BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1.
Belajar
Belajar merupakan
proses penting bagi
perubahan perilaku manusia
dan mencakup segala sesuatu
yang dipikirkan dan
dikerjakan. Belajar memegang peranan penting
di dalam perkembangan, kebiasaan,
sikap, keyakinan, tujuan, kepribadian, dan bahkan persepsi
manusia.
Belajar menurut James O.
Whittaker dalam Darsono (2000:4), ”Learning may
be defined as
the process by
which behavior originates
or is altered
through training or
experience” belajar dapat didefinisikan sebagai proses
menimbulkan atau merubah perilaku melalui latihan atau pengalaman.
Menurut Wingkel dalam Darsono
(2000:4), belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis dalam interaksi
aktif dengan lingkungan,
yang menghasilkan perubahan
dalam pengetahuan pemahaman, keterampilan dan nilai sikap.
Djamarah (2000:20) mengemukakan
bahwa belajar adalah
serangkaian kegiatan jiwa raga
untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku
sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi
dengan lingkungannya menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotorik
Slameto dalam Djamarah (2000: 24),
merumuskan juga tentang pengertian belajar yaitu suatu proses usaha yang
dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam
interaksi dengan lingkungan. Belajar
adalah mengumpulkan sejumlah
pengetahuan. Kegiatan belajar dapat
dimulai sejak lahir
sampai berlangsung seumur
hidup. Sejak manusia
ada, sebenarnya kita
telah melaksanakan aktivitas
belajar. Oleh karena
itu, kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa
aktivitas belajar itu telah ada sejak manusia diciptakan.
Beberapa ahli mengatakan
bahwa manusia adalah
makhluk belajar, maka
sebenarnya dalam diri
manusia itu ada
potensi untuk diajar.
Pada masa sekarang ini, belajar menjadi sesuatu yang
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Belajar
mempunyai ciri yang
bisa dibedakan dengan
kegiatan lainya yang bukan belajar. Oleh karena itu tidak
semua kegiatan belajar dikatakan belajar walaupun kegiatan itu mirip belajar.
Dalam kehidupan sehari-hari, siswa
melakukan kegiatan yang sebenarnya gejala
belajar, misalnya mengenakan
pakaian, berkomunikasi, berbicara
dan sebagainya. Winkel (1997:36)
mengatakan bahwa :
Belajar adalah suatu
aktivitas mental dan psikis yang
berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan
perubahan-perubahan dalam pengetahuan,
pemahaman, keterampilan dan nilai sikap di mana perubahan ini bersifat
secara relatif konstan dan berbekas.
Belajar merupakan kebutuhan
bagi semua orang,
sebab melalui belajar
seseorang dapat memahami
kecakapan, keterampilan dan
pengetahuan serta konsep diri
yang dapat dibentuk karena belajar.
Dari definisi di atas yang
dimaksudkan bahwa adanya perubahan pada diri
individu yang belajar
dimana perubahan yang
merupakan hal yang
baru dan secara kualitatif lebih tinggi dibandingkan
kemampuan yang dimiliki sebelumnya, begitu
pula dengan proses mengajarnya.
Belajar merupakan
kegiatan penting setiap
orang, termasuk didalamnya belajar bagaimana seharusnya belajar. Sebuah
survei memperlihatkan bahwa 82% anak-anak yang
masuk sekolah pada
usia 5 atau
6 tahun memilki
citra diri yang positif tentang
kemampuan belajar mereka
sendiri. Tetapi angka
tinggi tersebut menurun
drastis menjadi hanya
18% waktu mereka
berusia 16 tahun. Konsekuensinya, 4
dari 5 remaja
dan orang dewasa
memulai pengalaman belajarnya yang baru dengan perasaan
ketidaknyamanan (Sumadi, 1993: 37).
Pengertian menurut
pendapat beberapa para
ahli seperti diuraikan
di atas dapat
disimpulkan bahwa belajar
adalah suatu perubahan
tingkah laku manusia
yang bersifat relatif permanen sebagai hasil pengalaman, latihan, dan
interaksinya dengan lingkungan
melibatkan proses kognitif / proses mental. Proses kognitif ini didukung
oleh fungsi ranah
psikomotor. Sehingga dapat
diambil kesimpulan bahwa inti dari belajar adalah perkembangan
kemampuan untuk perubahan sikap. Sehingga
manusia tersebut bisa menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya.
2.
Hasil Belajar
Hasil belajar
adalah tingkat perubahan
atau keberhasilan siswa
yang mencakup aspek kemampuan
pemahaman, sikap, dan
nilai serta keterampilan setelah mengikuti proses belajar
mengajar. Tingkat keberhasilan dalam mengikuti kegiatan belajar merupakan hasil
belajar yang telah dicapai oleh siswa.
Dalam kamus umum bahasa Indonesia
bahwa hasil belajar adalah sesuatu yang diperoleh atau
dicapai dalam belajar.
Hasil belajar menurut
Sudjana (2005:65) adalah kemampuan-kemampuan yang
dimiliki siswa setelah
ia menerima pengalaman belajar.
Hasil belajar menurut
pengertian di atas adalahkemampuan-kemampuan yang
muncul setelah seseorang
belajar. Kemampuan tersebut terbentuk dari pengalaman siswa dalam proses
belajar.
Gagne seperti dikutip Suprayekti
mengklasifikasikan hasil belajar menjadi lima
kategori yaitu : a. Informasi
verbal, b. Kemahiran
intelektual, c. Strategi kognetif, d. Sikap, e. Keterampilan
motorik. Kemampuan informasi verbal adalah mengembangkan kemampuan
menyimpan informasi dalam
ingatan. Pada kemahiran intelektual
dapat dilihat berupa
kemampuan menggunakan simbol untuk
berinteraksi, mengorganisir, dan
membentuk arti. Strategi
kognitif adalah kemampuan
untuk mengatur dan
mengontrol proses berfikir
dalam diri sendiri.
Hasil belajar
motorik berhubungan dengan
melakukan gerakan tubuh
dengan lancar dan tepat.
Sedangkan pada hasil
belajar sikap merupakan
suatu kondisi mental yang mempengaruhi pemilihan perilaku.
