Menerima Pembuatan TESIS-SKRIPSI-PKP UT, Silahkan Baca Cara Pemesanan di bawah ini

Lencana Facebook

banner image

Friday, 25 January 2013

PTK BAB II



BAB II

TINJAUAN  PUSTAKA


A.      Kerangka Teori
1.    Belajar
Belajar   merupakan   proses   penting   bagi   perubahan   perilaku   manusia   dan mencakup   segala   sesuatu   yang   dipikirkan   dan   dikerjakan.   Belajar  memegang peranan   penting   di   dalam   perkembangan,   kebiasaan,   sikap,   keyakinan,   tujuan, kepribadian, dan bahkan persepsi manusia.
Belajar menurut James O. Whittaker dalam  Darsono (2000:4),   Learning  may   be   defined   as   the   process   by   which   behavior  originates   or   is   altered  through   training   or   experience  belajar   dapat didefinisikan sebagai proses menimbulkan atau merubah perilaku melalui latihan atau pengalaman.
Menurut Wingkel dalam Darsono (2000:4), belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis dalam   interaksi   aktif   dengan    lingkungan,   yang   menghasilkan   perubahan   dalam pengetahuan pemahaman, keterampilan dan nilai sikap.
Djamarah (2000:20)  mengemukakan   bahwa   belajar   adalah   serangkaian   kegiatan   jiwa raga   untuk   memperoleh   suatu   perubahan   tingkah   laku   sebagai   hasil   dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotorik
Slameto dalam Djamarah (2000: 24), merumuskan juga tentang pengertian belajar yaitu suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungan. Belajar  adalah  mengumpulkan  sejumlah  pengetahuan.  Kegiatan  belajar  dapat  dimulai  sejak  lahir  sampai  berlangsung  seumur  hidup.  Sejak  manusia  ada,  sebenarnya  kita  telah  melaksanakan  aktivitas  belajar.  Oleh  karena  itu,  kiranya  tidak berlebihan jika dikatakan bahwa aktivitas belajar itu telah ada sejak manusia  diciptakan.  Beberapa  ahli  mengatakan  bahwa  manusia  adalah  makhluk  belajar,  maka  sebenarnya  dalam  diri  manusia  itu  ada  potensi  untuk  diajar.  Pada  masa  sekarang ini, belajar menjadi sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan  manusia.  Belajar  mempunyai  ciri  yang  bisa  dibedakan  dengan  kegiatan  lainya  yang bukan belajar. Oleh karena itu tidak semua kegiatan belajar dikatakan belajar  walaupun kegiatan itu mirip belajar.
Dalam kehidupan sehari-hari, siswa melakukan kegiatan  yang sebenarnya  gejala  belajar,  misalnya  mengenakan  pakaian,  berkomunikasi,  berbicara  dan  sebagainya. Winkel  (1997:36)  mengatakan  bahwa  :  Belajar  adalah  suatu  aktivitas  mental dan psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang  menghasilkan  perubahan-perubahan  dalam  pengetahuan,  pemahaman, keterampilan dan nilai sikap di mana perubahan ini bersifat secara relatif konstan  dan  berbekas.  Belajar  merupakan  kebutuhan  bagi  semua  orang,  sebab  melalui  belajar  seseorang  dapat  memahami  kecakapan,  keterampilan  dan  pengetahuan  serta konsep diri yang dapat dibentuk karena belajar.
Dari definisi di atas yang dimaksudkan bahwa adanya perubahan pada diri  individu  yang  belajar  dimana  perubahan  yang  merupakan  hal  yang  baru  dan  secara kualitatif lebih tinggi dibandingkan kemampuan yang dimiliki sebelumnya,  begitu pula dengan proses mengajarnya.  
Belajar  merupakan  kegiatan  penting  setiap  orang,  termasuk  didalamnya  belajar bagaimana seharusnya belajar. Sebuah survei memperlihatkan bahwa 82%  anak-anak  yang  masuk  sekolah  pada  usia  5  atau  6  tahun  memilki  citra  diri  yang  positif  tentang  kemampuan  belajar  mereka  sendiri.  Tetapi  angka  tinggi  tersebut  menurun  drastis  menjadi  hanya  18%  waktu  mereka  berusia  16  tahun.  Konsekuensinya,  4  dari  5  remaja  dan  orang  dewasa  memulai  pengalaman  belajarnya yang baru dengan perasaan ketidaknyamanan (Sumadi, 1993: 37).
Pengertian  menurut  pendapat  beberapa  para  ahli  seperti  diuraikan  di  atas  dapat  disimpulkan  bahwa  belajar  adalah  suatu  perubahan  tingkah  laku  manusia  yang bersifat relatif permanen sebagai hasil pengalaman, latihan, dan interaksinya  dengan lingkungan melibatkan proses kognitif / proses mental. Proses kognitif ini  didukung  oleh  fungsi  ranah  psikomotor.  Sehingga  dapat  diambil  kesimpulan  bahwa inti dari belajar adalah perkembangan kemampuan untuk perubahan sikap.  Sehingga manusia tersebut bisa menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya.
2.    Hasil Belajar
Hasil  belajar  adalah  tingkat  perubahan  atau  keberhasilan  siswa  yang mencakup  aspek  kemampuan  pemahaman,  sikap,  dan  nilai  serta  keterampilan setelah mengikuti proses belajar mengajar. Tingkat keberhasilan dalam mengikuti kegiatan belajar merupakan hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa.
Dalam kamus umum bahasa Indonesia bahwa hasil belajar adalah sesuatu yang diperoleh  atau  dicapai  dalam  belajar.  Hasil  belajar  menurut  Sudjana (2005:65)  adalah  kemampuan-kemampuan  yang  dimiliki  siswa  setelah  ia menerima  pengalaman  belajar.  Hasil  belajar  menurut  pengertian  di  atas adalahkemampuan-kemampuan  yang  muncul  setelah  seseorang  belajar. Kemampuan tersebut terbentuk dari pengalaman siswa dalam proses belajar.
Gagne seperti dikutip Suprayekti mengklasifikasikan hasil belajar menjadi lima  kategori  yaitu  :  a.  Informasi  verbal,  b.  Kemahiran  intelektual,  c.  Strategi kognetif, d. Sikap, e. Keterampilan motorik. Kemampuan informasi verbal adalah mengembangkan  kemampuan  menyimpan  informasi  dalam  ingatan.  Pada kemahiran  intelektual  dapat  dilihat  berupa  kemampuan  menggunakan  simbol untuk  berinteraksi,  mengorganisir,  dan  membentuk  arti.  Strategi  kognitif adalah kemampuan  untuk  mengatur  dan  mengontrol  proses  berfikir  dalam  diri  sendiri.
