Menerima Pembuatan TESIS-SKRIPSI-PKP UT, Silahkan Baca Cara Pemesanan di bawah ini

Lencana Facebook

banner image

Rabu, 12 Februari 2025

KARIL UNIVERSITAS TERBUKA : PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM TERHADAP TINDAKAN MALPRAKTIK TENAGA MEDIS DI RUMAH SAKIT

 

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM TERHADAP TINDAKAN MALPRAKTIK TENAGA MEDIS DI RUMAH SAKIT

 

 

.............................1),

.........................2)

1)Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, FHISIP,  Universitas Terbuka

2) Dosen Program Studi Ilmu Hukum, FHISIP, Universitas Terbuka

....................................., ..................................

 

ABSTRAK

Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji pertanggungjawaban hukum dan mengeksplorasi bentuk pertanggungjawaban hukum terhadap tindakan malpraktik tenaga medis di rumah sakit. Metode penelitian menggunakan pendekatan deskriptif analitis dengan pendekatan hukum normatif. Hasil penelitian adalah pertanggungjawaban hukum mengenai malpraktik medis di Indonesia diatur oleh UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit., UU No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan UU No.36 Tahun 2014 tentang Tenaga kesehatan dan KUHP dan KUHPer. Pertanggungjawaban hukum tenaga medis yang terbukti melakukan malpraktik dapat dikenakan tanggung jawab pidana berdasarkan KUHP (Pasal 359 dan 360) dan perdata dengan mengganti jumlah kerugian pasien. Rumah sakit sebagai tempat praktik berkewajiban  memastikan bahwa standar pelayanan medis dipenuhi, dan dapat diminta pertanggungjawaban hukum jika terbukti lalai dalam pengawasan atau penyediaan fasilitas medis yang memadai. Tanggung jawab rumah sakit mencakup risiko hukum dengan tuntutan pidana dan atau perdata

 

Kata Kunci : pertanggungjawaban hukum, tindakan malpraktik, tenaga medis di rumah sakit

 

 

PENDAHULUAN

Sebagai penyedia layanan yang dikhususkan pada bidang kesehatan, rumah sakit berperan penting menjalankan fungsinya sebagai penjaga dan pelaksana terwujudnya peningkatan kualitas hidup masyarakat. Permenkes RI No. 3 Tahun 2020 yang mengatur klasifikasi dan perizinan rumah sakit, memberikan penjelasan bahwa rumah sakit tidak hanya berfungsi sebagai tempat pelayanan kesehatan, tetapi juga sebagai institusi pendidikan dan penelitian terkait masalah-masalah kesehatan. Dengan demikian, kewajiban yang ditanggung  rumah sakit mencakup berbagai aspek yang melibatkan pelayanan medis, administrasi, dan pengelolaan sumber daya.

Pemberian pelayanan kesehatan secara aman, berkualitas sesuai  standar profesi yang diberikan kepada masyarakat secara luas adalah tujuan utama pelayanan rumah sakit. Hal ini mencakup tanggung jawab menyediakan fasilitas dan peralatan medis yang memadai, memastikan ketersediaan tenaga medis yang kompeten, serta menjalankan sistem administrasi yang efisien. Penjelasan di atas mengartikan bahwa layanan yang diberikan oleh rumah sakit harus memenuhi unsur pertanggungjawaban kepada hak pasien. Salah satunya adalah  mendapatkan informasi yang jelas, hak atas keselamatan selama perawatan, serta hak atas privasi data medis (Herniwati et al., 2020).

Kaitannya dengan pertanggungjawaban hukum, rumah sakit memiliki kewajiban patuh terhadap perundang-undangan yang mengatur yaitu UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.  Berdasar aturan tersebut maka rumah sakit berkewajiban menjalankan tugasnya berdasar prinsip legalitas dan etika kedokteran, termasuk dalam penyelenggaraan pelayanan medis darurat, program promotif dan preventif, serta pengelolaan limbah medis yang ramah lingkungan(Haryanto, 2019). Penjabaran tugas dan tanggung jawab ini menegaskan bahwa rumah sakit memiliki peran ganda, yaitu sebagai penyelenggara layanan kesehatan yang berkualitas dan sebagai entitas hukum yang bertanggung jawab atas semua aktivitas di bawah naungannya. Dalam konteks malpraktik medis, rumah sakit berkewajiban memberikan kepastian terhadap tindakan medis yang dilakukan telah memenuhi unsur dan standar kelayakan layanan dan aturan hukumnya. Dengan menjalankan tugas dan tanggung jawab ini, diharapkan kasus malpraktik dapat diminimalisasi, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap rumah sakit dapat terjaga(Gunawan, 2023).

Malpraktik medis merupakan  isu yang kerap menjadi perhatian di bidang hukum kesehatan, terutama karena dampaknya yang signifikan terhadap pasien, keluarga, dan dunia medis. Tindakan malpraktik sering kali dipahami sebagai kelalaian atau kesalahan yang melibatkan pekerja medis (dokter, tenaga keperawatan dan petugas lain) sehingga berakibat pada kerugian atau bahaya bagi pasien. Kasus ini dapat terjadi di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan, termasuk rumah sakit, yang menjadi tempat utama masyarakat mendapatkan perawatan. Kondisi ini mendorong perlunya perhatian terhadap koridor dan hukum yang memayunginya sehingga penegakkan tanggung jawab secara tindakan medis sehingga  rumah sakit adalah penanggung jawab utama dalam menjaga keselamatan pasien (Hutagaol et al., 2024). Dalam konteks pelayanan kesehatan, malpraktik medis dapat terjadi akibat faktor internal, seperti kelalaian tenaga medis, maupun faktor eksternal, seperti kurangnya fasilitas pendukung di rumah sakit. Hal ini menimbulkan dilema, rumah sakit tidak hanya difungsikan sebagai institusi kesehatan semata, tetapi bertanggung jawab sebagai penyedia layanan yang menjunjung tinggi standar keselamatan dan kepatuhan terhadap regulasi. Dengan demikian, pertanggungjawaban hukum terhadap tindakan malpraktik menjadi hal krusial dalam mencegah dampak buruk bagi pasien(Panggabean, 2020).

Malpraktik secara umum diartikan sebagai tindakan yang melenceng dari ketentuan standar profesi atau kelalaian menjalankan tugas profesional sehingga merugikan orang lain. Dalam konteks medis, malpraktik mengacu pada kelalaian dan kealfaan tindakan oleh tenaga medis dalam pelayanan pasien. Black’s Law Dictionary memberikan penjelasan malpraktik  merupakan kegagalan profesional, baik karena kelalaian dan kealfaan yang dilakukan pada saat pelaksanaan tugas yang seharusnya dilakukan sesuai standar (Hutagaol et al., 2024).

Malpraktik medis memiliki berbagai jenis, seperti malfeasance (melaksanakan tindakan medis yang tidak seharunya dilaksanakan), misfeasance (pelaksanaan tindakan benar tetapi cara yang digunakan salah), dan  nonfeasance (tidak melakukan tindakan medis yang diperlukan). Selain itu, penyebab malpraktik dapat berasal dari kurangnya kompetensi tenaga medis, sistem pelayanan rumah sakit yang buruk, atau kesalahan administratif, seperti salah diagnosa atau pemberian obat yang salah. Menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), malpraktik medis mencakup semua tindakan yang tidak memenuhi standar profesi dokter, baik disengaja maupun tidak. Penyebab utama malpraktik di rumah sakit sering kali terkait dengan komunikasi yang buruk antara dokter dan pasien, tekanan kerja tinggi, serta keterbatasan fasilitas atau sumber daya (Matippanna, 2022).

Kasus malpraktik medis sering kali memicu persoalan hukum yang rumit, terutama dalam menentukan batas tanggung jawab antara individu tenaga medis dan pihak rumah sakit. Dalam beberapa kasus, pasien atau keluarga pasien sering kali merasa tidak mendapatkan keadilan karena sulitnya pembuktian malpraktik pada ranah hukum. Hal ini perlu mendapatkan perhatian secara khusus agar terdapat pertanggungjawaban hukum yang jelas dan terperinci diperlukan sebagai bentuk perlindungan hukum secara adil bagi pasien dan pelaku medis yang terlibat.

