Lencana Facebook

banner image

Wednesday 20 March 2013

BAB 2 PTK TK



BAB  II
KAJIAN PUSTAKA
A.    Kajian Teori
1.   Pendidikan Taman Kanak-Kanak
Taman Kanak-kanak (TK) adalah suatu bentuk pendidikan pra sekolah yang menyediakan program pendidikan dini bagi anak usia 4-6 tahun sampai memasuki pendidikan dasar (Soemiarti, 2003 : 59)
Taman kanak-kanak adalah lembaga pendidikan yang menampung anak usia prasekolah, yaitu pada umur antara 3-6 tahun, pada masa ini anak mengalami perkembangan. Hal ini sesuai dengan pemikiran John Piaget yang membedakan kognitif pada anak dalam tahap periode operasional (5-6 tahun). Anak usia ini memiliki perkembangan yang menonjol pada bidang bahasa, rasa, insan kamil, fantasi, dan bermain-main (Zulkifli,1992 : 33)
Taman Kanak-kanak (TK) merupakan lembaga pendidikan formal yang pertama setelah pendidikan di lingkungan keluarga sekaligus merupakan jembatan antar pendidikan pendidikan di lingkungan keluarga dan di lingkungan SD. Sebagaimana terdapat dalam Garis-Garis Besar Program Kegiatan Belajar Taman Kanak-Kanak. Kegiatan belajar anak TK adalah untuk membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan, dan daya cipta yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta pengembangan selanjutnya. Sedangkan ruang lingkup program kegiatan belajar meliputi: pembentukan perilaku melalui pembiasaan dalam pengembangan moral pancasila, agama, disiplin, perasaan/emosi, kemampuan bermasyarakat, serta pengembangan dasar melalui kegiatan yang dipersiapkan oleh guru meliputi pengembangan kemampuan berbahasa, daya pikir, daya cipta, keterampilan, dan jasmani
Usia 4-6 tahun, merupakan masa peka bagi anak. Anak mulai sensitif untuk menerima berbagai upaya perkembangan seluruh potensi anak. Masa peka adalah masa terjadinya pematangan fungsi-fungsi fisik dan psikis yang siap merespon stimulasi yang diberikan oleh lingkungan. Masa ini merupakan masa untuk meletakkan dasar pertama dalam mengembangkan kemampuan fisik, kognitif, bahasa, sosial emosional, konsep diri, disiplin, kemandirian, seni, moral, dan nilai-nilai agama. Oleh sebab itu dibutuhkan kondisi dan stimulasi yang sesuai dengan kebutuhan anak agar pertumbuhan dan perkembangan anak tercapai secara optimal.
Peran pendidik (orang tua, guru, dan orang dewasa lain) sangat diperlukan dalam upaya pengembangan potensi anak 4-6 tahun. Upaya pengembangan tersebut harus dilakukan melalui kegiatan bermain sambil belajar atau belajar seraya bermain. Dengan bermain anak memiliki kesempatan untuk bereksplorasi, menemukan, mengekspresikan perasaan, berkreasi, belajar secara menyenangkan. Selain itu bermain membantu anak mengenal dirinya sendiri, orang lain dan lingkungan.
Atas dasar tersebut, maka kurikulum dikembangkan dan disusun berdasarkan tahap perkembangan anak untuk mengembangakan seluruh potensi anak. (Depdiknas, 2003 : 5-6) Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa pendidikan secara berencana dan sistematis mulai diberikan sejak TK yang disesuaikan dengan usia dan tingkat kematangan anak. Dalam hal ini keadaan rumah tangga yang baik dan serasi tetap tercermin dan dipertahankan sehingga akan memberikan perasaan aman dan nyaman sekaligus dapat memberi daya cipta, kreatifitas anak itu sendiri.