Hasil  belajar  motorik  berhubungan  dengan  melakukan  gerakan  tubuh  dengan lancar  dan  tepat.  Sedangkan  pada  hasil  belajar  sikap  merupakan  suatu kondisi mental yang mempengaruhi pemilihan perilaku. Penilaian  hasil  belajar  mengisyaratkan  hasil  belajar  sebagai  program  atau objek  yang  menjadi  sasaran  penelitian.  Hasil  belajar  sebagai  objek  penilaian dalam hakikatnya menilai penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan instruksional.  Hal  ini  adalah  karena  isi  rumusan  tujuan  instruksional  menggambarkan  hasil  belajar  yang  harus  dikuasai  siswa  berupa  kemampuan-kemampuan  siswa  setelah menerima atau menyelesaikan pengalaman belajarnya. Hasil belajar sebagai objek dapat  dibedakan  kedalam  beberapa  kategori,  antara  lain  keterampilan  dan kebiasaan, pengetahuan dan pengertian, sikap dan cita-cita.
Hasil  belajar  merupakan  tingkat  keberhasilan  siswa  dalam  mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu program. Merupakan padanan kata hasil belajar adalah prestasi belajar, Syah (1995:150) mengungkapkan bahwa prestasi  sebagai  hasil  belajar  adalah  taraf  keberhasilan  sebuah  proses.  Berkaitan erat  dengan  hal  ini  adalah  evaluasi,  evaluasi  merupakan  alat  penilaian  tingkat keberhasilan (prestasi)  tersebut.
Berdasarkan  uraian  di  atas,  kita  dapat  menggarisbawahi  bahwa  evaluasi hasil  belajar  merupakan  proses  untuk  menentukan  hasil  belajar  siswa  melalui kegiatan  penilaian.  Tujuan  utama  evaluasi  hasil  belajar  adalah  untuk mengetahui tingkat  keberhasilan  yang  dicapai  oleh  peserta  didik  setelah  mengikuti  suatu kegiatan-kegiatan  proses  belajar  mengajar,  dengan  tingkat  keberhasilan  diberi nilai  yang  berupa  angka  atau  huruf.  Jika  tujuan  sudah  tercapai  hasilnya  dapat digunakan untuk keperluan tertentu.
Belajar  merupakan  usaha  secara  sadar  untuk  menghasilkan  suatu perbuatan,  baik  perubahan  pengetahuan,  tingkah  laku  dan  sebagainya  terhadap tujuan  yang  telah  ditetapkan.  Perubahan  hasil  belajar  ini  adalah  semua  ranah psikologi dalam belajar, yaitu ranah kognitif, ranah efektif dan ranah psikomotor. Pada  dasarnya  hasil  belajar  atau  prestasi  belajar  yang  utama  meliputi  ranah psikologi  yaitu  kognitif,  afektif  dan  psikomotor.  Yang  sulit  diukur  adalah ranah rasa.
Bloom dalam “Taxonomy of Education Objectives” menyebutkan bahwa : Perubahan  tingkah  sebagai  hasil  belajar  meliputi  tiga  domain,  yaitu  domain kognitif,  domain  afektif,  domain  psikomotor.  Domain  kognitif  adalah  tujuan-tujuan belajar yang berhubungan dengan memanggil kembali (recall) pengetahuan dan  pengembangan  kemampuan  intelektual  dan  keterampilan.  Domain  afektif adalah  tujuan-tujuan  yang  menjelaskan  perubahan  sikap,  minat,  dan  nilai nilai, dan  pengembangan  apresiasi  serta  penyesuaian.  Domain  psikomotor  (motor  skill  area  manipulative)  memuat  perubahan  tingkah  laku  yang  menunjukkan  bahwa  siswa  telah  mempelajari  keterampilan  manipulatif  fisik  tertentu,  sedangkan domain  kognitif  memuat  enam  kategori  yang  disusun  mulai  dari  yang  paling sederhana  sampai  ke  yang  paling  komplek,  yaitu  :  (1)  pengetahuan,  (2) pemahaman, (3) aplikasi, (4) analisis, (5) sintesis, dan (6) evaluasi.
Hasil  belajar  adalah  perwujudan  dari  proses  belajar,  yakni  terjadinya perubahan  tingkah  laku  secara  keseluruhan.  Macam-macam  tipe  hasil  belajar sangat  penting  diketahui  oleh  guru  dalam  rangka  merumuskan  tujuan  pengajaran dan menyusun alat-alat penilaian, baik melalui tes maupun bukan tes.
Pada umumnya hasil belajar dinilai melalui tes, baik itu tes uraian maupun tes objektif.  Pelaksaan  penilaian  bisa  secara  lisan,  tulisan,  dan  tindakan  atau perbuatan.  Tes  uraian  mempunyai  keunggulan  dari  tes  objektif  karena  dapat mengungkapkan  aspek  atau  abilitas  mental  yang  lebih  tinggi  yang  tercermin dalam  logika  berfikir  dan  kemampuan  berbahasa  lisan.  Sedangkan  tes objektif lebih  unggul  dalam  hal  materi  diujikan  dapat  lebih  banyak  dan  mudah  dalam memeriksa dan mengolah hasilnya. Tujuan  penilaian  proses  belajar  mengajar  pada  hakikatnya  adalah  untuk mengetahui  kegiatan  belajar  mengajar,  terutama  efisiensi,  keefektifan,  dan produktivitasnya dalam mencapai tujuan pengajaran. 
Berdasarkan  pengertian  hasil  belajar  dari  beberapa  para  ahli  di  atas  dapat kita ambil garis besar yaitu : jika ketika proses belajar mengajar berlangsung dan pengajar  dapat  memanfaatkan  waktu  sebaik  mungkin  supaya  materi  yang disampaikan  bisa  terserap  baik  oleh  siswa,  berarti  akan  memberikan  peluang kepada  siswa  untuk  meraih  hasil  belajar  yang  semaksimal  mungkin.  Jadi hasil belajar adalah suatu hasil akhir dari proses pembelajaran siswa, baik itu di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Jika ingin mencapai hasil akhir yang memuaskan maka siswa harus belajar secara maksimal.
Hasil  belajar  matematika  siswa  sekolah  dasar  dalam  penelitian  ini merupakan  kemahiran  matematika  yang  mencakup  kemampuan  penalaran, komunikasi,  pemecahan  masalah,  keterkaitan  pengetahuan,  dan  kegunaan matematika  setelah  mengikuti  pembelajaran  matematika  yang  terwujud  dalam bentuk  skor  hasil  belajar  matematika. 
3.    Keaktifan Belajar
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, keaktifan adalah kegiatan sedang belajar merupakan proses perubahan pada diri individu kearah yang lebih baik yang bersifat tetap berkat adanya interaksi dan latihan. Jadi keaktifan belajar adalah suatu kegiatan individu yang dapat membawa perubahan kearah yang lebih baik pada diri individu karena adanya interaksi antara individu dengan individu dan individu dengan lingkungan (Poerwodarminto, 1992 : 17),
Keaktifan belajar adalah suatu kegiatan yang menimbulkan perubahan pada diri individu baik tingkah laku maupun kepribadian yang bersifat kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian yang bersifat konstan dan berbekas. Keaktifan belajar akan terjadi pada diri siswa apabila terdapat interaksi antara situasi stimulus dengan isi memori, sehingga perilaku siswa berubah dari waktu sebelum dan sesudah adanya situasi stimulus tersebut.
