Menerima Pembuatan TESIS-SKRIPSI-PKP UT, Silahkan Baca Cara Pemesanan di bawah ini

Lencana Facebook

banner image

Kamis, 27 Februari 2025

KARYA ILMIAH (KARIL) UT : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen dalam Transaksi E-commerce

 

Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen dalam Transaksi E-commerce

 

 

............................. 1), .....................2)

 

1)Mahasiswa Jurusan  Hukum, Fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik, Universitas Terbuka

2) Dosen Jurusan Hukum, Fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik, Universitas Terbuka

 

.............................@gmail.com1, .......................@gmail.com2

 

 

ABSTRAK

 

Tatanan kehidupan bermasyarakat mengalami perubahan besar sebagai akibat perkembangan teknologi informasi. Perniagaan secara konvensional tergeser oleh perniagaan digital melalui fasilitas internet atau lebih dikenal dengan istilah e-commerce. Tujuan penelitian menganalisis pilihan hukum yang diambil nasabah apabila terjadi kecelakaan transaksi e-commerce, serta model perlindungan nasabah transaksi e-commerce. Metode yang dipilih penelitian hukum normatif melalui desain legislasi dan studi kasus. Sumber data meliputi sumber hukum primer, sekunder, dan tersier yang dianalisis dan diteliti selanjutnya diubah menjadi narasi deskriptif. Hasil penelitian berupa kajian tindakan hukum nasabah dengan kejadian kecelakaan transaksi e-commerce, serta model perlindungan konsumen sebagai bentuk pertahanan hukum  konsumen.  Kesimpulan dan rekomendasi penelitian ini adalah konsumen kegiatan transaksi e-commerce dilakukan dengan kehati-hatian dan pendalaman informasi produk secara detail.  Keberadaan payung hukum yang mengatur perlindungan konsumen dengan transaksi elektronik dapat memberikan rasa aman kepada pengguna dan pelaku dunia usaha yang dapat menciptakan  keyakinan dan rasa aman serta yang mendorong tumbuhnya ekonomi yang kuat.

 

Kata Kunci: konsumen, perlindungan hukum, transaksi e-commerce

 

 

PENDAHULUAN

Perlu diketahui bahwa teknologi ini dapat digunakan untuk melindungi perekonomian global. Pesatnya kemajuan teknologi digital berimbas luas terhadap perspektif dan norma kehidupan, termasuk budaya, komunitas, populasi dan perekonomian. Perniagaan dan jual beli, pengoptimalan dunia maya sebagai alat perniagaan modern semakin meningkat akibat kontribusinya yang signifikan terhadap efisiensi. Teknologi informasi (TI) telah membuka peluang karir baru dalam berbagai profesi. Perdagangan elektronik adalah salah satu aktivitas perdagangan yang saat ini memberikan dampak terbesar pada ruang dan komunikasi di Internet. (Arsyawal, et. All., 2024).

Perkembangan pesat dalam komunikasi informasi teknologi memberikan dampak besar terhadap tatanan kehidupan bermasyarakat termasuk di sektor bisnis. Kegiatan perniagaan sebelumnya banyak menggunakan metode konvensional telah berubah drastis ke dalam bentuk perniagaan baru yaitu e-commerce. E-commerce sendiri dapat diartikan sebagai kegiatan bisnis yang menghubungkan pelanggan, pedagang, penyedia jasa, dan pembeli melalui pemanfaatan jaringan komputer. Ini mencakup seluruh rentang kegiatan yang mempunyai bersifat  profitabel. Kegiatan bisnis berbasis elektronik terdiri kegiatan produksi, distribusi, pengadaan, produksi, dan kurir barang atau jasa menggunakan media elektronik.

Bank Data Indonesia memperkirakan bisnis berbasis elektronik di Indonesia sudah melebihi Rp. 453,7 triliun pada tahun 2023 dan diperkirakan akan terus meningkat (Rachman, 2024).  Pertumbuhan e-commerce dipengaruhi oleh pesatnya ekspansi internet, menjamurnya pengguna internet, dan signifikannya platform media sosial yang menjadi tumpuan industri tersebut. Hal ini menjadikan internet sebagai piranti efektif bagi pemilik bisnis memasarkan dan menjual produk dan layanan pelanggan seantero bumi. Perdagangan online adalah bentuk model bisnis masa kini bercirikan non-face (tidak perlu kehadiran pemilik bisnis) dan non-sign (tidak membutuhkan akses kartu).  Singkatnya, perdagangan online mendorong munculnya rivalitas sehat antara bisnis dalam skala kecil dan skal besar (Suparni, 2016).

E-commerce adalah transaksi antara pembeli dan penjual bertukar komoditas fisik, bidang jasa, atau keuangan. Kegiatan transaksi bisa dilakukan apabila terpenuhi unsur pedagang dan konsumen. Prosesnya dilakukan menggunakan perangkat yang dikenal dengan media digital, tanpa memerlukan izin dari organisasi yang melakukan transaksi. Dalam media yang disebut internet atau world wide web ini, transaksi terjadi sesuai dengan hukum negara dan hukum negara. Media ini hadir dalam jaringan umum yang terbuka untuk umum (Hariri, 2017).

E-commerce, juga dikenal sebagai perdagangan elektronik, mengacu pada proses pendistribusian, pembelian, penjualan, dan pendistribusian berbagai jenis barang (baik barang maupun jasa) melalui penggunaan berbagai bentuk media komunikasi, seperti gadget, toko online, dan jaringan komunikasi digital lainnya (Sugiharto, 2022). Shopee, bukalapak, blibli, dan tokopedia adalah beberapa contoh platform e-commerce yang tersedia di Indonesia. Contoh lain termasuk platform serupa lainnya. Berdasarkan statistik yang dikeluarkan oleh Survei e-commerce Jerman, Badan Pengembangan Ekonomi dan Daya Saing (ECDB) menyatakan bahwa Indonesia adalah negara dengan tingkat pertumbuhan e-commerce tertinggi pada tahun 2024, yang diperkirakan mencapai 30,5%. dibandingkan tahun sebelumnya (Investor.id, 2024).