Pada hakikatnya TK sebagai pendidikan pra sekolah tetap mempertahankan azasnya yaitu bahwa belajar sambil bermain atau bermain sambil belajar. Dengan demikian Taman kanak-kanak adalah input atau lembaga yang lebih banyak memberikan pendidikan melalui belajar dan bermain atau sebaliknya. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa program kegiatan belajar di TK adalah sebagaimana pendekatan ”bermain sambil belajar atau belajar sambil bermain”.
Jelaslah bahwa ada unsur bermain di TK dan itu merupakan satu prinsip yang tidak dapat dipisahkan. Dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan anak TK adalah mereka yang berusia 4-6 tahun yang mana mereka mengikuti program Taman Kanak-kanak. Setiap periode perkembangan anak memiliki ciri-ciri yang khas tertentu yang dapat membedakanya dengan periode-periode dalam rentang kehidupannya. Anak usia taman kanak-kanak (umur 4-6 tahun) adalah anak-anak yang sedang tumbuh baik secara motorik maupun emosi, mengalami kepekaan perkembangan moral dan bahasa, serta menjalani kehidupan sosial yang menuntut penyesuaian (Hurlock, 1999:110)
Lama masa belajar TK biasanya tergantung pada tingkat kecerdasan anak yang dinilai dari raport per semester. Namun secara umum untuk lulus dari tingkat TK adalah 2 (tahun), yaitu: (a) TK 0 (nol) kecil selama 1(satu) tahun, dan (b) TK 0 (nol) Besar selama 1 (satu) tahun. Umur rata-rata minimal anak mulai dapat disekilahkan ke sebuah taman kanak-kanak adalah 4-5 tahun. Sedangkan umur rata-rata uuntuk lulus dari TK adalah 6-7 tahun. Setelah lulus dari TK, atau pendidikan formal dan pendidikan non formal lainnya yang sederajad, siswa kemudian melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi diatasnya yaitu sekolah dasar (SD) atau yang sederajad.
2.   Perkembangan Anak Usia Dini
a.   Pengertian Anak Usia Dini
Terdapat beberapa definisi mengenai anak usia dini. Definisi yang pertama, anak usia dini adalah anak yang berusia nol tahun atau sejak lahir sampai berusia kurang lebih delapan tahun (0-8). Sedangkan definisi yang kedua, menurut Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 Butir 14 yang menyebutkan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Dari pengertian tersebut dapat di tarik kesimpulan bahwa anak usia dini adalah anak yang berusia nol sampai 6 atau 8 tahun yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani.
b.   Karakteristik Anak Usia Dini
Kartini Kartono dalam Saring Marsudi (2006: 6) mendiskripsikan karakteristik anak usia dini sebagai berikut :
1)   Bersifat egoisantris naif
Anak memandang dunia luar dari pandangannya sendiri, sesuai dengan pengetahuan dan pemahamannya sendiri, dibatasi oleh perasaan dan pikirannya yang masih sempit. Maka anak belum mampu memahami arti sebenarnya dari suatu peristiwa dan belum mampu menempatkan diri kedalam kehidupan orang lain.
2)   Relasi sosial yang primitif
Relasi sosial yang primitif merupakan akibat dari sifat egoisantris naif. Ciri ini ditandai oleh kehidupan anak yang belum dapat memisahkan antara dirinya dengan keadaan lingkungan sosialnya. Anak pada masa ini hanya memiliki minat terhadap benda-benda atau peristiwa yang sesuai dengan daya fantasinya. Anak mulai membangun dunianya dengan khayalan dan keinginannya sendiri.
3)   Kesatuan jasmani dan rohani yang hampir tidak terpisahkan
Anak belum dapat membedakan antara dunia lahiriah dan batiniah. Isi lahiriah dan batiniah masih merupakan kesatuan yang utuh. Penghayatan anak terhadap sesuatu dikeluarkan atau diekspresikan secara bebas, spontan dan jujur baik dalam mimik, tingkah laku maupun pura-pura, anak mengekspresikannya secara terbuka karena itu janganlah mengajari atau membiasakan anak untuk tidak jujur.
