Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Sistem Hukum di indonesia
...................1), .....................2)
1)Mahasiswa Jurusan ................. Fakultas ......................... Universitas Terbuka
2) Dosen Jurusuan .................. Fakultas .......................... Universitas Terbuka
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji peraturan perundang-undangan yang dapat melindungi anak dari kekerasan seksual di rumah, apakah terdapat ketentuan hukum yang dapat memitigasi risiko tersebut, mengkaji bukti-bukti yang disajikan dalam dokumen pengadilan, dan mengusulkan solusi untuk memenuhi tuntutan hukum tersebut. Data yang digunakan untuk penelitian kedua berasal dari beberapa sumber antara lain buku, artikel, dan internet. Teknik analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian, banyak anak menjadi korban kekerasan karena tindakan yang digunakan untuk melindungi mereka tidak efektif. Ketidakefektifan ini disebabkan oleh kebijakan dan undang-undang negara yang tidak selaras dengan kenyataan yang ada, banyaknya sistem hukum yang merugikan anak-anak, kurangnya pemahaman tentang hak-hak anak, dan semakin berkembangnya tradisi negatif yang menganggap kekejaman sebagai hal yang tidak dapat diterima. Untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut, beberapa solusi yang dapat dilakukan antara lain penguatan pendidikan dan kesadaran masyarakat, melakukan kampanye intensif, peningkatan kapasitas aparat penegak hukum, menyediakan fasilitas yang lebih memadai, memperluas akses terhadap rumah aman dan rehabilitasi psikologis sebagai upaya perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan dalam rumah tangga.
Kata Kunci : anak korban kekerasan, perlindungan hukum, sistem hukum di Indonesia.
PENDAHULUAN
Kekerasan terhadap anak bukanlah fenomena yang terjadi baru-baru ini; sebaliknya, hal ini disebabkan oleh banyaknya insiden yang tidak dilaporkan. Hal ini menjadikan tindak kekerasan terhadap anak dapat digolongkan menjadi pelanggaran tersembunyi. (hidden crime) (Sari & Herawati, 2019). Tindak kekerasan anak dapat terjadi diberbagai tempat tidak saja di dalam rumah tapi bisa terjadi di tempat-tempat lain seperti fasilitas umum atau moda transportasi. Ragam tindak kekerasan tersebut dapat dilakukan secara fisikal atau emosional (Wahyuni, 2017).
Anak merupakan kepercayaan dan hidayah diterima manusia sebagai suatu bentuk kepercayaan dari Tuhan YME untuk dirawat, dibesarkan, dipenuhi kebutuhan-kebutuhannya sehingga dapat berkembang dan bertransformasi dengan baik sehingga menjadi seorang manusia dengan harkat dan martabat yang baik. Sebagai seorang manusia maka kebutuhan dasar yaitu hak asasi manusianya harus mendapatkan pengakuan dan dijadikan pondasi bagi kemerdekaan, persamaan perlakuan dan pengakuan secara global. Diakui bahwa selama periode pertumbuhan baik secara fisikal dan metalitas seorang anak perlu mendapatkan penjagaan, pengamanan, dan perlindungan dari segi dan sisi hukum sebelum maupun setelah kelahiran (Putri & Nugraheni, 2018). Perlindungan hak-hak anak terkait langsung dengan hukum, administrasi, bisnis, dan organisasi yang menjamin perlindungan mereka. Adanya anggapan bahwa anak tidak bersalah dan tidak bertanggung jawab didasarkan pada kenyataan bahwa ada anak yang mengalami kesulitan dalam tumbuh kembangnya, baik dalam arti agama, moral, maupun sosial (Pratiwi & Hardjono, 2016).