Penggunaan e-commerce menghadirkan imbas positif bagi pembeli sebagai konsumen maupun penjual sebagai produsen. Proses  e-commerce  yang dilakukan secara online melalui e-commerce, konsumen dapat memperoleh manfaat dalam berbagai hal, antara lain pembayaran biaya penyediaan ruang gudang, pembayaran gaji karyawan, dan pembayaran biaya. yang diperlukan dalam perdagangan konvensional. Sebaliknya, proses melakukan pembelian secara online melalui e-commerce cenderung lebih efisien bagi pelanggan karena memberikan mereka kesempatan untuk melakukan pembelian dengan cara yang nyaman bagi mereka. Selain memberikan dampak positif yang bermanfaat, para pengguna e-commerce juga berpotensi mendapatkan manfaat dari hal tersebut. Kelemahannya sebagian besar disebabkan oleh penjual yang tidak bertanggung jawab atas barangnya, dan pembeli tidak memiliki pemahaman yang jelas mengenai barang yang akan dijual kepada mereka (Mazli, 2021)

Ada kemungkinan bahwa situasi di atas dapat mengakibatkan terbentuknya hubungan baik dengan customer sebagai pemakai dan seller sebagai penjual. Pada pratiknya transaksi e-commerce memunculkan beberapa permasalahan yang sering muncul. Hal-hal tersebut antara lain: ketidakmampuan mengenali jenis dan kualitas barang yang ditawarkan untuk dijual, ketidakmampuan melacak waktu pengiriman barang, ketidakmampuan mengatur proses pembayaran, dan permasalahan serupa lainnya (Fista, 2023).

Di bidang perdagangan online, diciptakan sistem transaksi paperless dimana para pihak tidak harus saling bertatap muka untuk melakukan transaksi. Kenyataan ini menjadikan e-commerce sebagai bentukan baru mesin penggerak ekonomi kebaruan yang memanfaatkan teknologi digital. Namun selain kelebihan yang disebutkan, ada juga sisi gelap dari perkembangan ini, yaitu terkait masalah keamanan dalam perdagangan online. Saat ini banyak sekali permasalahan yang membebani dan menjadikan konsumen mengalami kerugian serta memunculkan adanya kendala-kendala hukum dalam kegiatan bertransaksi secara  e-commerce. Permasalahan hukum sering kali merugikan konsumen karena belum adanya sistem yang melindungi hak-hak konsumen menjadikan permasalahan bertambah rumit pada saat terdapat transaksi e-commerce lintas batas yang melibatkan seller dari negara lain. Dalam perdagangan online sering terjadi penipuan mengenai identitas pedagang, kualitas barang, permasalahan harga yang tidak wajar dan bentuk pembayaran yang dilakukan oleh pembeli, misalnya pedagang yang dimaksud (toko virtual) hanyalah ilusi dan tidak nampak bentuk fisiknya. Dengan kekhasan e-commerce, perlindungan hak-hak konsumen menjadi penting (Patricia, 2024)

Untuk mengatasi kekhawatiran ini dengan baik, diperlukan instrumen hukum yang tepat sebagai payung hukum dan perlindungan yang kuat kepada pengguna transaksi ketika melakukan aktivitas perniagaan dengan fasilitas e-commerce. Hal ini membutuhkan pemahaman terhadap aturan perlindungan konsumen; penting juga untuk memasukkan bidang hukum teknologi informasi. Dengan munculnya perdagangan online, penting untuk memberikan kepastian hukum tentang perlindungan pengguna transaksi e-commerce. Pemerintah telah mengambil langkah dengan menerbitkan peraturan dan undang-undang sebagai payung hukum dan perlindungan pengguna e-commerce. Perlindungan konsumen pada UU No.8 Tahun 1999.  Secara khusus undan-undang tersebut mengatur tentang pemberian payung hukum kuat bagi pemerintah, organisasi yang tidak berafiliasi dengan pemerintah, serta para pelaku dan pengguna e-commerce dalam rangka penjaminan pelindungan terhadap konsumen pada saat melakukan kegiatan transaksi baik secara tradisional dan elektronik.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fista, Y.L., Machmud, & Suartini pada tahun 2023 berjudul “Hak Konsumen dalam Transaksi E-commerce”, Dilihat dari Kacamata Peraturan Perundang-undangan Perlindungan Konsumen. Kajian ini mendalami aturan-aturan menyangkut proses melindungi konsumen dan kepastian proses penanganan perkara terkait proses hukum transaksi e-commerce serta tantangan yang dihadapi.  Pada tahun 2022, Pardede dan rekannya melakukan penelitian serupa dengan judul Perlindungan Hukum Konsumen dalam Transaksi E-commerce Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Dalam Kasus Pembelian Ponsel Tidak Sesuai Pesanan Melalui Platform E-commerce Tokopedia. Penelitian ini mengeksplorasi payung perlindungan hukum transaksi konsumen Tokopedia, serta tata cara mengurus perselisihan yang muncul pada pembelian e-commerce pada platform digital Tokopedia. Kedua penelitian di atas mengeksplorasi masalah payung hukum dalam kegiatan e-commerce. Perbedaan terlihat pada aspek pembahasan di mana pada penelitian relevan membahas proteksi hukum berdasarkan aturan perundang-undangan tentang transaksi e-commerce, sedangkan penelitian ini melihat langkah dan model perlindungan pelanggan pada saat transaksi online.

Berdasarkan penjelasan di atas, pesatnya pertumbuhan perdagangan online di Indonesia membuka cakrawala luas dalam perekonomian digital. Dampak yang ditimbulkan juga memberikan  menimbulkan berbagai gugatan hukum yang dilakukan konsumen, seperti kebohongan atau penipuan kontrak, ketidaktentuan muatan kontrak, kecacatan produk yang diterima dan ketidakpuasan layanan, iklan yang tidak sesuai produk, dan masalah terkait layanan after market. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mendalami pertanyaan tentang langkah hukum jika terjadi insiden saat bertransaksi online, dan bentuk dan model perlindungan konsumen e-commerce?

