yang sedang melaksanakan pekerjaan yang dapat mempengaruhi pekerjaan itu sendiri.

Dari beberapa pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa lingkungan kerja adalah kondisi kerja yang dirasakan guru pada saat bekerja, baik yang berbentuk lingkungan fisik maupun non fisik.

b.    Dimensi dan Indikator Lingkungan Kerja

Dari hasil kajian membaca buku teks dan jurnal, ternyata menurut para ahli dimensi lingkungan kerja terdiri dari dua dimensi, yaitu (1) lingkungan kerja fisik, dan (2) lingkungan kerja non fisik. Adapun dukungan para ahli yang berpendapat mengenai dimensi lingkungan kerja yaitu Sedarmayanti (2017), yang berpendapat lingkungan kerja di perusahaan terbagi ke dalam dua dimensi yaitu : (1) lingkungan kerja fisik, dan (2) lingkungan kerja non fisik.

Di sisi lain Siagian (2015), berpendapat bahwa lingkungan kerja terdiri dari dua macam yaitu: (1) lingkungan kerja fisik, dan (2) lingkungan kerja non fisik. Sedangkan Davis dan Newstrom (1996), menyatakan ada dua dimensi lingkungan kerja yaitu: (1) lingkungan kerja fisik, dan (2) kondisi pisikologis dari lingkungan kerja. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli mengenai dimensi lingkungan kerja di atas, maka dapat disimpulkan bahwa lingkungan kerja dapat diukur dari dua dimensi yaitu, (1) lingkungan kerja fisik, dan (2) lingkungan kerja non fisik. Dalam penelitian ini dimensi lingkungan kerja akan merujuk ke dua dimensi dari pendapat Sedarmayanti (2017).

Menurut Sedarmayanti (2017), menyatakan bahwa indikator yang digunakan untuk mengukur lingkungan kerja meliputi: (1) lingkungan kerja fisik dengan indikator, (a) peralatan kerja, dan (b) suasana kerja. (2) Lingkungan kerja non fisik dengan indikator, (a) hubungan dengan atasan, (b) hubungan dengan rekan kerja, dan (3) hubungan dengan bawahan. Di sis lain Nitisemito  (2015), mengemukakan bahwa terdapat tiga indikator lingkungan kerja yiatu: (1) lingkungan kerja fisik dengan indikator (a) suasana kerja, (b) tersedianya fasilitas kerja. Lingkungan kerja non fisik dengan indikator (a) hubungan dengan rekan kerja. Sedangkan menurut Soetjipto (2009), indikator yang digunakan untuk mengukur lingkungan kerja yaitu (1) Lingkungan kerja fisik terdiri dari enam indikator (a) pencahayaan, (b) sirkulasi udara, (c) kebisingan, (d) warna, (e) kelembaban udara, dan (f) fasilitas. (2) Lingkungan kerja non fisik terdiri dari tiga indikator (a) hubungan yang harmonis, (b) kesempatan untuk maju, dan (c) keamanan dalam pekerjaan.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dilihat secara teoritik yang terdapat pada kajian membaca buku teks dan jurnal indikator lingkungan kerja fisik terdiri dari (a) peralatan kerja, dan (b) suasana kerja, tetapi kenyataan di lapangan ada teknologi yang harus diukur ketika kita melakukan penelitian. Oleh karena itu, penulis memasukan teknologi pada indikator lingkungan kerja fisik. Jadi indikator yang digunakan untuk mengukur lingkungan kerja terdiri dari dua dimensi (1) lingkungan kerja fisik dengan indikator; (a) peralatan kerja, (b) suasana kerja, dan (c) teknologi. (2) Lingkungan kerja non fisik dengan indikator; (a) hubungan dengan atasan, (b) hubungan dengan rekan kerja, dan (c) hubungan dengan bawahan. Penelitian ini dimensi lingkungan kerja akan merujuk ke dua dimensi dari pendapat Sedarmayanti (2017) yaitu (1) Lingkungan Fisik, (2) Lingkungan Budaya, (3) Lingkungan Sosial, (4) Lingkungan Psikologis.