Selama proses belajar siswa dituntut aktivitasnya untuk mendengarkan, memperhatikan dan mencerna pelajaran yang diberikan guru, di samping itu sangat dimungkinkan para siswa memberikan balikan berupa pertanyaan, gagasan pikiran, perasaan, keinginannya. Guru hendaknya mampu membina rasa keberanian, keingintahuan siswa, untuk itu siswa hendaknya merasa aman, nyaman, dan kondusif dalam belajar. Peran guru dalam pembelajaran siswa aktif adalah sebagai fasilitator dan pembimbing siswa yang memberi berbagai kemudahan siswa dalam belajar serta mampu mendorong siswa untuk belajar seoptimal mungkin.
Keaktifan adalah kegiatan atau aktivitas atau segala sesuatu yang dilakukan atau kegiatankegiatan yang terjadi baik fisik maupun non fisik (Mulyono, 2001 : 26).  Aktivitas tidak hanya ditentukan oleh aktivitas fisik semata, tetapi juga ditentukan oleh aktivitas non fisik seperti mental, intelektual dan emosional. Keaktifan yang dimaksudkan di sini penekanannya adalah pada siswa, sebab dengan adanya keaktifan siswa dalam proses pembelajaran akan tercipta situasi belajar aktif. belajar aktif adalah suatu sistem belajar mengajar yang menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental intelektual dan emosional guna memperoleh hasil belajar yang berupa perpaduan antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.  Belajar aktif sangat diperlukan oleh siswa untuk mendapatkan hasil belajar yang maksimum. Ketika siswa pasif atau hanya menerima informasi dari guru saja, akan timbul kecenderungan untuk cepat melupakan apa yang telah diberikan oleh guru, oleh karena itu diperlukan perangkat tertentu untuk dapat mengingatkan yang baru saja diterima dari guru (Natawijaya, 2005 : 31)
Proses pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas merupakan aktivitas mentransformasikan pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Dalam kegiatan pembelajaran ini sangat dituntut keaktifan siswa, dimana siswa adalah subjek yang banyak melakukan kegiatan, sedangkan guru lebih banyak membimbing dan mengarahkan. Keaktifan siswa dalam kegiatan pembelajaran dapat dilaksanakan manakala : (1) pembelajaran yang dilakukan lebih berpusat pada siswa, (2) guru berperan sebagai pembimbing supaya terjadi pengalaman dalam belajar (3) tujuan kegiatan pembelajaran tercapai kemampuan minimal siswa (kompetensi dasar), (4) pengelolaan kegiatan pembelajaran lebih menekankan pada kreativitas siswa, meningkatkan kemampuan minimalnya, dan mencapai siswa yang kreatif serta mampu menguasai konsep-konsep, dan (5) melakukan pengukuran secara kontinu dalam berbagai aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan (Yamin, 2007: 80- 81).
4.    Hakikat Pembelajaran Matematika
a.    Pengertian Matematika
Istilah matematika diambil dari bahasa Yunani yaitu “mathema” yang berarti “relating to learning”, (Iskandar, 2008:19) istilah ini mempunyai akar kata mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge science).  Berdasarkan  etimologis  menurut  Tinggih  (SPMK,  Tim  2001)  kata  matematika berarti  ilmu  pengetahuan  yang  diperoleh  dengan  bernalar.  Matematika  lebih menekankan aktivitas dalam dunia rasio (penalaran). Begitu pula menurut Ruseffendi dalam  Iskandar,  2008:19)  “matematika  terbentuk  sebagai  hasil  pemikiran  manusiayang  berhubungan  dengan  ide,  proses,  dan  penalaran”.  Arti  dan  definisi  yang  tepat dari matematika tidak dapat diterapkan secara eksak ( pasti) dan singkat.
“Definisi  dari  matematika  makin  lama  makin  sukar  dibuat,  karena  cabang matematika  makin  lama  makin  bertambah,  dan  makin  bercampur  satu  sama lain”. (Ruseffendi, dalam Iskandar, 2008:19).
Menurut  Soedjadi  pengertian  matematika    (Soedjadi  :  2000)  adalah cabang ilmu  pengetahuan  eksak  dan  terorganisir  secara  sistematik, pengetahuan  tentang  bilangan  dan  kalkulasi,  pengetahuan  tentang  penalaran logik  dan  berhubungan  dengan  bilangan,  pengetahuan  tentang  fakta-fakta kuantitatif  dan  masalah  tentang  ruang  dan  bentuk,  pengetahuan  tentang struktur yang logik, dan pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat. 
Sejalan  dengan  pendapat  di  atas    matematika  menurut  Johnson  dan Rising  (Suherman  :  2003)  adalah  pola  pikir,  pola  mengorganisasikan, pembuktian  yang  logis  dan  bahasa  yang  menggunakan  istilah  yang didefinisikan  dengan  cermat,  jelas  dan  akurat,  direpresentasikan  dengan menggunakan simbol dan padat. 
Sedangkan  menurut  Hans  Freudental  (Hudoyo:2005)  matematika merupakan  aktivitas  insani  (human  activities)  dan  harus  dikaitkan  dengan realitas.  Dengan  demikian  matematika  merupakan  cara  berfikir  logis  yang direpresentasikan  dalam  bilangan,  ruang  dan  bentuk  dengan  aturan-aturan yang telah ada yang tak lepas dari aktivitas insani (human activities).
Hal  ini  dikuatkan  dengan  pendapat  Yuyun  (Soedjadi:2000)  bahwa matematika mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Semua masalah  kehidupan  yang  membutuhkan  pemecahan  secara  cermat  dan  teliti mau tidak mau harus berpaling kepada matematika.
Dalam  GBPP  matematika  tujuan  khusus  pembelajaran  matematika  di sekolahdasar  (Soedjadi:2000)  adalah  menumbuhkan  dan  mengembangkan keterampilan berhitung (menggunakan bilangan) sebagai alat dalam kehidupan sehari-hari,  menumbuhkan  kemampuan  siswa  yang  dapat  dialihgunakan melalui kegiatan matematika, mengembangkan pengetahuan dasar matematika sebagai  bekal  belajar  lebih  lanjut,  membentuk  sikap  logis,  kritis,  cermat, kreatif dan disiplin. Oleh karena itu setiap guru yang mengajarkan matematika di  sekolah  dasar  hendaknya  mampu  menerapkan  pembelajaran  matematika dengan  tepat  agar  siswa  terbiasa  bersikap  logis,  kritis,  cermat,  kreatif  dan disiplin dalam kehidupan sehari-harinya.
