PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM TERHADAP TINDAKAN MALPRAKTIK TENAGA MEDIS DI RUMAH SAKIT
.............................1),
.........................2)
1)Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, FHISIP, Universitas Terbuka
2) Dosen Program Studi Ilmu Hukum, FHISIP, Universitas Terbuka
....................................., ..................................
ABSTRAK
Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji pertanggungjawaban hukum dan mengeksplorasi bentuk pertanggungjawaban hukum terhadap tindakan malpraktik tenaga medis di rumah sakit. Metode penelitian menggunakan pendekatan deskriptif analitis dengan pendekatan hukum normatif. Hasil penelitian adalah pertanggungjawaban hukum mengenai malpraktik medis di Indonesia diatur oleh UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit., UU No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan UU No.36 Tahun 2014 tentang Tenaga kesehatan dan KUHP dan KUHPer. Pertanggungjawaban hukum tenaga medis yang terbukti melakukan malpraktik dapat dikenakan tanggung jawab pidana berdasarkan KUHP (Pasal 359 dan 360) dan perdata dengan mengganti jumlah kerugian pasien. Rumah sakit sebagai tempat praktik berkewajiban memastikan bahwa standar pelayanan medis dipenuhi, dan dapat diminta pertanggungjawaban hukum jika terbukti lalai dalam pengawasan atau penyediaan fasilitas medis yang memadai. Tanggung jawab rumah sakit mencakup risiko hukum dengan tuntutan pidana dan atau perdata
Kata Kunci : pertanggungjawaban hukum, tindakan malpraktik, tenaga medis di rumah sakit
PENDAHULUAN
Sebagai penyedia layanan yang dikhususkan pada bidang kesehatan, rumah sakit berperan penting menjalankan fungsinya sebagai penjaga dan pelaksana terwujudnya peningkatan kualitas hidup masyarakat. Permenkes RI No. 3 Tahun 2020 yang mengatur klasifikasi dan perizinan rumah sakit, memberikan penjelasan bahwa rumah sakit tidak hanya berfungsi sebagai tempat pelayanan kesehatan, tetapi juga sebagai institusi pendidikan dan penelitian terkait masalah-masalah kesehatan. Dengan demikian, kewajiban yang ditanggung rumah sakit mencakup berbagai aspek yang melibatkan pelayanan medis, administrasi, dan pengelolaan sumber daya.
Pemberian pelayanan kesehatan secara aman, berkualitas sesuai standar profesi yang diberikan kepada masyarakat secara luas adalah tujuan utama pelayanan rumah sakit. Hal ini mencakup tanggung jawab menyediakan fasilitas dan peralatan medis yang memadai, memastikan ketersediaan tenaga medis yang kompeten, serta menjalankan sistem administrasi yang efisien. Penjelasan di atas mengartikan bahwa layanan yang diberikan oleh rumah sakit harus memenuhi unsur pertanggungjawaban kepada hak pasien. Salah satunya adalah mendapatkan informasi yang jelas, hak atas keselamatan selama perawatan, serta hak atas privasi data medis (Herniwati et al., 2020).
Kaitannya dengan pertanggungjawaban hukum, rumah sakit memiliki kewajiban patuh terhadap perundang-undangan yang mengatur yaitu UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Berdasar aturan tersebut maka rumah sakit berkewajiban menjalankan tugasnya berdasar prinsip legalitas dan etika kedokteran, termasuk dalam penyelenggaraan pelayanan medis darurat, program promotif dan preventif, serta pengelolaan limbah medis yang ramah lingkungan(Haryanto, 2019). Penjabaran tugas dan tanggung jawab ini menegaskan bahwa rumah sakit memiliki peran ganda, yaitu sebagai penyelenggara layanan kesehatan yang berkualitas dan sebagai entitas hukum yang bertanggung jawab atas semua aktivitas di bawah naungannya. Dalam konteks malpraktik medis, rumah sakit berkewajiban memberikan kepastian terhadap tindakan medis yang dilakukan telah memenuhi unsur dan standar kelayakan layanan dan aturan hukumnya. Dengan menjalankan tugas dan tanggung jawab ini, diharapkan kasus malpraktik dapat diminimalisasi, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap rumah sakit dapat terjaga(Gunawan, 2023).