4)   Sikap hidup yang disiognomis
Anak bersikap fisiognomis terhadap dunianya, artinya secara langsung anak memberikan atribut atau sifat lahiriah atau sifat konkrit, nyata terhadap apa yang dihayatinya. Kondisi ini disebabkan karena pemahaman anak terhadap apa yang dihadapinya masih bersifat menyatu (totaliter) antara jasmani dan rohani. Anak belum dapat membedakan antara benda hidup dan benda mati. Segala sesuatu yang ada disekitarnya dianggap memiliki jiwa yang merupakan makhluk hidup yang memiliki jasmani dan rohani sekaligus, seperti dirinya sendiri.
c.   Perkembangan Anak Usia Dini.
Periode ini merupakan kelanjutan dari masa bayi (lahir sampai usia 4 tahun) yang ditandai dengan terjadinya perkembangan fisik, motorik dan kognitif (perubahan dalam sikap, nilai, dan perilaku) dan psikososial serta diikuti oleh perubahan-perubahan yang lain. Perkembangan anak usia dini dapat dipaparkan sebagai berikut :
1)   Perkembangan Fisik dan Motorik
Pertumbuhan fisik pada masa ini (kurang lebih usia 4 tahun) lambat dan relative seimbang. Peningkatan berat badan anak lebih banyak daripada panjang badannya. Peningkatan berat badan anak terjadi terutama karena bertambahnya ukuran system rangka, otot dan ukuran beberapa organ tubuh lainnya. Perkembangan motorik pada usia ini menjadi lebih halus dan lebih terkoordinasi dibandingkan dengan masa bayi. Pada masa ini anak bersifat spontan dan selalu aktif. Mereka mulai menyukai alat–alat tulis dan meraka sudah mampu membuat desain maupun tulisan dalam gambarnya. Mereka juga sudah mampu menggunakan alat manipulasi dan konstruktif.
2)   Perkembangan Kognitif
Pikiran anak berkembang secara berangsur-angsur pada periode ini. Daya pikir anak yang masih bersifat imajinatif dan egosentris pada masa sebelumnya maka pada periode ini daya pikir anak sudah berkembang kearah yang lebih konkrit, rasional dan objektif. Daya ingat anak menjadi sangat kuat, sehingga anak benar-benar berada pada stadium belajar.
3)   Perkembangan Bahasa
Hal yang penting dalam perkembangan bahasa adalah persepsi, pengertian adaptasi, imitasi dan ekspresi. Anak harus belajar mengerti semua proses ini, berusaha meniru dan kemudian baru mencoba mengekspresikan keinginan dan perasaannya. Perkembangan bahasa pada anak meliputi perkembangan fonologis, perkembangan kosakata, perkembangan makna kata, perkembangan penyusunan kalimat dan perkembangan pragmatik.
4)   Perkembangan Sosial
Anak-anak mulai mendekatkan diri pada orang lain disamping anggota keluarganya. Meluasnya lingkungan sosial anak menyebabkan mereka berhadapan dengan pengaruh– pengaruh dari luar. Anak juga akan menemukan guru sebagai sosok yang berpengaruh.
5)   Perkembangan Moral
Perkembangan moral berlangsung secara berangsur– angsur, tahap demi tahap. Terdapat tiga tahap utama dalam pertumbuhan ini, tahap amoral (tidak mempunyai rasa benar atau salah), tahap konvesional (anak menerima nilai dan moral dari orang tua dan masyarakat), tahap otonomi (anak membuat pilihan sendiri secara bebas) (Tadkiroatun Musfiroh, 2005: 6).
2.   Keterampilan Berbicara
a.   Pengertian keterampilan berbicara
Berbicara merupakan keterampilan yang berkembang dalam kehidupan anak. Aktivitas berbicara anak dimulai melalui keterampilan menyimak sejak masih bayi dan pada masa tersebutlah belajar berbicara dimulai dengan mengucapkan bunyi-bunyi dan menirukan kata-kata yang didengarnya. Ada beberapa pengertian yang diungkapkan oleh beberapa ahli, antara lain, Tarigan (1985: 15) menyebutkan bahwa berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan.