Perlindungan yang diberikan kepada anak dapat dimanifestasi sebagai wujud perlindungan kepada hak-hak mendasar dan kemerdekaan untuk berekspresi bagi anak serta hal-hal yang terkait dengan kepentingan-kepentingan lain yang berkaitan dengan keselamatan anak tersebut (Yulia, 2015). Pelecehan terhadap anak dapat bermanifestasi sebagai kekerasan fisik atau emosional. Stress emosional adalah bentukan lain dari kondisi yang kurang berkenan bagi anak yang berada dalam lingkungan misalnya rumah tangga dan bisa mempunyai dampak negatif pada harga diri individu, seperti menimbulkan keadaan tegang melalui intimidasi, menghindari konfrontasi, dan menghindari konflik (Hamida & Setiyono, 2022). Kekerasan sangat erat kaitannya dengan kehidupan anak, karena anak dapat mengalami berbagai bentuk kekerasan, baik karena jenis kekerasan yang dialami, pelakunya, lokasi kejadian maupun sebab-sebab kekerasan tersebut (Mulia, 2014).
Pada intinya, menjamin hak-hak anak secara langsung berkaitan dengan kepatuhan terhadap undang-undang, kebijakan, upaya dan tindakan yang menjamin perlindungan anak (Ali, 2016). Pertama, perlu diingat bahwa anak merupakan kelompok rentan dan ketergantungan, baik ketidakberhasilan tumbuh kembang anak yang disebabkan beberapa faktor misalnya perkembangan mental, fisikal dan pola pikir sosialnya (Anshor, 2012).
Upaya pemerintah sebagai perwujudan perlindungan anak adalah dengan menetapkan undang-undang perlindungan anak dengan menetapkan UU No. 23 Tahun 2002. Setelah berjalan kurang lebih 12 tahun, undang-undang tersebut diperbaharui dengan menetapkan UU No. 35 Tahun 2014. Dalam UU No. 35 Tahun 2014, pada pasal 44 menjelakan kewenangan pemerintah baik pusat maupun daerah tentang kewajiban menyedian fasilitas dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan anak secara menyeluruh dengan dukungan dan partisipasi aktif dari masyarakat (Riyanto, 2017). Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut diberikan tindakan hukum. Hukuman juga telah ditetapkan sehubungan dengan masalah ini, termasuk hukuman penjara dan denda uang. (Rifai, 2018).
Berbagai kegiatan penelitian telah banyak dilakukan terutama yang berhubungan dengan masalah-masalah sistem dan penerapan model perlindungan ranah hukum pada tindak kekerasan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga seperti penelitian dari Rusmini (2021) yang menjelaskan penanganan KDRT membutuhkan pendekatan multidimensi yang melibatkan intervensi hukum, sosial, ekonomi, dan psikologis. Pemberdayaan perempuan menjadi kunci penting dalam memutus lingkaran kekerasan dan membangun kesetaraan dalam hubungan rumah tangga. Penelitian tersebut membahas tentang aspek dan jenis pemberian perlindungan secara hukum kepada korban-korban tindak kekerasan yang didominasi oleh anak berdasarkan sudut pandang kelilmuan yang khusus membahas tentang korban kejahatan, penyebabnya, dan akibat-akibatnya. Ali, M (2016) menyebutkan aspek perlindungan hukum yang diberikan adalah upaya penjaminan hak-hak seseorang sebagai pengimplementasian hak asasi manusia dalam melakukan tindakan yang terkait erat dengan kepentingannya. Mulia (2014) memberikan argumennya bahwa tujuan perlindungan hukum adalah untuk melindungi masyarakat dari hukum yang tidak menaatinya, menjamin ketaatan dan ketaatan sehingga masyarakat dapat menikmati hak dan kebebasannya sebagai manusia.