Penilaian hasil belajar
mengisyaratkan hasil belajar
sebagai program atau objek
yang menjadi sasaran
penelitian. Hasil belajar
sebagai objek penilaian dalam hakikatnya menilai penguasaan
siswa terhadap tujuan-tujuan instruksional. Hal
ini adalah karena
isi rumusan tujuan
instruksional menggambarkan hasil belajar yang
harus dikuasai siswa
berupa kemampuan-kemampuan siswa
setelah menerima atau menyelesaikan pengalaman belajarnya. Hasil belajar
sebagai objek dapat dibedakan kedalam
beberapa kategori, antara
lain keterampilan dan kebiasaan, pengetahuan dan pengertian,
sikap dan cita-cita.
Hasil belajar
merupakan tingkat keberhasilan
siswa dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam
suatu program. Merupakan padanan kata hasil belajar adalah prestasi belajar,
Syah (1995:150) mengungkapkan bahwa prestasi
sebagai hasil belajar
adalah taraf keberhasilan
sebuah proses. Berkaitan erat dengan
hal ini adalah
evaluasi, evaluasi merupakan
alat penilaian tingkat keberhasilan (prestasi) tersebut.
Berdasarkan uraian
di atas, kita
dapat menggarisbawahi bahwa
evaluasi hasil belajar merupakan
proses untuk menentukan
hasil belajar siswa
melalui kegiatan penilaian. Tujuan
utama evaluasi hasil
belajar adalah untuk mengetahui tingkat keberhasilan
yang dicapai oleh
peserta didik setelah
mengikuti suatu
kegiatan-kegiatan proses belajar
mengajar, dengan tingkat
keberhasilan diberi nilai yang
berupa angka atau
huruf. Jika tujuan
sudah tercapai hasilnya
dapat digunakan untuk keperluan tertentu.
Belajar merupakan
usaha secara sadar
untuk menghasilkan suatu perbuatan, baik
perubahan pengetahuan, tingkah
laku dan sebagainya
terhadap tujuan yang telah
ditetapkan. Perubahan hasil
belajar ini adalah
semua ranah psikologi dalam
belajar, yaitu ranah kognitif, ranah efektif dan ranah psikomotor. Pada dasarnya
hasil belajar atau
prestasi belajar yang utama
meliputi ranah psikologi yaitu
kognitif, afektif dan
psikomotor. Yang sulit
diukur adalah ranah rasa.
Bloom dalam “Taxonomy of Education Objectives” menyebutkan bahwa :
Perubahan tingkah sebagai
hasil belajar meliputi
tiga domain, yaitu
domain kognitif, domain afektif,
domain psikomotor. Domain
kognitif adalah tujuan-tujuan belajar yang berhubungan dengan
memanggil kembali (recall)
pengetahuan dan pengembangan kemampuan
intelektual dan keterampilan.
Domain afektif adalah tujuan-tujuan
yang menjelaskan perubahan
sikap, minat, dan
nilai nilai, dan
pengembangan apresiasi serta
penyesuaian. Domain psikomotor
(motor skill
area manipulative) memuat
perubahan tingkah laku
yang menunjukkan bahwa siswa telah
mempelajari keterampilan manipulatif
fisik tertentu, sedangkan domain kognitif
memuat enam kategori
yang disusun mulai
dari yang paling sederhana sampai
ke yang paling
komplek, yaitu : (1) pengetahuan,
(2) pemahaman, (3) aplikasi, (4) analisis, (5) sintesis, dan (6)
evaluasi.
Hasil belajar
adalah perwujudan dari
proses belajar, yakni
terjadinya perubahan tingkah laku
secara keseluruhan. Macam-macam
tipe hasil belajar sangat penting
diketahui oleh guru
dalam rangka merumuskan
tujuan pengajaran dan menyusun alat-alat
penilaian, baik melalui tes maupun bukan tes.
Pada umumnya hasil belajar
dinilai melalui tes, baik itu tes uraian maupun tes objektif. Pelaksaan
penilaian bisa secara
lisan, tulisan, dan
tindakan atau perbuatan. Tes
uraian mempunyai keunggulan
dari tes objektif
karena dapat mengungkapkan aspek
atau abilitas mental
yang lebih tinggi
yang tercermin dalam logika
berfikir dan kemampuan
berbahasa lisan. Sedangkan
tes objektif lebih unggul dalam
hal materi diujikan
dapat lebih banyak
dan mudah dalam memeriksa dan mengolah hasilnya.
Tujuan penilaian proses
belajar mengajar pada
hakikatnya adalah untuk mengetahui kegiatan
belajar mengajar, terutama
efisiensi, keefektifan, dan produktivitasnya dalam mencapai tujuan
pengajaran.
Berdasarkan pengertian
hasil belajar dari
beberapa para ahli
di atas dapat kita ambil garis besar yaitu : jika
ketika proses belajar mengajar berlangsung dan pengajar dapat
memanfaatkan waktu sebaik
mungkin supaya materi
yang disampaikan bisa terserap
baik oleh siswa,
berarti akan memberikan
peluang kepada siswa untuk
meraih hasil belajar
yang semaksimal mungkin.
Jadi hasil belajar adalah suatu hasil akhir dari proses pembelajaran
siswa, baik itu di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Jika ingin mencapai
hasil akhir yang memuaskan maka siswa harus belajar secara maksimal.
Hasil belajar
matematika siswa sekolah
dasar dalam penelitian
ini merupakan kemahiran matematika
yang mencakup kemampuan
penalaran, komunikasi,
pemecahan masalah, keterkaitan
pengetahuan, dan kegunaan matematika setelah
mengikuti pembelajaran matematika
yang terwujud dalam bentuk
skor hasil belajar
matematika.
3.
Keaktifan Belajar
Menurut kamus besar bahasa
Indonesia, keaktifan adalah kegiatan sedang belajar merupakan proses perubahan
pada diri individu kearah yang lebih baik yang bersifat tetap berkat adanya
interaksi dan latihan. Jadi keaktifan belajar adalah suatu kegiatan individu
yang dapat membawa perubahan kearah yang lebih baik pada diri individu karena
adanya interaksi antara individu dengan individu dan individu dengan lingkungan
(Poerwodarminto, 1992 : 17),
Keaktifan belajar adalah suatu
kegiatan yang menimbulkan perubahan pada diri individu baik tingkah laku maupun
kepribadian yang bersifat kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian yang bersifat
konstan dan berbekas. Keaktifan belajar akan terjadi pada diri siswa apabila terdapat
interaksi antara situasi stimulus dengan isi memori, sehingga perilaku siswa
berubah dari waktu sebelum dan sesudah adanya situasi stimulus tersebut.