c.    Manfaat Lingkungan Kerja

Manfaat lingkungan kerja adalah menciptakan gairah kerja, sehingga produktivitas kerja meningkat. Sementara itu, manfaat yang diperoleh karena bekerja dengan orang-orang yang termotivasi adalah pekerjaan dapat dielesaikan dengan tepat. Artinya pekerjaan diselesaikan sesuai standar yang benar dan dalam skala waktu yang ditentukan. Kompetensinya akan dipantau oleh individu yang bersangkutan dan tidak akan membutuhkan terlalu banyak pengawasan serta semangat juangnya akan tinggi (Arep & Hendri, 2015).

Manfaat dari lingkungan kerja yang kondusif dan baik selain meningkatnya produktivitas diantaranya meningkatkan efisiensi perusahaan dan komitmen karyawan, menurunkan anggaran jaminan kesehatan karena meningktnya kualitas kesehatan karyawan dan dan penurunan tingkat kecelakaan kerja bagi karyawan, meningkatnya rasio seleksi tenaga kerja karena meningkatnya citra perusahaan, rasa ikut memiliki perusahaan sehingga karyawan lebih bersemangat dalam melakukan tugasnya serta ikut menjzga lingkungan kerjanya.

Manfaat lingkungan kerja menurut Afandi (2018) adalah menciptakan gairah kerja, sehingga produktifitas kerja meningkat.sementara itu, manfaat yang diperoleh karena bekerja dengan orang-orang yang termotifasi adalah pekerjaan dapat diselesaikan dengan tepat. Artinya pekerjaan diselesaikan sesuai standar yang benar dan dalam skala waktu yang ditentukan.kinerjanya akan dipantau oleh individu yang bersangkutan dan tidak akan membutuhkan terlalu banyak pengawasan serta semangat juangnya akan tinggi.

B.   Penelitian yang Relevan

Penelitian terdahulu ini menjadi salah satu acuan penulis dalam melakukan penelitian sehingga penulis dapat memperkaya teori yang digunakan dalam mengkaji penelitian yang dilakukan. Dengan adanya penelitian terdahulu agar penulis benar-benar dapat menyusun kerangka berfikir secara ilmiah (memadukan antara asumsi teoritis dengan asumsi logika dalam memunculkan variabel) dengan benar, maka penulis melakukan kajian terhadap hasil penelitian-penelitian terdahulu yang relevan sehingga uraian yang dibuat tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan logika. Penelitian yang relevan antara lain:

1.      Penelitian yang dilakukan oleh  Rosni Rosni (2021), Sekolah Dasar Negeri 19 Mandau Duri Kabupaten Bengkalis, Jurnal Pendidikan Indonesia, dengan judul “Kompetensi Guru Dalam Meningkatkan Mutu Pembelajaran Di Sekolah Dasar” dengan menggunakan metode penelitian analisis deskriptif kualitatif, menunjukkan bahwa Kompetensi sosial guru dalam meningkatkan mutu pembelajaran di SD Negeri 19 Mandau, ditunjukan dengan jalinan komunikasi guru dengan peserta didik melalui kegiatan belajar mengajar, serta kegiatan diluar kelas melalui kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan lainnya. Jalinan komunikasi guru dengan orang tua melalui pertemuan setiap minggunya dan tiap semester (Rosni, 2021).

2.      Penelitian yang dilakukan oleh Uswatun Khasanah, Siti Yulaeha dan Siti Aisyiah (2022), Jurnal Kewarganegaraan, penelitiannya yang berjudul “ Pengaruh Pelibatan Orang Tua dan Kompetensi Sosial Guru Terhadap Prestasi Akademik Peserta Didik Sekolah Dasar Kecamatan Moyudan Sleman” menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara pelibatan orang tua dan kompetensi sosial guru secara simultan terhadap prestasi akademik peserta didik di Gugus III Kecamatan Moyudan Sleman (p < 0,05).