Malpraktik medis merupakan isu yang kerap menjadi perhatian di bidang hukum kesehatan, terutama karena dampaknya yang signifikan terhadap pasien, keluarga, dan dunia medis. Tindakan malpraktik sering kali dipahami sebagai kelalaian atau kesalahan yang melibatkan pekerja medis (dokter, tenaga keperawatan dan petugas lain) sehingga berakibat pada kerugian atau bahaya bagi pasien. Kasus ini dapat terjadi di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan, termasuk rumah sakit, yang menjadi tempat utama masyarakat mendapatkan perawatan. Kondisi ini mendorong perlunya perhatian terhadap koridor dan hukum yang memayunginya sehingga penegakkan tanggung jawab secara tindakan medis sehingga rumah sakit adalah penanggung jawab utama dalam menjaga keselamatan pasien (Hutagaol et al., 2024). Dalam konteks pelayanan kesehatan, malpraktik medis dapat terjadi akibat faktor internal, seperti kelalaian tenaga medis, maupun faktor eksternal, seperti kurangnya fasilitas pendukung di rumah sakit. Hal ini menimbulkan dilema, rumah sakit tidak hanya difungsikan sebagai institusi kesehatan semata, tetapi bertanggung jawab sebagai penyedia layanan yang menjunjung tinggi standar keselamatan dan kepatuhan terhadap regulasi. Dengan demikian, pertanggungjawaban hukum terhadap tindakan malpraktik menjadi hal krusial dalam mencegah dampak buruk bagi pasien(Panggabean, 2020).
Malpraktik secara umum diartikan sebagai tindakan yang melenceng dari ketentuan standar profesi atau kelalaian menjalankan tugas profesional sehingga merugikan orang lain. Dalam konteks medis, malpraktik mengacu pada kelalaian dan kealfaan tindakan oleh tenaga medis dalam pelayanan pasien. Black’s Law Dictionary memberikan penjelasan malpraktik merupakan kegagalan profesional, baik karena kelalaian dan kealfaan yang dilakukan pada saat pelaksanaan tugas yang seharusnya dilakukan sesuai standar (Hutagaol et al., 2024).
Malpraktik medis memiliki berbagai jenis, seperti malfeasance (melaksanakan tindakan medis yang tidak seharunya dilaksanakan), misfeasance (pelaksanaan tindakan benar tetapi cara yang digunakan salah), dan nonfeasance (tidak melakukan tindakan medis yang diperlukan). Selain itu, penyebab malpraktik dapat berasal dari kurangnya kompetensi tenaga medis, sistem pelayanan rumah sakit yang buruk, atau kesalahan administratif, seperti salah diagnosa atau pemberian obat yang salah. Menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), malpraktik medis mencakup semua tindakan yang tidak memenuhi standar profesi dokter, baik disengaja maupun tidak. Penyebab utama malpraktik di rumah sakit sering kali terkait dengan komunikasi yang buruk antara dokter dan pasien, tekanan kerja tinggi, serta keterbatasan fasilitas atau sumber daya (Matippanna, 2022).
Kasus malpraktik medis sering kali memicu persoalan hukum yang rumit, terutama dalam menentukan batas tanggung jawab antara individu tenaga medis dan pihak rumah sakit. Dalam beberapa kasus, pasien atau keluarga pasien sering kali merasa tidak mendapatkan keadilan karena sulitnya pembuktian malpraktik pada ranah hukum. Hal ini perlu mendapatkan perhatian secara khusus agar terdapat pertanggungjawaban hukum yang jelas dan terperinci diperlukan sebagai bentuk perlindungan hukum secara adil bagi pasien dan pelaku medis yang terlibat.
Di Indonesia, regulasi terkait malpraktik medis telah dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 dan UU Nomor 36 Tahun 2009, serta Kitab Hukum Pidana (KUHP). Namun, implementasi aturan-aturan tersebut sering kali menghadapi tantangan, terutama dalam membuktikan unsur kesalahan atau kelalaian. Hal ini menunjukkan perlunya analisis secara komprehensif untuk membahas bentuk pertanggungjawaban hukum yang dapat dijadikan pedoman penanganan kasus di lapangan (Matippanna, 2022). Selain pertanggungjawaban hukum, pertanggungjawaban tenaga medis atas tindakan malpraktik juga menjadi persoalan penting. Pertanggungjawaban hukum ini dapat berupa tanggung jawab pidana, perdata, maupun administratif, tergantung pada jenis pelanggaran dan dampaknya. Dalam kasus malpraktik yang berat, tenaga medis dapat menghadapi ancaman pidana, seperti hukuman penjara, sedangkan dalam kasus lain, pertanggungjawaban mungkin berbentuk ganti rugi kepada pasien atau pencabutan izin praktik.
Rumah sakit sebagai institusi juga tidak terlepas dari tanggung jawab hukum. Sebagai penyelenggara layanan kesehatan, rumah sakit berkewajiban memberikan kepastian tenaga medis di bawah naungannya mematuhi standar profesi dan etika. Jika ditemukan adanya kelalaian sistemik, rumah sakit dapat dimintai pertanggungjawaban hukum, baik secara perdata maupun administratif. Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana pertanggungjawaban hukum membagi tanggung jawab antara individu dan institusi dalam kasus malpraktik. Pertanggungjawaban hukum dalam kasus malpraktik medis dapat dikenakan kepada tenaga medis secara individu, institusi layanan kesehatan, atau pihak lain yang terlibat. Ranah hukum pidana memberikan penjelasan tenaga medis dimintai pertanggungjawaban jika terbukti melakukan kelalaian yang mengakibatkan kematian atau kerugian serius bagi pasien. Misalnya, seorang dokter yang memberikan obat dengan dosis salah hingga menyebabkan kematian pasien dapat dikenai Pasal 359 KUHP.