Matematika  adalah  salah  satu  alat  berfikir,  selain  bahasa,  logika,  dan statistika  (Suriasumantri, 1999: 167). Di pihak lain matematika merupakan ilmu yang  berperan  ganda,  yakni  sebagai  raja  dan  sebagai  pelayan  ilmu.  Sebagai  raja matematika  merupakan  bentuk  logika  paling  tinggi  yang  pernah  diciptakan  oleh pemikiran  manusia,  sedangkan  sebagai  pelayan  matematika  menyediakan  sistem logika  serta  model-model  matematika  dari  berbagai  segi  kegiatan  keilmuan.  Matematika  sebagai  :  ilmu  deduktif,  bahasa,  seni,  ratunya ilmu,  ilmu  tentang  struktur  yang  terorganisasikan,  dan  ilmu  tentang  pola  dan hubungan  (Ruseffendi, 1997 : 73-74).
Soedajadi  (2000:  11)  mengatakan  bahwa  hakekat  matematika  menunjukkan kepada segi-segi penting dan mendasar dalam matematika. Ada beberapa definisi mastematika, yaitu sebagai berikut:
1)         Matematika  adalah  cabang  ilmu  pengetahuan  eksak  dan  terorganisir secara sistematik.
2)         Matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi
3)         Matematika  adalah  pengetahuan  tentang  penalaran  logik  dan  berhubungan dengan bilangan
4)         Matematika  adalah  pengetahuan  tentang  fakta-  fakta  kuantitatif  dan masalah tentang ruang dan bentuk
5)         Matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang logik.
b.    Fungsi Mata Pelajaran Matematika
Mata  pelajaran  matematika  berfungsi  sebagai  alat,  pola  pikir,  dan  ilmu pengetahuan  yang  dijadikan  acuan  dalam  pembelajaran  matematika  sekolah,  adapun fungsi tersebut sebagai berikut:
1)   Matematika  sebagai  alat  untuk  memahami  atau  menyampaikan  suatu informasi.
2)   Matematika  merupakan  pembentukan  pola  pikir  dalam  memahami  suatu pengertian  maupun  penalaran.  Hubungan  diantara  pengertian  danpenalarannya dikembangkan melalui pola pikir indiktif maupun deduktif.
3)   Matematika  sebagai  ilmu  atau  pengetahuan,  yang  selalu  mencari  kebenaran dan bersedia meralat kebenaran yang telah diterima bila ditemukan kebenaran yang  terbaru  sepanjang  kebenaran  tersebut  mengikuti  pola  pikir  yang  sah (MKPMB Tim, dalam Iskandar, 2008:20).
c.    Tujuan Penggunaan Pembelajaran Matematika
Semua tujuan pembelajaran yang diharapkan pendidik dalam hal ini guru pasti  mengarah  ke  arah  yang  positif  atau  perubahan  tingkah  laku  yang  baik. Perubahan  tingkah laku adalah dampak dari pembelajaran yang baik, pendekatan yang baik pula. Pembelajaran  matematika  realistik  dalam  penelitian  ini,  memiliki  tujuan  sebagai berikut:
1)   Membantu mempercepat siswa memahami soal mereka.
2)   Memberi  kesempatan  kepada  siswa  untuk  mendemonstrasikan  kemampuan siswa.
3)   Memotivasi siswa untuk memecahkan soal.
d.   Kompetensi Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar
Berdasarkan Kurikulum 2006,  kompetensi dasar yang harus dimiliki anak usia sekolah dasar dalam pembelajaran matematika adalah sebagai berikut :
1)      Keterampilan Matematika
a)        Menarik  kesimpulan  dari  pola,  sifat,  melakukan  manipulasi matematika  dalam  membuat  generalisasi,  menyusun  buk atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
b)        Mengkomunikasikan  gagasan  dengan  simbol,  tabel,  graf atau diagram untuk memperjelas keadaan atau masalah.
c)        Membuat  (merumuskan),  menafsirkan,  dan  menyelesaika model matematika dalam pemecahan masalah.
d)       Mengaplikasikan  konsep  atau  algoritma  dari  model matematika  atau  pengerjaan  matematika  dalam  memecahkan masalah secara luwes, akurat, efisien, dan tepat.
2)      Bilangan
a)        Melakukan operasi hitung bilangan dalam pemecahan masala
b)        Menggunakan sifat-sifat operasi hitung dalam perhitungan.
c)        Menaksir hasil operasi hitung.
3)      Pengukuran dan Geometri 
a)        Mengidentifikasi  bangun  datar  dan  bangun  ruang  menur sifat, unsur, atau kesebangunannya.
b)        Melakukan  operasi  hitung  yang  melibatkan  keliling,  luas volume, dan satuan pengukuran.
c)        Menaksir  ukuran  (misal:  panjang,  luas,  volume)  dari  benda atau bangun geometri.
d)       Menentukan dan menggambarkan letak titik atau benda dalam sistem koordinat.  
4)      Peluang dan Statistika
Mengumpulkan,  menyajikan,  dan  menafsirkan  data  (ukuran pemusatan data).
5.    Model Pembelajaran
Komaruddin  (Salimi,  2010:92)  mengemukakan  pendapatnya mengenai model yaitu: Model dapat dipahami sebagai: (1) suatu tipe atau desain; (2) suatu deskripsi  atau  analogi  yang  dipergunakan  untuk  membantu  proses visualisasi  sesuatu  yang  tidak  dapat  dengan  langsung  diamati;    (3)  suatu sistem  asumsi-asumsi,  data-data,  dan  inferensi-inferensi  yang  dipakai untuk  menggambarkan  secara  matematis  suatu  obyek  atau  peristiwa;  (4) suatu  desain  yang  disederhanakan  dari  suatu  sistem  kerja,  suatu terjemahan  realitas  yang  disederhanakan;  (5)  suatu  deskripsi  dari  suatu sistem yang mungkin atau imajiner; dan (6) penyajian yang diperkecil agar dapat menjelaskan dan menunjukkan sifat bentuk aslinya. 
Menurut  Rudi  Susilana  dan  Cepi  Riyana  (2008:87)  pembelajaran merupakan  suatu  kegiatan  yang  melibatkan  seseorang  dalam  upaya  memperoleh  pengetahuan,  keterampilan  dan  nilai-nilai  positif  dengan memanfaatkan  berbagai  sumber    untuk  belajar.  Pembelajaran  dapat melibatkan  dua  pihak  yaitu  siswa  sebagai  pembelajar  dan  guru  sebagai fasilitator. Yang terpenting dalam kegiatan pembelajaran adalah terjadinya proses belajar (learning process).
