BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Pendidikan Taman Kanak-Kanak
Taman Kanak-kanak (TK) adalah suatu bentuk pendidikan
pra sekolah yang menyediakan program pendidikan dini bagi anak usia 4-6 tahun
sampai memasuki pendidikan dasar (Soemiarti, 2003 : 59)
Taman kanak-kanak adalah lembaga pendidikan yang
menampung anak usia prasekolah, yaitu pada umur antara 3-6 tahun, pada masa ini
anak mengalami perkembangan. Hal ini sesuai dengan pemikiran John Piaget yang
membedakan kognitif pada anak dalam tahap periode operasional (5-6 tahun). Anak
usia ini memiliki perkembangan yang menonjol pada bidang bahasa, rasa, insan
kamil, fantasi, dan bermain-main (Zulkifli,1992 : 33)
Taman Kanak-kanak (TK) merupakan lembaga pendidikan
formal yang pertama setelah pendidikan di lingkungan keluarga sekaligus
merupakan jembatan antar pendidikan pendidikan di lingkungan keluarga dan di
lingkungan SD. Sebagaimana terdapat dalam Garis-Garis Besar Program Kegiatan
Belajar Taman Kanak-Kanak. Kegiatan belajar anak TK adalah untuk membantu meletakkan
dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan, dan daya cipta
yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya
dan untuk pertumbuhan serta pengembangan selanjutnya. Sedangkan ruang lingkup
program kegiatan belajar meliputi: pembentukan perilaku melalui pembiasaan
dalam pengembangan moral pancasila, agama, disiplin, perasaan/emosi, kemampuan
bermasyarakat, serta pengembangan dasar melalui kegiatan yang dipersiapkan oleh
guru meliputi pengembangan kemampuan berbahasa, daya pikir, daya cipta,
keterampilan, dan jasmani
Usia 4-6
tahun, merupakan masa peka bagi anak. Anak mulai sensitif untuk menerima
berbagai upaya perkembangan seluruh potensi anak. Masa peka adalah masa
terjadinya pematangan fungsi-fungsi fisik dan psikis yang siap merespon stimulasi
yang diberikan oleh lingkungan. Masa ini merupakan masa untuk meletakkan dasar
pertama dalam mengembangkan kemampuan fisik, kognitif, bahasa, sosial
emosional, konsep diri, disiplin, kemandirian, seni, moral, dan nilai-nilai agama.
Oleh sebab itu dibutuhkan kondisi dan stimulasi yang sesuai dengan kebutuhan
anak agar pertumbuhan dan perkembangan anak tercapai secara optimal.
Peran
pendidik (orang tua, guru, dan orang dewasa lain) sangat diperlukan dalam upaya
pengembangan potensi anak 4-6 tahun. Upaya pengembangan tersebut harus
dilakukan melalui kegiatan bermain sambil belajar atau belajar seraya bermain.
Dengan bermain anak memiliki kesempatan untuk bereksplorasi, menemukan,
mengekspresikan perasaan, berkreasi, belajar secara menyenangkan. Selain itu
bermain membantu anak mengenal dirinya sendiri, orang lain dan lingkungan.
Atas
dasar tersebut, maka kurikulum dikembangkan dan disusun berdasarkan tahap
perkembangan anak untuk mengembangakan seluruh potensi anak. (Depdiknas, 2003 :
5-6) Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa pendidikan secara berencana dan sistematis
mulai diberikan sejak TK yang disesuaikan dengan usia dan tingkat kematangan
anak. Dalam hal ini keadaan rumah tangga yang baik dan serasi tetap tercermin
dan dipertahankan sehingga akan memberikan perasaan aman dan nyaman sekaligus
dapat memberi daya cipta, kreatifitas anak itu sendiri.
Pada
hakikatnya TK sebagai pendidikan pra sekolah tetap mempertahankan azasnya yaitu
bahwa belajar sambil bermain atau bermain sambil belajar. Dengan demikian Taman kanak-kanak adalah input atau lembaga yang lebih
banyak memberikan pendidikan melalui belajar dan bermain atau sebaliknya. Sebagaimana
telah dijelaskan di atas bahwa program kegiatan belajar di TK adalah sebagaimana
pendekatan ”bermain sambil belajar atau belajar sambil bermain”.
Jelaslah
bahwa ada unsur bermain di TK dan itu merupakan satu prinsip yang tidak dapat
dipisahkan. Dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan anak TK adalah
mereka yang berusia 4-6 tahun yang mana mereka mengikuti program Taman Kanak-kanak. Setiap periode perkembangan anak
memiliki ciri-ciri yang khas tertentu yang dapat membedakanya dengan
periode-periode dalam rentang kehidupannya. Anak usia taman kanak-kanak (umur
4-6 tahun) adalah anak-anak yang sedang tumbuh baik secara motorik maupun
emosi, mengalami kepekaan perkembangan moral dan bahasa, serta menjalani
kehidupan sosial yang menuntut penyesuaian (Hurlock, 1999:110)
Lama masa
belajar TK biasanya tergantung pada tingkat kecerdasan anak yang dinilai dari
raport per semester. Namun secara umum untuk lulus dari tingkat TK adalah 2
(tahun), yaitu: (a) TK 0 (nol) kecil selama 1(satu) tahun, dan (b) TK 0 (nol)
Besar selama 1 (satu) tahun. Umur rata-rata minimal anak mulai dapat
disekilahkan ke sebuah taman kanak-kanak adalah 4-5 tahun. Sedangkan umur
rata-rata uuntuk lulus dari TK adalah 6-7 tahun. Setelah lulus dari TK, atau
pendidikan formal dan pendidikan non formal lainnya yang sederajad, siswa
kemudian melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi diatasnya yaitu sekolah
dasar (SD) atau yang sederajad.