Secara perdata, pasien atau keluarga pasien berhak melayangkan gugatan dalam bentuk kompensasi membayar ganti rugi terhadap dokter atau rumah sakit bersangkutan. Gugatan ini sering kali didasarkan pada kelalaian atau ketidaksesuaian dengan perjanjian pelayanan kesehatan. Dalam hukum administratif, tenaga medis yang terbukti melanggar standar profesi dapat dikenakan sanksi seperti pencabutan izin praktik oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI)(Yunanto & Helmi, 2024). Isu ini semakin relevan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat tentang hak-hak pasien. Pasien kini lebih berani menuntut hak mereka jika merasa dirugikan oleh tindakan medis tidak memenuhi standarisasi layanan. Dalam beberapa perkara pasien bahkan membawa perkara malpraktik ke ranah pengadilan, yang kemudian menjadi perhatian publik dan mendorong reformasi dalam sistem hukum kesehatan.
Pendekatan hukum terhadap malpraktik medis tidak hanya bertujuan untuk memberikan keadilan bagi pasien, tetapi juga untuk menjaga kredibilitas profesi medis dan rumah sakit. Dengan adanya aturan yang jelas, tenaga medis dapat melaksanakan tugasnya dengan lebih hati-hati, sementara pasien merasa lebih terlindungi. Hal ini juga mendukung terciptanya iklim kepercayaan antara masyarakat dan penyedia layanan kesehatan(Suhendi et al., 2022). Namun, di sisi lain, tekanan terhadap tenaga medis akibat ancaman hukum dapat menimbulkan efek negatif, seperti defensive medicine, di mana dokter cenderung mengambil langkah yang lebih aman secara hukum, meskipun tidak selalu yang terbaik bagi pasien. Oleh karena itu, pertanggungjawaban hukum harus mempertimbangkan keseimbangan antara melindungi hak pasien dan mendukung profesionalisme tenaga medis(Tarigan et al., 2021).
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kasus malpraktik medis di Indonesia masih sering diwarnai oleh ketidakjelasan dalam pembuktian di pengadilan. Studi oleh Koto dan Asmadi(2021) menemukan bahwa salah satu kendala terbesar dalam penyelesaian kasus malpraktik adalah kurangnya pemahaman pasien tentang hak-haknya, serta rendahnya akses terhadap layanan hukum. Hal ini menyebabkan banyak kasus malpraktik tidak dilaporkan atau diselesaikan di luar pengadilan. Penelitian dari Saeng et al.,(2023) menyimpulkan pertanggungjawaban pidana rumah sakit atas perbuatan menyimpang berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan diatur dalam Pasal 447 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Diatur bidang kesehatan pada tahun 2023. Pertanggungjawaban pidana rumah sakit atas malpraktik medik dapat dilihat berdasarkan kedudukan pimpinan (rumah sakit) yang sebagai pejabat publik harus mampu mencegah dan menghentikan kejahatan tersebut. Secara hukum dan sebenarnya, kepala rumah sakit mempunyai kekuasaan yang cukup untuk mencegah tindakan tersebut. Pertanggungjawaban pidana rumah sakit atas tindakan yang salah sejalan dengan doktrin pertanggungjawaban perwakilan.
Selaras dengan uraian di atas, pembahasan pada penelitian ini terfokus pada permasalahan terkait bagaimana bentuk pertanggungjawaban hukum tindakan tindakan malpraktik dan bagaimana pertanggungjawaban hukum terhadap tindakan malpraktik di rumah sakit. Sedangkan tujuannya untuk mengkaji pertanggungjawaban hukum tindakan malpraktik serta mengeksplorasi bentuk pertanggungjawaban hukum yang dapat diterapkan. Dengan analisis ini, diharapkan dapat ditemukan solusi yang tidak hanya memberikan keadilan bagi pasien, tetapi juga mendukung terciptanya sistem pelayanan kesehatan yang lebih baik di Indonesia.