Selama proses belajar siswa
dituntut aktivitasnya untuk mendengarkan, memperhatikan dan mencerna pelajaran
yang diberikan guru, di samping itu sangat dimungkinkan para siswa memberikan
balikan berupa pertanyaan, gagasan pikiran, perasaan, keinginannya. Guru
hendaknya mampu membina rasa keberanian, keingintahuan siswa, untuk itu siswa
hendaknya merasa aman, nyaman, dan kondusif dalam belajar. Peran guru dalam
pembelajaran siswa aktif adalah sebagai fasilitator dan pembimbing siswa yang
memberi berbagai kemudahan siswa dalam belajar serta mampu mendorong siswa
untuk belajar seoptimal mungkin.
Keaktifan adalah kegiatan atau
aktivitas atau segala sesuatu yang dilakukan atau kegiatankegiatan yang terjadi
baik fisik maupun non fisik (Mulyono, 2001 : 26). Aktivitas tidak hanya ditentukan oleh
aktivitas fisik semata, tetapi juga ditentukan oleh aktivitas non fisik seperti
mental, intelektual dan emosional. Keaktifan yang dimaksudkan di sini
penekanannya adalah pada siswa, sebab dengan adanya keaktifan siswa dalam
proses pembelajaran akan tercipta situasi belajar aktif. belajar aktif adalah
suatu sistem belajar mengajar yang menekankan keaktifan siswa secara fisik,
mental intelektual dan emosional guna memperoleh hasil belajar yang berupa
perpaduan antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Belajar aktif sangat diperlukan oleh siswa
untuk mendapatkan hasil belajar yang maksimum. Ketika siswa pasif atau hanya
menerima informasi dari guru saja, akan timbul kecenderungan untuk cepat
melupakan apa yang telah diberikan oleh guru, oleh karena itu diperlukan
perangkat tertentu untuk dapat mengingatkan yang baru saja diterima dari guru
(Natawijaya, 2005 : 31)
Proses pembelajaran yang
dilakukan di dalam kelas merupakan aktivitas mentransformasikan pengetahuan,
sikap, dan keterampilan. Dalam kegiatan pembelajaran ini sangat dituntut
keaktifan siswa, dimana siswa adalah subjek yang banyak melakukan kegiatan,
sedangkan guru lebih banyak membimbing dan mengarahkan. Keaktifan siswa dalam
kegiatan pembelajaran dapat dilaksanakan manakala : (1) pembelajaran yang
dilakukan lebih berpusat pada siswa, (2) guru berperan sebagai pembimbing
supaya terjadi pengalaman dalam belajar (3) tujuan kegiatan pembelajaran
tercapai kemampuan minimal siswa (kompetensi dasar), (4) pengelolaan kegiatan
pembelajaran lebih menekankan pada kreativitas siswa, meningkatkan kemampuan
minimalnya, dan mencapai siswa yang kreatif serta mampu menguasai
konsep-konsep, dan (5) melakukan pengukuran secara kontinu dalam berbagai aspek
pengetahuan, sikap, dan keterampilan (Yamin, 2007: 80- 81).
4.
Hakikat Pembelajaran Matematika
a.
Pengertian
Matematika
Istilah matematika diambil dari
bahasa Yunani yaitu “mathema” yang
berarti “relating to learning”,
(Iskandar, 2008:19) istilah ini mempunyai akar kata mathema yang berarti
pengetahuan atau ilmu (knowledge science). Berdasarkan
etimologis menurut Tinggih
(SPMK, Tim 2001)
kata matematika berarti ilmu
pengetahuan yang diperoleh
dengan bernalar. Matematika
lebih menekankan aktivitas dalam dunia rasio (penalaran). Begitu pula
menurut Ruseffendi dalam Iskandar, 2008:19)
“matematika terbentuk sebagai
hasil pemikiran manusiayang
berhubungan dengan ide,
proses, dan penalaran”.
Arti dan definisi
yang tepat dari matematika tidak
dapat diterapkan secara eksak ( pasti) dan singkat.
“Definisi dari
matematika makin lama
makin sukar dibuat,
karena cabang matematika makin
lama makin bertambah,
dan makin bercampur
satu sama lain”. (Ruseffendi,
dalam Iskandar, 2008:19).
Menurut Soedjadi
pengertian matematika (Soedjadi
: 2000) adalah cabang ilmu pengetahuan
eksak dan terorganisir
secara sistematik,
pengetahuan tentang bilangan
dan kalkulasi, pengetahuan
tentang penalaran logik dan
berhubungan dengan bilangan,
pengetahuan tentang fakta-fakta kuantitatif dan
masalah tentang ruang
dan bentuk, pengetahuan
tentang struktur yang logik, dan pengetahuan tentang aturan-aturan yang
ketat.
Sejalan dengan
pendapat di atas
matematika menurut Johnson
dan Rising (Suherman :
2003) adalah pola
pikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang
logis dan bahasa
yang menggunakan istilah
yang didefinisikan dengan cermat,
jelas dan akurat,
direpresentasikan dengan
menggunakan simbol dan padat.
Sedangkan menurut
Hans Freudental (Hudoyo:2005)
matematika merupakan
aktivitas insani (human activities) dan
harus dikaitkan dengan realitas. Dengan
demikian matematika merupakan
cara berfikir logis
yang direpresentasikan dalam bilangan,
ruang dan bentuk
dengan aturan-aturan yang telah
ada yang tak lepas dari aktivitas insani (human activities).
Hal ini
dikuatkan dengan pendapat
Yuyun (Soedjadi:2000) bahwa matematika mempunyai kegunaan praktis
dalam kehidupan sehari-hari. Semua masalah
kehidupan yang membutuhkan
pemecahan secara cermat
dan teliti mau tidak mau harus
berpaling kepada matematika.
Dalam GBPP
matematika tujuan khusus
pembelajaran matematika di sekolahdasar (Soedjadi:2000) adalah
menumbuhkan dan mengembangkan keterampilan berhitung
(menggunakan bilangan) sebagai alat dalam kehidupan sehari-hari, menumbuhkan
kemampuan siswa yang
dapat dialihgunakan melalui
kegiatan matematika, mengembangkan pengetahuan dasar matematika sebagai bekal
belajar lebih lanjut,
membentuk sikap logis,
kritis, cermat, kreatif dan
disiplin. Oleh karena itu setiap guru yang mengajarkan matematika di sekolah
dasar hendaknya mampu
menerapkan pembelajaran matematika dengan tepat
agar siswa terbiasa
bersikap logis, kritis,
cermat, kreatif dan disiplin dalam kehidupan sehari-harinya.