Joyce  &  Weil  (1980)  dalam  Susilana  (2006:139)  mendefinisikan model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk  membentuk  kurikulum  (rencana  pembelajaran  jangka  panjang), merancang bahan-bahan  pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas. Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru boleh  memilih  model  pembelajaran  yang  sesuai  dan  efisien  untuk mencapai tujuan pendidikannya. Model  pembelajaran  mempunyai  makna  yang  lebih  luas  dari  pada strategi,  metode  atau  prosedur  pembelajaran.  Istilah  model  pembelajaran mempunyai  4  ciri  khusus  yang  tidak  dipunyai  oleh  strategi  atau  metode pembelajaran (Triyani, 2009:46):
a.         Rasional teoritis yang logis yang disusun oleh pendidik.
b.         Tujuan pembelajaran yang akan dicapai
c.         Langkah-langkah    mengajar  yang  diperlukan  agar  model pembelajaran dapat dilaksanakan secara optimal.
d.        Lingkungan  belajar  yang  diperlukan  agar  tujuan  pembelajaran dapat dicapai.
Menurut  Joyce  &  Weil  (Susilana,  2006:112)    model  pembelajaran memiliki lima unsur dasar, yaitu :
a.    Syntax, yaitu langkah-langkah operasional pembelajaran, 
b.    Social  system,  adalah  suasana  dan  norma  yang  berlaku  dalam pembelajaran, 
c.    Principles  of  reaction,  menggambarkan  bagaimana  seharusnya guru memandang, memperlakukan, dan merespon siswa, 
d.   Support system, segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran, dan
e.    Instructional  dan  nurturant  effects—hasil  belajar  yang  diperoleh langsung  berdasarkan  tujuan  yang  disasar  (instructional  effects) dan hasil belajar di luar yang disasar (nurturant effects).
Model  pembelajaran  bukan  hanya  membahas  mengenai  cara  guru mengajar,  tetapi  juga  mengenai  bagaimana  siswa  belajar.  Model pembelajaran  yang  digunakan  dalam  suatu  kegiatan  pembelajaran dimaksudkan  untuk  menciptakan  suasana  pembelajaran  yang  efektif sehingga  dapat  membantu  siswa  dalam    membangun  keterampilan intelektualnya untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. 
Adapun  ciri  bahwa  suatu  pembelajaran  disebut  efektif    (Wragg, 1997 dalam Rusmana, 2008) yaitu sebagai berikut:
a.         Ciri  pertama  adalah  bahwa  pembelajaran  efektif  memudahkan murid  mempelajari  sesuatu  yang  bermanfaat  seperti  fakta,  keterampilan, nilai, konsep dan bagaimana hidup serasi dengan seksama, atau suatu hasil belajar  yang  diinginkan. 
b.         Ciri  kedua,  pembelajaran  efektif  adalah  bahwa keterampilan  tersebut  diakui  oleh  mereka  yang  berkompeten  menilai, sperti  guru-guru,  pelatih  guru,  pengawas,  pemilik  sekolah,  tutor  dan  guru pemandu pelajaran atau bahkan murid-murid sendiri.
Dengan  demikian,  pembelajaran  yang  efektif  dapat  dicapai  jika siswa  mempelajari  sesuatu  yang  bermanfaat  dengan  mudah  dan pembelajaran tersebut diakui oleh guru atau bahkan oleh siswanya sendiri sebagai  suatu  keterampilan  mengajar  yang  dapat  memudahkan  siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran.   
6.    Model Pembelajaran Matematika Realistis (Realistic Mathematics Education)
a.         Pengertian Pendekatan Matematika Realistik
Salah  satu  pendekatan  pembelajaran  matematika  yang  berorientasi  pada  siswa  adalah  pendekatan  matematika  realistik.  Pendekatan  matematika realistik  adalah  suatu  teori  dalam  pendidikan    matematika  yang  berdasarkan  pada  ide  bahwa  matematika  adalah  aktivitas  manusia  dan  matematika  harus  dihubungkan  secara  nyata  terhadap  konteks  kehidupan  sehari-hari  siswa  sebagai  suatu  sumber  pengembangan  dan  sebagai  era  aplikasi  melalui  proses  matematisasi baik horizontal maupun vertikal (Johari : 2009:67).
Pendekatan  Matematika  Realistik  atau  Realistic  Mathematic  Education (RME) tidak  dapat  dipisahkan  dari  institut  Frudenthal.  Institut  ini  didirikan  pada tahun 1971 dan berada di bawah Utrect University, Netherlands. Nama institut di ambil dari nama pendirinya  yaitu Prof. Hans Frudenthal (1905-1990). Frudenthal adalah  seorang  penulis,  pendidik,  matematikawan  berkebangsaan  Jerman  / Belanda.
Pada  pendekatan  Realistik,  Frudenthal  berpandangan  bahwa “Mathematics must be connected to reality and mathematics as human activity”. Pertama matematika harus dekat dengan anak dan berhubungan dengan situasi riil kehidupan  sehari-hari.  Realistik  di  sini  tidak  hanya  berarti  sesuatu  yang dihubungkan  dengan  dunia  nyata  saja,  tetapi  juga  sebagai  situasi  masalah  yang dapat dipahami dalam pikiran siswa.
Pendekatan Matematika Realistik (PMR) dikembangkan sejak tahun 1971 oleh  sekelompok  ahli  matematika  dari  Freudenthal  Institute,  Utrecht University Belanda.  Pendekatan  ini  didasarkan  pada  anggapan  Freudenthal  bahwa: “Mathematics must be connected to reality stay close to childrens experience and be  relevant  to  society,  in  order  to  be  human  value,  and mathematics  as  human activity”. Feudenthal menganggap bahwa matematika harus berhubungan  dengan  realita  kehidupan  atau  kegiatan  yang  akrab  dengan pengalaman  sehari-hari  siswa  serta  relevan  dengan  masyarakat  agar  matematika dapat menjadi nilai-nilai kemanusiaan, dan matematika sebagai aktivitas manusia. Berdasarkan  pandangan  dari  Freudenthal  di  atas  dapat  ditarik  dua  kesimpulan  yang  dapat  digunakan  sebagai  landasan  matematika  realistik  yaitu,  pertamamatematika harus dekat atau berhubungan dengan situasi kehidupan nyata sehari-hari  siswa.  Kedua,  matematika  sebagai  aktivitas  manusia  yang  merupakan  salah satu dari prinsip utama pendekatan matematika realistik. 
b.         Karakteristik Pendekatan Matematika Realistik
Secara umum, pendekatan matematika realistik memiliki lima karakteristik, yaitu : 
1)   Penggunaan  konteks  dalam  pembelajaran  matematika  dapat  memfokuskan perhatian siswa terhadap suatu masalah tertentu. Konteks juga dapat berfungsi membatasi  ruang  lingkup  permasalahan  yang  sedang  dipecahkan,  sehingga siswa  dapat  lebih  fokus  dalam  menyelesaikan  masalah.  Selain  itu,  konteks disajikan  dalam  bentuk  masalah  atau  masalah  konstektual  sebagai  aplikasi konsep  matematika  dalam  kehidupan  nyata  yang  merupakan  bagian  esensial dalam pendekatan matematika realistik. Peran guru pada karakteristik pertama ini adalah dapat memunculkan masalah konstektual tersebut
2)   Penggunaan  model  sebagai  representasi  dari  satu  masalah  tersebut  yang berfungsi  sebagai  “jembatan”  menuju  kegiatan  matematisasi  vertical. Penggunaan model pembelajaran dapat menghasilkan kemampuan siswa dalam membuat  model,  skema maupun  simbolisasi  dalam  matematika.  Peran  guru adalah mengarahkan, membimbing dan memotivasi siswa agar dapat membuat model dari satu masalah. 