Menurut Suhartono (2005: 22), yang dimaksud dengan berbicara adalah suatu penyampaian maksud tertentu dengan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa supaya bunyi tersebut dapat dipahami oleh orang yang ada dan mendengar di sekitarnya. Suhendar (1993: 1) memaparkan bahwa, berbicara merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa, merupakan suatu proses komunikasi, proses perubahan wujud pikiran atau perasaan menjadi wujud ujaran atau bunyi bahasa yang bermakna, yang disampaikan kepada orang lain. Kemudian pada bagian lain disebutkan bahwa, berbicara sebagai salah aspek keterampilan berbahasa bukan hanya mengujar, bukan hanya keluarnya bunyi bahasa dari alat ucap, bukan hanya mengucap yang tanpa makna, melainkan berbicara sebagai berbahasa, yaitu menyampaikan pikiran atau perasaan kepada orang lain melalui ujaran.
Dari pengertian di atas dapat dirinci beberapa hal, antara lain: 1) Ada pihak yang menyampaikan maksud, disebut pembicara atau komunikator. 2) Ada pihak yang menerima maksud tersebut, baik sebagai individu maupun kelompok, disebut lawan bicara, atau penyimak atau komunikan. 3) Media untuk menyampaikan maksud tersebut digunakan bahasa lisan. Maksud yang disampaikan oleh pembicara diterima dengan baik dan dipahami oleh lawan bicara, diterima penyimak, diterima komunikan, dan terjadilah komunikasi. Pendapat tersebut diperkuat oleh Endang Lestari (2009: 36), keterampilan dalam berbahasa lisan merupakan kemampuan mengekspresikan bahan pembicaraan dalam bahasa kata-kata yang dimengerti orang banyak, dan mudah dicerna.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berbicara merupakan salah satu komponen keterampilan berbahasa. Kemampuan berbicara merupakan proses perubahan wujud pikiran melalui bunyi bahasa yang bermakna dengan maksud agar orang lain memahami apa dimaksudkan.
2.   Tujuan berbicara bagi anak
Manusia adalah makhluk yang diberi kelebihan untuk berpikir. Dalam menjalani dan memenuhi kehidupannya, akan senantiasa berhubungan dengan orang lain. Dalam berhubungan dengan orang lain manusia akan senantiasa berkomunikasi, melalui kegiatan berbicara, maka komunikasi akan terjadi.
Tujuan berbicara yang paling penting adalah untuk berkomunikasi, sehingga banyak dikatakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi. Agar tujuan tercapai, maka pembicara hendaknya memahami makna segala sesuatu yang ingin dikomunikasikannya kepada orang lain.
Tarigan (1983: 15) mengatakan bahwa tujuan utama dari berbicara adalah untuk berkomunikasi. Kemudian pada bagian lain, Tarigan menyebutkan, bahwa berbicara adalah suatu alat untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau penyimak.
Ochs dan Winker (Tarigan, 1983: 16) memaparkan bahwa tujuan berbicara: 1) memberitahukan, melaporkan (to inform), 2) menjamu, menghibur (to entertain); dan 3) membujuk, mengajak, mendesak, meyakinkan (to persuade).
Adapun Sulvia (Elan, at. al : 2009) menyebutkan tujuan berbicara adalah sebagai berikut: 1) Siswa dapat melagukan kata/ kalimat/ sesuai dengan konteks bahasa yang digunakan, 2) Siswa terampil Siswa dapat mengucapkan/ melafalkan ucapan dengan betul, dan 3) menggunakan bahasa lisan secara teratur dan baik, serta 4) Siswa mempunyai keberanian untuk menyampaikan pikiran, ide/gagasan, serta perasaannya kepada orang lain.
Jadi, berbicara mempunyai peranan yang sangat penting, khususnya bagi perkembangan anak. Melalui berbicara anak akan mengungkapkan minat, perasaan, ide/gagasan, dan keinginannya kepada orang lain. Sehingga anak yang telah memiliki kemampuan berbicara telah memiliki kematangan yang menjadi bekal kesiapannya dalam kegiatan pembelajaran.