 

 

 

METODE PENELITIAN

Penyusunan karya akademis menggunakan metode penelitian hukum normatif atau studi kepustakaan (Soekanto dan Mamudji, 2014). Penulis memilih jenis penelitian ini karena menekankan prinsip-prinsip hukum sebagai aturan mendasar, sehingga menjadi landasan penting untuk penelitian lebih lanjut mengenai upaya melindungi konsumen dan transaksi e-commerce berdasarkan ketetapan undang-undang perlindungan konsumen. Penelitian yang dilakukan menjadi landasan pemahaman terhadap undang-undang perlindungan konsumen dan mekanisme penanganan perselisihan di bidang perdagangan online.

Pengumpulan informasi menggunakan metode kepustakaan. Dilakukan dengan menggali data-data yang sudah ada mencakup sumber-sumber hukum primer, sekunder dan tersier. Sebagai upaya memperkaya dan mencerahkan analisis data sekunder, dilakukan diskusi dengan berbagai pihak ahli, yang memilik pemahaman mendalam terkait konsep dan gagasan yang mendasari data tersebut, dengan tetap menghormati kerangka hukum dan normatif yang berlaku. (Marzuki, 2017).

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

1.    Upaya Hukum Pelanggan Terhadap Kemalangan Bertransaksi E-commerce

Tindakan hukum dapat memastikan keamanan pelanggan selama transaksi e-commerce. Upaya hukum ini akan digunakan sebagai langkah penyelesaian terhadap timbulnya perselisihan pedagang selaku produsen dan konsumen selaku pembeli.  Penjelasan  UU No. 8 Tahun 1999 bahwa sebagai konsumen wajib hukumnya mendapatkan hak atas proteksi, advokasi dan penanganan sengketa dengan mendapatkan perlakuan seadil-asilnya. Produsen selaku penjual bertanggung jawab dalam pemberian kompensasi baik dalam wujud barang maupun uang dan penukasan apabila terdapat kerusakan sebagai akibat pemakaian atau penikmatan barang dan jasa yang dijual  (Saragih, et.al., 2023).

Apabila produsen atau distributor menolak atau tidak menanggapi tuntutan ganti rugi pelanggan, pelanggan mempunyai kewenangan pengajuan atau gugatan terhadap pemilik atau penjual barang. Isu ini akan diselesaikan oleh badan penyelesaian perselisihan pelanggan mengikut aturan ayat 23 UU No. 8 Tahun 1999. Jika diinginkan, pengguna mempunyai pilihan mengajukan gugatan ke pengadilan di tempat tinggal mereka  (Mahmudah, 2022).

UU No. 8 Tahun 1999 memberikan dua pilihan penanganan perselisihan antara pelanggan dan pengusaha: 1) melalui lembaga yang ditunjuk, atau 2) pengajuan tututan  melalui jalur hukum. Beberapa aspek penting dalam penyelesaian perselisihan e-commerce berdasarkan UU ITE : 1) Setiap orang berhak menggugat pihak yang menyediakan pengoperasian sistem elektronik dan/atau penyedia layanan teknologi informasi; 2) Masyarakat mempunyai hak dalam pengajuan penyelesaian sengketa yang diwakili pihak penyedia aplikasi perniagaan dan/atau penyedia layanan aplikasi perniagaan yang mengakibatkan kerugian sesuai peraturan terkait. (Alfitriani, et.all., 2022).

Masyarakat juga mempunyai pilihan untuk mengajukan pengaduan secara khusus atas nama penyelenggara sistemelektronik yang menggunakan teknologi informasi karena menyebabkan kerugian menurut hukum, dimana hanya satu atau lebih anggota yang mengajukan atau digugat atas nama golongan tanpa keterlibatan pihak yang bersangkutan. anggota kelas individu. Pihak-pihak yang terlibat mempunyai kemampuan untuk menggunakan arbitrase, atau mekanisme alternatif seperti negosiasi, mediasi dan arbitrase, terselesaikan hunker. Perselisihan bisa diselesaikan secara online tanpa perlu para pihak bertemu langsung.

Terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan konsumen dalam mengambil tindakan hukum dalam perselisihan konsumen. Salah satu kemungkinannya adalah konsumen dapat menuntut ganti rugi di pengadilan, berapapun jumlah kerugian yang diderita. Dalam pendekatan hukum terhadap perselisihan konsumen, aspek-aspek tertentu dapat dipertimbangkan:

a.    Penting agar penggugat (konsumen) tidak dinilai semata-mata berdasarkan kerugian finansial.

b.    Pintu keadilan harus terbuka bagi semua orang, terutama konsumen kecil dan rentan secara finansial.

c.    Tugas pengadilan adalah melindungi integritas mereka dengan mewajibkan pengecer membuktikan cacat, sebagaimana diatur dalam prinsip tanggung jawab produk (Anggono, 2023).

Hal ini berbeda dengan teori beban bukti dalam litigasi yang seringkali tanggung jawab berada pada penggugat (konsumen) untuk membuktikan tidak adanya konsistensi. Penetapan tanggung jawab dasar atas produk memungkinkan pelanggan untuk mengajukan tuntutan hukum terhadap penjual (pengusaha) untuk membuktikan bahwa produk yang diterima rusak pada saat pengiriman, yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan bagi pembeli (Saragih, et.all., 2023).

Berdasarkan penjelasan di atas, tampaknya menyelesaikan perselisihan nasabah di pengadilan tidaklah sesulit yang dibayangkan nasabah. Dalam proses arbitrase antar pembeli di meja perundingan, menjadi tanggung jawab hakim untuk membuktikan apakah faktor-faktor tersebut ada atau tidak. Langkah selanjutnya adalah pembuktian di pengadilan, karena alat ini berfungsi sebagai bukti elektronik di meja hijau, sebagaimana diktum pasal 5 (ayat 1, 2, 3)  UU ITE. Pelanggan melakukan penyelesaian melalui jalur hukum diharuskan memberikan bukti-bukti traksaksi e-commerce antara lain berupa konfirmasi pembayaran, layanan kontrak pembelian melalui verifikasi SMS atau email,  lokasi, nomor kontak dan rekening bank pengusaha.