Di Indonesia, regulasi terkait malpraktik medis telah dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 dan UU Nomor 36 Tahun 2009, serta Kitab Hukum Pidana (KUHP). Namun, implementasi aturan-aturan tersebut sering kali menghadapi tantangan, terutama dalam membuktikan unsur kesalahan atau kelalaian. Hal ini menunjukkan perlunya analisis secara komprehensif untuk membahas bentuk pertanggungjawaban hukum yang dapat dijadikan pedoman penanganan kasus di lapangan (Matippanna, 2022). Selain pertanggungjawaban hukum, pertanggungjawaban tenaga medis atas tindakan malpraktik juga menjadi persoalan penting. Pertanggungjawaban hukum ini dapat berupa tanggung jawab pidana, perdata, maupun administratif, tergantung pada jenis pelanggaran dan dampaknya. Dalam kasus malpraktik yang berat, tenaga medis dapat menghadapi ancaman pidana, seperti hukuman penjara, sedangkan dalam kasus lain, pertanggungjawaban mungkin berbentuk ganti rugi kepada pasien atau pencabutan izin praktik.

Rumah sakit sebagai institusi juga tidak terlepas dari tanggung jawab hukum. Sebagai penyelenggara layanan kesehatan, rumah sakit berkewajiban memberikan kepastian tenaga medis di bawah naungannya mematuhi standar profesi dan etika. Jika ditemukan adanya kelalaian sistemik, rumah sakit dapat dimintai pertanggungjawaban hukum, baik secara perdata maupun administratif. Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana pertanggungjawaban hukum membagi tanggung jawab antara individu dan institusi dalam kasus malpraktik. Pertanggungjawaban hukum dalam kasus malpraktik medis dapat dikenakan kepada tenaga medis secara individu, institusi layanan kesehatan, atau pihak lain yang terlibat. Ranah hukum pidana memberikan penjelasan tenaga medis dimintai pertanggungjawaban jika terbukti melakukan kelalaian yang mengakibatkan kematian atau kerugian serius bagi pasien. Misalnya, seorang dokter yang memberikan obat dengan dosis salah hingga menyebabkan kematian pasien dapat dikenai Pasal 359 KUHP.

Secara perdata, pasien atau keluarga pasien berhak melayangkan gugatan dalam bentuk kompensasi membayar ganti rugi terhadap dokter atau rumah sakit bersangkutan. Gugatan ini sering kali didasarkan pada kelalaian atau ketidaksesuaian dengan perjanjian pelayanan kesehatan. Dalam hukum administratif, tenaga medis yang terbukti melanggar standar profesi dapat dikenakan sanksi seperti pencabutan izin praktik oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI)(Yunanto & Helmi, 2024). Isu ini semakin relevan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat tentang hak-hak pasien. Pasien kini lebih berani menuntut hak mereka jika merasa dirugikan oleh tindakan medis tidak memenuhi standarisasi layanan. Dalam beberapa perkara pasien bahkan membawa perkara malpraktik ke ranah pengadilan, yang kemudian menjadi perhatian publik dan mendorong reformasi dalam sistem hukum kesehatan.

Pendekatan hukum terhadap malpraktik medis tidak hanya bertujuan untuk memberikan keadilan bagi pasien, tetapi juga untuk menjaga kredibilitas profesi medis dan rumah sakit. Dengan adanya aturan yang jelas, tenaga medis dapat melaksanakan tugasnya dengan lebih hati-hati, sementara pasien merasa lebih terlindungi. Hal ini juga mendukung terciptanya iklim kepercayaan antara masyarakat dan penyedia layanan kesehatan(Suhendi et al., 2022). Namun, di sisi lain, tekanan terhadap tenaga medis akibat ancaman hukum dapat menimbulkan efek negatif, seperti defensive medicine, di mana dokter cenderung mengambil langkah yang lebih aman secara hukum, meskipun tidak selalu yang terbaik bagi pasien. Oleh karena itu, pertanggungjawaban hukum harus mempertimbangkan keseimbangan antara melindungi hak pasien dan mendukung profesionalisme tenaga medis(Tarigan et al., 2021).

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kasus malpraktik medis di Indonesia masih sering diwarnai oleh ketidakjelasan dalam pembuktian di pengadilan. Studi oleh Koto dan Asmadi(2021)  menemukan bahwa salah satu kendala terbesar dalam penyelesaian kasus malpraktik adalah kurangnya pemahaman pasien tentang hak-haknya, serta rendahnya akses terhadap layanan hukum. Hal ini menyebabkan banyak kasus malpraktik tidak dilaporkan atau diselesaikan di luar pengadilan. Penelitian dari Saeng et al.,(2023)  menyimpulkan pertanggungjawaban pidana rumah sakit atas perbuatan menyimpang berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan diatur dalam Pasal 447 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Diatur bidang kesehatan pada tahun 2023. Pertanggungjawaban pidana rumah sakit atas malpraktik medik dapat dilihat berdasarkan kedudukan pimpinan (rumah sakit) yang sebagai pejabat publik harus mampu mencegah dan menghentikan kejahatan tersebut. Secara hukum dan sebenarnya, kepala rumah sakit mempunyai kekuasaan yang cukup untuk mencegah tindakan tersebut. Pertanggungjawaban pidana rumah sakit atas tindakan yang salah sejalan dengan doktrin pertanggungjawaban perwakilan.

Selaras dengan uraian di atas, pembahasan pada penelitian ini terfokus pada permasalahan terkait bagaimana bentuk pertanggungjawaban hukum tindakan tindakan malpraktik dan bagaimana pertanggungjawaban hukum terhadap tindakan malpraktik di rumah sakit. Sedangkan tujuannya untuk mengkaji pertanggungjawaban hukum tindakan malpraktik serta mengeksplorasi bentuk pertanggungjawaban hukum yang dapat diterapkan. Dengan analisis ini, diharapkan dapat ditemukan solusi yang tidak hanya memberikan keadilan bagi pasien, tetapi juga mendukung terciptanya sistem pelayanan kesehatan yang lebih baik di Indonesia.

 

METODE PENELITIAN

Penelitian memakai desain penelitian yuridis-normatif  berlandaskan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan kasus (case approach). Penelitian menyoroti tanggung jawab hukum sering menggunakan pendekatan normatif atau doktrinal (Soekanto & Mamudji, 2020). Metode ini menganalisis sumber hukum primer (undang-undang dan peraturan) dan sekunder (literatur, jurnal hukum, dan dokumen hukum lainnya).Pendekatan yuridis-normatif digunakan untuk menganalisis aturan hukum yang relevan, seperti UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, serta peraturan terkait tanggung jawab tenaga medis. Pendekatan kasus dilakukan dengan menganalisis studi kasus tindakan malpraktik yang pernah diselesaikan melalui pengadilan atau mediasi di Indonesia. Penelitian ini juga melibatkan wawancara mendalam dengan ahli hukum kesehatan, praktisi medis, dan pasien sebagai informan untuk memperkaya perspektif empiris.

Pengumpulan data menggunakan teknik kepustakaan. Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data dari dokumen hukum dan literatur yang relevan(Sovia et al., 2022). Analisis dilakukan secara deduktif, dimulai dengan pengajuan premis mayor dari undang-undang atau teori hukum, kemudian diturunkan menjadi premis minor yang terkait dengan kasus spesifik, seperti malpraktik medis. Proses ini menghasilkan kesimpulan yang bersifat preskriptif, yang bertujuan memberikan rekomendasi hukum.

Analisis data kualitatif, seperti reduksi dan kategorisasi, umum digunakan. Peneliti mengorganisasi data berdasarkan tema, seperti unsur-unsur malpraktik (kelalaian, pelanggaran standar pelayanan, dan hubungan kausal dengan kerugian pasien). Pendekatan ini membantu dalam memahami dimensi hukum pidana, perdata, dan administrasi dari malpraktik (Sovia et al., 2022).

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertanggungjawaban hukum Malpraktik Medis di Rumah Sakit

Rumah sakit merupakan sarana layanan kesehatan yang menyediakan berbagai pelayanan medis yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan pasien. Selain menyediakan layanan medis, tempat ini juga berfungsi sebagai tempat pelatihan bagi para profesional kesehatan yang bercita-cita tinggi, seperti mahasiswa kedokteran, keperawatan, dan farmasi. Selain itu, rumah sakit sering kali menjadi pusat penelitian tempat penelitian dilakukan untuk meningkatkan praktik medis dan mengembangkan pengobatan baru. Kerangka hukum yang mengatur adalah UU No. 44 Tahun 2009. Menurut Pasal 1 ayat (1), rumah sakit digambarkan sebagai suatu institusi pelayanan kesehatan menyeluruh terkait kegiatan pelayanan kesehatan perseorangan, menyelenggarakan pelayanan rawat inap, konsultasi rawat jalan, dan pelayanan kedarutanan. Hakikat dan sasaran rumah sakit dalam Pasal 2 dan 3 menyatakan bahwa rumah sakit didirikan berdasarkan asas Pancasila dan berlandaskan nilai kemanusiaan, etika dan profesionalisme, pemerataan, kesamaan hak, dan perjuangan melawan penyakit, kesamarataan distribusi, melindungi dan menjaga keselamtan pasien, serta aspek sosial yang melingkupinya (Koto & Asmadi, 2021).