2. Perkembangan Anak Usia Dini
a. Pengertian Anak Usia Dini
Terdapat
beberapa definisi mengenai anak usia dini. Definisi yang pertama, anak usia
dini adalah anak yang berusia nol tahun atau sejak lahir sampai berusia kurang
lebih delapan tahun (0-8). Sedangkan definisi yang kedua, menurut Undang-Undang
RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 Butir 14 yang
menyebutkan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang
ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan
melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki
pendidikan lebih lanjut. Dari pengertian tersebut dapat di tarik kesimpulan
bahwa anak usia dini adalah anak yang berusia nol sampai 6 atau 8 tahun yang
mengalami pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani.
b. Karakteristik Anak Usia Dini
Kartini Kartono
dalam Saring Marsudi (2006: 6) mendiskripsikan karakteristik anak usia dini
sebagai berikut :
1) Bersifat egoisantris naif
Anak
memandang dunia luar dari pandangannya sendiri, sesuai dengan pengetahuan dan
pemahamannya sendiri, dibatasi oleh perasaan dan pikirannya yang masih sempit.
Maka anak belum mampu memahami arti sebenarnya dari suatu peristiwa dan belum
mampu menempatkan diri kedalam kehidupan orang lain.
2) Relasi sosial yang primitif
Relasi
sosial yang primitif merupakan akibat dari sifat egoisantris naif. Ciri ini
ditandai oleh kehidupan anak yang belum dapat memisahkan antara dirinya dengan
keadaan lingkungan sosialnya. Anak pada masa ini hanya memiliki minat terhadap
benda-benda atau peristiwa yang sesuai dengan daya fantasinya. Anak mulai
membangun dunianya dengan khayalan dan keinginannya sendiri.
3) Kesatuan jasmani dan rohani yang hampir tidak
terpisahkan
Anak
belum dapat membedakan antara dunia lahiriah dan batiniah. Isi lahiriah dan
batiniah masih merupakan kesatuan yang utuh. Penghayatan anak terhadap sesuatu
dikeluarkan atau diekspresikan secara bebas, spontan dan jujur baik dalam
mimik, tingkah laku maupun pura-pura, anak mengekspresikannya secara terbuka
karena itu janganlah mengajari atau membiasakan anak untuk tidak jujur.
4) Sikap hidup yang disiognomis
Anak
bersikap fisiognomis terhadap dunianya, artinya secara langsung anak memberikan
atribut atau sifat lahiriah atau sifat konkrit, nyata terhadap apa yang
dihayatinya. Kondisi ini disebabkan karena pemahaman anak terhadap apa yang
dihadapinya masih bersifat menyatu (totaliter) antara jasmani dan rohani. Anak
belum dapat membedakan antara benda hidup dan benda mati. Segala sesuatu yang
ada disekitarnya dianggap memiliki jiwa yang merupakan makhluk hidup yang
memiliki jasmani dan rohani sekaligus, seperti dirinya sendiri.
c. Perkembangan Anak Usia Dini.
Periode
ini merupakan kelanjutan dari masa bayi (lahir sampai usia 4 tahun) yang
ditandai dengan terjadinya perkembangan fisik, motorik dan kognitif (perubahan
dalam sikap, nilai, dan perilaku) dan psikososial serta diikuti oleh
perubahan-perubahan yang lain. Perkembangan anak usia dini dapat dipaparkan
sebagai berikut :
1) Perkembangan Fisik dan Motorik
Pertumbuhan
fisik pada masa ini (kurang lebih usia 4 tahun) lambat dan relative seimbang.
Peningkatan berat badan anak lebih banyak daripada panjang badannya.
Peningkatan berat badan anak terjadi terutama karena bertambahnya ukuran system
rangka, otot dan ukuran beberapa organ tubuh lainnya. Perkembangan motorik pada
usia ini menjadi lebih halus dan lebih terkoordinasi dibandingkan dengan masa
bayi. Pada masa ini anak bersifat spontan dan selalu aktif. Mereka mulai menyukai
alat–alat tulis dan meraka sudah mampu membuat desain maupun tulisan dalam
gambarnya. Mereka juga sudah mampu menggunakan alat manipulasi dan konstruktif.
2) Perkembangan Kognitif
Pikiran
anak berkembang secara berangsur-angsur pada periode ini. Daya pikir anak yang
masih bersifat imajinatif dan egosentris pada masa sebelumnya maka pada periode
ini daya pikir anak sudah berkembang kearah yang lebih konkrit, rasional dan
objektif. Daya ingat anak menjadi sangat kuat, sehingga anak benar-benar berada
pada stadium belajar.
3) Perkembangan Bahasa
Hal yang
penting dalam perkembangan bahasa adalah persepsi, pengertian adaptasi, imitasi
dan ekspresi. Anak harus belajar mengerti semua proses ini, berusaha meniru dan
kemudian baru mencoba mengekspresikan keinginan dan perasaannya. Perkembangan
bahasa pada anak meliputi perkembangan fonologis, perkembangan kosakata, perkembangan
makna kata, perkembangan penyusunan kalimat dan perkembangan pragmatik.
4) Perkembangan Sosial
Anak-anak
mulai mendekatkan diri pada orang lain disamping anggota keluarganya. Meluasnya
lingkungan sosial anak menyebabkan mereka berhadapan dengan pengaruh– pengaruh
dari luar. Anak juga akan menemukan guru sebagai sosok yang berpengaruh.
5) Perkembangan Moral
Perkembangan
moral berlangsung secara berangsur– angsur, tahap demi tahap. Terdapat tiga
tahap utama dalam pertumbuhan ini, tahap amoral (tidak mempunyai rasa benar atau
salah), tahap konvesional (anak menerima nilai dan moral dari orang tua dan
masyarakat), tahap otonomi (anak membuat pilihan sendiri secara bebas)
(Tadkiroatun Musfiroh, 2005: 6).