Matematika adalah
salah satu alat
berfikir, selain bahasa,
logika, dan statistika (Suriasumantri, 1999: 167). Di pihak lain
matematika merupakan ilmu yang
berperan ganda, yakni
sebagai raja dan
sebagai pelayan ilmu.
Sebagai raja matematika merupakan
bentuk logika paling
tinggi yang pernah
diciptakan oleh pemikiran manusia,
sedangkan sebagai pelayan
matematika menyediakan sistem logika
serta model-model matematika
dari berbagai segi
kegiatan keilmuan. Matematika
sebagai : ilmu
deduktif, bahasa, seni,
ratunya ilmu, ilmu tentang
struktur yang terorganisasikan, dan
ilmu tentang pola
dan hubungan (Ruseffendi, 1997 :
73-74).
Soedajadi (2000:
11) mengatakan bahwa
hakekat matematika menunjukkan kepada segi-segi penting dan
mendasar dalam matematika. Ada beberapa definisi mastematika, yaitu sebagai
berikut:
1)
Matematika adalah
cabang ilmu pengetahuan
eksak dan terorganisir secara sistematik.
2)
Matematika
adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi
3)
Matematika adalah
pengetahuan tentang penalaran
logik dan berhubungan dengan bilangan
4)
Matematika adalah
pengetahuan tentang fakta-
fakta kuantitatif dan masalah tentang ruang dan bentuk
5)
Matematika
adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang logik.
b.
Fungsi Mata
Pelajaran Matematika
Mata pelajaran
matematika berfungsi sebagai
alat, pola pikir,
dan ilmu pengetahuan yang
dijadikan acuan dalam
pembelajaran matematika sekolah,
adapun fungsi tersebut sebagai berikut:
1)
Matematika sebagai
alat untuk memahami
atau menyampaikan suatu informasi.
2)
Matematika merupakan
pembentukan pola pikir
dalam memahami suatu pengertian maupun
penalaran. Hubungan diantara
pengertian danpenalarannya
dikembangkan melalui pola pikir indiktif maupun deduktif.
3)
Matematika sebagai
ilmu atau pengetahuan,
yang selalu mencari
kebenaran dan bersedia meralat kebenaran yang telah diterima bila
ditemukan kebenaran yang terbaru sepanjang
kebenaran tersebut mengikuti
pola pikir yang
sah (MKPMB Tim, dalam Iskandar, 2008:20).
c.
Tujuan
Penggunaan Pembelajaran Matematika
Semua tujuan pembelajaran yang
diharapkan pendidik dalam hal ini guru pasti mengarah
ke arah yang
positif atau perubahan
tingkah laku yang
baik. Perubahan tingkah laku
adalah dampak dari pembelajaran yang baik, pendekatan yang baik pula.
Pembelajaran matematika realistik
dalam penelitian ini,
memiliki tujuan sebagai berikut:
1)
Membantu
mempercepat siswa memahami soal mereka.
2)
Memberi kesempatan
kepada siswa untuk
mendemonstrasikan kemampuan
siswa.
3)
Memotivasi
siswa untuk memecahkan soal.
d.
Kompetensi
Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar
Berdasarkan Kurikulum 2006, kompetensi dasar yang harus dimiliki anak
usia sekolah dasar dalam pembelajaran matematika adalah sebagai berikut :
1)
Keterampilan
Matematika
a)
Menarik kesimpulan
dari pola, sifat,
melakukan manipulasi matematika dalam
membuat generalisasi, menyusun
buk atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
b)
Mengkomunikasikan gagasan
dengan simbol, tabel,
graf atau diagram untuk memperjelas keadaan atau masalah.
c)
Membuat (merumuskan),
menafsirkan, dan menyelesaika model matematika dalam pemecahan
masalah.
d)
Mengaplikasikan konsep
atau algoritma dari
model matematika atau pengerjaan
matematika dalam memecahkan masalah secara luwes, akurat,
efisien, dan tepat.
2)
Bilangan
a)
Melakukan
operasi hitung bilangan dalam pemecahan masala
b)
Menggunakan
sifat-sifat operasi hitung dalam perhitungan.
c)
Menaksir hasil
operasi hitung.
3)
Pengukuran dan
Geometri
a)
Mengidentifikasi bangun
datar dan bangun
ruang menur sifat, unsur, atau
kesebangunannya.
b)
Melakukan operasi
hitung yang melibatkan
keliling, luas volume, dan satuan
pengukuran.
c)
Menaksir ukuran
(misal: panjang, luas,
volume) dari benda atau bangun geometri.
d)
Menentukan dan
menggambarkan letak titik atau benda dalam sistem koordinat.
4)
Peluang dan
Statistika
Mengumpulkan, menyajikan,
dan menafsirkan data
(ukuran pemusatan data).
5.
Model Pembelajaran
Komaruddin (Salimi,
2010:92) mengemukakan pendapatnya mengenai model yaitu: Model dapat
dipahami sebagai: (1) suatu tipe atau desain; (2) suatu deskripsi atau
analogi yang dipergunakan
untuk membantu proses visualisasi sesuatu
yang tidak dapat
dengan langsung diamati;
(3) suatu sistem asumsi-asumsi, data-data,
dan inferensi-inferensi yang
dipakai untuk menggambarkan secara
matematis suatu obyek
atau peristiwa; (4) suatu
desain yang disederhanakan dari
suatu sistem kerja,
suatu terjemahan realitas yang
disederhanakan; (5) suatu
deskripsi dari suatu sistem yang mungkin atau imajiner; dan
(6) penyajian yang diperkecil agar dapat menjelaskan dan menunjukkan sifat
bentuk aslinya.
Menurut Rudi
Susilana dan Cepi
Riyana (2008:87) pembelajaran merupakan suatu
kegiatan yang melibatkan
seseorang dalam upaya memperoleh pengetahuan,
keterampilan dan nilai-nilai
positif dengan memanfaatkan berbagai
sumber untuk belajar.
Pembelajaran dapat melibatkan dua
pihak yaitu siswa
sebagai pembelajar dan
guru sebagai fasilitator. Yang
terpenting dalam kegiatan pembelajaran adalah terjadinya proses belajar
(learning process).
Joyce &
Weil (1980) dalam
Susilana (2006:139) mendefinisikan model pembelajaran adalah
suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk
kurikulum (rencana pembelajaran
jangka panjang), merancang
bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing
pembelajaran di kelas. Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya
para guru boleh memilih model
pembelajaran yang sesuai
dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikannya.