Tindakan malpraktik medis di Indonesia diatur oleh sejumlah peraturan  pada UU No. 29 Tahun 2004, pada pasal 66 UU tersebut menyatakan bahwa tenaga medis, termasuk dokter, wajib memberikan layanan kesehatan berdasarkan standar profesi yang berlaku. Pengingkaran kewajiban, seperti ketidakpatuhan terhadap prosedur medis atau kelalaian dalam memberikan perawatan, dapat berujung pada tindakan malpraktik. Dalam praktiknya, malpraktik dapat berupa kesalahan dalam diagnosis, pengobatan, atau prosedur medis yang mengakibatkan kerugian pada pasien. UU ini juga mengatur tentang Majelis Kehormatan Etik Kedokteran yang berfungsi untuk menangani pelanggaran kode etik medis, sementara UU UU No. 44/2009 menetapkan kewajiban terkait terlaksanakan layanan yang sesuai standar. Penerapan aturan ini di rumah sakit seringkali menghadapi tantangan, terutama dalam kasus malpraktik yang melibatkan sejumlah pihak, seperti tenaga medis, rumah sakit, dan pasien.

Pemerintah telah mengeluarkan beberapa ketentuan hukum mengenai malpraktik kedokteran, namun beberapa ketentuan tersebut belum secara gamblang memberikan penjelasan terkait tindakan  dengan malpraktik kedokteran. Mengenai ketentuan hukum yang berkaitan dengan malpraktik medik, perlu disebutkan bahwa peraturan ini dibuat untuk mengatur praktik kedokteran dan menjamin keselamatan pasien. Ketentuan ini bertujuan untuk mendefinisikan tanggung jawab profesional kesehatan, standar yang harus dihormati dalam hal pelayanan dan prosedur yang harus diikuti jika terjadi kesalahan medis. Tujuan mereka memberikan perlingdungai hak-hak pasien dan menjamin

Derajat dan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan diatur dalam  UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, UU No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. UU No.36 Tahun 2014 tentang Tenaga kesehatan, dan KUHP dan KUHPerdata (Koto & Asmadi, 2021).

Hasil penelitian Daeng et al., (2023), memberikan penjelasan pengaturan terkait layanan kesehatan bertujuan untuk melindungi pasien dari kerugian akibat malpraktik serta memberi sanksi kepada tenaga medis yang melakukan pelanggaran. Akan tetapi, praktik penerapannya masih memiliki beberapa kelemahan dalam hal bukti yang dibutuhkan, mengingat sebagian besar bukti dalam kasus malpraktik berupa bukti medis yang sulit untuk didapatkan.

Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Malpraktik

Dalam hal tanggung jawab hukum, penting untuk dicatat sebagai pelaksana layanan kesehatan, rumah sakit mempunyai kewajiban dan tanggung jawab atas kelalai tindakan yang dilakukan oleh tenaga medis yang menjadi tanggung jawabnya. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum pertanggungjawaban perwakilan, yang menetapkan bahwa pemberi kerja diberikan beban tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan pekerjanya selama masa kerja. Seiring perkembangannya, Doktrin Vicarious Liability telah terbagi menjadi dua cabang berbeda: Doktrin Respondeat Superior dan Doktrin Opsensible at the Apparent Agency. Doktrin yang mengatur pertanggungjawaban secara perwakilan, yang dikenal sebagai Respondeat Superior, menetapkan bahwa bentuk pertanggungjawaban rumah sakit terbatas pada tindakan yang diambil dokter terhadap pasiennya.

Doktrin Ostensible atau Apparent Agency adalah sebuah konsep hukum yang memperluas tanggung jawab sebuah rumah sakit pada para dokter yang berkerja di dalam atau di luar rumah sakit. Dengan kata lain, rumah sakit dapat dianggap bertanggung jawab atas tindakan dokter-dokternya meskipun mereka bukan karyawan tetap rumah sakit tersebut. Dalam praktik hukum, doktrin Respondeat Superior sering digunakan lawyer yang mewakili sebagai strategi pembelaan kepentingan rumah sakit tersebut dan sebagai salah satu cara pembatasan tingkat pertanggungjawaban yang mungkin timbul dalam suatu kasus hukum. Doktrin ini menegaskan bahwa suatu entitas hukum, seperti rumah sakit, dapat dianggap memiliki tanggung jawab terhadap tindakan karyawan selama tindakan tersebut dilakukan dalam lingkup pekerjaan resmi mereka. Doktrin Nyata, juga dikenal sebagai Apparent Agency, adalah teori hukum yang sering digunakan oleh pengacara pasien untuk memperluas cakupan pertanggungjawaban hukum rumah sakit. Doktrin ini didasarkan prinsip rumah sakit bertanggung jawab atas tindakan para profesional kesehatan yang tidak dipekerjakan secara langsung oleh perusahaan tersebut, namun mempunyai hubungan dengan rumah sakit sedemikian rupa sehingga pasien dapat secara sah percaya bahwa mereka bertindak atas nama rumah sakit.  (Gunawan, 2023).

Hukum Indonesia memberikan pertanggungjawaban pidana dan perdata terhadap tindakan malpraktik medis. Tanggung jawab pidana dapat dikenakan berdasarkan Pasal 359 KUHP terkait kelalaian yang menyebabkan kematian, dan Pasal 360 KUHP, berhubungan kelalaian yang menyebabkan luka. Selain itu, UU Praktik Kedokteran juga memberikan sanksi administratif tenaga medis yang terbukti terlibat kasus malpraktik. Tanggung jawab perdata, di sisi lain, berkaitan ganti rugi atas kerugian pasien sebagai konsekuensi kesalaha tindakan medis. Rumah sakit memiliki tanggung jawab memberikan layanan sesuai dengan standar berlaku, dan jika terbukti gagal memenuhi standar tersebut, rumah sakit dapat dimintai pertanggungjawaban hukum.

Salah satu usulan kebijakan untuk menyelesaikan kasus kelalaian medis di Indonesia adalah penggunaan model penyelesaian perselisihan medis melalui badan khusus Lembaga Penyelesaian Sengketa Medik. Lembaga ini adalah bentukan lembaga khusus menyelesaikan sengketa kedokteran. Lembaga ini memainkan peran penting dalam menyelesaikan konflik terkait praktik medis dengan menawarkan kerangka kerja khusus dan prosedur yang disesuaikan untuk menangani situasi sulit ini. Prosedur dan mekanisme sidang berlangsung cepat, akurat dan ekonomis, sehingga memastikan keadilan yang efektif dan dapat diakses oleh semua pihak tanpa menimbulkan biaya besar bagi pihak-pihak yang terlibat. Lembaga ini suatu inisiatif  dengan tujuan untuk menangani secara serius dan khusus tentang permasalahan terkait dengan sengketa medik. Hal ini menjadi solusi bagi penyelesaian sengketa medik yang seringkali tidak memuaskan bagi masyarakat atau pasien, terutama ketika kasus tersebut harus diselesaikan melalui proses peradilan umum. Dalam banyak kasus, sulit untuk menghukum seorang dokter dan seringkali terdapat dugaan bahwa mereka bersekongkol dengan IDI untuk melindungi rekan seprofesinya.

Dalam beberapa kasus, seperti yang tercatat dalam jurnal penelitian Hutagaol et al., (2024), memjelaskan rumah sakit mempunyai kewajiban dalam pertanggungjawaban malpraktik tenaga medis apabila terjadi kelalaian dalam pengawasan atau ketidakpatuhan terhadap prosedur. Oleh karena itu, rumah sakit juga berperan dalam menanggung risiko hukum yang timbul akibat tindakan malpraktik medis, baik secara pidana maupun perdata.

Kasus Malpraktik di Rumah Sakit

Di Indonesia, masih banyak tempat yang kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan rumah sakit masih dinilai kurang memuaskan. Situasi seperti ini tidak bisa dibiarkan terlalu lama. Penting untuk menemukan cara untuk memperbaikinya, mungkin dengan menetapkan norma dan standar. Saat ini pelayanan kesehatan oleh rumah sakit kota besar di Indonesia, memberikan bukti adanya kesenjangan sosial mencolok. Perbedaan-perbedaan ini terlihat khususnya dalam akses terhadap layanan kesehatan, kualitas layanan yang ditawarkan, serta sumber daya medis yang tersedia untuk berbagai kategori masyarakat. Bagi masyarakat yang mampu, terdapat rumah sakit atau klinik swasta yang menawarkan layanan khusus dengan harga yang tidak terjangkau oleh sebagian besar penduduk. Hak atas layanan eksklusif dan unggul merupakan keistimewaan yang mereka peroleh..