2. Keterampilan Berbicara
a. Pengertian keterampilan berbicara
Berbicara
merupakan keterampilan yang berkembang dalam kehidupan anak. Aktivitas
berbicara anak dimulai melalui keterampilan menyimak sejak masih bayi dan pada
masa tersebutlah belajar berbicara dimulai dengan mengucapkan bunyi-bunyi dan
menirukan kata-kata yang didengarnya. Ada
beberapa pengertian yang diungkapkan oleh beberapa ahli, antara lain, Tarigan
(1985: 15) menyebutkan bahwa berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi
artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan
pikiran, gagasan, dan perasaan.
Menurut
Suhartono (2005: 22), yang dimaksud dengan berbicara adalah suatu penyampaian
maksud tertentu dengan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa supaya bunyi tersebut
dapat dipahami oleh orang yang ada dan mendengar di sekitarnya. Suhendar (1993:
1) memaparkan bahwa, berbicara merupakan salah satu aspek keterampilan
berbahasa, merupakan suatu proses komunikasi, proses perubahan wujud pikiran
atau perasaan menjadi wujud ujaran atau bunyi bahasa yang bermakna, yang
disampaikan kepada orang lain. Kemudian pada bagian lain disebutkan bahwa,
berbicara sebagai salah aspek keterampilan berbahasa bukan hanya mengujar,
bukan hanya keluarnya bunyi bahasa dari alat ucap, bukan hanya mengucap yang
tanpa makna, melainkan berbicara sebagai berbahasa, yaitu menyampaikan pikiran
atau perasaan kepada orang lain melalui ujaran.
Dari
pengertian di atas dapat dirinci beberapa hal, antara lain: 1) Ada pihak yang menyampaikan maksud, disebut
pembicara atau komunikator. 2) Ada
pihak yang menerima maksud tersebut, baik sebagai individu maupun kelompok,
disebut lawan bicara, atau penyimak atau komunikan. 3) Media untuk menyampaikan
maksud tersebut digunakan bahasa lisan. Maksud yang disampaikan oleh pembicara
diterima dengan baik dan dipahami oleh lawan bicara, diterima penyimak,
diterima komunikan, dan terjadilah komunikasi. Pendapat tersebut diperkuat oleh
Endang Lestari (2009: 36), keterampilan dalam berbahasa lisan merupakan
kemampuan mengekspresikan bahan pembicaraan dalam bahasa kata-kata yang
dimengerti orang banyak, dan mudah dicerna.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berbicara merupakan salah satu komponen
keterampilan berbahasa. Kemampuan berbicara merupakan proses perubahan wujud
pikiran melalui bunyi bahasa yang bermakna dengan maksud agar orang lain
memahami apa dimaksudkan.
2. Tujuan berbicara bagi anak
Manusia
adalah makhluk yang diberi kelebihan untuk berpikir. Dalam menjalani dan
memenuhi kehidupannya, akan senantiasa berhubungan dengan orang lain. Dalam
berhubungan dengan orang lain manusia akan senantiasa berkomunikasi, melalui
kegiatan berbicara, maka komunikasi akan terjadi.
Tujuan
berbicara yang paling penting adalah untuk berkomunikasi, sehingga banyak
dikatakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi. Agar tujuan tercapai, maka
pembicara hendaknya memahami makna segala sesuatu yang ingin dikomunikasikannya
kepada orang lain.
Tarigan
(1983: 15) mengatakan bahwa tujuan utama dari berbicara adalah untuk
berkomunikasi. Kemudian pada bagian lain, Tarigan menyebutkan, bahwa berbicara
adalah suatu alat untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun serta
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau penyimak.
Ochs dan
Winker (Tarigan, 1983: 16) memaparkan bahwa tujuan berbicara: 1) memberitahukan,
melaporkan (to inform), 2) menjamu, menghibur (to entertain); dan
3) membujuk, mengajak, mendesak, meyakinkan (to persuade).
Adapun
Sulvia (Elan, at. al : 2009) menyebutkan tujuan berbicara adalah sebagai
berikut: 1) Siswa dapat melagukan kata/ kalimat/ sesuai dengan konteks bahasa
yang digunakan, 2) Siswa terampil Siswa dapat mengucapkan/ melafalkan ucapan
dengan betul, dan 3) menggunakan bahasa lisan secara teratur dan baik, serta 4)
Siswa mempunyai keberanian untuk menyampaikan pikiran, ide/gagasan, serta
perasaannya kepada orang lain.
Jadi,
berbicara mempunyai peranan yang sangat penting, khususnya bagi perkembangan
anak. Melalui berbicara anak akan mengungkapkan minat, perasaan, ide/gagasan,
dan keinginannya kepada orang lain. Sehingga anak yang telah memiliki kemampuan
berbicara telah memiliki kematangan yang menjadi bekal kesiapannya dalam
kegiatan pembelajaran.
3. Ciri-ciri/karakteristik kemampuan berbicara
anak
Anak usia
taman kanak-kanak mempunyai karakteristik khusus dalam kemampuan berbahasa atau
berbicara, antara lain anak sudah dapat bicara lancar dengan kalimat sederhana,
mengenal sejumlah kosa kata, menjawab, dan membuat pertanyaan yang sederhana,
menceritakan kembali isi cerita, dan lain-lain.
Menurut
Delfi (Desi Elyawati: 2009), karakteristik berbahasa anak usia taman
kanak-kanak, antara lain: 1) Sudah dapat melakukan peran sebagai pendengar yang
baik, 2) Sudah dapat melakukan interaksi/komunikasi. 3) Sudah dapat melakukan
ekspresi diri, menulis, membaca, dan berpuisi.