3.   Ciri-ciri/karakteristik kemampuan berbicara anak
Anak usia taman kanak-kanak mempunyai karakteristik khusus dalam kemampuan berbahasa atau berbicara, antara lain anak sudah dapat bicara lancar dengan kalimat sederhana, mengenal sejumlah kosa kata, menjawab, dan membuat pertanyaan yang sederhana, menceritakan kembali isi cerita, dan lain-lain.
Menurut Delfi (Desi Elyawati: 2009), karakteristik berbahasa anak usia taman kanak-kanak, antara lain: 1) Sudah dapat melakukan peran sebagai pendengar yang baik, 2) Sudah dapat melakukan interaksi/komunikasi. 3) Sudah dapat melakukan ekspresi diri, menulis, membaca, dan berpuisi.
Perkembangan bahasa anak taman kanak-kanak berada pada tahap ekspresif, sehingga anak dapat mengungkapkan keinginannya, penolakan, maupun pendapatnya dengan menggunakan bahasa lisan. Dan, bahasa lisan ini sudah dapat dipakai untuk berkomunikasi. Dalam linguistik, dijelaskan bahwa berbicara memiliki ciri-ciri khusus, yaitu:
a)   Bertujuan, kegiatan berbicara membawa seseorang mencapai tujuannya atau keinginannya
b)   Bersifat interaktif, kegiatan berbicara tidak hanya menghadirnya pembicara dan pendengarnya saja, melainkan adanya dialog, tanya jawab, interaksi, saling menanggapi antara kedua belah pihak sehingga proses komunikasi akan terjadi.
c)   Kesementaraan, artinya bahwa proses komunikasi hanya berlangsung selama proses pembicaraan atau proses komunikasi itu terjadi. Sesudah itu dapat ditemukan dan diulangi lagi.
d) Terjadi dalam bingkai bingkai khusus. Bahwa bingkai-bingkai khusus berbicara terdiri atas empat, yaitu komunikasi hanya terjadi dalam waktu tertentu, komunikasi mengambil tempat tertentu, komunikasi selalu mengambil topik tertentu dan kedua belah pihak dalam keadaan siap.
e)   Alfa tanda baca.
f)   Kata kata terbatas.
g)   Pengalaman.
4.   Prinsip-prinsip berbicara
Dalam kehidupan manusia peranan berbicara amatlah penting. Kemampuan berbicara mempunyai pengaruh terhadap hubungan dengan sesama maupun kehidupannya kelak. Semua orang memang akan berbicara dalam semua kesempatan. Namun, dengan sendirinya tidak asal bicara, dituntut denganekologi bahasa dan kesatuan berbahasa, maka diperlukan aturan-aturan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Demikian juga struktur bahasa, suara, maupun intonasinya. Aspek keterampilan berbicara berkaitan dengan ucapan, baik ucapan berkenaan dengan bunyi-bunyi bahasa, kata, atau kalimat. Dalam kegiatan belajar mengajar ada enam aspek pragmatis yang harus dipertimbangkan, yaitu aspek sosial, intelektual, emosional, informasi faktual, moral, dan penyesuaian sesuatu. Dipaparkan pula oleh Suhendar (1993: 17), beberapa prinsip dasar berbicara antara lain: (a) Bahasa sebagai suatu sistem, (b) Bahasa adalah vokal/ bunyi ujaran, (c) Bahasa disusun dari dari lambang-lambang manasuka, (d) Setiap bahasa bersifat unik, bersifat khas, (e) Bahasa dibangun dari kebiasaan-kebiasaan, (f) Bahasa adalah alat komunikasi, (g) Bahasa berhubungan dengan kebudayaan setempat serta (h) Bahasa itu berubah ubah.