Diharapkan hasil penelitian yang dilakukan dapat menjadi unsur pembeda apabila dibandingkan dengan penelitian yang terlebih dahulu dilakukan oleh peneliti-peneliti lain. Penelitian ini mengangkat permasalahan mengenai efektivitas peraturan perundang-undangan di Indonesia khususnya pada pemberian perlindungan dari aspek hukum kepada anak-anak korban perlakuan kekerasan yang terjadi di kalangan rumah tangga. Selain itu, penelitian ini juga mengeksplorasi faktor-faktor yang memengaruhi penerapan perlindungan hukum terhadap anak-anak di lingkungan keluarga yang mendapatkan tindak kekerasan, serta solusi yang dapat diambil untuk meningkatkan perlindungan hukum bagi korban.
Merujuk pada peraturan, kebijakan, inisiatif, dan tindakan yang memberikan jamian terhadap perlindungan anak (Kobandaha, 2017). Pada dasarnya filosofi tentang perlindungan terhadap anak meliputi perlindungan terhadap anak yang tidak bisa mempertahankan dirinya sendiri, interes yang menjadi kebutuhan utama, pendekatan siklus kehidupan dan tindakan lintas sektoral. (Rifai, 2018). Ragam upaya untuk memberikan perlindungan kepada anak terdiri dari dua aspek, yaitu perlindungan terhadap hukum itu sendiri dengan cakupan bidang hukum pidana dan hukum perdata, dan perlindungan non-hukum yang mencakup jenis perlindungan pada aspek kesehatan, tingkat sosial dan taraf pendidikan.
Landasan hukum sebagai upaya perlindungan anak harus bermuara pada UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku, yaitu Perlindungan Anak sebagaimana tertulis pada UU No. 35 Tahun 2014 sebagai pembaharuan terhadap upaya perlindungan anak pada UU No. 23 Tahun 2002 dan Penghapusan kekerasan dalam keluarga pada UU No. 23 Tahun 2004 serta Perkawinan sebagaimana termaktud dalam UU No. 1 Tahun 1974 (Republik Indonesia, 2014).
Domestic violence atau KDRT atau merupakan bentuk dan jenis tindak kekerasan berdasarkan gender yang biasanya menimpa kehidupan berumah tangga. Tindak kekerasan ini terjadi karena adanya korelasi personal secara dekat dan acapkali terjadi karena pelaku terdapat hubungan kekerabatan. Contohnya suami melakukan kekerasan kepada istri, orang tua kepada anak yang menjadi buah hatinya, keponakan oleh pamannya dan cucu oleh kakek atau neneknya. Tindak kekerasan kategori ini juga sering menimpa individu yang terlibat dalam interaksi hubungan asmara, atau dialami individu-individu dengan profesi sebagai pekerja non formal dan tinggal bersama dengan orang yang melakukan tindak kekerasan tersebut.
Definis tentang KDRT sebagaimana dijelaskan pada pasal 1 UU PKDRT memberikan definisi KDRT sebagai :
… tindakan terhadap individu, khususnya perempuan yang mengakibatkan penderitaan atau kesengsaraan fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan tindakan tersebut, pemaksaan, atau perampasan kebebasan secara ilegal dalam konteks rumah tangga. (Komnas Perempuan, 2020).
Anak-anak dalam keluarga dengan riwayat mendapatkan tindak kekerasan menjadi rentan dan berpotensi mendapatkan suatu keadaan kedaruratan terkait hal-hal berikut : 1) Seorang suami menganiaya istrinya mungkin juga dapat melakukan tindakan penganiayaan terhadap anak-anaknya. 2) Wanita dengan riwayat kekerasan dari pasangannya mungkin melampiaskan kemarahan dan kekecewaannya kepada anak-anaknya. 3) Anak-anak akan berpotensi mendapatkan trauma sebagai akibat ketidaksengajaan saat berupaya melerai tindakan kekerasan dan pada saat upaya perlindungan terhadap orang tua mereka. 4) Kesulitan anak dapat mendapatkan ketenangan, kedamaian dan ungkapan kecintaan dari ayah dan ibunya. Kondisi seperti ini terjadi apabila anak-anak tersebut tidak mampu belajar tentang cara mencintai dan dicintai secara tulus oleh orang tuannya dan anak tidak dibiasakan untuk menyelesaikan permasalah dan konflik yang terjadi dengan cara yang benar (Komnas Perempuan, 2020).