3.      Penelitian yang dilakukan oleh Raden Devan Suryaningrat (2016), Universitas Negeri Yogyakarta, dengan jurnal penelitiannya yang berjudul “Peningkatan Peran Kompetensi Sosial Guru terhadap Lingkungan di Sekolah” dengan menggunakan Langkah pengembangan studi Pustaka menunjukkan bahwa peran kompetensi sosial guru terhadap lingkungan di sekolah sangat perlu diketahui, karena dapat meningkatkan kualitas seorang guru dengan penerapan dan pengembangan kompetensi sosial guru tersebut di lingkungan sekolah. Guru adalah mahluk sosial yang dalam berkehidupan tidak terlepas dari kehidupan sosial masyarakat dan lingkungan. Oleh karena itu guru dituntut untuk memiliki kompetensi sosial guru yang memadai, terutama yang berkaitan dengan pendidikan, yang tidak terbatas pada pembelajaran di sekolah tetapi juga pada pendidikan yang terjadi dan berlangsung di masyarakat.

4.      Penelitian yang dilakukan oleh Arizqi Ihsan Pratama dan Zainab Mahfudhoh, (2021), Jurnal Pendidikan Islam Ta’dibuna, dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan antara lingkungan kerja dengan kompetensi sosial guru madrasah”, disimpulkan bahwa selain adanya lingkungan yang dapat menumbuhkembangkan proses pembelajaran diperlukan kompetensi dalam bersosialisasi dari seorang guru kepada siswanya. Sebab, penerapan kinerja guru yang optimal salah satunya dapat tercermin dari sejauh mana siswa mampu mengimplementasikan umpan balik yang diterima saat kegiatan pembelajaran berupa prestasi belajar yang lebih baik.

5.      Penelitian yang dilakukan oleh Reza Aditama Shelly Andari, Jurnal Inspirasi Manajemen Pendidikan, (2022), dalam jurnalnya yang berjudul “Kepemimpinan Situasional Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Kompetensi Pembelajaran Guru Di Era Revolusi Industri 4.0”. Penelitian ini menggunakan metode studi literatur atau studi kepustakaan yang mana sumber data diperoleh berbagai sumber artikel dan buku-buku literatur yang relevan dengan topik pembahasan artikel. Adapun hasil dari penulisan artikel, guru diharapkan untuk memiliki kemampuan atau kompetensi pembelajaran yang efektif di era Revolusi Indusrti 4.0. kepala sekolah dapat melakukan bebrapa strategi dalam meningkatkan kompetensi pembelajaran guru diantaranya adalah dengan melakukan program pembinaan guru melalui pendidikan dan pelatihan, penguatan kemampuan guru dalam penggunaan media pembelajara berbasis virtual reality melalui kegiatan focus group discussion (FDG), pengembangan modul pembelajaran berbasis elektronik (E-Modul), pengembangan kompetensi pembelajaran dengan mengasah kemampuan literasi digital para guru.

Berdasarkan beberapa penelitian yang relevan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan dalam penelitian yang akan diteliti bahwa ada pengaruh secara langsung antara kepemimpinan situasional kepala sekolah dan lingkungan kerja terhadap kompetensi sosial guru.

C.  Kerangka Berpikir

1.    Pengaruh Kepemimpinan Situasional Kepala Sekolah Terhadap Kompetensi Sosial Guru Sekolah Dasar Negeri Kecamatan ................ Kota .................

Pengaruh kepemimpinan kepala sekolah sangat penting dalam mendukung kompetensi seorang guru, perilaku seorang atasan (kepala sekolah) merupakan faktor utama dari kepuasan kerja. dijelaskan oleh beberapa studi yang pernah dilakukan menyimpulkan bahwa kepuasan tenaga kerja (guru) dapat ditingkatkan apabila pimpinan bersikap ramah, mendengarkan keluhan guru dan memperhatikan pendapat guru.