Keterampilan berbicara juga harus mengikuti cara atau aturan dalam berbicara. Seperti yang dipaparkan oleh Endang Lestari (2009: 37), yaitu : a) Jangan berbicara terlalu banyak tentang diri sendiri, b) Jangan memonopoli pembicaan, c) Menggunakan bahasa yang sopan dan efektif, d) Mendengarkan ketika teman berbicara, e) Memperhatikan situasi dan keadaan teman berbicara, dan taktis dalam berbicara, dan f) Tidak bersifat kaku dan dogmatis, karena akan memberi kesan menggurui.
Pada bagian lain, Endang Lestari (2009) menjelaskan bahwa untuk dapat meningkatkan kemampuan keterampilan berbicara ini dapat dilakukan, antara lain, a) Percaya diri, b) Ucapkan kata-kata dengan jelas dan perlahan-lahan, c) Bicara yang wajar, d) Atur irama dan tekanan suara dan jangan monoton. e) Menaruh nafas dalam-dalam, f) Hindari sindrom em, ah, anu, apa….dts, g) Membaca paragraf yang dianggap penting dari teks tulisan, dan terakhir h) Siapkan air minum.
5.   Kegiatan pembelajaran berbicara
Kegiatan pembelajaran berbicara dapat dilakukan dengan berbagai metode agar kegiatan menarik bagi anak, terutama agar anak dapat terlibat langsung dalam pembelajaran. Menurut Sulvia (Elan, at. al.: 2009), ada berbagai cara dalam kegiatan pembelajaran dalam berbicara, antara lain (a) ucap ulang, (b) lihat dan ucapkan, (c) mendeskripsikan, (d) substitusi, (e) transpormasi, (f) melengkapi kalimat, (g) menjawab pertanyaan, (h) cakapan, (i) parafrase, (j) reka cerita gambar, (k) memberi petunjuk, (l) bercerita, (m) dramatisasi, (n) laporan pandangan mata, (o) bermain peran, (p) bertelefon, (q) wawancara, dan (r) diskusi. Kemampuan berbicara yang dapat diajarkan di sekolah, menurut Hartini (2006), adalah (a) menceritakan kembali, (b) bercerita, (c) berpidato, (d) bercakap-cakap atau berdialog, (e) wawancara, (f) tanya jawab, (g) berdiskusi bertanya, (h) pertanyaan menggali, (i) melanjutkan cerita, (j) cerita berantai.
6.   Hambatan-hambatan dalam berbicara
Hambatan dalam berbicara dapat disebabkan oleh beberapa alasan, Menurut Sulvia (Elan, at.al: 2009), hambatan yang terjadi dalam komponen kebahasaan, meliputi (1) lafal dan intonasi, (2) pilihan kata, (3) struktur bahasa, dan (4) gaya bahasa.
Aida (Elyawati, D: 2009) memaparkan hambatan yang ditemui ketika seseorang akan berbicara adalah:
a)   Keberanian, percaya diri.
Menurut Dale Carnagie (Hartini: 2009), bahwa semua orang mampu berbicara dengan cara yang dapat diterima oleh publik, jika ia memiliki rasa percaya diri dan sebuah ide yang ada di dalam dirinya, yaitu dengan mengerjakan hal-hal yang ditakutkan dan memperoleh satu catatan dari pengalaman orang-orang sukses.
b)   Rasa grogi, gugup
Rasa grogi untuk berbicara dapat dialami oleh siapa saja, hal ini akan dapat dikuasai jika pembicara lebih tenang dan berusaha untuk membuat suasana menjadi agak lebih rileks.
c)   Gejala-gejala tertekan
Menurut Natalie (Hartini, 2009), ada beberapa gejala yang dapat menghambat berbicara seseorang yaitu:
1)   Gejala fisik
Ditandai dengan detak jantung yang semakin cepat, lutut gemetar, tegang sulit untuk berdiri di muka umum, suara yang bergetar, mata berair atau hidung berlendir, kesulitan bernafas, gelombang hawa panas, atau perasaan seperti mau pingsan.