Upaya penghilangan tindak kekerasan yang terjadi dalam sebuah keluarga sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 23 Tahun 2004 telah berlangsung lama sebagai upaya preventif dan kuratif terhadap para korban kekerasan dalam rumah tangga. Perlindungan terhadap kekerasan yang terjadi di lingkungan keluarga, proses peradilan pelaku kekerasan rumah tangga, dan upaya pelindungan terhadap korban kekerasan telah dijelaskan secara gamblang di UU No. 23 Tahun 2004. Berdasarkan Pasal 2 dijelaskan bahwa cakupan pasal dimaksud tidak hanya berdampak pada perempuan tetapi juga orang lain: 1) kepala keluarga, wanita yang menjadi istri kepala keluarga, dan anak-anaknya; 2) pihak-pihak lain yang terdapat pertalian persaudaraan dalam bentuk hubungan kekerabatan dekat karena pertalian darah; 3) individu yang ada hubungan tua asuh, pendidikan atau yang tinggal serumah, atau kekeluargaan; dan 4) orang-orang yang mendukung dan mendiami tangga rumah tersebut.
Konvensi PBB tentang hak anak yang diratifikasi dengan Keppres No. 36 Tahun 1990. Ratifikasi perjanjian tersebut mengharuskan pemerintah Indonesia untuk mengambil tanggung jawab penuh dalam melindungi, meningkatkan, dan meningkatkan kesehatan anak. Hal tersebut menjadikan semua anak yang ada di Indonesia memiliki keharusan menjadi seorang warga negara taat terhadap hukum yang berlaku. Perlindungan terhadap anak sebagaimana tertuang dalam UU No. 23 Tahun 2004 dijadikan acuan utama dan ketetapan kaidah-kaidah tentang upaya melindungi anak, dan diimplementasikan dalam kerangka konsolidasi ratifikasi sebagai upaya peningkatan atas pemberian dan upaya melindungi anak-anak yang berada di wilayah negara republik Indonesia melalui koridor hukum.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah metode penelitian hukum normatif yang cenderung menganalisis norma-norma hukum. Fokus penelitian berdasarkan data sekunder berupa informasi dari internet serta buku dan artikel. Metode pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui penerapan penelitian kepustakaan yang dilakukan melalui membaca, observasi, mendengarkan dan juga melalui penelitian internet (Yulianto & Fajar, 2017). Penggunaan metode deskriptif kualitatif digunakan sebagai dasar analisis data penelitian. Metode deskriptif kualitatif digunakan untuk memberikan gambaran, penjelasan terhadap suatu kejadian atau pertanda untuk ditarik menjadi suatu kesimpulan sesuai dengan inti permasalahannya. Peneliti menggunakan metode analisis bahan hukum, menerapkan pendekatan hukum normatif dan mencari peraturan serta daftar bacaan yang terkait erat denga masalah yang menjadi fokus penelitian (Mamudji & Soekanto, 2018).
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Efektivitas Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia dalam Memberikan Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Kekerasan dalam Rumahtangga
Sangat penting untuk melindungi anak hak-hak untuk memastikan bahwa anak-anak dapat terhindar menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh pihak-pihak luar yang tidak bertanggung jawab atau anggota keluarganya sendiri, baik secara diam-diam atau tidak. Bayi merupakan komponen vital masyarakat yang telah ada sejak lama. Hal tersebut menjadi sangat penting bagi semua pihak khususnya dalam pemberian kepastian terhadap keselamatan dan keamanan walaupun terdapat banyak isu terkait kekerasan orang tua terhadap anak.