Kepala sekolah dapat memberikan dukungan yang sesuai dengan kebutuhan guru dalam situasi tertentu, membantu mereka mengatasi tantangan sosial yang mungkin muncul di antara rekan kerja atau siswa, memberikan bimbingan yang spesifik terkait interaksi sosial, memberikan arahan yang sesuai dengan situasi untuk memperkuat keterampilan komunikasi interpersonal guru. Dengan memahami tuntutan situasional, kepala sekolah dapat mengkomunikasikan harapan terkait kompetensi sosial guru yang relevan dengan situasi khusus, seperti pertemuan dengan orangtua atau kolaborasi antar guru.

Kepemimpinan situasional dapat menciptakan atmosfer kerja yang mendukung kolaborasi, memungkinkan guru untuk berbagi pengalaman, ide, dan mendukung satu sama lain dalam pengembangan kompetensi sosial. Kepala sekolah yang mampu mengadaptasi gaya kepemimpinan sesuai dengan dinamika situasional dapat menciptakan lingkungan yang mendukung pengembangan kompetensi sosial guru, terutama dalam menghadapi tantangan atau perubahan mendadak. Kepala sekolah dapat memberikan ruang otonomi kepada guru untuk mengambil inisiatif dalam interaksi sosial, mendorong mereka untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi dalam berinteraksi dengan rekan-rekan kerja dan siswa.

Berdasarkan uraian diatas, patut diduga ada pengaruh antara kepemimpinan situasional kepala sekolah dengan kompetensi sosial guru, melalui integrasi berbagai elemen ini, kepemimpinan situasional dapat membentuk lingkungan yang mendukung pengembangan kompetensi sosial guru, menciptakan kondisi yang optimal untuk interaksi sosial yang efektif di dalam dan di luar kelas. Dengan demikian terdapat pengaruh signifikan antara kepemimpinan situasional kepala sekolah dengan kompetensi sosial guru.

2.    Pengaruh Lingkungan Kerja Terhadap Kompetensi Sosial Guru Sekolah Dasar Negeri Kecamatan ................ Kota .................

Lingkungan kerja berhubungan atau berpengaruh terhadap kompetensi guru karena lingkungan kerja yang menyenangkan bagi para guru melalui peningkatkan hubungan yang harmonis dengan atasan, rekan kerja, maupun bawahan, serta didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai di tempat kerja akan memberi dampat positif bagi guru, sehingga kompetensi guru dapat meningkat. Hal ini juga didukung oleh teori yang diungkapkan Rahmawati,dkk (2022), yang menyatakan lingkungan kerja yang nyaman, aman dan menyenangkan merupakan salah satu cara untuk dapat meningkatkan kompetensi para guru. Hal ini di dukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Nuryasin,dkk (2016) yang menyatakan bahwa variabel lingkungan kerja berpengaruh signifikan terhadap kompetensi guru.  Pengaruh lingkungan kerja terhadap kompetensi sosial guru, dapat terlihat dalam beberapa aspek yang membentuk pengalaman dan interaksi sehari-hari di lingkungan sekolah. Lingkungan kerja yang mendorong kolaborasi antar guru melalui tim pengajar atau proyek kolaboratif dapat membantu guru mengembangkan keterampilan sosial, menciptakan kesempatan untuk berbagi ide, pengalaman, dan strategi pembelajaran.

Program pelatihan yang terstruktur dapat meningkatkan keterampilan sosial guru. Lingkungan kerja yang menyediakan akses ke pelatihan ini dapat meningkatkan kemampuan komunikasi dan kolaborasi. Kepemimpinan yang mendukung, memberikan arahan yang jelas, dan memberikan dukungan emosional dapat menciptakan lingkungan di mana guru merasa dihargai dan termotivasi untuk meningkatkan keterampilan sosial mereka. Penataan ruang kerja yang mendukung interaksi sosial antar guru dapat meningkatkan peluang untuk berkomunikasi dan berkolaborasi. Akses yang memadai terhadap teknologi dan alat pembelajaran dapat membantu guru mengintegrasikan metode pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif, memperkaya interaksi sosial di dalam kelas.