Perkembangan
bahasa anak taman kanak-kanak berada pada tahap ekspresif, sehingga anak dapat
mengungkapkan keinginannya, penolakan, maupun pendapatnya dengan menggunakan
bahasa lisan. Dan, bahasa lisan ini sudah dapat dipakai untuk berkomunikasi. Dalam
linguistik, dijelaskan bahwa berbicara memiliki ciri-ciri khusus, yaitu:
a) Bertujuan,
kegiatan berbicara membawa seseorang mencapai tujuannya atau keinginannya
b) Bersifat
interaktif, kegiatan berbicara tidak hanya menghadirnya pembicara dan
pendengarnya saja, melainkan adanya dialog, tanya jawab, interaksi, saling menanggapi
antara kedua belah pihak sehingga proses komunikasi akan terjadi.
c) Kesementaraan,
artinya bahwa proses komunikasi hanya berlangsung selama proses pembicaraan
atau proses komunikasi itu terjadi. Sesudah itu dapat ditemukan dan diulangi
lagi.
d) Terjadi dalam bingkai bingkai khusus. Bahwa
bingkai-bingkai khusus berbicara terdiri atas empat, yaitu komunikasi hanya
terjadi dalam waktu tertentu, komunikasi mengambil tempat tertentu, komunikasi
selalu mengambil topik tertentu dan kedua belah pihak dalam keadaan siap.
e) Alfa tanda baca.
f) Kata kata terbatas.
g) Pengalaman.
4. Prinsip-prinsip berbicara
Dalam kehidupan manusia peranan berbicara amatlah penting. Kemampuan
berbicara mempunyai pengaruh terhadap hubungan dengan sesama maupun
kehidupannya kelak. Semua orang memang akan berbicara dalam semua kesempatan.
Namun, dengan sendirinya tidak asal bicara, dituntut denganekologi bahasa dan
kesatuan berbahasa, maka diperlukan aturan-aturan dan syarat-syarat yang harus
dipenuhi. Demikian juga struktur bahasa, suara, maupun intonasinya. Aspek
keterampilan berbicara berkaitan dengan ucapan, baik ucapan berkenaan dengan
bunyi-bunyi bahasa, kata, atau kalimat. Dalam kegiatan belajar mengajar ada
enam aspek pragmatis yang harus dipertimbangkan, yaitu aspek sosial,
intelektual, emosional, informasi faktual, moral, dan penyesuaian sesuatu. Dipaparkan
pula oleh Suhendar (1993: 17), beberapa prinsip dasar berbicara antara lain: (a)
Bahasa sebagai suatu sistem, (b) Bahasa adalah vokal/ bunyi ujaran, (c) Bahasa
disusun dari dari lambang-lambang manasuka, (d) Setiap bahasa bersifat unik,
bersifat khas, (e) Bahasa dibangun dari kebiasaan-kebiasaan, (f) Bahasa adalah
alat komunikasi, (g) Bahasa berhubungan dengan kebudayaan setempat serta (h)
Bahasa itu berubah ubah.
Keterampilan berbicara juga harus mengikuti cara atau aturan dalam berbicara.
Seperti yang dipaparkan oleh Endang Lestari (2009: 37), yaitu : a)
Jangan berbicara terlalu banyak tentang diri sendiri, b) Jangan memonopoli
pembicaan, c) Menggunakan bahasa yang sopan dan efektif, d) Mendengarkan ketika
teman berbicara, e) Memperhatikan situasi dan keadaan teman berbicara, dan
taktis dalam berbicara, dan f) Tidak bersifat kaku dan dogmatis, karena akan
memberi kesan menggurui.
Pada bagian lain, Endang Lestari (2009) menjelaskan bahwa untuk dapat meningkatkan
kemampuan keterampilan berbicara ini dapat dilakukan, antara lain, a) Percaya
diri, b) Ucapkan kata-kata dengan jelas dan perlahan-lahan, c) Bicara yang
wajar, d) Atur irama dan tekanan suara dan jangan monoton. e) Menaruh nafas
dalam-dalam, f) Hindari sindrom em, ah, anu, apa….dts, g) Membaca paragraf yang
dianggap penting dari teks tulisan, dan terakhir h) Siapkan air minum.
5. Kegiatan pembelajaran berbicara
Kegiatan pembelajaran berbicara dapat dilakukan dengan berbagai metode
agar kegiatan menarik bagi anak, terutama agar anak dapat terlibat langsung
dalam pembelajaran. Menurut Sulvia (Elan, at. al.: 2009), ada berbagai
cara dalam kegiatan pembelajaran dalam berbicara, antara lain (a) ucap ulang,
(b) lihat dan ucapkan, (c) mendeskripsikan, (d) substitusi, (e) transpormasi,
(f) melengkapi kalimat, (g) menjawab pertanyaan, (h) cakapan, (i) parafrase,
(j) reka cerita gambar, (k) memberi petunjuk, (l) bercerita, (m) dramatisasi,
(n) laporan pandangan mata, (o) bermain peran, (p) bertelefon, (q) wawancara,
dan (r) diskusi. Kemampuan berbicara yang dapat diajarkan di sekolah, menurut
Hartini (2006), adalah (a) menceritakan kembali, (b) bercerita, (c) berpidato,
(d) bercakap-cakap atau berdialog, (e) wawancara, (f) tanya jawab, (g)
berdiskusi bertanya, (h) pertanyaan menggali, (i) melanjutkan cerita, (j)
cerita berantai.
6. Hambatan-hambatan dalam berbicara
Hambatan dalam berbicara dapat disebabkan oleh beberapa alasan, Menurut
Sulvia (Elan, at.al: 2009), hambatan yang terjadi dalam komponen kebahasaan,
meliputi (1) lafal dan intonasi, (2) pilihan kata, (3) struktur bahasa, dan (4)
gaya bahasa.