Pertama, UUD 1945 merupakan kerangka hukum dasar yang menjadi perlindungan terhadap anak dari tindak kekerasan tangga rumah di mana mereka tinggal. Negara ini berkomitmen untuk melindungi dan meningkatkan kesehatan manusia. Pasal 28I ayat (5) menyatakan bentuk perlindungan dan merupakan bentuk apresiasi yang tinggi terhadap kehidupan manusia secara harfiah menjadi suatu keharusan untuk dilakukan, dipatuhi, dan diimplementasikan sesuai dengan perundang-undangan yang mengatur dan dijadikan pedoman pelaksanaannya. Hak-hak yang wajib berikan kepada anak dapat dijelaskan dengan baik, meskipun ada beberapa bagian yang membahas tentang hak-hak yang dimiliki masyarakat Indonesia sebagai individu tersendiri. Pasal 28B ayat kedua memberikan penjelasan tentang hak kehidupan, kebebasan, perkembangannya sendiri, dan perlindungan dari diskriminasi dan eksploitasi.
Kedua yaitu UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Keluarga. Semua orang di tangga rumah bisa terkena dampak negatif dari kekerasan keluarga. Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang di atas memberikan penjelasan bahwa kekerasan dalam keluarga terkait adanya tindakan yang diterimakan terhadap seseorang, dalam hal ini secara spesifik adalah perempuan yang memberikan gambaran tentang penderitaan psikis, seksual, atau fisik, serta penentaran dalam keluarga. rumah, seperti ancaman, pemaksaan, atau perampasan kebebasan yang melanggar hukum.
Ketiga adalah UU Nomor 35 Tahun 2014 yang merupakan undang-undang hasil amandemen terhadap UU No. 23 Tahun 2004. Pengelolaan terhadap bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan kepada anak dalam peraturan perundang-undangan ini secara rinci diberikan penjelasannya melalui diktum-diktum fundamental yang dituangkan dan termaktub dalam Konvensi Hak Anak tentang cakupan diktum non-diskriminasi, keutamaan harkat pribadi anak, hak hidup secara layak, mendapatkan jaminan atas kelangsungan hidup, dan hak terhadap kepastian untuk dapat hidup serta memperoleh jaminan perkembangan sesuia dengan masanya, serta memperoleh penghormatan atas pandangan anak dari segi dan aspek hukum.
Bantuan hukum yang diberikan tidak terbatas pemberian bantuan hukum semata, indentifikasi terhadap korban, proses penangkapan tindak kekerasan, pembuktian adanya tindak kekerasan, adanya jaminan perawatan medis dengan baik, serta tindakan rehabilitasi yang diberikan baik secara fisik maupun psikologis. Negara mempunyai kewajiban memberikan efek jera dengan memberikan tindakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan dan sekaligus berfungsi sebagai upaya perlindungan korban kekerasan. Setiap orang yang terlibat dan menjadi pelaku tindak kekerasan tersebut dipastikan mendapatkan vonis sesuai undang-undang karena tindak kekerasan tersebut dikategorikan menjadi sebuah tindak kejahatan pidana.
Peraturan hukum disusun secara normatif untuk memastikan perlindungan yang maksimal. Peraturan hukum di Indonesia untuk melindungi korban-korban kekerasan rumah tangga khususnya anak belum sepenuhnya efektif. Ketidakefektifan rezim ini disebabkan oleh kendala dalam menyediakan perlindungan yang menyeluruh dan efisien. Berbagai tantangan dalam penanganan perlindungan anak dari kekerasan dapat dijelaskan dari berbagai perspektif, yaitu hukum, infrastruktur, sosial, dan budaya..
2. Faktor yang memengaruhi penerapan hukum dalam kasus kekerasan terhadap anak di lingkungan rumah tangga dan solusi yang dapat diambil untuk meningkatkan perlindungan hukum bagi korban.