Aspek keamanan merupakan bagian penting dalam transaksi elektronik. Ada tiga cara untuk memastikan security level penggunaan internet : campur tangan kemajuan informasi, faktor etika pengguna, landasan hukum yang berhubungan dengan penggunaan internet. Penting untuk mempertimbangkan hal ini karena penggunaan Jaringan, yang secara teknis tidak memberikan perlindungan apa pun, berpotensi terkena risiko terkena hacker dan perentasan situs maupun web. Penerapan kaidah hukum asas menyatakan bahwa siapapun yang menimbulkan kerugian pada terhadap orang lain mempunyai tanggung jawab dan resiko dari perbuatan yang dilakukannya, oleh karena itu konsumen  dapat mengajukan permintaan pengembalian/kerusakan kepada Penjual. Ganti rugi menurut Pasal 19 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1999 mencakup banyak ragam restitusi dapat berupa material bentuk uang maupun non material dalam bentuk barang dan jasa, pelayanan kesehatan, dan imbalan sesuai ketentuan yang berlaku..

Penting untuk ditekankan bahwa penggunaan metode penyelesaian konflik alternatif sama sekali tidak mengabaikan kewajiban hukum atas tanggung jawab pribadi. Sanksi yang tergolong pidana dan ditentukan dalam UU ITE yang memberlakukan sistem komulatif. Hal ini menunjukkan bahwa saksi yang diberikan baik secara hukum maupun denda bisa diberlakukan secara berbarengan namun tidak saling bertentangan. Khususnya terhadap pelanggaran perdagangan elektronik sebagaimana dijelaskan pada ayat 45(2), siapapun secara nyata dan riil bertindak melawan hukum dalam bentuk penyebaran kabar yang berpotensi menyebabkan kerugian pelanggan yang dilakukan dalam traksaksi elektronik dapat diberikan hukuman pidang kurungan minimal 6 tahun dan atau maksimal dengan sebesar 1 milyard rupiah. Apabila seseorang terbukti secara sah dan tidak memiliki izin memanipulasi, mengubah atau diduga mengubah informasi atau dokumen, ia melakukan tindakan tindak pidana perusakan data. Siapapun yang melanggar aturan bisa didenda hingga 12 tahun penjara atau 12 miliar rupiah.

 

2.    Model Perlindungan Konsumen dalam Transaksi E-commerce

Di Indonesia, peraturan mengatur perlindungan konsumen pada transaksi e-commerce masih relatif baru dan terus mengalami perkembangan. Role model yang mengatur dan melindungi  pada  Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 mengatur tentang hak-hak konsumen, antara lain hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam menggunakan barang/jasen serta hak atas informasi yang benar dan jelas. Pasal 7 mengatur bahwa pihak yang berkewajiban harus mengambil tindakan, misalnya dengan mengirimkan informasi tentang barang atau jasa yang ditawarkannya. Pasal 8 mengatur tentang pembatalan upaya perusahaan untuk memproduksi atau membuang barang/tahun yang tidak memenuhi standar atau uraian.  UU No. 8 Tahun 1999 Pasal 9 mewajibkan perusahaan yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus memberikan informasi yang rinci dan benar tentang produknya. Pasal 11 menggunakan tanda tangan elektronik untuk menjamin keamanan dalam transaksi online. Pasal 33 ayat (2)  undang-undang di atas mengatur keamanan data pribadi konsumen yang digunakan dalam transaksi e-commerce. Hal ini mencakup komitmen untuk melakukan peningkatan upaya pengamanan data konsumen.

 

Pembahasan

Penjelasan mengenai model perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce dapat dijelaskan menjadi beberapa model sebagai berikut :

1.    Implementasi Regulasi Perlindungan Konsumen dalam E-commerce di Indonesia

UU No. 8 Tahun 1999 memberikan landasan hukum untuk melindungi hak konsumen, termasuk juga ekosistem e-commerce di Indonesia. Pasal 4 ini merumuskan berbagai hak konsumen dalam konteks e-commerce di Indonesia. Pasal 4 (a) mengatur bahwa platform e-commerce wajib melindungi data pribadi konsumen dari penyalahgunaan. Hal ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE). Penjual e-commerce bertanggung jawab untuk memastikan keamanan barang yang dijual dan memastikan tidak mengandung zat berbahaya. Penyedia platform wajib menyediakan mekanisme pemantauan transaksi untuk menghindari penipuan.

Pasal 4 (b), Kewajiban penjual akan kejelasan informasi produk, seperti spesifikasi, harga, asal barang, dan kebijakan pengembalian. Misalnya, fitur deskripsi produk yang lengkap di platform. Konsumen harus memiliki akses untuk memilih produk dari berbagai penjual di satu platform. Barang yang dikirimkan harus sesuai dengan deskripsi yang tercantum, dengan jaminan pengembalian jika terjadi ketidaksesuaian.

Pasal 4 (c), Kewajiban pencatuman kelengkapan dan kejujuran produk atau layanan, termasuk risiko penggunaan. Misalnya, dalam kategori elektronik, deskripsi harus menyertakan spesifikasi teknis. Iklan produk di e-commerce harus jujur dan tidak menyesatkan. Iklan palsu yang memberikan klaim berlebihan dapat dikenakan sanksi. Produk yang dijual di e-commerce, terutama makanan dan obat-obatan, wajib memiliki label kelayakan konsumsi dari badan terkait.