Aida (Elyawati, D: 2009) memaparkan hambatan yang ditemui ketika seseorang
akan berbicara adalah:
a) Keberanian, percaya diri.
Menurut
Dale Carnagie (Hartini: 2009), bahwa semua orang mampu berbicara dengan cara
yang dapat diterima oleh publik, jika ia memiliki rasa percaya diri dan sebuah
ide yang ada di dalam dirinya, yaitu dengan mengerjakan hal-hal yang ditakutkan
dan memperoleh satu catatan dari pengalaman orang-orang sukses.
b) Rasa grogi, gugup
Rasa
grogi untuk berbicara dapat dialami oleh siapa saja, hal ini akan dapat dikuasai
jika pembicara lebih tenang dan berusaha untuk membuat suasana menjadi agak
lebih rileks.
c) Gejala-gejala tertekan
Menurut
Natalie (Hartini, 2009), ada beberapa gejala yang dapat menghambat berbicara
seseorang yaitu:
1) Gejala fisik
Ditandai dengan
detak jantung yang semakin cepat, lutut gemetar, tegang sulit untuk berdiri di
muka umum, suara yang bergetar, mata berair atau hidung berlendir, kesulitan
bernafas, gelombang hawa panas, atau perasaan seperti mau pingsan.
2) Gejala mental
Terjadi pengulangan
kata, kalimat atau pesan. Hilang ingatan, termasuk ketidakmampuan mengingat
angka atau fakta secara tepat, serta bentuk kepanikan lainnya. Hambatan dalam
berbicara yang terjadi pada anak adalah disebabkan oleh kebelum-matangan anak
dalam menguasai keterampilan berbicara, faktor lainnya yaitu adanya hambatan
secara fisik, antara lain anak belum bisa mengucapkan huruf r, l, s, m, n atau
kelainan saluran pita suara anak, seperti sumbing, dan sebagainya.
3. Metode Bercerita
a. Pengertian Cerita
Cerita
merupakan salah satu bentuk karya sastra. Buku untuk anak biasanya mencerminkan
masalah-masalah masa kini. Karena kehidupannya terfokus pada masa kini, masih
sukar bagi anak untuk membayangkan masa lalu dan masa depan. Cerita untuk anak
adalah cerita yang menempatkan mata anak-anak sebagai pengamat utama dan masa
anak-anak sebagai fokus utamanya. (Tarigan, 1995: 5).
b. Pentingnya Cerita
Suyanto
dan Abbas dalam Musfiroh (2005: 23) menyatakan cerita dapat digunakan sebagai
sarana mendidik dan membentuk kepribadian anak. Nilai-nilai luhur ditanamkan
pada diri anak melalui penghayatan terhadap makna dan maksud cerita. Tranmisi budaya
terjadi secara alamiah. Anak memiliki referensi yang mendalam karena setelah
menyimak, anak melakukan serangkaian aktivitas kognisi dan afeksi yang rumit
dari fakta cerita separti nama tokoh, sifat tokoh, latar tempat, dan budaya,
serta hubungan sebab akibat dalam alur cerita dan pesan moral yang tersirat
didalamnya, misalnya makna kebaikan, kejujuran, dan kerja sama. Proses ini terjadi
secara lebih kuat dari pada nasehat atau paparan.
Musfiroh
(2005: 24) menyatakan bercerita menjadi sesuatu yang penting bagi anak karena
beberapa alasan antara lain :
1) Bercerita
merupakan alat perbandingan budi pekerti yang paling mudah dicerna anak
disamping teladan yang dilihat anak tiap hari.
2) Bercerita
merupakan metode dan materi yang dapat diintegrasikan dengan dasar ketrampilan
lain, yakni berbicara, membaca, menulis dan menyimak, tidak terkecuali untuk
anak taman kanak-kanak.
3) Bercerita
memberi ruang lingkup yang bebas pada anak untuk mengembangkan kemampuan
bersimpati dan berempati terhadap peristiwa yang menimpa orang lain. Hal
tersebut mendasari anak untuk memiliki kepekaan sosial.
4) Bercerita memberi contoh pada anak bagaimana
menyikapi suatu permasalahan dengan baik, bagaimana melakukan pembicaraan yang
baik, sekaligus memberi pelajaran pada anak bagaimana cara mengendalikan
keinginan-keinginan yang dinilai negatif oleh masyarakat.
5) Bercerita memberikan barometer sosial pada anak,
nilai-nilai apa saja yang diterima oleh masyarakat sekitar, seperti patuh pada
perintah orang tua, mengalah pada adik, dan selalu bersikap jujur.
6) Bercerita memberikan pelajaran budaya dan budi
pekerti yang memiliki retensi lebih kuat dari pada pelajaran budi pekerti yang diberikan
melalui penuturan dan perintah langsung.
7) Bercerita
memberikan ruang gerak pada anak, kapan sesuatu nilai yang berhasil ditangkap
akan diaplikasikan.
8) Bercerita
memberikan efek psikologis yang positif bagi anak dan guru sebagai pencerita,
seperti kedekatan emosional sebagai pengganti figur lekat orang tua.
9) Bercerita
membangkitkan rasa tahu anak akan peristiwa atau cerita, alur, plot, dan
menumbuhkan kemampuan merangkai sebab akibat dari suatu peristiwa dan
memberikan peluang bagi anak untuk belajar menelaah kejadian-kejadian di
sekelilingnya.
10) Bercerita
memberikan daya tarik bersekolah bagi anak. Cerita memberikan efek reaktif dan
imajinatif yang dibutuhkan anak TK, membantu pembentukan serabut syaraf, respon
positif yang dimunculkan memperlancar hubungan antarneuron. Secara tidak langsung,
cerita merangsang otak untuk menganyam jaringan intelektual anak.