METODE PENELITIAN
Penelitian memakai desain penelitian yuridis-normatif berlandaskan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan kasus (case approach). Penelitian menyoroti tanggung jawab hukum sering menggunakan pendekatan normatif atau doktrinal (Soekanto & Mamudji, 2020). Metode ini menganalisis sumber hukum primer (undang-undang dan peraturan) dan sekunder (literatur, jurnal hukum, dan dokumen hukum lainnya).Pendekatan yuridis-normatif digunakan untuk menganalisis aturan hukum yang relevan, seperti UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, serta peraturan terkait tanggung jawab tenaga medis. Pendekatan kasus dilakukan dengan menganalisis studi kasus tindakan malpraktik yang pernah diselesaikan melalui pengadilan atau mediasi di Indonesia. Penelitian ini juga melibatkan wawancara mendalam dengan ahli hukum kesehatan, praktisi medis, dan pasien sebagai informan untuk memperkaya perspektif empiris.
Pengumpulan data menggunakan teknik kepustakaan. Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data dari dokumen hukum dan literatur yang relevan(Sovia et al., 2022). Analisis dilakukan secara deduktif, dimulai dengan pengajuan premis mayor dari undang-undang atau teori hukum, kemudian diturunkan menjadi premis minor yang terkait dengan kasus spesifik, seperti malpraktik medis. Proses ini menghasilkan kesimpulan yang bersifat preskriptif, yang bertujuan memberikan rekomendasi hukum.
Analisis data kualitatif, seperti reduksi dan kategorisasi, umum digunakan. Peneliti mengorganisasi data berdasarkan tema, seperti unsur-unsur malpraktik (kelalaian, pelanggaran standar pelayanan, dan hubungan kausal dengan kerugian pasien). Pendekatan ini membantu dalam memahami dimensi hukum pidana, perdata, dan administrasi dari malpraktik (Sovia et al., 2022).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertanggungjawaban hukum Malpraktik Medis di Rumah Sakit
Rumah sakit merupakan sarana layanan kesehatan yang menyediakan berbagai pelayanan medis yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan pasien. Selain menyediakan layanan medis, tempat ini juga berfungsi sebagai tempat pelatihan bagi para profesional kesehatan yang bercita-cita tinggi, seperti mahasiswa kedokteran, keperawatan, dan farmasi. Selain itu, rumah sakit sering kali menjadi pusat penelitian tempat penelitian dilakukan untuk meningkatkan praktik medis dan mengembangkan pengobatan baru. Kerangka hukum yang mengatur adalah UU No. 44 Tahun 2009. Menurut Pasal 1 ayat (1), rumah sakit digambarkan sebagai suatu institusi pelayanan kesehatan menyeluruh terkait kegiatan pelayanan kesehatan perseorangan, menyelenggarakan pelayanan rawat inap, konsultasi rawat jalan, dan pelayanan kedarutanan. Hakikat dan sasaran rumah sakit dalam Pasal 2 dan 3 menyatakan bahwa rumah sakit didirikan berdasarkan asas Pancasila dan berlandaskan nilai kemanusiaan, etika dan profesionalisme, pemerataan, kesamaan hak, dan perjuangan melawan penyakit, kesamarataan distribusi, melindungi dan menjaga keselamtan pasien, serta aspek sosial yang melingkupinya (Koto & Asmadi, 2021).
Tindakan malpraktik medis di Indonesia diatur oleh sejumlah peraturan pada UU No. 29 Tahun 2004, pada pasal 66 UU tersebut menyatakan bahwa tenaga medis, termasuk dokter, wajib memberikan layanan kesehatan berdasarkan standar profesi yang berlaku. Pengingkaran kewajiban, seperti ketidakpatuhan terhadap prosedur medis atau kelalaian dalam memberikan perawatan, dapat berujung pada tindakan malpraktik. Dalam praktiknya, malpraktik dapat berupa kesalahan dalam diagnosis, pengobatan, atau prosedur medis yang mengakibatkan kerugian pada pasien. UU ini juga mengatur tentang Majelis Kehormatan Etik Kedokteran yang berfungsi untuk menangani pelanggaran kode etik medis, sementara UU UU No. 44/2009 menetapkan kewajiban terkait terlaksanakan layanan yang sesuai standar. Penerapan aturan ini di rumah sakit seringkali menghadapi tantangan, terutama dalam kasus malpraktik yang melibatkan sejumlah pihak, seperti tenaga medis, rumah sakit, dan pasien.
Pemerintah telah mengeluarkan beberapa ketentuan hukum mengenai malpraktik kedokteran, namun beberapa ketentuan tersebut belum secara gamblang memberikan penjelasan terkait tindakan dengan malpraktik kedokteran. Mengenai ketentuan hukum yang berkaitan dengan malpraktik medik, perlu disebutkan bahwa peraturan ini dibuat untuk mengatur praktik kedokteran dan menjamin keselamatan pasien. Ketentuan ini bertujuan untuk mendefinisikan tanggung jawab profesional kesehatan, standar yang harus dihormati dalam hal pelayanan dan prosedur yang harus diikuti jika terjadi kesalahan medis. Tujuan mereka memberikan perlingdungai hak-hak pasien dan menjamin
Derajat dan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan diatur dalam UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, UU No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. UU No.36 Tahun 2014 tentang Tenaga kesehatan, dan KUHP dan KUHPerdata (Koto & Asmadi, 2021).