2.    Menerapkan Prinsip Transparansi

Tujuan UU No. 8 Tahun 1999 adalah untuk melindungi hak konsumen sekaligus mendorong pengusaha untuk menerapkan prinsip adil dan bertanggung jawab. Pasal 7(b) menyatakan bahwa pedagang wajib memberikan informasi yang akurat, transparan, dan jujur ​​mengenai kondisi dan jaminan produk dan/atau jasa yang ditawarkan kepada konsumen. Pelaku usaha harus menyampaikan semua informasi terkait produk atau jasa, termasuk bahan, kandungan, fungsi, cara penggunaan, serta risiko yang mungkin ditimbulkan. Misalnya, pada produk makanan, informasi mengenai komposisi, tanggal kedaluwarsa, dan nilai gizi wajib dicantumkan secara jelas pada kemasan. Informasi harus dapat diakses dengan mudah oleh konsumen, baik melalui label produk, situs web, layanan pelanggan, atau media lainnya. Informasi tidak boleh disampaikan secara samar atau dalam bahasa yang sulit dimengerti konsumen. Pelaku usaha dilarang memberikan informasi menyesatkan atau berlebihan dalam promosi atau iklan. Contoh, klaim "bebas bahan kimia" pada produk harus dapat dibuktikan dengan data ilmiah yang sah. Jika suatu barang atau jasa memiliki risiko tertentu, pelaku usaha wajib menyampaikan risiko tersebut secara terbuka. Contohnya, produk elektronik yang memerlukan penanganan khusus harus disertai peringatan terkait potensi bahaya jika digunakan secara tidak tepat.  Penerapan prinsip transparansi di Pasal 7(b) UUPK, menyebutkan terjalinnya hubungan kepercayaan antara konsumen dan pelaku usaha dan terbentuknya lingkungan perdagangan yang sehat dan adil.

3.    Perlindungan Data Pribadi

Perlindungan privasi informasi pribadi adalah hak mendasar yang dimiliki konsumen untuk menjamin kerahasiaan dan keamanan informasi pribadi mereka. Merchant e-commerce di Indonesia harus memastikan kerahasiaan data pelanggan tetap terjaga dan tidak disalahgunakan. Penerapan Pasal 33 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1999 memberikan dampak yang signifikan terhadap industri e-commerce dengan meningkatkan tanggung jawab hukum para pengusaha. Undang-undang mewajibkan setiap platform e-commerce, baik yang berbasis web atau berbentuk aplikasi, harus menjamin keamanan data pelanggan, keaslian transaksi, dan kualitas produk atau layanan yang ditawarkan.

Pada bulan Oktober 2020 yang ajaib, data sensitif 1,1 juta pengguna supermarket online RedMart, cabang Lazada, diretas. Banyak sekali informasi pribadi yang diperdagangkan, termasuk nama, nomor telepon, alamat email, alamat jalan, kata sandi, dan nomor kartu kredit. Orang-orang di Lazada mengakui adanya upaya pencurian data dan mengklaim bahwa data tersebut berasal dari database RedMart yang dihosting oleh pihak ketiga. Meski begitu, Lazada mengklaim data yang dicuri telah melewati tanggal kedaluwarsa..

Ternyata peristiwa serupa juga terjadi pada Juli 2020 lalu. Terungkap adanya maraknya perdagangan data pengguna dari akun e-commerce oleh pihak ketiga, hal ini diungkapkan oleh Lembaga Penelitian Keamanan Siber dan Sistem Informasi Indonesia (CISSReC) yang menyeret 91 juta data base pemakai e-commerce, yang diperdagangkan melalui salah satu platform media sosial. Menurut perwakilan perdagangan online, mereka yang mengunggah informasi ilegal ini tidak bertanggung jawab. Mereka menekankan bahwa data yang diperoleh tidak diperoleh melalui pencurian, dan informasi kata sandi user e-commerce terlindungi dari serangan hacker yang dapat merugikan penggunanya (Fidelis, 2024).

4.    Garansi dan Pengembalian Barang

Garansi merupakan jaminan yang diberikan oleh produsen atau penjual terhadap suatu produk yang diperdagangkan. Ketentuan mengenai penjaminan terdapat dalam UU No. 8 Tahun 1999 Pasal 18, pengusaha wajib memberikan jaminan atas barang yang dijual tidak menyimpang dari ketentuan yang telah disepakati.. Konsumen berhak mendapatkan jaminan produk apabila barang yang diterima tidak sesuai yang ditawarkan atau cacat. Menghadapi kasus tersebut maka penerima barang bebas mengatur pengembalian barangnya. Namun, banyak pelanggan yang masih kesulitan mengembalikan barang yang telah dibeli, meskipun barang tersebut cacat atau tidak sesuai dengan deskripsi. Hal ini disebabkan karena pelanggan kurang memahami kebijakan retailer mengenai proses pengembalian.

Selain itu, konsumen juga dirugikan karena seringkali terdapat klausul baku yang sepihak dalam kontrak yang dibuat oleh pengusaha yang seringkali merugikan konsumen, seperti klausul yang mengalihkan tanggung jawab perusahaan dalam e-commerce kepada konsumen. Klausa baku yang dimaksud antara lain klausul yang menyatakan bahwa apabila diberikan rating negatif atau rating kurang dari 4 bintang, maka jaminan akan kadaluarsa atau tidak berlaku. Adanya klausul ini dapat mengakibatkan konsumen kesulitan mendapatkan garansi atau penggantian barang jika meninggalkan ulasan negatif terhadap produk yang dijual pedagang. Pedagang dapat menolak memberikan garansi atau penggantian kepada konsumen karena konsumen telah melanggar ketentuan yang telah ditetapkan sesuai dengan klausul baku yang ditetapkan oleh pedagang (Suwandono, et. All., 2024).

Hal tersebut jelas merupakan pelanggaran terhadap UU No. 8 Tahun 1999, karena perusahaan dilarang memasukkan klausul baku yang bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (2) UUPK mempunyai keterkaitan dengan kedudukan dan susunan kata dalam klausa baku yang sulit dilihat, tidak jelas dibaca, atau sulit dipahami. Meskipun jika produk sebenarnya cacat atau tidak sesuai dengan deskripsi, pelanggan berhak mendapatkan garansi atau penggantian, terlepas dari ulasan yang diberikan.