3)   Penggunaan  konstruksi  maupun  kontribusi  dari  siswa  diperoleh  melalui berbagai  kegiatan,  antara  lain:  kegiatan  konstruksi,  rerleksi,  antisifasi  maupun integrasi  dalam  pembelajaran  matematika.  Siswa  diberi  kesempatan  untuk menemukan  konsep-konsep  maupun  algoritma  dalam  matematika  melalui kegiatan  doing  mathematics.  Peran  guru  adalah  merangsang  siswa  agar  dapat berkontribusi  secara  maksimum,  mengarahkan  kontribusi  siswa  dan menyeleksi kontribusi siswa.
4)   Interaktivitas  dalam  proses  pengajaran  merupakan  Interaksi  antar  siswa  dan siswa  maupun  antar  siswa  dan  guru  dalam  bentuk  negosiasi,  interpretasi, diskusi, kerjasama dan evaluasi. Dengan adanya interaksi antara berbagi unsur dalam  pembelajaran  matematika  membuat  suasana  kelas  menjadi  hidup  dan bersemangat.  Hal  tersebut  dapat  membuat  siswa  menjadi  senang  belajar matematika.  Interaksi  yang  terjadi  dalam  pembelajran  matematika  tersebut menetapkan siswa menjadi fokus dari segala kegiatan di kelas. Sedangkan guru berfungsi  dari  segala  interaksi  yang  terjadi  secara  efektif  dalam  mencapai tujuan pembelajaran.
5)   Interaksi  dengan  berbagai  topik  pembelajaran  lannya.  Keterkaitan  antar  topik dapat  memudahkan  siswa  dalam  memahami  suatu  konsep  yang  bersangkutan. Suatu topik dalam matematika lebih sukar dipahami jika terpisah dengan topik yang lainnya.Peran guru pada karakteristik kelima ini adalah guru harus dapat mengaitkan topik pada materi ini dengan topik yang berhubungan. 
Perpaduan antara pandangan Van Hiele’s Level, Frudenthal’s Didactional Phenomenology, dan Treffers Progressive  Mathematization  melahirkan  lima  karakteristik  dasar  pendidikan  matematika  realistik,  yaitu  :
1)    Menggunakan  masalah yang kontekstual (phenomenological exploration or the use of contexts).
2)    Penggunaan  penghubung  atau  model  instrumen  vertical  (the  use  models  or bridging  by  vertical  instrument). 
3)    Menggunakan  kontribusi  siswa  dalam memproduksi  dan  mengkontuksi  sendiri  (the  use  of  student  own  production  and  construction). 
4)    Interaktif  sebagai  karakteristik  dari  proses  pembelajaran matematika  (the  interactive  character  of  teaching  process  or  interactivity). 
5)    Membuat  jalinan  antar  topik  atau  pokok  bahasan  (the  intervining  of  various  learning strands or units).
Sesuai  dengan  prinsip  Frudenthal’s  Didactional  Phenomology  bahwa belajar  matematika  harus  dimulai  dari  fenomena  atau  kejadian  riil  bagi  siswa berupa  masalah  kontekstual.  Selain  sebagai  sumber  belajar,  masalah  kontekstual akan  memberikan  gambaran  riil  mengenai  konsep  matematika  yang  akan dipelajari  dan  digunakan  (matematisasi)  dalam  proses  pembelajaran.  Dengan pengalaman  yang  telah  dimilikinya,  memungkinkan  siswa  tersebut  untuk terlibat secara aktif dalam situasi belajar yang bermakna. Kondisi belajar yang seperti ini memberikan  kesempatan  kepada  siswa  secara  leluasa  untuk  menyelidiki  situasi, menemukan  dan  mengidentifikasi  matematika  yang  relefan,  membuat  skema, berimajinasi untuk menemukan keteraturan  yang  membentuk konsep matematika dan  selanjutnya  siswa  akan  menerapkan  konsep  pada  dunia  nyata  (real  world) dalam kehidupan sehari-hari.
Istilah  model  pendekatan  realistik  mengacu  pada  model  matematika  dan model  situasi  yang  dikembangkan  oleh  siswa  sendiri.  Model  yang  dibangun dari pengalaman  siswa  pada  saat  siswa  memecahkan  masalah  merupakan  jembatan matematisasi  siswa  dari  matematika  informal  kearah  matematika  formal.  Ada empat  tingkatan  model  yang  dirancang  pada  proses  pembelajaran  Realistic Mathematic Education.
Dari  hal  yang  konkret  pada  pembelajaran  realistik  tentunya  siswa  dapat menghasilkan  lebih  banyak  lagi  “sesuatu  yang  baru”  melalui  pengalaman matematisasinya,  karena  siswa  bebas  menentukan  strategi  yang  tepat  dalam mengkontruksi masalah dan bebas menghasilkan sesuatu berdasarkan pemahaman mereka  terhadap  masalah  tersebut.  Sumbangan  kontribusi  siswa  berupa kemampuan  memproduksi  dan  mengkontruksi  dalam  memecahkan  masalah matematika  merupakan  hal  yang  sangat  penting  dalam  proses  belajar  siswa terutama penilaian terhadap strategi belajar yang digunakan siswa.
Adanya  interaksi  antara  siswa  dengan  siswa  lainnya  dan  antara  siswa dengan  guru  merupakan  bagian  yang  tidak  kalah  penting  di  dalam  Realistik Mathematic  Education.  Kemampuan  siswa  dalam  bernegosiasi,  intervensi, diskusi,  dan  kemampuan  menilai  terhadap  suatu  masalah  sebenarnya  telah dikuasai siswa secara informal. Dengan kemampuan matematika informal tersebut dapat  dijadikan  landasan  pacuan  untuk  siswa  membangun  pemahaman matematika  formalnya.  Kegiatan  interaktif  sendiri  secara  spesifik  dapat terlihat dari  keterlibatan  siswa  dalam  menjelaskan,  membenarkan,  menyetujui,  dan bertanya terhadap penyelesaian masalah matematika.
Salah  satu  permasalahan  yang  sulit  dalam  penerapan  pembelajaran matematika  adalah  pembahasan  materi  matematika  yang  berdiri  sendiri.  Pada RME  mengintegrasikan  atar  topik  atau  antar  pokok  bahasan  atau  sering disebut dengan  pendekatan  holistik.  Holistik  merupakan  salah  satu  karakteristik pendekakan realistik. Dalam pandangan ini siswa dapat merasakan sendiri bahwa matematika  memiliki  unsur  fleksibel  dalam  memperjelas  bahasan  atau mendukung pembahasan lainnya dalam suatu konteks atau tema yang sama.