Hasil penelitian Daeng et al., (2023), memberikan penjelasan pengaturan terkait layanan kesehatan bertujuan untuk melindungi pasien dari kerugian akibat malpraktik serta memberi sanksi kepada tenaga medis yang melakukan pelanggaran. Akan tetapi, praktik penerapannya masih memiliki beberapa kelemahan dalam hal bukti yang dibutuhkan, mengingat sebagian besar bukti dalam kasus malpraktik berupa bukti medis yang sulit untuk didapatkan.
Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Malpraktik
Dalam hal tanggung jawab hukum, penting untuk dicatat sebagai pelaksana layanan kesehatan, rumah sakit mempunyai kewajiban dan tanggung jawab atas kelalai tindakan yang dilakukan oleh tenaga medis yang menjadi tanggung jawabnya. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum pertanggungjawaban perwakilan, yang menetapkan bahwa pemberi kerja diberikan beban tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan pekerjanya selama masa kerja. Seiring perkembangannya, Doktrin Vicarious Liability telah terbagi menjadi dua cabang berbeda: Doktrin Respondeat Superior dan Doktrin Opsensible at the Apparent Agency. Doktrin yang mengatur pertanggungjawaban secara perwakilan, yang dikenal sebagai Respondeat Superior, menetapkan bahwa bentuk pertanggungjawaban rumah sakit terbatas pada tindakan yang diambil dokter terhadap pasiennya.
Doktrin Ostensible atau Apparent Agency adalah sebuah konsep hukum yang memperluas tanggung jawab sebuah rumah sakit pada para dokter yang berkerja di dalam atau di luar rumah sakit. Dengan kata lain, rumah sakit dapat dianggap bertanggung jawab atas tindakan dokter-dokternya meskipun mereka bukan karyawan tetap rumah sakit tersebut. Dalam praktik hukum, doktrin Respondeat Superior sering digunakan lawyer yang mewakili sebagai strategi pembelaan kepentingan rumah sakit tersebut dan sebagai salah satu cara pembatasan tingkat pertanggungjawaban yang mungkin timbul dalam suatu kasus hukum. Doktrin ini menegaskan bahwa suatu entitas hukum, seperti rumah sakit, dapat dianggap memiliki tanggung jawab terhadap tindakan karyawan selama tindakan tersebut dilakukan dalam lingkup pekerjaan resmi mereka. Doktrin Nyata, juga dikenal sebagai Apparent Agency, adalah teori hukum yang sering digunakan oleh pengacara pasien untuk memperluas cakupan pertanggungjawaban hukum rumah sakit. Doktrin ini didasarkan prinsip rumah sakit bertanggung jawab atas tindakan para profesional kesehatan yang tidak dipekerjakan secara langsung oleh perusahaan tersebut, namun mempunyai hubungan dengan rumah sakit sedemikian rupa sehingga pasien dapat secara sah percaya bahwa mereka bertindak atas nama rumah sakit. (Gunawan, 2023).
Hukum Indonesia memberikan pertanggungjawaban pidana dan perdata terhadap tindakan malpraktik medis. Tanggung jawab pidana dapat dikenakan berdasarkan Pasal 359 KUHP terkait kelalaian yang menyebabkan kematian, dan Pasal 360 KUHP, berhubungan kelalaian yang menyebabkan luka. Selain itu, UU Praktik Kedokteran juga memberikan sanksi administratif tenaga medis yang terbukti terlibat kasus malpraktik. Tanggung jawab perdata, di sisi lain, berkaitan ganti rugi atas kerugian pasien sebagai konsekuensi kesalaha tindakan medis. Rumah sakit memiliki tanggung jawab memberikan layanan sesuai dengan standar berlaku, dan jika terbukti gagal memenuhi standar tersebut, rumah sakit dapat dimintai pertanggungjawaban hukum.
Salah satu usulan kebijakan untuk menyelesaikan kasus kelalaian medis di Indonesia adalah penggunaan model penyelesaian perselisihan medis melalui badan khusus Lembaga Penyelesaian Sengketa Medik. Lembaga ini adalah bentukan lembaga khusus menyelesaikan sengketa kedokteran. Lembaga ini memainkan peran penting dalam menyelesaikan konflik terkait praktik medis dengan menawarkan kerangka kerja khusus dan prosedur yang disesuaikan untuk menangani situasi sulit ini. Prosedur dan mekanisme sidang berlangsung cepat, akurat dan ekonomis, sehingga memastikan keadilan yang efektif dan dapat diakses oleh semua pihak tanpa menimbulkan biaya besar bagi pihak-pihak yang terlibat. Lembaga ini suatu inisiatif dengan tujuan untuk menangani secara serius dan khusus tentang permasalahan terkait dengan sengketa medik. Hal ini menjadi solusi bagi penyelesaian sengketa medik yang seringkali tidak memuaskan bagi masyarakat atau pasien, terutama ketika kasus tersebut harus diselesaikan melalui proses peradilan umum. Dalam banyak kasus, sulit untuk menghukum seorang dokter dan seringkali terdapat dugaan bahwa mereka bersekongkol dengan IDI untuk melindungi rekan seprofesinya.