11) Bercerita
mendorong anak memberikan makna bagi proses belajar terutama mengenai empati
sehingga anak dapat mengkonkretkan rabaan psikologis mereka bagaimana seharusnya
memandang suatu masalah dari sudut pandang orang lain. Dengan kata lain, anak
belajar memahami sudut pandang orang lain secara lebih jelas berdasarkan
perkembangan psikologis masing-masing.
c. Jenis Cerita
Banyak jenis cerita yang dapat ditawarkan pada anak. Jenis cerita yang
menarik bagi anak sesuai dengan tingkatan umur tentu berlainan. Anak yang lebih
muda sudah dapat memahami dan menyukai cerita untuk anak yang lebih besar atau
biasa juga sebaliknya.
1) Umur 2-3 tahun
Cerita
untuk anak umur 2-3 tahun biasanya berisi atau memperkenalkan benda atau
binatang disekitar rumah. Hal seperti ini yang bagi orang dewasa dianggap biasa
tapi bagi anak merupakan hal yang luar biasa dan amat menarik perhatian.
2) Umur 3-5 tahun
Cerita
untuk umur 3-5 tahun biasanya berupa buku yang memperkenalkan huruf akan
menarik perhatiannya, misal huruf yang dapat membentuk nama orang, nama binatang,
nama buah yang ada dalam cerita.
3) Umur 6-7 tahun
Anak-anak
pada usia ini biasanya mulai mengembangkan daya fantasinya, mereka sudah dapat menerima
adanya benda atau binatang yang dapat berbicara. Cerita si Kancil atau cerita
rakyat lainnya mulai diberikan.
4) Umur 8-9 tahun
Anak-anak
pada usia ini biasanya mulai menyukai ceritacerita rakyat yang lebih panjang
dan rumit. Cerita petualangan ke negeri dongeng yang jauh dan aneh, juga cerita
humor (Diknas, 2006).
d. Penyajian Cerita
Anak TK
pada umumnya belum dapat membaca, kosakatanya juga sangat terbatas. Daya
nalarnya pun juga sangat dangkal sehingga untuk membedakan antara yang nyata
dan yang fantasi pun belum mampu. Oleh sebab itu, penyajian cerita sebaiknya
dalam bentuk media visual sedikit. Gambar merupakan media yang menarik
perhatian dan disukai anak-anak. Karena dalam gambar terdapat bentuk-bentuk
objek dan warna yang jelas, anak-anak mudah menggambarkan tokoh yang sebenarnya.
Bentuk-bentuk penyajian cerita anak TK yang disarankan adalah sebagai berikut:
1) Kartu Cerita
Kartu cerita adalah sebuah cerita yang berbentuk teks yang berisi
catatan singkat dari bagian-bagian cerita secara beruntun, sebagai bahan
bercerita. Adapun bentuk cerita ini disajikan dalam bentuk kartu.
2) Gambar Seri
Gambar seri adalah kumpulan beberapa gambar dimana ringkasan cerita
dituliskan pada kertas tersendiri sebagai bahan bercerita. Cerita ini tidak
berbetuk buku akan tetapi hanya berbentuk lembaran kertas yang saling
berkaitan.
3) Buku Cerita Bergambar
Buku cerita bergambar adalah sebuah cerita berbentuk buku dimana
terdapat gambar sebagai perwakilan cerita yang saling berkaitan. Selain ada
gambar dalam buku cerita tersebut juga terdapat tulisan yang mewakili cerita
yang ditampilkan oleh gambar diatasnya.
4. Cerita Bergambar
a. Pengertian Cerita Bergambar
Cerita
bergambar merupakan sebuah kesatuan cerita disertai dengan gambar-gambar yang
berfungsi sebagai penghias dan pendukung cerita yang dapat membantu proses
pemahaman terhadap isi cerita tersebut. Menurut wikipedia the free
encylopedia dalam Ardianto (2007: 6) cerita bergambar adalah suatu bentuk
seni yang menggunakan gambar-gambar tidak bergerak yang disusun sedemikian rupa
sehingga membentuk jalinan cerita. Gambar adalah suatu bentuk ekspresi
komunikasi universal yang dikenal khayalak luas. Melalui cerita bergambar
diharapkan pembaca dapat dengan mudah menerima informasi dan diskripsi cerita
yang hendak disampaikan.
b. Teknik Bercerita dengan Alat
Peraga Buku Bergambar
Bercerita
dengan alat peraga buku bergambar dikategorikan sebagai reading aloud (membaca
nyaring). Bercerita dengan media buku bergambar dipilih apabila guru memiliki
keterbatasan pengalaman (guru belum berpengalaman bercerita), guru memiliki kekhawatiran
kehilangan detail cerita, dan memiliki keterbatasan sarana cerita, serta takut
salah berbahasa.
5. Penerapan Cerita Bergambar
dalam Pelaksanaan Pembelajaran
Musfiroh
(2005: 142) menyatakan teknik-teknik membacakan cerita dengan alat peraga buku
cerita bergambar adalah sebagai berikut:
1) Pencerita sebaiknya membaca terlebih dahulu buku
yang hendak dibacakan didepan anak. Guru memiliki keyakinan memahami cerita,
menghayati unsur drama, dan melafalkan setiap kata dalam buku dengan tepat
serta tahu pasti makna tiap-tiap kata tersebut. Dengan demikian konsentrasi
anak terhadap cerita menjadi tidak tertanggu dan rentang perhatian anak
terhadap cerita manjadi 5 menit lebih panjang dari biasanya. Rentang perhatian
yang lebih panjang tersebut merupakan salah satu ciri dari anak yang kreatif.