Undang-undang yang mengatur pengimplementasian vonis hukum korban tindak kekerasan rumah tangga memberikan landasan yang kokoh, namun dari segi efektifitas dan implementasinya dibatasi oleh berbagai faktor, seperti:
a. Instansi Penegak Hukum
Kelemahan instansi penegak hukum dalam perlindungan anak dari tindakan terkait KDRT dipicu adanya beragam faktor dan kondisi seperti faktor sistemik, institusional, dan kultural. Tidak semua aparat penegak hukum memiliki pemahaman yang cukup tentang hukum perlindungan anak dan hak-hak mereka sehigga berakibat pada proses penanganan kasus anak sering kali tidak memperhatikan prinsip terbaik untuk anak (best interests of the child). Proses penanganan hukum sering kali memakan waktu lama, yang dapat memperburuk trauma psikologis pada anak dan hal ini berakibat anak sebagai korban acap kali luput dari pengawasan sehingga tidak memperoleh jaminan terhadap adanya perlindungan maksimal pada saat proses hukum berjalan.
b. Sarana dan Prasarana
UU No. 35 Tahun 2014 sebagai bentuk revisi dari UU No. 23 Tahun 2002 bertujuan memperkuat upaya melindungi anak, termasuk dari tindakan KDRT. Namun, terdapat sejumlah kelemahan dalam aspek sarana dan prasarana hukum yang memengaruhi implementasinya. Shelter (rumah aman): Tidak semua daerah memiliki rumah aman untuk anak korban KDRT, sehingga mereka sulit mendapatkan tempat perlindungan sementara, dan tidak meratanya pusat layanan terpadu untuk mendukung korban, terutama di wilayah terpencil, banyak sarana perlindungan anak kekurangan tenaga profesional seperti konselor, psikolog, pekerja sosial, dan penegak hukum yang memahami perlindungan anak dan masih banyak daerah yang masih mengalami keterbatasan dana untuk membangun fasilitas perlindungan anak seperti rumah aman, pusat layanan terpadu, atau fasilitas rehabilitasi korban kekerasan sesuai isi pasal 44A UU No. 35 Tahun 2014 tentang sarana dan prasarana perlindungan anak yang menjadi korban kekerasan.
c. Masyarakat
UU No. 35 Tahun 2014 terkait perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 menegaskan kewajiban semua pihak dan masyarakat dalam perlindungan anak dari kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan berbagai bentuk pelanggaran hak anak. Namun, masyarakat seringkali memiliki kelemahan dalam menjalankan peran ini. Banyak masyarakat yang belum memahami hak-hak anak dan kewajiban mereka sesuai dengan undang-undang. Hal ini sering membuat pelanggaran hak anak dianggap sebagai hal biasa atau bagian dari budaya. Rendahnya akses terhadap pendidikan dan informasi terkait perlindungan anak membuat masyarakat tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk mengenali dan melaporkan kasus kekerasan atau pelanggaran hak anak. Banyak orang enggan melaporkan kasus kekerasan terhadap anak karena takut menghadapi pelaku, stigma sosial, atau ketidaktahuan tentang mekanisme pelaporan. Sebagian masyarakat cenderung menyerahkan tanggung jawab perlindungan anak sepenuhnya kepada pemerintah atau lembaga terkait tanpa merasa bahwa mereka juga memiliki peran aktif dalam hal ini. Dalam kasus-kasus tertentu, anak yang menjadi korban kekerasan sering tidak mendapatkan dukungan yang memadai dari masyarakat sekitar, seperti lingkungan tempat tinggal atau komunitas. Kemiskinan dapat mendorong praktik eksploitasi anak, seperti mempekerjakan anak di usia dini atau memanfaatkan mereka untuk membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sikap apatis terhadap masalah perlindungan anak, dengan anggapan bahwa masalah ini bukan urusan pribadi, membuat masyarakat tidak aktif dalam mencegah atau menanggapi pelanggaran hak anak. Untuk mengatasi kelemahan ini, diperlukan pendekatan holistik, termasuk peningkatan kesadaran, penguatan hukum, pendidikan yang inklusif, dan program pemberdayaan masyarakat agar lebih aktif dalam melindungi anak sesuai dengan undang-undang.