Dalam beberapa kasus, seperti yang tercatat dalam jurnal penelitian Hutagaol et al., (2024), memjelaskan rumah sakit mempunyai kewajiban dalam pertanggungjawaban malpraktik tenaga medis apabila terjadi kelalaian dalam pengawasan atau ketidakpatuhan terhadap prosedur. Oleh karena itu, rumah sakit juga berperan dalam menanggung risiko hukum yang timbul akibat tindakan malpraktik medis, baik secara pidana maupun perdata.
Kasus Malpraktik di Rumah Sakit
Di Indonesia, masih banyak tempat yang kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan rumah sakit masih dinilai kurang memuaskan. Situasi seperti ini tidak bisa dibiarkan terlalu lama. Penting untuk menemukan cara untuk memperbaikinya, mungkin dengan menetapkan norma dan standar. Saat ini pelayanan kesehatan oleh rumah sakit kota besar di Indonesia, memberikan bukti adanya kesenjangan sosial mencolok. Perbedaan-perbedaan ini terlihat khususnya dalam akses terhadap layanan kesehatan, kualitas layanan yang ditawarkan, serta sumber daya medis yang tersedia untuk berbagai kategori masyarakat. Bagi masyarakat yang mampu, terdapat rumah sakit atau klinik swasta yang menawarkan layanan khusus dengan harga yang tidak terjangkau oleh sebagian besar penduduk. Hak atas layanan eksklusif dan unggul merupakan keistimewaan yang mereka peroleh..
Sebaliknya, bagi masyarakat yang kurang beruntung, akses terhadap layanan kesehatan yang memadai seringkali terbatas atau bahkan tidak manusiawi, sehingga dapat meningkatkan penderitaan. Dalam kondisi seperti ini, risiko terjadinya kasus kelalaian medis menjadi lebih tinggi. Di Indonesia, patut dicatat bahwa terdapat banyak kasus kontroversial di bidang medis, ada yang dibawa ke pengadilan dan ada pula yang diselesaikan di luar sistem pengadilan. Di antara banyaknya kasus yang ada, sulit untuk menentukan jumlah kasus yang tidak dibawa ke pengadilan, khususnya di bidang medis dimana kasus-kasus tersebut rumit dan seringkali tidak diketahui. Selain itu, pasien sebagai korban tidak selalu menyadari bahwa gangguan kesehatan yang dialaminya mungkin disebabkan oleh kesalahan diagnosis atau pengobatan yang dilakukan dokter, dan mereka berhak mengambil tindakan hukum.
Terdapat beberapa kasus malpraktik yang berhasil diproses secara hukum, baik di tingkat pidana maupun perdata. Salah satu contohnya adalah kasus malpraktik yang terjadi di rumah sakit ternama, di mana seorang pasien meninggal setelah menjalani prosedur operasi yang seharusnya tidak dilakukan pada kondisi medis pasien tersebut. Dalam kasus ini, pihak keluarga pasien menggugat rumah sakit dan tenaga medis yang terlibat di pengadilan perdata untuk mendapatkan ganti rugi. Proses hukum ini melibatkan analisis terhadap prosedur medis yang dilakukan, bukti yang ada, dan standar medis yang berlaku pada saat itu. Meskipun rumah sakit memiliki kewajiban untuk menjaga keamanan pasien, sering kali ditemukan kesulitan dalam membuktikan kelalaian yang dilakukan oleh tenaga medis, karena berbagai faktor, termasuk kurangnya dokumentasi medis yang lengkap.
Sebagai contoh, kita dapat menyebutkan kasus di Mahkamah Agung dengan nomor berkas 365.K/Pid/2012 tentang kegiatan malpraktik tenaga medis yang berujung persidangan. Pada kasus di tersebut dokter dianggap melakukan kelalaian yang berujung pada kematian pasien. Perbuatan malpraktik tenaga kesehatan, baik malpraktik medik maupun malpraktik di bidang kedokteran, akan menentukan pertanggungjawaban dibebankan kepada siapa. Tanggung jawab ini mungkin terletak pada fasilitas kesehatan, profesional kesehatan itu sendiri, atau pihak lain yang terlibat dalam pelayanan yang diberikan. Kualitas penyelesaian kebijakan yang diambil pejabat pemerintah karena pengaruh berbagai aspek kepribadian pejabat publik. Aspek-aspek tersebut dapat mencakup tingkat profesionalisme, etos kerja, kemampuan mengambil keputusan yang etis dan efektif, serta komitmen terhadap pelayanan publik. Semua ini membantu membentuk cara pegawai negeri menjalankan tugasnya dan berinteraksi dengan warga negara, yang berdampak langsung pada kualitas layanan publik yang diberikan. Namun, mereka selamanya tidak bisa terlepas dari pertanggungjawaban resmi yang selamanya menjadi tanggung jawab mereka. Saat mendelegasikan wewenang kepada pejabat pemerintah, penting juga untuk menyediakan waktu khusus bagi pejabat tersebut untuk mempertanggungjawabkan cara mereka melaksanakan tanggung jawabnya. (Koto & Asmadi, 2021).