Sebaliknya, bagi masyarakat yang kurang beruntung, akses terhadap layanan kesehatan yang memadai seringkali terbatas atau bahkan tidak manusiawi, sehingga dapat meningkatkan penderitaan. Dalam kondisi seperti ini, risiko terjadinya kasus kelalaian medis menjadi lebih tinggi. Di Indonesia, patut dicatat bahwa terdapat banyak kasus kontroversial di bidang medis, ada yang dibawa ke pengadilan dan ada pula yang diselesaikan di luar sistem pengadilan. Di antara banyaknya kasus yang ada, sulit untuk menentukan jumlah kasus yang tidak dibawa ke pengadilan, khususnya di bidang medis dimana kasus-kasus tersebut rumit dan seringkali tidak diketahui. Selain itu, pasien sebagai korban tidak selalu menyadari bahwa gangguan kesehatan yang dialaminya mungkin disebabkan oleh kesalahan diagnosis atau pengobatan yang dilakukan dokter, dan mereka berhak mengambil tindakan hukum.

Terdapat beberapa kasus malpraktik yang berhasil diproses secara hukum, baik di tingkat pidana maupun perdata. Salah satu contohnya adalah kasus malpraktik yang terjadi di rumah sakit ternama, di mana seorang pasien meninggal setelah menjalani prosedur operasi yang seharusnya tidak dilakukan pada kondisi medis pasien tersebut. Dalam kasus ini, pihak keluarga pasien menggugat rumah sakit dan tenaga medis yang terlibat di pengadilan perdata untuk mendapatkan ganti rugi. Proses hukum ini melibatkan analisis terhadap prosedur medis yang dilakukan, bukti yang ada, dan standar medis yang berlaku pada saat itu. Meskipun rumah sakit memiliki kewajiban untuk menjaga keamanan pasien, sering kali ditemukan kesulitan dalam membuktikan kelalaian yang dilakukan oleh tenaga medis, karena berbagai faktor, termasuk kurangnya dokumentasi medis yang lengkap.

Sebagai contoh, kita dapat menyebutkan kasus di Mahkamah Agung dengan nomor berkas 365.K/Pid/2012 tentang kegiatan malpraktik tenaga medis yang berujung persidangan. Pada kasus di tersebut  dokter dianggap melakukan kelalaian yang berujung pada kematian pasien. Perbuatan malpraktik tenaga kesehatan, baik malpraktik medik maupun malpraktik di bidang kedokteran, akan menentukan pertanggungjawaban dibebankan kepada siapa.  Tanggung jawab ini mungkin terletak pada fasilitas kesehatan, profesional kesehatan itu sendiri, atau pihak lain yang terlibat dalam pelayanan yang diberikan. Kualitas penyelesaian kebijakan yang diambil pejabat pemerintah karena pengaruh berbagai aspek kepribadian pejabat publik. Aspek-aspek tersebut dapat mencakup tingkat profesionalisme, etos kerja, kemampuan mengambil keputusan yang etis dan efektif, serta komitmen terhadap pelayanan publik. Semua ini membantu membentuk cara pegawai negeri menjalankan tugasnya dan berinteraksi dengan warga negara, yang berdampak langsung pada kualitas layanan publik yang diberikan. Namun, mereka selamanya tidak bisa terlepas dari pertanggungjawaban resmi yang selamanya menjadi tanggung jawab mereka. Saat mendelegasikan wewenang kepada pejabat pemerintah, penting juga untuk menyediakan waktu khusus bagi pejabat tersebut untuk mempertanggungjawabkan cara mereka melaksanakan tanggung jawabnya. (Koto & Asmadi, 2021).

Menurut penelitian dari Haryanto(2019) dalam proses pengadilan, bukti utama yang digunakan adalah rekam medis dan keterangan ahli. Namun, dalam beberapa kasus, bukti tersebut tidak cukup kuat untuk membuktikan adanya malpraktik, terutama apabila ada ketidaksesuaian antara standar medis yang berlaku dan tindakan yang dilakukan oleh tenaga medis.

 

 

Hambatan dalam Penegakan Hukum

Penerapan hukum terhadap malpraktik medis seringkali terkendala oleh beberapa hambatan signifikan. Salah satunya adalah kesulitan dalam memperoleh bukti yang valid dan meyakinkan, terutama dalam kasus malpraktik medis yang melibatkan prosedur medis kompleks. Bukti utama dalam kasus malpraktik adalah rekam medis, namun banyak rumah sakit yang tidak memiliki dokumentasi yang lengkap atau jelas, yang membuatnya sulit untuk membuktikan kelalaian medis. Penelitian oleh Suhendi et al.,(2022) memberikan masukkan salah satu hambatan utama adalah ketidaktahuan pasien terhadap hak-haknya, yang mengurangi kesadaran akan kemungkinan adanya malpraktik. Banyak pasien yang tidak memahami pentingnya melaporkan pelanggaran yang terjadi atau bahkan tidak mengetahui prosedur hukum yang harus diikuti untuk menuntut pertanggungjawaban.

Selain itu, birokrasi hukum yang rumit dan biaya hukum yang tinggi juga menjadi kendala bagi banyak pasien yang ingin menuntut tenaga medis atau rumah sakit yang diduga melakukan malpraktik. Hal ini seringkali membuat proses penegakan hukum berjalan lambat dan tidak efektif. Hambatan-hambatan ini perlu diatasi dengan meningkatkan pemahaman hukum bagi masyarakat, memperbaiki sistem dokumentasi medis, dan memperkuat mekanisme pengawasan terhadap tenaga medis dan pihak rumah sakit sebagai pengelola layanan kesehatan.

 

KESIMPULAN DAN SARAN

Bersumber hasil penelitian teridentifikasi dua pokok masalah yang dibahas dalam rumusan masalah.  Bidang-bidang ini di satu sisi menyangkut peraturan hukum terkait tindakan malpraktik di fasilitas kesehatan, dan di sisi lain tanggung jawab hukum yang timbul dari tindakan tersebut. Pelaksanaan di Indonesia, dasar hukum mengenai kelalaian medis diatur dalam tu Undang-undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009, Undang-Undang Rumah Sakit No. 44 Tahun 2009, dan Undang-Undang No.°29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Undang-undang ini menetapkan tanggung jawab dan standar yang harus dihormati di bidang kesehatan terkait dengan praktik medis dan pengoperasian rumah sakit. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Profesi Kesehatan serta KUHP dan KUH Perdata.

Tindakan malpraktik dapat melibatkan kelalaian atau kesalahan dalam prosedur medis yang merugikan pasien. Dalam hal ini, UU Praktik Kedokteran mewajibkan tenaga medis untuk mematuhi standar profesi yang berlaku, sementara UU Rumah Sakit juga mengatur tanggung jawab rumah sakit dalam menyediakan pelayanan medis yang sesuai standar. Kendati demikian, penerapan aturan ini dalam praktik sering kali terhambat oleh masalah bukti, seperti ketidaklengkapan rekam medis, serta tantangan dalam membuktikan adanya kelalaian dalam tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga medis.

Dalam hal pertanggungjawaban hukum, tenaga medis yang terbukti melakukan malpraktik dapat dikenakan tanggung jawab pidana berdasarkan KUHP (Pasal 359 dan 360) dan tanggung jawab perdata untuk mengganti kerugian yang dialami pasien. Rumah sakit sebagai tempat praktik juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa standar pelayanan medis dipenuhi, dan dapat diminta pertanggungjawaban hukum jika terbukti lalai dalam pengawasan atau penyediaan fasilitas medis yang memadai. Tanggung jawab rumah sakit mencakup risiko hukum baik secara pidana maupun perdata, terutama ketika terjadi kelalaian dalam menyediakan pelayanan medis yang sesuai standar.

Berdasarkan hasil analisis di atas, terdapat beberapa saran yang perlu dipertimbangkan untuk memperbaiki pertanggungjawaban hukum dan penegakan hukum terkait malpraktik medis di rumah sakit:

1.    Peningkatan Pengawasan terhadap Rumah Sakit dan Tenaga Medis. Untuk mencegah malpraktik, perlu ada pengawasan yang lebih ketat terhadap praktik medis, terutama dalam hal kepatuhan terhadap standar prosedur operasional dan penggunaan rekam medis yang lengkap. Rumah sakit harus lebih meningkatkan sistem audit internal untuk memastikan bahwa setiap tindakan medis dilakukan sesuai dengan standar yang berlaku.