Lingkungan kerja yang menekankan nilai-nilai kebersamaan, keadilan, dan kerja tim dapat memotivasi guru untuk meningkatkan keterampilan sosial mereka. Kebijakan dan prosedur yang jelas dalam penanganan konflik dapat membantu menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung, sehingga guru dapat fokus pada interaksi positif dengan sesama guru dan siswa. Penting untuk diingat bahwa pengaruh lingkungan kerja terhadap kompetensi sosial guru bersifat kompleks dan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang saling berhubungan. Oleh karena itu, pendekatan holistik yang memperhatikan berbagai aspek lingkungan kerja dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang hubungan ini.

Dari hasil kajian pustaka membaca teori dan penelitian orang lain, maka diduga ada pengaruh secara langsung lingkungan kerja terhadap kompetensi sosial guru karena lingkungan kerja yang menyenangkan dan memberikan kepuasan serta rasa aman memiliki kecenderungan mempengaruhi peningkatan kompetensi. Sedangkan jika lingkungan kerja tidak memadai dapat mengganggu konsentrasi guru dalam melaksanaakan pekerjaan dan menimbulkan kesalahan dalam bekerja dan mengakibatkan kompetensi menurun.

3.    Pengaruh Kepemimpinan Situasional Kepala Sekolah terhadap Lingkungan Kerja Sekolah Dasar Negeri Kecamatan ................ Kota .................

Kepemimpinan situasional merupakan pendekatan kepemimpinan yang menekankan pada respons yang sesuai terhadap situasi-situasi tertentu. Kepemimpinan situasional memungkinkan kepala sekolah untuk beradaptasi dengan berbagai situasi di sekolah. Kepala sekolah dapat menyesuaikan gaya kepemimpinnya berdasarkan tantangan, kebutuhan, dan karakteristik khusus yang dihadapi oleh sekolah pada suatu waktu tertentu, adanya adaptabilitas dapat menciptakan lingkungan kerja yang responsif dan tanggap terhadap perubahan.

Kepemimpinan situasional mendorong kepala sekolah untuk fokus pada pengembangan individu dalam timnya. Melalui pemberian dukungan dan bimbingan yang sesuai dengan kebutuhan individu, kepala sekolah dapat meningkatkan keterampilan dan kinerja anggota tim. Peningkatan keterampilan individu dapat menciptakan lingkungan kerja yang didukung oleh pertumbuhan dan pembelajaran bersama.

Kepala sekolah dalam kepemimpinan situasional memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada anggota timnya. Dengan memberdayakan guru dan staf, kepala sekolah menciptakan lingkungan kerja yang memberikan ruang untuk kreativitas, inovasi, dan pengambilan keputusan kolektif. Pemberdayaan dapat meningkatkan motivasi dan keterlibatan anggota tim dalam mencapai tujuan sekolah.

Oleh karena itu, kepemimpinan situasional kepala sekolah diduga  secara positif mempengaruhi lingkungan kerja di sekolah, menciptakan atmosfer yang dinamis, responsif, dan mendukung pertumbuhan, maka dapat diduga terdapat pengaruh positif secara langsung antara kepemimpinan situasional kepala sekolah terhadap kompetensi guru dalam meningkatkan kompetensi sosial guru.

D.  Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka berfikir tersebut, maka hipotesis sementara sebagai berikut:

1.    H0: Tidak terdapat pengaruh antara kepemimpinan situasional kepala
       sekolah terhadap kompetensi sosial guru di SD Negeri Kecamatan
       ................ Kota .................

H1:  Terdapat pengaruh langsung positif kepemimpinan situasional kepala
       sekolah terhadap kompetensi sosial guru di SD Negeri Kecamatan  
      
................ Kota .................

2.    H0: Tidak terdapat pengaruh antara lingkungan kerja terhadap kompetensi
      
sosial guru di SD Negeri Kecamatan ................ Kota .................

H1: Terdapat pengaruh langsung positif lingkungan kerja terhadap
       kompetensi sosial guru di SD Negeri Kecamatan ................ Kota
       .................

 

 

Informasi selanjutnya , klik DOWNLOAD atau hub. (WA) 081327121707 - (WA) 081327789201 terima kasih 

0 comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar, hindari unsur SARA.
Terima kasih