2) Pencerita tidak terpaku pada buku, sebaiknya
guru memperhatikan reaksi anak saat membacakan buku tersebut. Hal ini
bermanfaat bagi guru karena dengan melihat reaksi anak, guru dapat mendeteksi
anak-anak yang kreatif, karena anak kreatif mempunyai reaksi yang kreatif serta
belajar dengan caracara yang kreatif. Contoh dari reaksi kreatif tersebut
adalah apabila guru bercerita anak-anak akan mengajukan pertanyaan, kemudian
membuat tebak-tebakan sendiri yang akhirnya anak tersebut akan menemukan
sendiri jawabannya. Hasil dari temuan tersebut merupakan awal dari ide
kreatifnya.
3) Pencerita
membacakan cerita dengan lambat (slowly) dengan kalimat ujaran yang
lebih dramatik daripada urutan biasa. Hal ini bertujuan agar anak dapat meresapi
isi cerita yang disampaikan oleh guru sehingga anak dapat membangun imajinasinya
dari cerita yang mereka dengar. Melalui imajinasi-imajinasinya tersebut anak
membangun pengetahuan sehingga dapat melahirkan ide-ide yang dituangkan lewat
cerita yang mereka bangun dari imajinasinya.
4) Pada
bagian-bagian tertentu, pencerita berhenti sejenak untuk memberikan komentar,
atau meminta anak-anak memberikan komentar mereka. Dengan demikian dapat
memberi kesempatan pada anak untuk berkomentar terhadap cerita yang disampaikan
dan dapat merangsang anak untuk mengajukan pertanyaan seputar cerita yang
disampaikan seperti tokoh, alur cerita dan akhir dari cerita tersebut.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut yang merangsang anak untuk menemukan ide
kratifnya.
5) Pencerita
memperhatikan semua anak dan berusaha untuk menjalin kontak mata. Dengan
menjalin kontak mata tersebut, guru dapat melihat anak-anak yang mempunyai
rentang perhatian panjang, dimana rentang perhatian tersebut merupakan salah
satu ciri anak kreatif.
6) Pencerita
sebaiknya sering berhenti untuk menunjukan gambar-gambar dalam buku, dan
pastikan semua anak dapat melihat gambar tersebut. Dengan memberi kesempatan
anak untuk melihat gambar, maka akan memberi kesempatan anak untuk berfantasi
dengan gambar tersebut. Anak yang mempunyai banyak fantasi dapat dikatakan
sebagai anak yang kreatif.
7) Pastikan
bahwa jari selalu siap dalam posisi untuk membuka halaman selanjutnya. Anak-anak
yang kreatif mempunyai rasa ingin tahu yang kuat, mereka akan selalu
bertanya-tanya khususnya tentang kelanjutan cerita yang dibacakan guru. Oleh karena
itu guru harus selalu siap untuk memposisikan jarinya untuk membuka halaman
selanjutnya.
8) Pencerita
sebaiknya malakukan pembacaan sesuai rentang atensi anak dan tidak bercerita
lebih dari 10 menit (Wright dalam Musfiroh, 2005: 143). Hal ini bertujuan agar
anak tidak bosan terhadap cerita yang disampaikan oleh peneliti. Kebosanan tersebut
akan menghambat proses kreatifnya karena jika anak-anak bosan mereka tidak akan
bisa berekplorasi sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Karena dengan
bereksplorasi anak membangun rasa percaya diri. Rasa percaya diri itulah yang akan
menjadi bekal anak untuk mengorganisasikan kemampuan diri. Dari keberhasilan
anak mengorganisasikan kemampuan diri itu nantinya yang akan dipergunakan anak
untuk menjadi pemimpin baik itu dirinya sendiri maupun kelompoknya. Karena ciri
dari anak kreatif itu sendiri adalah anak mampu mengorganisasikan kemampuan
diri yang menakjubkan.
9) Pecerita
sebaiknya memegang buku di samping kiri bahu bersikap tegak lurus kedepan.
10) Saat
tangan kanan pencerita menunjukan gambar, arah perhatian disesuaikan dengan
urutan cerita.
11) Pencerita
memposisikan tempat duduk ditengah agar anak bisa melihat dari berbagai arah
sehingga anak dapat melihat gambar secara keseluruhan.
12) Pencerita
melibatkan anak dalam cerita supaya terjalin komunikasi multiarah. Komunikasi
yang multiarah tersebut akan merangsang anak untuk terlibat dengan kegiatan
bercerita tersebut. Apabila anak terlibat dalam kegiatan cerita maka anak akan
mendapatkan kosakata baru lebih banyak. Kosakata tersebut akan menjadi bekal
anak untuk menjadi pencerita alami. Hal ini dikarenakan anak yang kreatif
menikmati permainan dengan kata-kata serta sebagai pencerita yang alami.
13) Pencerita
tetap bercerita pada saat tangan membuka halaman buku.
14) Pencerita
sebaiknya menyebutkan identitas buku, seperti judul buku dan pengarang supaya
anak-anak belajar menghargai karya orang lain (Priyono dalam Musfiroh, 2005:
143). Dengan guru menyebutkan judul dan pengarangnya, kosakata anak menjadi bertambah.
Kosakata tersebut yang akan mendorong anak untuk mengembangakan imajinasi dalam
cerita yang dibuatnya.
B. Hasil Penelitian yang Relevan
1.
Winarti, Yenni. 2011. Peningkatan Keterampilan Berbicara
Melalui Metode Bercerita Pada Kelompok A TK Dharma Wanita 02 Langon Kabupaten
Blitar. Skripsi Jurusan Sekolah Dasar dan Prasekolah FIP Universitas Negeri
Malang. Pembimbing : (1) Drs. I Wayan Sutama, M.Pd, (2) Drs. Kentar
Budhojo, M. Pd. Penelitian yang dilakukan menggunakan jenis penelitian
tindakan, yaitu penelitian tindakan kelas (PTK). Dalam penelitian tindakan ini
yang berperan sebagai peneliti, penanggung jawab penuh penelitian, observer,
pengumpul dan penganalisis data, dan penyusunan laporan penelitian adalah guru.