Menurut penelitian dari Haryanto(2019) dalam proses pengadilan, bukti utama yang digunakan adalah rekam medis dan keterangan ahli. Namun, dalam beberapa kasus, bukti tersebut tidak cukup kuat untuk membuktikan adanya malpraktik, terutama apabila ada ketidaksesuaian antara standar medis yang berlaku dan tindakan yang dilakukan oleh tenaga medis.
Hambatan dalam Penegakan Hukum
Penerapan hukum terhadap malpraktik medis seringkali terkendala oleh beberapa hambatan signifikan. Salah satunya adalah kesulitan dalam memperoleh bukti yang valid dan meyakinkan, terutama dalam kasus malpraktik medis yang melibatkan prosedur medis kompleks. Bukti utama dalam kasus malpraktik adalah rekam medis, namun banyak rumah sakit yang tidak memiliki dokumentasi yang lengkap atau jelas, yang membuatnya sulit untuk membuktikan kelalaian medis. Penelitian oleh Suhendi et al.,(2022) memberikan masukkan salah satu hambatan utama adalah ketidaktahuan pasien terhadap hak-haknya, yang mengurangi kesadaran akan kemungkinan adanya malpraktik. Banyak pasien yang tidak memahami pentingnya melaporkan pelanggaran yang terjadi atau bahkan tidak mengetahui prosedur hukum yang harus diikuti untuk menuntut pertanggungjawaban.
Selain itu, birokrasi hukum yang rumit dan biaya hukum yang tinggi juga menjadi kendala bagi banyak pasien yang ingin menuntut tenaga medis atau rumah sakit yang diduga melakukan malpraktik. Hal ini seringkali membuat proses penegakan hukum berjalan lambat dan tidak efektif. Hambatan-hambatan ini perlu diatasi dengan meningkatkan pemahaman hukum bagi masyarakat, memperbaiki sistem dokumentasi medis, dan memperkuat mekanisme pengawasan terhadap tenaga medis dan pihak rumah sakit sebagai pengelola layanan kesehatan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Bersumber hasil penelitian teridentifikasi dua pokok masalah yang dibahas dalam rumusan masalah. Bidang-bidang ini di satu sisi menyangkut peraturan hukum terkait tindakan malpraktik di fasilitas kesehatan, dan di sisi lain tanggung jawab hukum yang timbul dari tindakan tersebut. Pelaksanaan di Indonesia, dasar hukum mengenai kelalaian medis diatur dalam tu Undang-undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009, Undang-Undang Rumah Sakit No. 44 Tahun 2009, dan Undang-Undang No.°29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Undang-undang ini menetapkan tanggung jawab dan standar yang harus dihormati di bidang kesehatan terkait dengan praktik medis dan pengoperasian rumah sakit. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Profesi Kesehatan serta KUHP dan KUH Perdata.
Tindakan malpraktik dapat melibatkan kelalaian atau kesalahan dalam prosedur medis yang merugikan pasien. Dalam hal ini, UU Praktik Kedokteran mewajibkan tenaga medis untuk mematuhi standar profesi yang berlaku, sementara UU Rumah Sakit juga mengatur tanggung jawab rumah sakit dalam menyediakan pelayanan medis yang sesuai standar. Kendati demikian, penerapan aturan ini dalam praktik sering kali terhambat oleh masalah bukti, seperti ketidaklengkapan rekam medis, serta tantangan dalam membuktikan adanya kelalaian dalam tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga medis.
Dalam hal pertanggungjawaban hukum, tenaga medis yang terbukti melakukan malpraktik dapat dikenakan tanggung jawab pidana berdasarkan KUHP (Pasal 359 dan 360) dan tanggung jawab perdata untuk mengganti kerugian yang dialami pasien. Rumah sakit sebagai tempat praktik juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa standar pelayanan medis dipenuhi, dan dapat diminta pertanggungjawaban hukum jika terbukti lalai dalam pengawasan atau penyediaan fasilitas medis yang memadai. Tanggung jawab rumah sakit mencakup risiko hukum baik secara pidana maupun perdata, terutama ketika terjadi kelalaian dalam menyediakan pelayanan medis yang sesuai standar.