5.    Penyelesaian Perselisihan

Penyelesaian perselisihan dapat terjadi melalui dua tahap, yaitu penyelesaian perselisihan internal dispute resolution dan penyelesaian eksternal dispute resolution.

a.      Internal Dispute Resolution

Pendekatan sederhana yang dapat dilakukan perselisihan e-commerce oleh konsumen adalah memanfaatkan teknologi. Konsumen dapat menggunakan layanan aduan yang tersedia melalui layanan aduan manual dan digital yang disediakan perusahaan.  Penyelesaian perselisihan konsumen secara online disebut online dispute resolution (ODR). ODR adalah metode penyelesaian sengketa yang memanfaatkan teknologi, khususnya internet, untuk menyelesaikan konflik atau perselisihan di luar jalur pengadilan konvensional. Pilihan aduan konsumen dapat diselesaikan melalui mediasi online, mediator, arbitrase online, arbitrator memutuskan penyelesaian berdasarkan bukti yang disampaikan secara digital, dan begosiasi online,  Para pihak berinteraksi langsung melalui platform untuk menemukan solusi secara bersama-sama. ODR dapat menyelesaikana sengketa e-commerce (misalnya, terkait barang yang tidak sesuai deskripsi atau jasa yang tidak terpenuhi), konflik kontrak dalam transaksi digital, dan masalah hak cipta dan properti intelektual yang terjadi secara online (UNCITL, 2017). Di Indonesia, ODR mulai diadopsi oleh beberapa lembaga seperti BANI dan sistem penyelesaian sengketa e-commerce melalui platform marketplace. Dukungan terhadap ODR semakin meningkat dengan perkembangan regulasi terkait transaksi elektronik (BPKN-RI, 2024).

Penelitian terdahulu memberikan masukkan kepada konsumen tentang perlindungan hak-hak konsumen dalam traksaksi secara online belum sepenuhnya berjalan dengan efektif karena terbentur aturan-aturan yang tumpang tindih sehingga memerlukan harmonisasi peraturan tersebut (Amelia, et.all., 2023)

b.     Eksternal Dispute Resolution

Apabila sengketa antara konsumen dan perusahaan atau penyelenggara sistem elektronik tidak dapat terselesaikan melalui jalur elektronik dan penyelesaian secara internel maka langkah lanjutan yang dilakukan adalah menyelesaikan perkara melalui dua cara yaitu di luar pengadilan dan di dalam pengadilan.

1)   Jalur Non-Litigasi (diluar pengadilan)

Jalan Penyelesaian Konflik Secara Damai Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Sengketa ibarat tarian kata-kata yang diselesaikan di luar ruang sidang melalui berbagai cara alternatif. Jalur ini dirancang untuk memberikan solusi yang lebih cepat, fleksibel dan efisien terhadap konflik, khususnya di bidang sipil. Ayat 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyebutkan bahwa cara penyelesaian sengketa antara lain dengan musyawarah, perundingan, mediasi, konsultasi, pendapat ahli, dan konsiliasi melalui arbitrase. Cara ini sangat menekankan pada prinsip keharmonisan dan kesepakatan pihak bersengketa. Penyelesaian konflik di luar ruang sidang, para pihak melalui berbagai langkah: Pertama, adanya konsultasi dimana pihak bersengketa bertemu ahli atau pihak ketiga untuk mencari solusi. Kemudian terjadilah perundingan, dimana para pihak saling berdiskusi secara langsung untuk mencapai kesepakatan tanpa perantara. Terakhir, dilakukan mediasi, dimana mediator selaku pihak ketiga yang dihadirkan harus bersikap netral  membantu mencapai kesepakatan, konsiliasi: pihak ketiga (konsiliator) memberikan usulan solusi, tetapi keputusan akhir tetap ada pada pihak yang bersengketa, penilaian ahli: pendapat ahli digunakan sebagai dasar penyelesaian sengketa, arbitrase: jika semua metode alternatif gagal, penyelesaian dilakukan melalui arbitrase, dengan keputusan arbitrator yang bersifat final dan mengikat.

2)   Jalur Litigasi (Pengadilan)

PERMA Nomor 4 Tahun 2019 merupakan perubahan atas PERMA Nomor 2 Tahun 2015 tentang Prosedur Penyelesaian Gugatan Sederhana. PERMA ini memberikan pedoman penyelesaian sengketa dalam jalur litigasi. Dalam konteks sengketa e-commerce, jalur litigasi dapat dilakukan melalui gugatan sederhana, asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu.  Kriteria sengketa e-commerce yang bisa diajukan melalui jalur litigasi gugatan sederhana antara lain Sengketa e-commerce harus memiliki nilai materi gugatan maksimal Rp 500 juta, Sengketa yang diajukan tidak boleh melibatkan hak atas tanah, gugatan sederhana hanya dapat diajukan antara pihak perorangan atau badan hukum (termasuk perusahaan e-commerce), sengketa harus bersifat perdata dan tidak melibatkan unsur pidana atau administratif.

Gugatan jenis ini belum efektif dilakukan karena sebaran konsumen yang ada di 34 provinsi. Faktor banyaknya pelaku e-commerce yang berpusat di Jawa menjadi salah satu faktor pemicunya, sehingga acapkali terjadi kegagalan gugatan apabila penggugat berasal dari luar Jawa. Terkadang faktor biaya juga menjadi penghalang gugatan sederhana yang dilakukan konsumen dari luar Jawa, karena harus memakai jasa pengacara yang berdomisili di wilayah tergugat, sehingga sebagian besar penggugat tidak jadi melayangkan gugatan atas sengketa yang terjadi. Penyelesaian gugatan sederhana hanya efektif apabila antara penggugat dan tergugat berada dalam satu wilayah.