Analisis data penelitian yang digunakan adalah analisis data kualitatif. Berdasarkan
hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan pembelajaran dengan metode
bercerita dapat meningkatkan keterampilan berbicara anak yaitu pada aspek kelancaran berbicara
hasil yang diperoleh pada siklus I prosentase nilai rata-rata anak 67% dan pada
siklus II naik menjadi 87%. Pada aspek kenyaringan berbicara
berbicara hasil yang diperoleh pada siklus I prosentase nilai rata-rata anak
69% dan pada siklus II naik menjadi 85%. Pada aspek keruntutan berbicara hasil yang diperoleh pada siklus I prosentase nilai
rata-rata anak 72% dan pada siklus II menjadi 85%. Dari data tersebut dapat
disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran dengan metode bercerita dapat
meningkatkan keterampilan berbicara anak. Dari hasil
penelitiian tersebut diharapkan agar guru mencoba menerapkan metode bercerita
untuk membantu mengatasi kesulitan anak pada pembelajaran berbicara,
sedangkan untuk peneliti lain diharapkan dapat menyempurnakan penelitian ini
dengan menerapkannya pada ruang lingkup yang lebih luas.
2.
Handayani, Sri (2011) Penggunaan
Media Cerita Animasi untuk Melatih Keterampilan Berbicara pada Siswa Taman
Kanak-Kanak Amanah Ummah Gemolong Tahun Ajaran 2010/2011. Skripsi thesis,
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Tujuannya penelitian ini adalah
mendeskripsikan proses pelaksanaan penggunaan media cerita animasi, hasil
penggunaan media animasi, dan manfaat pembelajaran bahasa untuk melatih
keterampilan berbicara pada siswa. Teknik pegumpulan data melalui observasi,
wawancara, catatan lapangan, dan tes. Teknik analisis data melalui tiga tahap,
yakni reduksi data, display data, dan penyimpulan. Teknik validitas data adalah
trianggulasi data. Teknik penyajian data disajikan secara informal. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa media cerita animasi dapat melatih keterampilan
berbicara siswa pada mata pelajaran berbahasa. Dibuktikan dengan hasil pembelajaran
keefektifan berbicara mengalami yang peningkatan pada siklus I sebanyak 53,6%
(14 siswa) menjadi 88,5% (23 siswa) pada siklus II. Adanya peningkatan
keterampilan berbicara yaitu pada siklus I pada aspek kemampuan bertanya dan
menjawab pertanyaan sebanyak 11 siswa (42,3%) dan siklus II sebanyak 20 siswa
(77%). Manfaat dalam penelitian ini siswa mampu berbicara di depan kelas tanpa
ragu-ragu, berani bertanya dan menjawab sebuah pertanyaan, serta guru mampu
mengenal karakter siswanya lebh baik.
C. Kerangka Berpikir
Dengan
dipergunakannya media cerita gambar pada peningkatan kemampuan berbicara, diharapkan
siswa akan dapat membayangkan pelukisan perilaku tokoh pada gambar tersebut. Imaginasi
siswa berselancar ke dunia maya yang seakan-akan dirinya menjadi tokoh utama
dari cerita gambar tersebut. Selanjutnya siswa dapat menceritakan kembali
maksud dari cerita gambar tersebut. Penggunaan cerita gambar yang dimaksud
tentunya yang berkaitan dengan materi pembelajaran yang tercantum dalam
kurikulum. Misalnya untuk mengetahui respon siswa.mengenai binatang buas, cukup
dengan menyajikan gambar binatang buas dan siswa dapat disuruh untuk bercerita mengenai
binatang tersebut. Kehadiran cerita gambar, seperti cerita tentang gambaran
tentang suatu peristiwa, tempat, kegiatan dan benda-benda dapat dimanfaatkan
guru sebagai wahana penyalur pesan atau informasi dalam pembelajarannya. Cerita
gambar yang dirancang dan dipersiapkan dengan baik, dan menarik akan dapat
merangsang kemampuan siswa dalam mengamati, mencermati detail-detail cerita
gambar dan juga kata-kata yang ada dalam cerita gambar tersebut. Pada akhirnya
karena siswa tertarik pada cerita gambar tersebut, mereka akan belajar secara
konsentrasi dan sungguh-sungguh. Selain berfungsi sebagai pemicu semangat
belajar, media gambar juga dapat digunakan untuk membantu siswa dalam
mengungkapkan bahasa secara lisan dengan bahasa yang runtut, baik dan benar.
Untuk itu kecermatan dan ketelitian siswa dalam mengamati cerita gambar menjadi
hal yang sangat praktis. Sebagai gambaran dalam penelitian tindakan kelas ini
dapat dibuat kerangka berpikir sebagai berikut.
Gambar 2.1
Kerangka Berpikir Penelitian
Tindakan Kelas
D. Hipotesis Tindakan
Hipotesis adalah dugaan
sementara yang dianggap dapat dijadikan jawaban dari suatu permasalahan yang
timbul. Hipotesis merupakan kesimpulan yang nilai kebenarannya masih diuji,
melihat permasalahan dan teori yang telah dikemukakan di atas dapat penulis
rumuskan hipotesis yaitu, cerita bergambar dapat meningkatkan kemampuan
berbicara pada anak didik kelompok A TK Negeri Pembina Majenang Tahun Pelajaran
2011/2012.
0 comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar, hindari unsur SARA.
Terima kasih