Model pembelajaran mempunyai
makna yang lebih
luas dari pada strategi, metode
atau prosedur pembelajaran.
Istilah model pembelajaran mempunyai 4
ciri khusus yang
tidak dipunyai oleh
strategi atau metode pembelajaran (Triyani, 2009:46):
a.
Rasional
teoritis yang logis yang disusun oleh pendidik.
b.
Tujuan
pembelajaran yang akan dicapai
c.
Langkah-langkah mengajar
yang diperlukan agar
model pembelajaran dapat dilaksanakan secara optimal.
d.
Lingkungan belajar
yang diperlukan agar
tujuan pembelajaran dapat
dicapai.
Menurut Joyce
& Weil (Susilana,
2006:112) model pembelajaran memiliki lima unsur dasar, yaitu
:
a.
Syntax, yaitu
langkah-langkah operasional pembelajaran,
b.
Social system, adalah suasana
dan norma yang
berlaku dalam pembelajaran,
c.
Principles of reaction, menggambarkan bagaimana
seharusnya guru memandang, memperlakukan, dan merespon siswa,
d.
Support system,
segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan belajar yang mendukung
pembelajaran, dan
e.
Instructional
dan nurturant effects—hasil belajar yang
diperoleh langsung
berdasarkan tujuan yang
disasar (instructional effects) dan hasil belajar di luar yang
disasar (nurturant effects).
Model pembelajaran
bukan hanya membahas
mengenai cara guru mengajar, tetapi
juga mengenai bagaimana
siswa belajar. Model pembelajaran yang
digunakan dalam suatu
kegiatan pembelajaran
dimaksudkan untuk menciptakan
suasana pembelajaran yang
efektif sehingga dapat membantu
siswa dalam membangun
keterampilan intelektualnya untuk mencapai tujuan pembelajaran yang
diharapkan.
Adapun ciri
bahwa suatu pembelajaran
disebut efektif (Wragg, 1997 dalam Rusmana, 2008) yaitu
sebagai berikut:
a.
Ciri pertama
adalah bahwa pembelajaran
efektif memudahkan murid mempelajari
sesuatu yang bermanfaat
seperti fakta, keterampilan, nilai, konsep dan bagaimana hidup
serasi dengan seksama, atau suatu hasil belajar
yang diinginkan.
b.
Ciri kedua,
pembelajaran efektif adalah
bahwa keterampilan tersebut diakui
oleh mereka yang
berkompeten menilai, sperti guru-guru,
pelatih guru, pengawas,
pemilik sekolah, tutor
dan guru pemandu pelajaran atau
bahkan murid-murid sendiri.
Dengan demikian,
pembelajaran yang efektif
dapat dicapai jika siswa
mempelajari sesuatu yang
bermanfaat dengan mudah
dan pembelajaran tersebut diakui oleh guru atau bahkan oleh siswanya
sendiri sebagai suatu keterampilan
mengajar yang dapat
memudahkan siswa dalam mencapai
tujuan pembelajaran.
6.
Model Pembelajaran Matematika Realistis (Realistic Mathematics Education)
a.
Pengertian
Pendekatan Matematika Realistik
Salah satu
pendekatan pembelajaran matematika
yang berorientasi pada
siswa adalah pendekatan
matematika realistik. Pendekatan
matematika realistik adalah suatu
teori dalam pendidikan
matematika yang berdasarkan pada
ide bahwa matematika
adalah aktivitas manusia
dan matematika harus dihubungkan secara
nyata terhadap konteks
kehidupan sehari-hari siswa sebagai suatu
sumber pengembangan dan
sebagai era aplikasi
melalui proses matematisasi baik horizontal maupun vertikal
(Johari : 2009:67).
Pendekatan Matematika
Realistik atau Realistic Mathematic
Education (RME) tidak
dapat dipisahkan dari
institut Frudenthal. Institut
ini didirikan pada tahun 1971 dan berada di bawah Utrect
University, Netherlands. Nama institut di ambil dari nama pendirinya yaitu Prof. Hans Frudenthal (1905-1990).
Frudenthal adalah seorang penulis,
pendidik, matematikawan berkebangsaan
Jerman / Belanda.
Pada pendekatan
Realistik, Frudenthal berpandangan
bahwa “Mathematics must be
connected to reality and mathematics as human activity”. Pertama matematika
harus dekat dengan anak dan berhubungan dengan situasi riil kehidupan sehari-hari.
Realistik di sini
tidak hanya berarti
sesuatu yang dihubungkan dengan
dunia nyata saja,
tetapi juga sebagai
situasi masalah yang dapat dipahami dalam pikiran siswa.
Pendekatan Matematika
Realistik (PMR) dikembangkan sejak tahun 1971 oleh sekelompok
ahli matematika dari
Freudenthal Institute, Utrecht University Belanda. Pendekatan
ini didasarkan pada
anggapan Freudenthal bahwa: “Mathematics
must be connected to reality stay close to childrens experience and be relevant
to society, in
order to be
human value, and mathematics as
human activity”. Feudenthal menganggap bahwa matematika harus
berhubungan dengan realita
kehidupan atau kegiatan
yang akrab dengan pengalaman sehari-hari
siswa serta relevan
dengan masyarakat agar
matematika dapat menjadi nilai-nilai kemanusiaan, dan matematika sebagai
aktivitas manusia. Berdasarkan
pandangan dari Freudenthal di
atas dapat ditarik
dua kesimpulan yang
dapat digunakan sebagai
landasan matematika realistik
yaitu, pertamamatematika harus
dekat atau berhubungan dengan situasi kehidupan nyata sehari-hari siswa.
Kedua, matematika sebagai
aktivitas manusia yang
merupakan salah satu dari prinsip
utama pendekatan matematika realistik.
b.
Karakteristik
Pendekatan Matematika Realistik
Secara umum, pendekatan
matematika realistik memiliki lima karakteristik, yaitu :
1) Penggunaan konteks
dalam pembelajaran matematika
dapat memfokuskan perhatian siswa
terhadap suatu masalah tertentu. Konteks juga dapat berfungsi membatasi ruang
lingkup permasalahan yang
sedang dipecahkan, sehingga siswa dapat
lebih fokus dalam
menyelesaikan masalah. Selain
itu, konteks disajikan dalam
bentuk masalah atau
masalah konstektual sebagai
aplikasi konsep matematika dalam
kehidupan nyata yang
merupakan bagian esensial dalam pendekatan matematika
realistik. Peran guru pada karakteristik pertama ini adalah dapat memunculkan
masalah konstektual tersebut
2) Penggunaan model
sebagai representasi dari
satu masalah tersebut
yang berfungsi sebagai “jembatan”
menuju kegiatan matematisasi
vertical. Penggunaan model pembelajaran dapat menghasilkan kemampuan
siswa dalam membuat model, skema maupun
simbolisasi dalam matematika.