2.    Sosialisasi Hak Pasien. Banyak pasien yang tidak mengetahui hak-hak mereka terkait malpraktik medis. Oleh karena itu, perlu ada program sosialisasi yang lebih intensif mengenai hak-hak pasien, termasuk hak untuk menggugat apabila terjadi malpraktik. Dengan demikian, pasien dapat lebih aktif dalam melaporkan kejadian yang merugikan mereka.

3.    Peningkatan Sistem Dokumentasi. Salah satu hambatan dalam penegakan hukum adalah kurangnya bukti, terutama karena ketidaklengkapan rekam medis. Oleh karena itu, penting untuk menerapkan sistem dokumentasi medis yang lebih terorganisir dan transparan, serta memastikan bahwa semua tindakan medis tercatat dengan baik untuk mendukung proses hukum yang lebih jelas.

4.    Penyederhanaan Proses Hukum. Proses hukum yang rumit dan biaya yang tinggi seringkali menjadi hambatan bagi pasien dalam menuntut keadilan. Oleh karena itu, perlu ada upaya penyederhanaan proses hukum, serta pengurangan biaya hukum untuk mempermudah akses bagi pasien yang ingin menuntut ganti rugi atau keadilan terkait malpraktik medis.

DAFTAR PUSTAKA

 

Daeng, Y., Ningsih, N., Khairul, F., Winarsih, S., & Zulaida, Z. (2023). Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit dan Tenaga Medis Di Atas Tindakan Malpraktik Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan. INNOVATIVE: Journal Of Social Science Research, 3(6), 3453–3461.

Gunawan, S. (2023). Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Terhadap Malpraktik Pelayanan Perawat Yang Mengakibatkan Kerugian Pasien Di Hubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Universitas Komputer Indonesia.

Haryanto, N. D. (2019). Tanggung Gugat Rumah Sakit terhadap Kerugian yang Diderita oleh Pasien Akibat Tindakan Tenaga Medis dalam Perjanjian Terapeutik.

Herniwati, R. A. S., Kusumaningrum, A. E., Muntasir, L. K., Yustina, E. W., Harefa, S., Sulaiman, A. A., Atikah, I., & Alwy, S. (2020). Etika Profesi dan Hukum Kesehatan (Vol. 3). Penerbit Widina.

Hutagaol, R., Harjono, D. K., & Panjaitan, H. (2024). Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Malpraktik Yang Dilakukan Tenaga Medis Dalam Persfektif Hukum Perdata. Jurnal Hukum to-ra: Hukum Untuk Mengatur dan Melindungi Masyarakat, 10(2), 359–371.

Koto, I., & Asmadi, E. (2021). Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Tindakan Malpraktik Tenaga Medis di Rumah Sakit. Volksgeist: Jurnal Ilmu Hukum dan Konstitusi, 181–192.

Matippanna, A. (2022). Hukum Kesehatan: Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan. AMERTA MEDIA.

Panggabean, H. (2020). Buku Ajar Etika Dan Hukum Kesehatan.

Soekanto, S., & Mamudji, S. (2020). Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Pt Rajagrafindo Persada, 2003. Website: https://ejournal3. undip. ac. id/index. php/dlr.

Sovia, S. N., Hasbullah, A. R., Mustakim, A. A., Setiawan, M. A. R., Rais, P., & Rizal, M. C. (2022). Ragam Metode Penelitian Hukum. Kediri: Lembaga Studi Hukum Pidana.

Suhendi, A., Mohas, M., & Muin, F. (2022). Perlindungan Hukum Pidana Terhadap Korban Malpraktik Medik. Jurnal Kewarganegaraan, 6(2), 4758–4764.

Tarigan, R. V., Ekaputra, M., & Siregar, M. (2021). Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit Terhadap Malpraktik Medik Di Rumah Sakit. Iuris Studia: Jurnal Kajian Hukum, 2(1), 106–114.

 

Yunanto, A., & Helmi, S. H. (2024). Hukum Pidana Malpraktik Medik, Tinjauan dan Perspektif Medikolegal. Penerbit Andi.

 

KARYA ILMIAH JURUSAN HUKUM UNIVERSITAS TERBUKA (Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Sistem Hukum di indonesia)

 

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban  Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Sistem Hukum  di indonesia

 

...................1), .....................2)

1)Mahasiswa Jurusan  ................. Fakultas ......................... Universitas Terbuka

2) Dosen Jurusuan .................. Fakultas .......................... Universitas Terbuka

 

ABSTRAK

 

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji peraturan perundang-undangan yang dapat melindungi anak dari kekerasan seksual di rumah, apakah terdapat ketentuan hukum yang dapat memitigasi risiko tersebut, mengkaji bukti-bukti yang disajikan dalam dokumen pengadilan, dan mengusulkan solusi untuk memenuhi tuntutan hukum tersebut. Data yang digunakan untuk penelitian kedua berasal dari beberapa sumber antara lain buku, artikel, dan internet. Teknik analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian, banyak anak menjadi korban kekerasan karena tindakan yang digunakan untuk melindungi mereka tidak efektif. Ketidakefektifan ini disebabkan oleh kebijakan dan undang-undang negara yang tidak selaras dengan kenyataan yang ada, banyaknya sistem hukum yang merugikan anak-anak, kurangnya pemahaman tentang hak-hak anak, dan semakin berkembangnya tradisi negatif yang menganggap kekejaman sebagai hal yang tidak dapat diterima. Untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut, beberapa solusi yang dapat dilakukan antara lain penguatan pendidikan dan kesadaran masyarakat, melakukan kampanye intensif, peningkatan kapasitas aparat penegak hukum, menyediakan fasilitas yang lebih memadai, memperluas akses terhadap rumah aman dan rehabilitasi psikologis sebagai upaya perlindungan hukum terhadap anak korban  kekerasan dalam rumah tangga.

 

Kata Kunci : anak korban kekerasan, perlindungan hukum, sistem hukum di Indonesia.

 

PENDAHULUAN

Kekerasan terhadap anak bukanlah fenomena yang terjadi baru-baru ini; sebaliknya, hal ini disebabkan oleh banyaknya insiden yang tidak dilaporkan. Hal ini menjadikan tindak kekerasan terhadap anak dapat digolongkan menjadi pelanggaran tersembunyi. (hidden crime) (Sari & Herawati, 2019). Tindak kekerasan anak dapat terjadi diberbagai tempat tidak saja di dalam rumah tapi bisa terjadi di tempat-tempat lain seperti fasilitas umum atau moda transportasi. Ragam tindak kekerasan tersebut dapat dilakukan secara fisikal atau emosional (Wahyuni, 2017).

Anak merupakan kepercayaan dan hidayah diterima manusia sebagai suatu bentuk kepercayaan dari Tuhan YME untuk dirawat, dibesarkan, dipenuhi kebutuhan-kebutuhannya sehingga dapat berkembang dan bertransformasi  dengan baik sehingga menjadi seorang manusia dengan harkat dan martabat yang baik. Sebagai seorang manusia maka kebutuhan dasar yaitu hak asasi manusianya harus mendapatkan pengakuan dan dijadikan pondasi bagi kemerdekaan, persamaan perlakuan dan pengakuan secara global. Diakui bahwa selama periode pertumbuhan baik secara fisikal dan metalitas seorang anak perlu mendapatkan  penjagaan, pengamanan, dan perlindungan dari segi dan sisi hukum sebelum maupun setelah kelahiran (Putri & Nugraheni, 2018). Perlindungan hak-hak anak terkait langsung dengan hukum, administrasi, bisnis, dan organisasi yang menjamin perlindungan mereka. Adanya anggapan bahwa anak tidak bersalah dan tidak bertanggung jawab didasarkan pada kenyataan bahwa ada anak yang mengalami kesulitan dalam tumbuh kembangnya, baik dalam arti agama, moral, maupun sosial (Pratiwi & Hardjono, 2016).

Perlindungan yang diberikan kepada anak dapat dimanifestasi sebagai wujud perlindungan kepada hak-hak mendasar dan kemerdekaan untuk berekspresi bagi anak serta hal-hal yang terkait dengan kepentingan-kepentingan lain yang berkaitan dengan keselamatan anak tersebut (Yulia, 2015). Pelecehan terhadap anak dapat bermanifestasi sebagai kekerasan fisik atau emosional. Stress emosional adalah bentukan lain dari kondisi yang kurang berkenan bagi anak yang berada dalam lingkungan misalnya rumah tangga dan bisa mempunyai dampak negatif pada harga diri individu, seperti menimbulkan keadaan tegang melalui intimidasi, menghindari konfrontasi, dan menghindari konflik (Hamida & Setiyono, 2022). Kekerasan sangat erat kaitannya dengan kehidupan anak, karena anak dapat mengalami berbagai bentuk kekerasan, baik karena jenis kekerasan yang dialami, pelakunya, lokasi kejadian maupun sebab-sebab kekerasan tersebut (Mulia, 2014).