Berdasarkan hasil analisis di atas, terdapat beberapa saran yang perlu dipertimbangkan untuk memperbaiki pertanggungjawaban hukum dan penegakan hukum terkait malpraktik medis di rumah sakit:
1. Peningkatan Pengawasan terhadap Rumah Sakit dan Tenaga Medis. Untuk mencegah malpraktik, perlu ada pengawasan yang lebih ketat terhadap praktik medis, terutama dalam hal kepatuhan terhadap standar prosedur operasional dan penggunaan rekam medis yang lengkap. Rumah sakit harus lebih meningkatkan sistem audit internal untuk memastikan bahwa setiap tindakan medis dilakukan sesuai dengan standar yang berlaku.
2. Sosialisasi Hak Pasien. Banyak pasien yang tidak mengetahui hak-hak mereka terkait malpraktik medis. Oleh karena itu, perlu ada program sosialisasi yang lebih intensif mengenai hak-hak pasien, termasuk hak untuk menggugat apabila terjadi malpraktik. Dengan demikian, pasien dapat lebih aktif dalam melaporkan kejadian yang merugikan mereka.
3. Peningkatan Sistem Dokumentasi. Salah satu hambatan dalam penegakan hukum adalah kurangnya bukti, terutama karena ketidaklengkapan rekam medis. Oleh karena itu, penting untuk menerapkan sistem dokumentasi medis yang lebih terorganisir dan transparan, serta memastikan bahwa semua tindakan medis tercatat dengan baik untuk mendukung proses hukum yang lebih jelas.
4. Penyederhanaan Proses Hukum. Proses hukum yang rumit dan biaya yang tinggi seringkali menjadi hambatan bagi pasien dalam menuntut keadilan. Oleh karena itu, perlu ada upaya penyederhanaan proses hukum, serta pengurangan biaya hukum untuk mempermudah akses bagi pasien yang ingin menuntut ganti rugi atau keadilan terkait malpraktik medis.
DAFTAR PUSTAKA
Daeng, Y., Ningsih, N., Khairul, F., Winarsih, S., & Zulaida, Z. (2023). Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit dan Tenaga Medis Di Atas Tindakan Malpraktik Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan. INNOVATIVE: Journal Of Social Science Research, 3(6), 3453–3461.
Gunawan, S. (2023). Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Terhadap Malpraktik Pelayanan Perawat Yang Mengakibatkan Kerugian Pasien Di Hubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Universitas Komputer Indonesia.
Haryanto, N. D. (2019). Tanggung Gugat Rumah Sakit terhadap Kerugian yang Diderita oleh Pasien Akibat Tindakan Tenaga Medis dalam Perjanjian Terapeutik.
Herniwati, R. A. S., Kusumaningrum, A. E., Muntasir, L. K., Yustina, E. W., Harefa, S., Sulaiman, A. A., Atikah, I., & Alwy, S. (2020). Etika Profesi dan Hukum Kesehatan (Vol. 3). Penerbit Widina.
Hutagaol, R., Harjono, D. K., & Panjaitan, H. (2024). Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Malpraktik Yang Dilakukan Tenaga Medis Dalam Persfektif Hukum Perdata. Jurnal Hukum to-ra: Hukum Untuk Mengatur dan Melindungi Masyarakat, 10(2), 359–371.
Koto, I., & Asmadi, E. (2021). Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Tindakan Malpraktik Tenaga Medis di Rumah Sakit. Volksgeist: Jurnal Ilmu Hukum dan Konstitusi, 181–192.
Matippanna, A. (2022). Hukum Kesehatan: Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan. AMERTA MEDIA.
Panggabean, H. (2020). Buku Ajar Etika Dan Hukum Kesehatan.
Soekanto, S., & Mamudji, S. (2020). Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Pt Rajagrafindo Persada, 2003. Website: https://ejournal3. undip. ac. id/index. php/dlr.
Sovia, S. N., Hasbullah, A. R., Mustakim, A. A., Setiawan, M. A. R., Rais, P., & Rizal, M. C. (2022). Ragam Metode Penelitian Hukum. Kediri: Lembaga Studi Hukum Pidana.
Suhendi, A., Mohas, M., & Muin, F. (2022). Perlindungan Hukum Pidana Terhadap Korban Malpraktik Medik. Jurnal Kewarganegaraan, 6(2), 4758–4764.
Tarigan, R. V., Ekaputra, M., & Siregar, M. (2021). Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit Terhadap Malpraktik Medik Di Rumah Sakit. Iuris Studia: Jurnal Kajian Hukum, 2(1), 106–114.
Yunanto, A., & Helmi, S. H. (2024). Hukum Pidana Malpraktik Medik, Tinjauan dan Perspektif Medikolegal. Penerbit Andi.