d. Kebudayaan
UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak bertujuan memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak di Indonesia dan pemberian sanksi terhadappihak yang melanggar. Namun, implementasi perlindungan anak sering kali terhambat oleh kelemahan dalam budaya masyarakat. Dalam banyak komunitas, anak perempuan sering dianggap kurang penting dibandingkan anak laki-laki. Hal ini dapat mengakibatkan diskriminasi dalam akses pendidikan, kesehatan, atau bahkan perlindungan dari kekerasan. Banyak masyarakat yang belum memahami sepenuhnya tentang kebutuhan dasar anak sebagaimana diatur dalam sistem perundang-undangan, misalnya hak atas pendidikan, kesehatan, perlindungan dari kekerasan, dan eksploitasi. Beberapa budaya masih menganggap kekerasan fisik terhadap anak (seperti memukul) sebagai bentuk disiplin yang wajar. Hal ini berlawanan dengan prinsip perlindungan anak dalam undang-undang. Banyak masyarakat lebih memilih menyelesaikan masalah kekerasan terhadap anak secara kekeluargaan daripada melibatkan pihak berwenang. Ini sering mengakibatkan pelaku lolos dari hukuman. Budaya yang memandang anak sebagai sumber penghasilan keluarga (misalnya dalam pekerjaan rumah tangga, menjadi buruh, atau bahkan pengemis) masih banyak terjadi, di masyarakat pada tingkat ekonomi rendah. Oleh karena itu, perubahan budaya menjadi langkah strategis dalam menjamin hak-hak anak terpenuhi.
Usulan solusi terhadap kendala-kendala tersebut antara lain dengan rekomendasi sebagai berikut: Penguatan pendidikan dan kesadaran masyarakat dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya kekerasan terhadap anak dan hak-haknya. Melakukan kampanye intensif mengenai hak-hak anak dan kewajiban melaporkan kasus kekerasan, khususnya di tingkat keluarga dan masyarakat. Peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dilakukan melalui pelatihan khusus tentang penanganan kasus-kasus yang menimbulkan terjadinya kekerasan rumah tangga dengan fokus melindungi anak secara khusus sebagai akibat terjadinya kekerasan rumah tangga. Melatih aparat penegak hukum dalam kepekaan terhadap korban anak dan penerapan hukum yang berorientasi pada perlindungan anak. Menyediakan fasilitas yang lebih memadai, seperti shelter yang memberikan jaminan keamaan dan layanan psikososial terhadap anak-anak terdampak kekerasan yang terjadi. Memperluas akses terhadap rumah aman dan rehabilitasi psikologis bagi anak-anak korban kekerasan, terutama di daerah terpencil, serta memperkuat kerja sama antar lembaga, koordinasi antara otoritas pemerintah, LSM, dan masyarakat. masyarakat untuk memerangi dan mencegah kekerasan. Pemerintah perlu memantau implementasi kedua undang-undang tersebut dan melakukan evaluasi rutin untuk mengidentifikasi dan mengatasi hambatan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Anak korban kekerasan mempunyai hak terhadap perlindungan diri sesuai dengan hukum. Landasan hukum pertama adalah UUD Tahun 1945. Penjaminan terhadap perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia diatur oleh UU No. 23 Tahun 2004, yang kemudian diganti dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002.