Pada intinya, menjamin hak-hak anak secara langsung berkaitan dengan kepatuhan terhadap undang-undang, kebijakan, upaya dan tindakan yang menjamin perlindungan anak (Ali, 2016). Pertama, perlu diingat bahwa anak merupakan kelompok rentan dan ketergantungan, baik ketidakberhasilan tumbuh kembang anak yang disebabkan beberapa faktor misalnya perkembangan mental, fisikal dan pola pikir sosialnya (Anshor, 2012).

Upaya pemerintah sebagai perwujudan perlindungan anak adalah dengan menetapkan undang-undang perlindungan anak dengan menetapkan UU No. 23 Tahun 2002.  Setelah berjalan kurang lebih 12 tahun, undang-undang tersebut diperbaharui dengan menetapkan UU No. 35 Tahun 2014. Dalam UU No. 35 Tahun 2014, pada pasal 44 menjelakan kewenangan pemerintah baik pusat maupun daerah tentang kewajiban menyedian fasilitas dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan anak secara menyeluruh dengan dukungan dan partisipasi aktif dari masyarakat (Riyanto, 2017). Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut diberikan tindakan hukum. Hukuman juga telah ditetapkan sehubungan dengan masalah ini, termasuk hukuman penjara dan denda uang. (Rifai, 2018).

Berbagai kegiatan penelitian telah banyak dilakukan terutama yang berhubungan dengan masalah-masalah sistem dan penerapan model perlindungan ranah hukum pada tindak kekerasan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga seperti penelitian dari Rusmini (2021) yang menjelaskan  penanganan KDRT membutuhkan pendekatan multidimensi yang melibatkan intervensi hukum, sosial, ekonomi, dan psikologis. Pemberdayaan perempuan menjadi kunci penting dalam memutus lingkaran kekerasan dan membangun kesetaraan dalam hubungan rumah tangga. Penelitian tersebut membahas tentang  aspek dan jenis pemberian perlindungan secara hukum kepada korban-korban tindak kekerasan yang didominasi oleh anak berdasarkan sudut pandang kelilmuan yang khusus membahas tentang korban kejahatan, penyebabnya, dan akibat-akibatnya. Ali, M (2016) menyebutkan aspek perlindungan hukum yang diberikan adalah upaya penjaminan hak-hak seseorang sebagai pengimplementasian hak asasi manusia dalam melakukan tindakan yang terkait erat dengan kepentingannya. Mulia (2014) memberikan argumennya bahwa tujuan perlindungan hukum adalah untuk melindungi masyarakat dari hukum yang tidak menaatinya, menjamin ketaatan dan ketaatan sehingga masyarakat dapat menikmati hak dan kebebasannya sebagai manusia.

Diharapkan hasil penelitian yang dilakukan dapat menjadi unsur pembeda apabila dibandingkan dengan penelitian yang terlebih dahulu dilakukan oleh peneliti-peneliti lain. Penelitian ini mengangkat permasalahan mengenai efektivitas peraturan perundang-undangan di Indonesia khususnya pada pemberian perlindungan dari aspek hukum kepada anak-anak korban perlakuan kekerasan yang terjadi di kalangan rumah tangga. Selain itu, penelitian ini juga mengeksplorasi faktor-faktor yang memengaruhi penerapan perlindungan hukum terhadap anak-anak di lingkungan keluarga yang mendapatkan tindak kekerasan, serta solusi yang dapat diambil untuk meningkatkan perlindungan hukum bagi korban.

Merujuk pada peraturan, kebijakan, inisiatif, dan tindakan yang memberikan jamian terhadap perlindungan anak (Kobandaha, 2017). Pada dasarnya filosofi tentang perlindungan terhadap anak meliputi perlindungan terhadap anak yang tidak bisa mempertahankan dirinya sendiri, interes yang menjadi kebutuhan utama, pendekatan siklus kehidupan dan tindakan lintas sektoral. (Rifai, 2018). Ragam upaya untuk memberikan perlindungan kepada anak terdiri dari dua aspek, yaitu perlindungan terhadap hukum itu sendiri dengan cakupan bidang hukum pidana dan hukum perdata, dan perlindungan non-hukum yang mencakup jenis perlindungan pada aspek kesehatan, tingkat sosial dan taraf pendidikan.

Landasan hukum  sebagai upaya perlindungan anak harus bermuara  pada UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku, yaitu Perlindungan Anak  sebagaimana tertulis pada UU No. 35 Tahun 2014 sebagai pembaharuan terhadap upaya perlindungan anak pada UU No. 23 Tahun 2002 dan Penghapusan kekerasan dalam keluarga pada UU No. 23 Tahun 2004 serta  Perkawinan sebagaimana termaktud dalam UU No. 1 Tahun 1974 (Republik Indonesia, 2014).

Domestic violence atau KDRT atau merupakan bentuk dan jenis tindak kekerasan berdasarkan gender yang biasanya menimpa  kehidupan berumah tangga. Tindak kekerasan ini terjadi karena adanya korelasi personal secara dekat dan acapkali terjadi karena pelaku terdapat hubungan kekerabatan. Contohnya suami melakukan kekerasan kepada istri, orang tua kepada anak yang menjadi buah  hatinya, keponakan oleh pamannya dan cucu oleh kakek atau neneknya.  Tindak kekerasan kategori ini juga sering menimpa individu yang terlibat dalam interaksi hubungan asmara, atau dialami individu-individu dengan profesi sebagai pekerja non formal dan tinggal bersama dengan orang yang melakukan tindak kekerasan tersebut.

Definis tentang KDRT sebagaimana dijelaskan pada pasal 1 UU PKDRT memberikan definisi KDRT sebagai :

tindakan terhadap individu, khususnya perempuan yang mengakibatkan penderitaan atau kesengsaraan fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan tindakan tersebut, pemaksaan, atau perampasan kebebasan secara ilegal dalam konteks rumah tangga. (Komnas Perempuan, 2020).

Anak-anak dalam keluarga dengan riwayat mendapatkan tindak kekerasan menjadi rentan dan berpotensi mendapatkan suatu keadaan kedaruratan terkait hal-hal berikut : 1) Seorang suami menganiaya istrinya mungkin juga dapat melakukan tindakan penganiayaan terhadap anak-anaknya. 2) Wanita dengan riwayat kekerasan dari pasangannya mungkin melampiaskan kemarahan dan kekecewaannya kepada anak-anaknya. 3) Anak-anak akan berpotensi mendapatkan trauma sebagai akibat ketidaksengajaan saat berupaya melerai tindakan kekerasan dan pada saat upaya perlindungan terhadap orang tua mereka. 4) Kesulitan anak dapat mendapatkan ketenangan, kedamaian dan ungkapan kecintaan dari ayah dan ibunya. Kondisi seperti ini terjadi apabila anak-anak tersebut tidak mampu belajar tentang cara mencintai dan dicintai secara tulus oleh orang tuannya dan anak tidak dibiasakan untuk menyelesaikan permasalah dan konflik yang terjadi dengan cara yang benar (Komnas Perempuan, 2020).

Upaya penghilangan tindak kekerasan yang terjadi dalam  sebuah keluarga sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 23 Tahun 2004 telah berlangsung lama sebagai upaya preventif dan kuratif terhadap para korban kekerasan dalam rumah tangga.  Perlindungan terhadap kekerasan yang terjadi di lingkungan keluarga, proses peradilan pelaku kekerasan rumah tangga, dan upaya pelindungan terhadap korban kekerasan telah dijelaskan secara gamblang di UU No. 23 Tahun 2004. Berdasarkan Pasal 2 dijelaskan bahwa cakupan pasal dimaksud tidak hanya berdampak pada perempuan tetapi juga orang lain: 1) kepala keluarga, wanita yang menjadi istri kepala keluarga, dan anak-anaknya; 2) pihak-pihak lain yang terdapat pertalian persaudaraan dalam bentuk hubungan kekerabatan dekat karena pertalian darah; 3) individu yang ada hubungan tua asuh, pendidikan atau yang tinggal serumah, atau kekeluargaan; dan 4) orang-orang yang mendukung dan mendiami tangga rumah tersebut.