Pada  desain  pembelajaran  matematika  realistik  masalah-masalah kontekstual  berfunggsi  sebagai  sumber  belajar  dan  terapan  dari  konsep matematika. Adanya  jalinan  antar  topik  atau  pokok  bahasan  dalam  matematika realistik merupakan usaha untuk mengintegrasikan bahan-bahan matematika yang dipadukan  dalam  konteks  tema.  Sedangkan  penggunaan  model  dan  skema dikembangkan untuk mentransfer rumus atau formal matematika secara langsung.  Model  ini  dikembangkan  oleh  siswa  sendiri  dalam  penggunaannya  dan  dapat  dijadikan sebagai penghubung antara informal matematika ke formal matematika.  Kemampuan siswa dalam bernegosiasi secara eksklusif, intervensi, kooperatif dan  evaluasi  antar  siswa  dan  guru  merupakan  faktor  penting  dalam  proses  belajar mengajar.  
Kerangka  pembelajaran  matematika  dengan  pendekatan  realistik menuntun siswa dari keadaan  yang sangat konkrit menuju  yang abstrak. Para siswa  dibimbing  oleh  masalah-masalah  kontekstual.  Dalam  falsafah  realistik, dunia nyata digunakan sebagai titik pangkal permulaan dalam pengembangan konsep-konsep  dan  gagasan  matematika.  Menurut  Traffers  dan  Goffree (Suherman  :  2003)  bahwa  masalah  kontekstual  dalam  kurikulum  realistik, berguna untuk mengisi sejumlah fungsi : 
1)        Pembentukan  konsep  :  Dalam  fase  pertama  pembelajaran,  para  siswa diperkenankan  untuk  masuk  ke  dalam  matematika  secara  alamiah  dan termotivasi.
2)        Pembentukan  model:  Masalah-masalah  kontekstual  memasuki  fondasi siswa  untuk  belajar  operasi,  prosedur,  notasi,  aturan  dan  mereka mengerjakan  ini  dalam  kaitannya  dengan  model-model  lain  yang kegunaannya sebagai pendorong penting dalam berpikir.
Guru  menyampaikan  dan  menjelaskan  masalah  (soal)  kontekstual,  agar siswa  dapat  memahami  masalah  konstektual  dengan  benar.  Masalah  konstektual yang  disampaikan  guru  dapat  berupa  masalah  yang  berhubungan  dengan kehidupan  sehari-hari  dapat  pula  hal-hal  yang  dapat  difikirkan  oleh  siswa. Langkah  kedua  sesuai  karakteristik  pertama  dan  keempat  dari  pembelajaran matematika realistik yakni adanya masalah konstektual serta interaksi antar siswa dan siswa maupun siswa dan guru. 
c.         Langkah-Langkah Pendekatan Matematika Realistik 
Langkah-Langkah  di  dalam  proses  pembelajaran  Matematika  dengan  pendekatan PMR yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut: 
1)    Memahami masalah Kontekstual
Siswa  diberi  masalah  /  soal  kontekstual,  guru  meminta  siswa  memahami masalah  tersebut  secara  individual.  Guru  memberi  kesempatan  kepada  siswa menanyakan masalah / soal yang belum dipahami, dan guru hanya memberikan petunjuk seperlunya terhadap bagian- bagian situasi dan kondisi masalah.
2)    Menjelaskan masalah kontekstual
Jika  dalam  memahami  masalah  siswa  mengalami  kesulitan,  maka  guru menjelaskan  situasi  dan  kondisi  dari  soal  dengan  cara  memberikan  petunjuk- petunjuk atau berupa saran seperlunya.
3)    Menjelaskan masalah kontekstual
Siswa  mendeskripsikan  masalah  kontekstual,  melakukan  interprestasi  aspek matematika  yang  ada  pada  masalah  yang  di maksud,  dan  memikirkan strategi pemecahan masalah.
4)    Membandingkan
Guru  meminta  siswa  membentuk  kelompok  secara  berpasangan  dengan  teman sebangkunya,  bekerja  sama  mendiskusikan  penyelesaian  masalah-  masalah yang  telah  diselesaikan  secara  individu  (negoisasi,  membandingkan,  dan berdiskusi )
5)    Menyimpulkan
Dari  hasil  diskusi  kelas,  guru  mengarahkan  siswa  untuk  menarik  kesimpulan suatu rumusan konsep/prinsip dari topik yang dipelajari.
d.        Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Matematika Realistik
1)        Adapun kelebihan dari penerapan Pembelajaran Matematika Realistik yaitu : 
a)        PMR memberikan pengertain yang jelas dan operasiaonal kepada siswa tentang keterkaitan  antara  matematika  dengan  kehidupan  sehari-  hari  dan  kegunaan matematika pada umumnya bagi manusia
b)        PMR memberikan pengertain yang jelas dan operasiaonal kepada siswa bahwa matematika  adalah  suatu  bidang  kajian  yang  dikonstruksi  dan  dikembangkan sendiri  oleh  siswa  tidak  hanya  oleh  mereka  yang  disebut  pakar  dalam  bidang tersebut.
c)        PMR memberikan pengertain yang jelas dan operasiaonal kepada siswa bahwa cara  penyelesaian  suatu  soal  atau  masalah  tidak  harus  tunggal  dan  tidak harus sama antara orang yanng satu dengan yang lain.
d)       PMR memberikan pengertain yang jelas dan operasiaonal kepada siswa bahwa dalam  mempelajari  matematika,  proses  pembelajaran  merupakan  suatu  yang utama dan untuk mempelajari matematika orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep- konsep matematika,dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu.
2)        Kelemahan dari Pembelajaran Matematika Realistik, yaitu :
a)        Upaya mengimplementasikan PMR membutuhkan perubahan pandangan yang sangat  mendasar  mengenai  berbagai  hal  yang  tidak  mudah  untuk dipraktekkan, misalnya mengenai siswa, guru dan peranan soal kontekstual.
b)        Pencarian  soal-soal  kontekstual  yang  memenuhi  syarat-  syarat  yang  dituntut PMR  tidak  selalu  mudah  untuk  setiap  topik  matematika  yang  prlu  dipelajari siswa.
c)        Upaya  mendorong  siswa  agar  bisa  menemukan  berbegai  cara  untuk menyelesaikan soal, juga bukanlah hal yang mudah bagi seorang guru Proses  pengembangan  kemampuan  berfikir  siswa  melalui  soal-soal  kontekstual, proses pematematikaan horizontal dan proses pematematikaan vertikal juga bukan merupakan  sesuatu  yang  sederhana.  Walaupun  pada  pendekatan  PMR terdapat kendala- kendala dalam  upaya penerapannya, menurut peneliti  kendala-kendala yang dimaksud hanya bersifat sementara (temporer).