Efektifitas UU Perlindungan Anak belum berjalan dengan optimal. Masih banyaknya anak sebagai korban tindak kekerasan yang terus meningkat setiap tahunya menjadi buktinya. Kendala ketidakefektifan antara lain yaitu peran pemerintah sebagai puncak supermasi hukum tidak berjalan maksimal, peraturan dan undang-undang yang tidak sejalan dan tumpang tindih, dan masih terdapat aparat hukum yang justru melakukan tindak kekerasan semakin memperburuk keadaan. Hal ini menyebabkan kurangnya fasilitas pendukung yang mendukung perlindungan dan kesejahteraan anak. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hak-hak anak dan tradisi negatif yang ada di masyarakat kita, yaitu anggapan bahwa kekerasan adalah hal yang wajar, memang mengkhawatirkan. Banyak anggapan bahwa hukuman fisik merupakan cara terbaik dalam pendidikan untuk menjadikan anak patuh dan disiplin, juga karena kurangnya kesadaran tentang perlindungan anak.
Saran
Perlu dilakukan peningkatan kualitas dan kuantitas penegakan hukum, perluasan sumber daya dan layanan yang tersedia serta perlu ditingkatkan adanya sosialisasi tentang undang-undang yang berkaitan dengan perlindungan anak, keterlibatan masyarakat, pemerintah dan LSM dalam program advokasi untuk mendorong implementasi yang lebih efektif.
Rekomendasi yang dapat dipertimbangkan sebagai solusi terhadap kendala-kendala tersebut di atas antara lain: penguatan pendidikan dan kampanye publik, peningkatan kapasitas penegakan hukum, penyediaan fasilitas yang lebih memadai dan kerjasama antar lembaga.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. (2016). Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Aspek Hukum dan Perlindungannya. LaksBang PRESSindo.
Anshor, M. . (2012). Hukum Keluarga dan Perlindungan Anak di Indonesia. Refika Aditama.
Hamida, A., & Setiyono, J. (2022). Analisis Kritis Perlindungan Terhadap Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Kajian Perbandingan Hukum. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 4(1), 73–88.
Kobandaha, M. (2017). Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan dalam rumah tangga dalam sistem hukum di indonesia. Jurnal Hukum Unsrat, 23(8).
Komnas Perempuan. (2020). Catatan Tahunan (CATAHU) 2020. Komnas Perempuan. Komnas Perempuan.
Mamudji, S., & Soekanto, S. (2018). Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. PT. Raja Grafindo Persada.
Mulia, S. . (2014). Hukum Perlindungan Anak di Indonesia. Gramedia.
Pratiwi, D. A., & Hardjono, S. (2016). Tinjauan Yuridis Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Anak: Perspektif Perlindungan Hukum. Jurnal Lex et Societatis, 4(2), 27–36.
Putri, A. N., & Nugraheni, F. (2018). Kebijakan Pemerintah dalam Menangani Kekerasan terhadap Anak dalam Rumah Tangga di Indonesia. Jurnal Hukum dan Pembangunan, 48(2), 143–161.
Republik Indonesia. (2014). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Rifai, A. (2018). Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Implementasi dan Permasalahan. Sinar Grafika.
Riliani, S. (2021). Perlindungan Terhadap Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Indonesia. Universitas Islam Kalimantan MAB.
Riyanto, A. (2017). Perlindungan Anak di Indonesia: Tantangan dan Strategi. Airlangga University Press.
Rusmini, A. A. A. N. T. (2021). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada Masa Pandemi Covid-19 Di Kota Denpasar. Jurnal Analisis Hukum, 4(1), 89–97.
Sari, M. A., & Herawati, D. (2019). Efektivitas Penegakan Hukum Perlindungan Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jurnal Penegakan Hukum, 3(1), 99–113.
Wahyuni, D. . (2017). Implementasi Undang-Undang Perlindungan Anak dalam Kasus Kekerasan Rumah Tangga. urnal Hukum dan Keadilan, 5(1), 51–66.
Yulia, R. (2015). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 22(3), 1–14.
Yulianto, A., & Fajar, M. (2017). Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris. Pustaka Pelajar.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar, hindari unsur SARA.
Terima kasih