Konvensi PBB tentang hak anak yang diratifikasi dengan  Keppres No. 36 Tahun 1990. Ratifikasi perjanjian tersebut mengharuskan pemerintah Indonesia untuk mengambil tanggung jawab penuh dalam melindungi, meningkatkan, dan meningkatkan kesehatan anak. Hal tersebut menjadikan semua anak yang ada di Indonesia memiliki keharusan menjadi seorang warga negara taat terhadap hukum yang berlaku. Perlindungan terhadap anak sebagaimana tertuang dalam UU No. 23 Tahun 2004 dijadikan acuan utama dan ketetapan kaidah-kaidah tentang upaya melindungi anak, dan diimplementasikan dalam kerangka konsolidasi ratifikasi sebagai upaya peningkatan atas pemberian dan upaya melindungi anak-anak yang berada di wilayah negara republik Indonesia melalui koridor hukum.

 

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah metode penelitian hukum normatif yang cenderung menganalisis norma-norma hukum. Fokus penelitian berdasarkan data sekunder berupa informasi dari internet serta buku dan artikel. Metode pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui penerapan penelitian kepustakaan yang dilakukan melalui membaca, observasi, mendengarkan dan juga melalui penelitian internet (Yulianto & Fajar, 2017).  Penggunaan metode deskriptif kualitatif digunakan sebagai dasar analisis data penelitian. Metode deskriptif kualitatif digunakan untuk memberikan gambaran, penjelasan terhadap suatu kejadian atau pertanda untuk ditarik menjadi suatu kesimpulan sesuai dengan inti permasalahannya. Peneliti menggunakan metode analisis bahan hukum, menerapkan pendekatan hukum normatif dan mencari peraturan serta daftar bacaan yang terkait erat denga masalah yang menjadi fokus penelitian (Mamudji & Soekanto, 2018).

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

1.    Efektivitas Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia dalam Memberikan Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Kekerasan dalam Rumahtangga

Sangat penting untuk melindungi anak hak-hak untuk memastikan bahwa anak-anak dapat terhindar menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh pihak-pihak luar yang tidak bertanggung jawab atau anggota keluarganya sendiri, baik secara diam-diam atau tidak. Bayi merupakan komponen vital masyarakat yang telah ada sejak lama. Hal tersebut menjadi sangat penting bagi semua pihak khususnya dalam pemberian kepastian terhadap keselamatan dan keamanan walaupun terdapat banyak isu terkait kekerasan orang tua terhadap anak.

Pertama, UUD 1945 merupakan kerangka hukum dasar yang menjadi perlindungan terhadap anak dari tindak kekerasan tangga rumah di mana mereka tinggal. Negara ini berkomitmen untuk melindungi dan meningkatkan kesehatan manusia. Pasal 28I ayat (5) menyatakan bentuk perlindungan dan merupakan bentuk apresiasi yang tinggi terhadap kehidupan manusia secara harfiah menjadi suatu keharusan untuk dilakukan, dipatuhi, dan diimplementasikan sesuai dengan perundang-undangan yang mengatur dan dijadikan pedoman pelaksanaannya. Hak-hak yang wajib berikan kepada anak dapat dijelaskan dengan baik, meskipun ada beberapa bagian yang membahas tentang hak-hak yang dimiliki masyarakat Indonesia sebagai individu tersendiri. Pasal 28B ayat kedua memberikan penjelasan tentang hak kehidupan, kebebasan, perkembangannya sendiri, dan perlindungan dari diskriminasi dan eksploitasi.

Kedua yaitu UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Keluarga. Semua orang di tangga rumah bisa terkena dampak negatif dari kekerasan keluarga. Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang di atas memberikan penjelasan bahwa kekerasan dalam keluarga terkait adanya tindakan yang diterimakan terhadap seseorang, dalam hal ini secara spesifik adalah perempuan yang memberikan gambaran tentang penderitaan psikis, seksual, atau fisik, serta penentaran dalam keluarga. rumah, seperti ancaman, pemaksaan, atau perampasan kebebasan yang melanggar hukum.

Ketiga adalah UU Nomor 35 Tahun 2014 yang merupakan undang-undang hasil amandemen terhadap UU No. 23 Tahun 2004.  Pengelolaan terhadap bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan kepada anak dalam peraturan perundang-undangan ini secara rinci diberikan penjelasannya melalui diktum-diktum fundamental yang dituangkan dan termaktub dalam Konvensi Hak Anak tentang cakupan diktum non-diskriminasi, keutamaan harkat pribadi anak, hak hidup secara layak, mendapatkan jaminan atas kelangsungan hidup, dan hak terhadap kepastian untuk dapat hidup serta memperoleh jaminan perkembangan sesuia dengan masanya, serta memperoleh penghormatan atas pandangan anak dari segi dan aspek hukum.

Bantuan hukum yang diberikan tidak terbatas pemberian bantuan hukum semata, indentifikasi terhadap korban, proses penangkapan tindak kekerasan, pembuktian adanya tindak kekerasan, adanya jaminan perawatan medis dengan baik, serta tindakan rehabilitasi yang diberikan baik secara fisik maupun psikologis. Negara mempunyai kewajiban memberikan efek jera dengan memberikan tindakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan dan sekaligus berfungsi sebagai upaya perlindungan korban kekerasan. Setiap orang yang terlibat dan menjadi pelaku tindak kekerasan tersebut dipastikan mendapatkan vonis sesuai undang-undang karena tindak kekerasan tersebut dikategorikan menjadi sebuah tindak kejahatan pidana.

Peraturan hukum disusun secara normatif untuk memastikan perlindungan yang maksimal. Peraturan hukum di Indonesia untuk melindungi korban-korban kekerasan rumah tangga khususnya anak  belum sepenuhnya efektif. Ketidakefektifan rezim ini disebabkan oleh kendala dalam menyediakan perlindungan yang menyeluruh dan efisien. Berbagai tantangan dalam penanganan perlindungan anak dari kekerasan dapat dijelaskan dari berbagai perspektif, yaitu hukum, infrastruktur, sosial, dan budaya..

2.    Faktor yang memengaruhi penerapan hukum dalam kasus kekerasan terhadap anak di lingkungan rumah tangga dan solusi yang dapat diambil untuk meningkatkan perlindungan hukum bagi korban.

Undang-undang yang mengatur pengimplementasian vonis hukum korban tindak kekerasan rumah tangga  memberikan landasan yang kokoh, namun dari segi efektifitas dan implementasinya dibatasi oleh berbagai faktor, seperti:

a.    Instansi Penegak Hukum

Kelemahan instansi penegak hukum dalam perlindungan anak dari tindakan terkait KDRT dipicu adanya beragam faktor dan kondisi seperti faktor sistemik, institusional, dan kultural. Tidak semua aparat penegak hukum memiliki pemahaman yang cukup tentang hukum perlindungan anak dan hak-hak mereka sehigga berakibat pada proses penanganan kasus anak sering kali tidak memperhatikan prinsip terbaik untuk anak (best interests of the child). Proses penanganan hukum sering kali memakan waktu lama, yang dapat memperburuk trauma psikologis pada anak dan hal ini berakibat anak sebagai korban acap kali luput dari pengawasan sehingga tidak memperoleh jaminan terhadap adanya  perlindungan maksimal pada saat proses hukum berjalan.

b.    Sarana dan Prasarana

UU No. 35 Tahun 2014 sebagai bentuk revisi dari UU No. 23 Tahun 2002 bertujuan memperkuat upaya melindungi anak, termasuk dari tindakan KDRT. Namun, terdapat sejumlah kelemahan dalam aspek sarana dan prasarana hukum yang memengaruhi implementasinya.  Shelter (rumah aman): Tidak semua daerah memiliki rumah aman untuk anak korban KDRT, sehingga mereka sulit mendapatkan tempat perlindungan sementara, dan tidak meratanya pusat layanan terpadu untuk mendukung korban, terutama di wilayah terpencil, banyak sarana perlindungan anak kekurangan tenaga profesional seperti konselor, psikolog, pekerja sosial, dan penegak hukum yang memahami perlindungan anak dan masih banyak daerah yang masih mengalami keterbatasan dana untuk membangun fasilitas perlindungan anak seperti rumah aman, pusat layanan terpadu, atau fasilitas rehabilitasi korban kekerasan sesuai isi pasal 44A UU No. 35 Tahun 2014 tentang sarana dan prasarana perlindungan anak yang menjadi korban kekerasan.