Peran guru adalah mengarahkan,
membimbing dan memotivasi siswa agar dapat membuat model dari satu
masalah.
3) Penggunaan konstruksi
maupun kontribusi dari
siswa diperoleh melalui berbagai kegiatan,
antara lain: kegiatan
konstruksi, rerleksi, antisifasi
maupun integrasi dalam pembelajaran
matematika. Siswa diberi
kesempatan untuk menemukan konsep-konsep
maupun algoritma dalam
matematika melalui kegiatan doing
mathematics. Peran guru
adalah merangsang siswa
agar dapat berkontribusi secara
maksimum, mengarahkan kontribusi
siswa dan menyeleksi kontribusi
siswa.
4) Interaktivitas dalam
proses pengajaran merupakan
Interaksi antar siswa
dan siswa maupun antar
siswa dan guru
dalam bentuk negosiasi,
interpretasi, diskusi, kerjasama dan evaluasi. Dengan adanya interaksi
antara berbagi unsur dalam
pembelajaran matematika membuat
suasana kelas menjadi
hidup dan bersemangat. Hal
tersebut dapat membuat
siswa menjadi senang
belajar matematika.
Interaksi yang terjadi
dalam pembelajran matematika
tersebut menetapkan siswa menjadi fokus dari segala kegiatan di kelas.
Sedangkan guru berfungsi dari segala
interaksi yang terjadi
secara efektif dalam
mencapai tujuan pembelajaran.
5) Interaksi dengan
berbagai topik pembelajaran
lannya. Keterkaitan antar
topik dapat memudahkan siswa
dalam memahami suatu
konsep yang bersangkutan. Suatu topik dalam matematika
lebih sukar dipahami jika terpisah dengan topik yang lainnya.Peran guru pada
karakteristik kelima ini adalah guru harus dapat mengaitkan topik pada materi
ini dengan topik yang berhubungan.
Perpaduan antara
pandangan Van Hiele’s Level, Frudenthal’s
Didactional Phenomenology, dan Treffers
Progressive Mathematization melahirkan
lima karakteristik dasar
pendidikan matematika realistik,
yaitu :
1) Menggunakan masalah yang kontekstual (phenomenological exploration or the use of contexts).
2) Penggunaan
penghubung atau model
instrumen vertical (the use
models or bridging by
vertical instrument).
3) Menggunakan
kontribusi siswa dalam memproduksi dan
mengkontuksi sendiri (the use
of student own
production and construction).
4) Interaktif
sebagai karakteristik dari
proses pembelajaran matematika (the interactive
character of teaching
process or interactivity).
5) Membuat
jalinan antar topik
atau pokok bahasan
(the intervining
of various learning strands or units).
Sesuai dengan
prinsip Frudenthal’s Didactional
Phenomology bahwa belajar matematika
harus dimulai dari
fenomena atau kejadian
riil bagi siswa berupa
masalah kontekstual. Selain
sebagai sumber belajar,
masalah kontekstual akan memberikan
gambaran riil mengenai
konsep matematika yang
akan dipelajari dan digunakan
(matematisasi) dalam proses
pembelajaran. Dengan pengalaman yang
telah dimilikinya, memungkinkan
siswa tersebut untuk terlibat secara aktif dalam situasi
belajar yang bermakna. Kondisi belajar yang seperti ini memberikan kesempatan
kepada siswa secara
leluasa untuk menyelidiki
situasi, menemukan dan mengidentifikasi matematika
yang relefan, membuat
skema, berimajinasi untuk menemukan keteraturan yang
membentuk konsep matematika dan
selanjutnya siswa akan
menerapkan konsep pada
dunia nyata (real world) dalam kehidupan sehari-hari.
Istilah model
pendekatan realistik mengacu
pada model matematika
dan model situasi yang
dikembangkan oleh siswa
sendiri. Model yang
dibangun dari pengalaman
siswa pada saat
siswa memecahkan masalah
merupakan jembatan matematisasi siswa
dari matematika informal
kearah matematika formal.
Ada empat tingkatan model
yang dirancang pada
proses pembelajaran Realistic
Mathematic Education.
Dari hal
yang konkret pada
pembelajaran realistik tentunya
siswa dapat menghasilkan lebih
banyak lagi “sesuatu
yang baru” melalui
pengalaman matematisasinya,
karena siswa bebas
menentukan strategi yang
tepat dalam mengkontruksi masalah
dan bebas menghasilkan sesuatu berdasarkan pemahaman mereka terhadap
masalah tersebut. Sumbangan
kontribusi siswa berupa kemampuan memproduksi
dan mengkontruksi dalam
memecahkan masalah matematika merupakan
hal yang sangat
penting dalam proses
belajar siswa terutama penilaian
terhadap strategi belajar yang digunakan siswa.
Adanya interaksi
antara siswa dengan
siswa lainnya dan
antara siswa dengan guru
merupakan bagian yang
tidak kalah penting
di dalam Realistik
Mathematic Education. Kemampuan
siswa dalam bernegosiasi,
intervensi, diskusi, dan kemampuan
menilai terhadap suatu
masalah sebenarnya telah dikuasai siswa secara informal. Dengan
kemampuan matematika informal tersebut dapat
dijadikan landasan pacuan
untuk siswa membangun
pemahaman matematika
formalnya. Kegiatan interaktif
sendiri secara spesifik
dapat terlihat dari
keterlibatan siswa dalam
menjelaskan, membenarkan, menyetujui,
dan bertanya terhadap penyelesaian masalah matematika.
Salah satu
permasalahan yang sulit dalam penerapan
pembelajaran matematika
adalah pembahasan materi
matematika yang berdiri
sendiri. Pada RME mengintegrasikan atar
topik atau antar
pokok bahasan atau
sering disebut dengan
pendekatan holistik. Holistik
merupakan salah satu
karakteristik pendekakan realistik. Dalam pandangan ini siswa dapat
merasakan sendiri bahwa matematika
memiliki unsur fleksibel
dalam memperjelas bahasan
atau mendukung pembahasan lainnya dalam suatu konteks atau tema yang sama.