Bagus Hanindyo Mantri dalam penelitiannya membuat tiga kesimpulan: Pertama, UU ITE belum sepenuhnya efektif memberikan perlindungan makasimal kepada konsumen e-commerce karena penerapannya terbatas di Indonesia dan hak-hak konsumen. Menurut hukum, tanggung jawabnya terbatas. Kedua, perlindungan hukum konsumen harus mencakup perlindungan hukum pada aspek bisnis,  aspek pelanggan, aspek komoditas, dan aspek pembayaran. Ketiga menyangkut legalitas kontrak sebagaimana diatur dalam KUHP yang mengatur masalah hukum perdata (Amelia, et.all., 2023).

6.    Edukasi Konsumen

Sangat penting untuk mengedukasi pelanggan agar bisa lebih selektif dalam membeli secara online. Pemerintah harus menjaga kepastian hukum, misalnya meminimalkan risiko konsumen tidak membayar dan penipuan. Masyarakat sebagai kumpulan konsumen sangatlah penting dalam memberikan informasi tentang hak dan tanggung jawabnya sebagai konsumen, khususnya di bidang perdagangan online. (Poernomo, 2022).

Pemerintah dan pemilik usaha secara aktif terlibat dalam mendidik konsumen tentang hak-hak mereka dan cara melindungi diri dari praktik bisnis yang tidak bertanggung jawab. Alasannya. Kesadaran konsumen yang relatif rendah terhadap hak-hak mereka dalam transaksi e-commerce dapat mempengaruhi efektivitas perlindungan yang ada. Ketika konsumen tidak memahami hak-haknya, mereka cenderung tidak memanfaatkan perlindungan yang ada ketika mengalami kendala dalam bertransaksi. Selain itu, kurangnya akses atau informasi yang memadai mengenai mekanisme penyelesaian perselisihan e-commerce mempersulit proses penyelesaian perselisihan sehingga menjadi sulit dan rumit. Akibatnya, beberapa konflik mungkin tidak terselesaikan dengan baik, sehingga merugikan konsumen dan mempengaruhi kepercayaan secara keseluruhan terhadap sistem e-commerce (Putra, 2023).

 

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penerapan peraturan perlindungan konsumen pada e-commerce di Indonesia masih menghadapi tantangan yang cukup besar. Kurangnya kesadaran konsumen, pemantauan yang tidak memadai, dan tantangan teknologi merupakan beberapa faktor utama yang menghambat efektivitas peraturan ini. Mencapai perlindungan konsumen yang lebih baik memerlukan upaya terkoordinasi dari pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.

Peraturan perdagangan elektronik menjamin perlindungan dan keamanan bagi penjual, penyedia, dan pelanggan dalam melakukan kegiatan usaha melalui sistem elektronik. Untuk melindungi pihak-pihak yang mengadakan kontrak dalam penjualan online, perantara memberikan perlindungan hukum melalui aturan yang disepakati bersama yang ditegakkan oleh hukum sesuai dengan Pasal 33 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1999 tentang keamanan data pribadi antara dealer dan pelanggan. Ada dua cara untuk menyelesaikan transaksi e-commerce di Indonesia. Langkah pertama melalui jalur non-peradilan yang difasilitasi oleh organisasi masyarakat sipil (CSO) seperti YLKI, Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan, Badan Arbitrase Konsumen (BPSK) dan pengusaha. Anda kemudian dapat mengambil tindakan hukum untuk bernegosiasi dengan otoritas terkait atau melaporkan kejadian tersebut kepada otoritas terkait.

Saran

Untuk memastikan masyarakat memahami dan mengetahui keabsahan kontrak online, perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang UU No. 8 Tahun 1999. Terkait dengan hal tersebut, sosialisasi juga bertujuan untuk memastikan setiap orang bertindak sesuai dengan peraturan yang ada di bidang e-commerce, menjamin kesetaraan persepsi sehingga tidak menimbulkan hambatan. Dengan mengandalkan kesepakatan yang dicapai oleh berbagai pihak, maka pihak yang dirugikan yang tidak dapat memenuhi kewajibannya dapat mengajukan gugatan perdata untuk memulihkan pihak tersebut. Pemberlakuan wajib atas tuntutan ganti rugi sesuai dengan Pasal 19 ayat (1) dan ayat (3). Pihak berwenang harus melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap pelaku yang terlibat dalam transaksi elektronik tersebut. Penting untuk mengumpulkan semua data relevan mengenai komunikasi elektronik publik, seperti pencatatan transaksi elektronik. Upaya preventif dan konsisten dalam menegakkan hukum ​​di Indonesia.

Konsumen yang ingin melakukan transaksi e-commerce disarankan untuk sangat berhati-hati dan membaca daftar produk dengan cermat. Undang-undang dan peraturan pemerintah yang mengatur perlindungan konsumen dalam proses transaksi elektronik menjamin perlindungan konsumen dan dunia usaha, memperkuat kepercayaan dan keamanan, dan tentunya mendukung pertumbuhan perekonomian di Indonesia.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Alfitriani, Oktavianty, Mutmainna, Pransisto, Johamran. 2022. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi Jual-Beli Melalui E-commerce. JULIA (Jurnal Litigasi Amsir), Vol. 3, No. 1. Hal. 24-32. https://journalstih.amsir.ac.id/index.php/julia/article/download/174/116

Anggono, A. B. (2023). Urgensi Penguatan Ketentuan Hukum Perlindungan Konsumen Pasca Diterapkan Sistem Perdagangan Bebas di Indonesia. UNES Law Review, 6(1), 2562-2569. https://doi.org/10.31933/unesrev.v6i1.1043

Amelia, R., Sarbini, I., Adnan, & Sukirman. (2023). Penyelesaian Perselisihan Konsumen Dalam E-commerce Di Indonesia. Fundamental: Jurnal Ilmiah Hukum, 12(1), 199-210. https://doi.org/10.34304/jf.v12i1.92

Arsyawal, Hutapea, H. R., Shobrin, , Ma’as, & Raihana. (2023). Analisis Terhadap Hubungan Antara Globalisasi Dengan Pembaharuan Hukum di Indonesia. Journal Of Social Science Research, 3(2).

Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN-RI)
https://bpkn.go.id/siaranpers/detail/bpkn-ri-hasil-survey-indeks-kualitaslayanan-penggunaan-e-commerce-paling-rendah-diantara-parameter-Diakses. 19 November 2024.

Fidelis. Kasus Kebocoran Data Pribadi Konsumen pada Platform E-commerce di Indonesia." Kompasiana.2024. Diakses 19 November 2024. https://www.kompasiana. com/fidelis7/663adbbdc57afb1ad56c7612/kasus-kebocoran-data-pribadikonsumen-pada-platform-e-commerce-di-indonesia.

Fista, Y. L., Aris Machmud, & Suartini, S. (2023). Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Transaksi Ecommerce Ditinjau dari Perspektif Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Jurnal : Binamulia Hukum, Volume 12, Nomor 1. Hal.177- 189.  https://doi.org/10.37893/jbh.v12i1.599

Fista, Y. L., Aris Machmud, & Suartini, S. (2023). Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Transaksi E-commerce Ditinjau dari Perspektif Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Binamulia Hukum, 12(1), 177–189. https://doi.org/10.37893/jbh.v12i1.599

Fista, Yanci Libria, 2023. Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Transaksi E-commerce Ditinjau dari Perspektif Undang Undang Perlindungan Konsumen. Jurnal : Binamulia Hukum, Volume 12, Nomor 1. Hal.177- 189. https://ejournal.hukumunkris.id/index.php/binamulia/article/download/599/149/1341

Hariri, Wawan Muhwan. 2017. Hukum Perikatan: Dilengkapi Hukum Perikatan Dalam Islam, Bandung: Pustaka Setia

Investor.id. (20 November 2024 ). Gaya Hidup Semakin Digital Dorong E-commerce Terus Bertumbuh. Https://Investor.Id/Business/366063/Gaya-Hidup-Semakin-Digital-Dorong-Ecommerce-TerusBertumbuh .

Mahmudah, N. (2022). Menelusuri Penyelesaian Perselisihan di Luar Pengadilan. Journal of Islamic Family Law, 1(1), 34–45. Retrieved from https://ejournal.iaingorontalo.ac.id/index.php/jiflaw/article/view/358

Malia, Indiana. "Sebelum BPJS Kesehatan, Ini 3 Kasus Kebocoran Data Konsumen E-commerce." IDN Times. 2021. Diakses 19 November  2024. https://www.idntimes.com/business/economy/indianamalia/selainbpjs-kesehatan-ini-3-kasus-kebocoran-data-konsumen-e-commerce.

Marzuki, Peter Mahmud. 2017. Penelitian Hukum (Edisi Revisi). Jakarta: Prenada Media Group,

Saragih, Alexandra Exelsiam Fadhil Bagaskara, Muhammad & Mulyadi. (2023). Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi E-commerce. Civilia: Jurnal Kajian Hukum Dan Pendidikan Kewarganegaraan, 2(1), 145–155. https://doi.org/10.572349/civilia.v2i2.414

Mazli, A. (2021). Urgensi Pembaharuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Indonesia Di Era ECommerce. Jurnal Lex Renaissance, 6(2). https://doi.org/10.20885/jlr.vol6.iss2.art6

Panjaitan, H. 2021. Hukum Perlindungan Konsumen: Reposisi dan Penguatan Kelembagaan Badan Penyelesaian Perselisihan Konsumen Dalam Memberikan Perlindungan dan Menjamin Keseimbangan Dengan Pelaku Usaha. Jakarta: Jala Permata Aksara

Pardede, Charles D.L., Manotari Pasu Simamora, dan Suyud Margono. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi E-commerce Nomor 8 Tahun 1999 Dalam Kasus Pembelian Produk Handphone Tidak Sesuai Dengan Pesanan Melalui E-commerce Platform Tokopedia”. Jurnal : Yure Humano 6, no. 2 (Oktober 13, 2023): 89–121. https://mputantular.ac.id/ojshukum/index.php/yurehumano/ article/view/152.

Patricia, Elyana. 2024. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam E-commerce Di Indonesia. Judicatum: Jurnal Dimensi Catra Hukum. Vol. 2 No.1. Hal. 75-90. https://doi.org/10.35326/judicatum.v2i1.5534

Poernomo, S. L. (2022). Penyuluhan Hukum Peluang Dan Tantangan E- Commerce Di Tinjau Dari Hukum Perlindungan Konsumen (UUPK) dan Undang – Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) di Siswa SMA UMI Makassar. Nobel Community Services Journal, 2(1), 12–16. https://doi.org/10.37476/ ncsj.v2i1.2868

Putra, D. S. Y. A. "Peran Regulasi Dalam Mengatur Perdagangan Online Di Indonesia: Kepatuhan, Penyelesaian Perselisihan, Dan Dampaknya Pada Bisnis Online." HUKMY: Jurnal Hukum 3, no. 2 (2023): 462–474.

Rachman, Arrijal.  Wow! Bilang transaksi Ecommerce RI di 2023 capai 453.75 T, www.cnbcindonesia.com, diakses 19 November 2024.

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. 2014.  Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada,

Suparni, Niniek. 2016. Masalah Cyberspace Problematika Hukum dan Antisipasi Pengaturannya. Jakarta: Fortune Mandiri Karya

Suwandono, A., Suparto, S., Yuanitasari, D., & Kusmayanti, H. “Review Negatif Garansi Hangus dalam ECommerce Perspektif Hukum Pelindungan Konsumen.” Al-Adl: Jurnal Hukum, vol. 16, no. 1, 2024, hlm. 84

United Nations Commission on International Trade Law. 2017. uncitral.un.org.

 

 

Untuk tindak lanjtu silahkan : klik DOWNLOAD atau hub. (WA) 081327121707 - (WA) 081327789201 terima kasih 
 

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar, hindari unsur SARA.
Terima kasih