7.    Konsep Pecahan Sederhana
Matematika  memberikan  berbagai  macam  strategi  untuk mengorganisasikan,  menganalisis  serta  senantiasa  mensintesis  data.  Melalui matematika  peserta  didik  dapat  mengembangkan  kemampuan  logik  serta kemampuan  berfikir  yang    kritis,  karena  dalam  mempelajari  matematika  peserta  didik  senantiasa  di  tuntut  untuk  melakukan  penghayatan  serta pemikiran  secara  cermat,  peserta  didik  akan  sulit  menentukan  pola  atau hubungan diantara konsep atau ide yang ada dalam matematika.
  Pecahan  merupakan  bagian  yang  penting  dalam  matematika.  Pecahan selalu  digunakan  dalam  kehidupan  sehari-hari.  Dunia  ini  penuh  dengan  pecahan, jika tidak ada pecahan, kita akan kesulitan dalam membagi sesuatu. Bilangan  pecahan  pertama  kali  digunakan  bangsa  Mesir  Kuno,  sekitar 1600  SM.  Pecahan  pada  saat  itu  dapat  dilihat  pada  tulisan  di  Papyrus  Ahmes. Bangsa  Mesir  menggunakan  pecahan  satuan  yaitu  pecahan  pembilang  adalah angka  satu  untuk  menyatakan  perbandingan  pecahan-pecahan  tersebut  ditulis dengan menggunakan huruf Hierorlyph.   Pecahan adalah suatu bilangan yang merupakan hasil bagi antara bilangan bulat  dan  bilangan  asli  di  mana  bilangan  yang  dibagi  (pembilang)  nilainya  lebih kecil dari bilangan pembaginya.
Kata  pecahan  berasal  dari  kata  pecah  yang  merupakan  kata  dasarnya  dan  diberikan  akhiran  -an.  Kata  pecah  menurut  Kamus  Besar  Bahasa  Indonesia  berarti  ”terbelah  menjadi  beberapa  bagian”.  Setelah  mendapat akhiran –an artinya menjadi ”bagian dari benda yang terbelah”. Jika  dikaitkan  dengan  bilangan  maka,  menurut  Kamus  Besar  Bahasa  Indonesia memiliki arti ”bilangan yang bukan bilangan bulat”.   Menurut  Subarinah (2009:27),  pada  prinsipnya  pecahan  digunakan  untuk  menyatakan beberapa bagian dari sejumlah bagian  yang sama, sedangkan  menurut  Heruman  pecahan  dapat  diartikan  sebagai  bagian  dari  sesuatu  yang utuh (Azhar : 2008:42). Dari kedua pendapat di atas dapat dilihat bahwa  jika  suatu  benda  dibagi  menjadi  beberapa  bagian,  maka  setiap  bagian  tersebut  merupakan  pecahan  dari  keseluruhan  benda  semula.  Pecahan  biasanya  dilambangkan  dengan  dua  buah  bilangan  yang  salah  satunya  disebut pembilang dan yang lainnya disebut penyebut.
Penjumlahan  pecahan,  yaitu  menjumlahkan  dua  atau  lebih  bilangan  pecahan berpenyebut  sama  dengan  menjumlahkan  bilangan  pembilangnya  saja  sedangkan bilangan penyebutnya tetap. Dalam operasi penjumlahan ada dua hal penting yang harus  diperhatikan.  Pertama,  ketika  akan  menjumlahkan  pecahan  dengan penyebutnya  yang  telah  sama,  maka  dapat  secara  langsung  dioperasikan (dijumlahkan) bilangan pembilangnya saja. Kedua, bilangan penyebutnya berbeda maka disamakan bilangan penyebutnya dengan mencari pecahan yang senilai atau dengan  kelipatan persekutuan terkecil (KPK).
Pengurangan  pecahan,  yaitu  mengurangkan  dua  atau  lebih  bilangan  pecahan berpenyebut  sama  dengna  menjumlahkan  bilangan  pembilangnya  saja  sedangkan bilangan  penyebutnya  tetap.  Seperti  halnya  dalam  operasi  penjumlahan  pecahan ada  beberapa  hal  yang  harus  diperhatikan.  Pertama,  ketika  akan  mengurangkan pecahan dengan  penyebutnya  yang  telah  sama,  maka  dapat  secara  langsung dioperasikan  (dikurangkan)  bilangan  pembilangnya  saja.  Kedua,  bilangan penyebutnya  berbeda  maka  disamakan  bilangan  penyebutnya  dengan  mencari pecahan yang senilai atau dengan  kelipatan persekutuan terkecil (KPK) kemudian dioperasikan (dikurangkan) bilangan pembilangnya.

B.       Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kerangka teoritik di atas maka dapat dirumuskan hipotesis tindakan untuk penelitian ini, yaitu sebagai berikut :
1.         Penggunaan model pembelajaran pendekatan matematika realistis dalam pembelajaran matematika dalam pemecahan masalah akan meningkatkan keaktifan siswa kelas siswa kelas IV SD Negeri 2 Tlaga.
2.         Penggunaan model pembelajaran pendekatan matematika realistis dalam pembelajaran matematika dalam pemecahan masalah akan meningkatkan hasil dan ketuntasan belajar siswa kelas siswa kelas IV SD Negeri 2 Tlaga.

C.      Indikator dan Kriteria Keberhasilan
Indikator yang digunakan untuk mengukur peningkatan hasil belajar dan ketuntasan belajar siswa dalam mempelajari materi pembelajaran. Siswa dinyatakan tuntas dengan kriteria mencapai penguasaan materi di atas KKM atau mendapat nilai minimal 63. Adapun indikator yang digunakan untuk mengukur peningkatan keaktifan belajar adalah perhatian siswa terhadap penjelasan guru, kemampuan siswa mengemukakan pendapat, keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran dan pelaksanaan tugas selama mengikuti kegiatan pembelajaran. Siswa dinyatakan terlibat secara aktif jika siswa memberikan respon aktif terhadap penjelasan dan pertanyaan yang diajukan guru, aktif dalam melaksanakan tugas guru, aktif belajar dan bekerja kelompok, serta aktif mengkomunikasi hasil proses pembelajaran.
Kriteria keberhasilan yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan proses pembelajaran melalui upaya perbaikan pembelajaran sebagai berikut :
1.         Proses perbaikan pembelajaran dinyatakan berhasil jika siswa menguasai 70% materi pembelajaran atau siswa mendapat nilai minimal 63.
2.         Proses perbaikan pembelajaran (peningkatan hasil belajar siswa) dinyatakan berhasil jika 75% dari jumlah siswa, tuntas dalam belajar.
3.         Proses perbaikan pembelajaran (peningkatan keaktifan belajar siswa) dinyatakan berhasil jika 75 % dari jumlah siswa terlibat secara aktif mengikuti proses  pembelajaran

FILE LENGKAP SILAHKAN KIRIM email ke fikrierizaldy@gmail.com
hanya untuk referensi, bukan disalin secara utuh. SEMOGA BERMANFAAT.
 

0 comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar, hindari unsur SARA.
Terima kasih