Pada desain
pembelajaran matematika realistik
masalah-masalah kontekstual
berfunggsi sebagai sumber
belajar dan terapan
dari konsep matematika. Adanya jalinan
antar topik atau
pokok bahasan dalam
matematika realistik merupakan usaha untuk mengintegrasikan bahan-bahan
matematika yang dipadukan dalam konteks
tema. Sedangkan penggunaan
model dan skema dikembangkan untuk mentransfer rumus
atau formal matematika secara langsung. Model ini
dikembangkan oleh siswa
sendiri dalam penggunaannya
dan dapat dijadikan sebagai penghubung antara informal
matematika ke formal matematika. Kemampuan
siswa dalam bernegosiasi secara eksklusif, intervensi, kooperatif dan evaluasi
antar siswa dan
guru merupakan faktor
penting dalam proses
belajar mengajar.
Kerangka pembelajaran
matematika dengan pendekatan
realistik menuntun siswa dari keadaan
yang sangat konkrit menuju yang
abstrak. Para siswa dibimbing oleh
masalah-masalah kontekstual. Dalam
falsafah realistik, dunia nyata
digunakan sebagai titik pangkal permulaan dalam pengembangan konsep-konsep dan
gagasan matematika. Menurut
Traffers dan Goffree (Suherman :
2003) bahwa masalah
kontekstual dalam kurikulum
realistik, berguna untuk mengisi sejumlah fungsi :
1)
Pembentukan konsep
: Dalam fase
pertama pembelajaran, para
siswa diperkenankan untuk masuk
ke dalam matematika
secara alamiah dan termotivasi.
2)
Pembentukan model:
Masalah-masalah kontekstual memasuki
fondasi siswa untuk belajar
operasi, prosedur, notasi,
aturan dan mereka mengerjakan ini
dalam kaitannya dengan
model-model lain yang kegunaannya sebagai pendorong penting
dalam berpikir.
Guru menyampaikan
dan menjelaskan masalah
(soal) kontekstual, agar siswa
dapat memahami masalah
konstektual dengan benar.
Masalah konstektual yang disampaikan
guru dapat berupa
masalah yang berhubungan
dengan kehidupan sehari-hari dapat
pula hal-hal yang
dapat difikirkan oleh
siswa. Langkah kedua sesuai
karakteristik pertama dan keempat
dari pembelajaran matematika
realistik yakni adanya masalah konstektual serta interaksi antar siswa dan
siswa maupun siswa dan guru.
c.
Langkah-Langkah
Pendekatan Matematika Realistik
Langkah-Langkah di
dalam proses pembelajaran
Matematika dengan pendekatan PMR yang digunakan dalam
penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
1) Memahami masalah Kontekstual
Siswa diberi
masalah / soal
kontekstual, guru meminta
siswa memahami masalah tersebut
secara individual. Guru
memberi kesempatan kepada
siswa menanyakan masalah / soal yang belum dipahami, dan guru hanya
memberikan petunjuk seperlunya terhadap bagian- bagian situasi dan kondisi
masalah.
2) Menjelaskan masalah kontekstual
Jika dalam
memahami masalah siswa
mengalami kesulitan, maka
guru menjelaskan situasi dan
kondisi dari soal
dengan cara memberikan
petunjuk- petunjuk atau berupa saran seperlunya.
3) Menjelaskan masalah kontekstual
Siswa mendeskripsikan masalah
kontekstual, melakukan interprestasi
aspek matematika yang ada
pada masalah yang
di maksud, dan memikirkan strategi pemecahan masalah.
4) Membandingkan
Guru meminta
siswa membentuk kelompok
secara berpasangan dengan
teman sebangkunya, bekerja sama
mendiskusikan penyelesaian masalah-
masalah yang telah diselesaikan
secara individu (negoisasi,
membandingkan, dan berdiskusi )
5) Menyimpulkan
Dari hasil
diskusi kelas, guru
mengarahkan siswa untuk
menarik kesimpulan suatu rumusan
konsep/prinsip dari topik yang dipelajari.
d.
Kelebihan
dan Kelemahan Pembelajaran Matematika Realistik
1)
Adapun
kelebihan dari penerapan Pembelajaran Matematika Realistik yaitu :
a)
PMR
memberikan pengertain yang jelas dan operasiaonal kepada siswa tentang keterkaitan antara
matematika dengan kehidupan
sehari- hari dan
kegunaan matematika pada umumnya bagi manusia
b)
PMR
memberikan pengertain yang jelas dan operasiaonal kepada siswa bahwa matematika adalah
suatu bidang kajian
yang dikonstruksi dan
dikembangkan sendiri oleh siswa
tidak hanya oleh
mereka yang disebut
pakar dalam bidang tersebut.
c)
PMR
memberikan pengertain yang jelas dan operasiaonal kepada siswa bahwa cara penyelesaian
suatu soal atau
masalah tidak harus
tunggal dan tidak harus sama antara orang yanng satu
dengan yang lain.
d) PMR memberikan pengertain yang jelas
dan operasiaonal kepada siswa bahwa dalam
mempelajari matematika, proses
pembelajaran merupakan suatu
yang utama dan untuk mempelajari matematika orang harus menjalani proses
itu dan berusaha untuk
menemukan sendiri konsep- konsep matematika,dengan bantuan pihak lain yang
sudah lebih tahu.
2)
Kelemahan
dari Pembelajaran Matematika Realistik, yaitu :
a)
Upaya
mengimplementasikan PMR membutuhkan perubahan pandangan yang sangat mendasar
mengenai berbagai hal
yang tidak mudah
untuk dipraktekkan, misalnya mengenai siswa, guru dan peranan soal
kontekstual.
b)
Pencarian soal-soal
kontekstual yang memenuhi
syarat- syarat yang
dituntut PMR tidak selalu
mudah untuk setiap
topik matematika yang
prlu dipelajari siswa.
c)
Upaya mendorong
siswa agar bisa
menemukan berbegai cara
untuk menyelesaikan soal, juga bukanlah hal yang mudah bagi seorang guru
Proses pengembangan kemampuan
berfikir siswa melalui
soal-soal kontekstual, proses
pematematikaan horizontal dan proses pematematikaan vertikal juga bukan
merupakan sesuatu yang
sederhana. Walaupun pada
pendekatan PMR terdapat kendala-
kendala dalam upaya penerapannya,
menurut peneliti kendala-kendala yang dimaksud
hanya bersifat sementara (temporer).
7.