c.    Masyarakat

UU No. 35 Tahun 2014 terkait perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 menegaskan kewajiban semua pihak dan masyarakat dalam perlindungan anak dari kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan berbagai bentuk pelanggaran hak anak. Namun, masyarakat seringkali memiliki kelemahan dalam menjalankan peran ini.  Banyak masyarakat yang belum memahami hak-hak anak dan kewajiban mereka sesuai dengan undang-undang. Hal ini sering membuat pelanggaran hak anak dianggap sebagai hal biasa atau bagian dari budaya. Rendahnya akses terhadap pendidikan dan informasi terkait perlindungan anak membuat masyarakat tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk mengenali dan melaporkan kasus kekerasan atau pelanggaran hak anak.  Banyak orang enggan melaporkan kasus kekerasan terhadap anak karena takut menghadapi pelaku, stigma sosial, atau ketidaktahuan tentang mekanisme pelaporan. Sebagian masyarakat cenderung menyerahkan tanggung jawab perlindungan anak sepenuhnya kepada pemerintah atau lembaga terkait tanpa merasa bahwa mereka juga memiliki peran aktif dalam hal ini. Dalam kasus-kasus tertentu, anak yang menjadi korban kekerasan sering tidak mendapatkan dukungan yang memadai dari masyarakat sekitar, seperti lingkungan tempat tinggal atau komunitas. Kemiskinan dapat mendorong praktik eksploitasi anak, seperti mempekerjakan anak di usia dini atau memanfaatkan mereka untuk membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sikap apatis terhadap masalah perlindungan anak, dengan anggapan bahwa masalah ini bukan urusan pribadi, membuat masyarakat tidak aktif dalam mencegah atau menanggapi pelanggaran hak anak. Untuk mengatasi kelemahan ini, diperlukan pendekatan holistik, termasuk peningkatan kesadaran, penguatan hukum, pendidikan yang inklusif, dan program pemberdayaan masyarakat agar lebih aktif dalam melindungi anak sesuai dengan undang-undang.

 

d.   Kebudayaan

UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak bertujuan memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak di Indonesia dan pemberian sanksi terhadappihak yang melanggar. Namun, implementasi perlindungan anak sering kali terhambat oleh kelemahan dalam budaya masyarakat.  Dalam banyak komunitas, anak perempuan sering dianggap kurang penting dibandingkan anak laki-laki. Hal ini dapat mengakibatkan diskriminasi dalam akses pendidikan, kesehatan, atau bahkan perlindungan dari kekerasan. Banyak masyarakat yang belum memahami sepenuhnya tentang kebutuhan dasar anak sebagaimana diatur dalam sistem perundang-undangan, misalnya hak  atas pendidikan, kesehatan, perlindungan dari kekerasan, dan eksploitasi. Beberapa budaya masih menganggap kekerasan fisik terhadap anak (seperti memukul) sebagai bentuk disiplin yang wajar. Hal ini berlawanan dengan prinsip perlindungan anak dalam undang-undang. Banyak masyarakat lebih memilih menyelesaikan masalah kekerasan terhadap anak secara kekeluargaan daripada melibatkan pihak berwenang. Ini sering mengakibatkan pelaku lolos dari hukuman. Budaya yang memandang anak sebagai sumber penghasilan keluarga (misalnya dalam pekerjaan rumah tangga, menjadi buruh, atau bahkan pengemis) masih banyak terjadi, di masyarakat pada tingkat ekonomi rendah. Oleh karena itu, perubahan budaya menjadi langkah strategis dalam menjamin hak-hak anak terpenuhi.

Usulan solusi terhadap kendala-kendala tersebut antara lain dengan rekomendasi sebagai berikut: Penguatan pendidikan dan kesadaran masyarakat dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya kekerasan terhadap anak dan hak-haknya. Melakukan kampanye intensif mengenai hak-hak anak dan kewajiban melaporkan kasus kekerasan, khususnya di tingkat keluarga dan masyarakat. Peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dilakukan melalui pelatihan khusus tentang penanganan kasus-kasus yang menimbulkan terjadinya kekerasan rumah tangga dengan fokus melindungi anak secara khusus sebagai akibat terjadinya kekerasan rumah tangga. Melatih aparat penegak hukum dalam kepekaan terhadap korban anak dan penerapan hukum yang berorientasi pada perlindungan anak. Menyediakan fasilitas yang lebih memadai, seperti shelter yang memberikan jaminan keamaan dan layanan psikososial terhadap anak-anak terdampak kekerasan yang terjadi. Memperluas akses terhadap rumah aman dan rehabilitasi psikologis bagi anak-anak korban kekerasan, terutama di daerah terpencil, serta memperkuat kerja sama antar lembaga, koordinasi antara otoritas pemerintah, LSM, dan masyarakat. masyarakat untuk memerangi dan mencegah kekerasan. Pemerintah perlu memantau implementasi kedua undang-undang tersebut dan melakukan evaluasi rutin untuk mengidentifikasi dan mengatasi hambatan.

 

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Anak korban kekerasan mempunyai hak terhadap perlindungan diri sesuai dengan hukum. Landasan hukum pertama adalah UUD Tahun 1945. Penjaminan terhadap perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia diatur oleh UU No. 23 Tahun 2004, yang kemudian diganti dengan  UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002.

Efektifitas UU Perlindungan Anak belum berjalan dengan optimal. Masih banyaknya anak sebagai korban tindak kekerasan yang terus meningkat setiap tahunya menjadi buktinya. Kendala ketidakefektifan antara lain yaitu peran pemerintah sebagai puncak supermasi hukum tidak berjalan maksimal,  peraturan dan undang-undang yang tidak sejalan dan tumpang tindih, dan masih terdapat aparat hukum yang justru melakukan tindak kekerasan semakin memperburuk keadaan. Hal ini menyebabkan kurangnya fasilitas pendukung yang mendukung perlindungan dan kesejahteraan anak. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hak-hak anak dan tradisi negatif yang ada di masyarakat kita, yaitu anggapan bahwa kekerasan adalah hal yang wajar, memang mengkhawatirkan. Banyak anggapan bahwa hukuman fisik merupakan cara terbaik dalam pendidikan untuk menjadikan anak patuh dan disiplin, juga karena kurangnya kesadaran tentang perlindungan anak.

Saran

Perlu dilakukan peningkatan kualitas dan kuantitas penegakan hukum, perluasan sumber daya dan layanan yang tersedia serta perlu ditingkatkan adanya sosialisasi tentang undang-undang yang berkaitan dengan perlindungan anak, keterlibatan masyarakat, pemerintah dan LSM dalam program advokasi untuk mendorong implementasi yang lebih efektif.

Rekomendasi yang dapat dipertimbangkan sebagai solusi terhadap kendala-kendala tersebut di atas antara lain: penguatan pendidikan dan kampanye publik, peningkatan kapasitas penegakan hukum, penyediaan fasilitas yang lebih memadai dan kerjasama antar lembaga.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. (2016). Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Aspek Hukum dan Perlindungannya. LaksBang PRESSindo.

Anshor, M. . (2012). Hukum Keluarga dan Perlindungan Anak di Indonesia. Refika Aditama.

Hamida, A., & Setiyono, J. (2022). Analisis Kritis Perlindungan Terhadap Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Kajian Perbandingan Hukum. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 4(1), 73–88.

Kobandaha, M. (2017). Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan dalam rumah tangga dalam sistem hukum di indonesia. Jurnal Hukum Unsrat, 23(8).

Komnas Perempuan. (2020). Catatan Tahunan (CATAHU) 2020. Komnas Perempuan. Komnas Perempuan.

Mamudji, S., & Soekanto, S. (2018). Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. PT. Raja Grafindo Persada.

Mulia, S. . (2014). Hukum Perlindungan Anak di Indonesia. Gramedia.

Pratiwi, D. A., & Hardjono, S. (2016). Tinjauan Yuridis Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Anak: Perspektif Perlindungan Hukum. Jurnal Lex et Societatis, 4(2), 27–36.

Putri, A. N., & Nugraheni, F. (2018). Kebijakan Pemerintah dalam Menangani Kekerasan terhadap Anak dalam Rumah Tangga di Indonesia. Jurnal Hukum dan Pembangunan, 48(2), 143–161.

Republik Indonesia. (2014). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Rifai, A. (2018). Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Implementasi dan Permasalahan. Sinar Grafika.

Riliani, S. (2021). Perlindungan Terhadap Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Indonesia. Universitas Islam Kalimantan MAB.

Riyanto, A. (2017). Perlindungan Anak di Indonesia: Tantangan dan Strategi. Airlangga University Press.

Rusmini, A. A. A. N. T. (2021). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada Masa Pandemi Covid-19 Di Kota Denpasar. Jurnal Analisis Hukum, 4(1), 89–97.

Sari, M. A., & Herawati, D. (2019). Efektivitas Penegakan Hukum Perlindungan Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jurnal Penegakan Hukum, 3(1), 99–113.

Wahyuni, D. . (2017). Implementasi Undang-Undang Perlindungan Anak dalam Kasus Kekerasan Rumah Tangga. urnal Hukum dan Keadilan, 5(1), 51–66.

Yulia, R. (2015). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 22(3), 1–14.

Yulianto, A., & Fajar, M. (2017). Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris. Pustaka Pelajar.