Konsep Pecahan Sederhana
Matematika memberikan
berbagai macam strategi
untuk mengorganisasikan,
menganalisis serta senantiasa
mensintesis data. Melalui matematika peserta
didik dapat mengembangkan
kemampuan logik serta kemampuan berfikir
yang kritis, karena
dalam mempelajari matematika
peserta didik senantiasa
di tuntut untuk
melakukan penghayatan serta pemikiran secara
cermat, peserta didik
akan sulit menentukan
pola atau hubungan diantara
konsep atau ide yang ada dalam matematika.
Pecahan
merupakan bagian yang
penting dalam matematika.
Pecahan selalu digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Dunia
ini penuh dengan
pecahan, jika tidak ada pecahan, kita akan kesulitan dalam membagi
sesuatu. Bilangan pecahan pertama
kali digunakan bangsa
Mesir Kuno, sekitar 1600
SM. Pecahan pada
saat itu dapat
dilihat pada tulisan
di Papyrus Ahmes. Bangsa
Mesir menggunakan pecahan
satuan yaitu pecahan
pembilang adalah angka satu
untuk menyatakan perbandingan
pecahan-pecahan tersebut ditulis dengan menggunakan huruf Hierorlyph. Pecahan adalah suatu bilangan yang merupakan
hasil bagi antara bilangan bulat
dan bilangan asli
di mana bilangan
yang dibagi (pembilang)
nilainya lebih kecil dari bilangan
pembaginya.
Kata pecahan
berasal dari kata
pecah yang merupakan
kata dasarnya dan
diberikan akhiran -an.
Kata pecah menurut
Kamus Besar Bahasa
Indonesia berarti ”terbelah
menjadi beberapa bagian”.
Setelah mendapat akhiran –an
artinya menjadi ”bagian dari benda yang terbelah”. Jika dikaitkan
dengan bilangan maka,
menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia memiliki arti
”bilangan yang bukan bilangan bulat”. Menurut
Subarinah (2009:27), pada prinsipnya
pecahan digunakan untuk menyatakan
beberapa bagian dari sejumlah bagian
yang sama, sedangkan menurut Heruman
pecahan dapat diartikan
sebagai bagian dari
sesuatu yang utuh (Azhar : 2008:42).
Dari kedua pendapat di atas dapat dilihat bahwa jika
suatu benda dibagi
menjadi beberapa bagian,
maka setiap bagian tersebut
merupakan pecahan dari
keseluruhan benda semula.
Pecahan biasanya dilambangkan
dengan dua buah
bilangan yang salah
satunya disebut pembilang dan
yang lainnya disebut penyebut.
Penjumlahan pecahan,
yaitu menjumlahkan dua
atau lebih bilangan
pecahan berpenyebut sama dengan
menjumlahkan bilangan pembilangnya
saja sedangkan bilangan
penyebutnya tetap. Dalam operasi penjumlahan ada dua hal penting yang
harus diperhatikan. Pertama,
ketika akan menjumlahkan
pecahan dengan penyebutnya yang
telah sama, maka
dapat secara langsung
dioperasikan (dijumlahkan) bilangan pembilangnya saja. Kedua, bilangan
penyebutnya berbeda maka disamakan bilangan penyebutnya dengan mencari pecahan
yang senilai atau dengan kelipatan
persekutuan terkecil (KPK).
Pengurangan pecahan,
yaitu mengurangkan dua
atau lebih bilangan
pecahan berpenyebut sama dengna
menjumlahkan bilangan pembilangnya
saja sedangkan bilangan penyebutnya
tetap. Seperti halnya
dalam operasi penjumlahan
pecahan ada beberapa hal
yang harus diperhatikan.
Pertama, ketika akan
mengurangkan pecahan dengan
penyebutnya yang telah
sama, maka dapat
secara langsung dioperasikan (dikurangkan)
bilangan pembilangnya saja.
Kedua, bilangan penyebutnya berbeda
maka disamakan bilangan
penyebutnya dengan mencari pecahan yang senilai atau dengan kelipatan persekutuan terkecil (KPK) kemudian
dioperasikan (dikurangkan) bilangan pembilangnya.
B. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan
kerangka teoritik di atas maka dapat dirumuskan hipotesis tindakan untuk
penelitian ini, yaitu sebagai berikut :
1.
Penggunaan
model pembelajaran pendekatan matematika realistis dalam pembelajaran
matematika dalam pemecahan masalah akan meningkatkan keaktifan siswa kelas siswa
kelas IV SD Negeri 2 Tlaga.
2.
Penggunaan
model pembelajaran pendekatan matematika realistis dalam pembelajaran
matematika dalam pemecahan masalah akan meningkatkan hasil dan ketuntasan
belajar siswa kelas siswa kelas IV SD Negeri 2 Tlaga.
C. Indikator dan Kriteria Keberhasilan
Indikator
yang digunakan untuk mengukur peningkatan hasil belajar dan ketuntasan belajar
siswa dalam mempelajari materi pembelajaran. Siswa dinyatakan tuntas dengan
kriteria mencapai penguasaan materi di atas KKM atau mendapat nilai minimal 63.
Adapun indikator yang digunakan untuk mengukur peningkatan keaktifan belajar
adalah perhatian siswa terhadap penjelasan guru, kemampuan siswa mengemukakan
pendapat, keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran dan
pelaksanaan tugas selama mengikuti kegiatan pembelajaran. Siswa dinyatakan
terlibat secara aktif jika siswa memberikan respon aktif terhadap penjelasan
dan pertanyaan yang diajukan guru, aktif dalam melaksanakan tugas guru, aktif
belajar dan bekerja kelompok, serta aktif mengkomunikasi hasil proses
pembelajaran.
Kriteria
keberhasilan yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan proses pembelajaran
melalui upaya perbaikan pembelajaran sebagai berikut :
1.
Proses perbaikan pembelajaran dinyatakan berhasil jika
siswa menguasai 70% materi pembelajaran atau siswa mendapat nilai minimal 63.
2.
Proses perbaikan pembelajaran (peningkatan hasil
belajar siswa) dinyatakan berhasil jika 75% dari jumlah siswa, tuntas dalam
belajar.
3.
Proses perbaikan pembelajaran (peningkatan keaktifan
belajar siswa) dinyatakan berhasil jika 75 % dari jumlah siswa terlibat secara
aktif mengikuti proses pembelajaran
FILE LENGKAP SILAHKAN KIRIM email ke fikrierizaldy@gmail.com
hanya untuk referensi, bukan disalin secara utuh. SEMOGA BERMANFAAT.
0 comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar, hindari unsur SARA.
Terima kasih