2)   Gejala mental
Terjadi pengulangan kata, kalimat atau pesan. Hilang ingatan, termasuk ketidakmampuan mengingat angka atau fakta secara tepat, serta bentuk kepanikan lainnya. Hambatan dalam berbicara yang terjadi pada anak adalah disebabkan oleh kebelum-matangan anak dalam menguasai keterampilan berbicara, faktor lainnya yaitu adanya hambatan secara fisik, antara lain anak belum bisa mengucapkan huruf r, l, s, m, n atau kelainan saluran pita suara anak, seperti sumbing, dan sebagainya.
3.   Metode Bercerita
a.   Pengertian Cerita
Cerita merupakan salah satu bentuk karya sastra. Buku untuk anak biasanya mencerminkan masalah-masalah masa kini. Karena kehidupannya terfokus pada masa kini, masih sukar bagi anak untuk membayangkan masa lalu dan masa depan. Cerita untuk anak adalah cerita yang menempatkan mata anak-anak sebagai pengamat utama dan masa anak-anak sebagai fokus utamanya. (Tarigan, 1995: 5).
b.   Pentingnya Cerita
Suyanto dan Abbas dalam Musfiroh (2005: 23) menyatakan cerita dapat digunakan sebagai sarana mendidik dan membentuk kepribadian anak. Nilai-nilai luhur ditanamkan pada diri anak melalui penghayatan terhadap makna dan maksud cerita. Tranmisi budaya terjadi secara alamiah. Anak memiliki referensi yang mendalam karena setelah menyimak, anak melakukan serangkaian aktivitas kognisi dan afeksi yang rumit dari fakta cerita separti nama tokoh, sifat tokoh, latar tempat, dan budaya, serta hubungan sebab akibat dalam alur cerita dan pesan moral yang tersirat didalamnya, misalnya makna kebaikan, kejujuran, dan kerja sama. Proses ini terjadi secara lebih kuat dari pada nasehat atau paparan.
Musfiroh (2005: 24) menyatakan bercerita menjadi sesuatu yang penting bagi anak karena beberapa alasan antara lain :
1)   Bercerita merupakan alat perbandingan budi pekerti yang paling mudah dicerna anak disamping teladan yang dilihat anak tiap hari.
2)   Bercerita merupakan metode dan materi yang dapat diintegrasikan dengan dasar ketrampilan lain, yakni berbicara, membaca, menulis dan menyimak, tidak terkecuali untuk anak taman kanak-kanak.
3)   Bercerita memberi ruang lingkup yang bebas pada anak untuk mengembangkan kemampuan bersimpati dan berempati terhadap peristiwa yang menimpa orang lain. Hal tersebut mendasari anak untuk memiliki kepekaan sosial.
4) Bercerita memberi contoh pada anak bagaimana menyikapi suatu permasalahan dengan baik, bagaimana melakukan pembicaraan yang baik, sekaligus memberi pelajaran pada anak bagaimana cara mengendalikan keinginan-keinginan yang dinilai negatif oleh masyarakat.
5) Bercerita memberikan barometer sosial pada anak, nilai-nilai apa saja yang diterima oleh masyarakat sekitar, seperti patuh pada perintah orang tua, mengalah pada adik, dan selalu bersikap jujur.
6) Bercerita memberikan pelajaran budaya dan budi pekerti yang memiliki retensi lebih kuat dari pada pelajaran budi pekerti yang diberikan melalui penuturan dan perintah langsung.
7)   Bercerita memberikan ruang gerak pada anak, kapan sesuatu nilai yang berhasil ditangkap akan diaplikasikan.
8)   Bercerita memberikan efek psikologis yang positif bagi anak dan guru sebagai pencerita, seperti kedekatan emosional sebagai pengganti figur lekat orang tua.
9)   Bercerita membangkitkan rasa tahu anak akan peristiwa atau cerita, alur, plot, dan menumbuhkan kemampuan merangkai sebab akibat dari suatu peristiwa dan memberikan peluang bagi anak untuk belajar menelaah kejadian-kejadian di sekelilingnya.
10) Bercerita memberikan daya tarik bersekolah bagi anak. Cerita memberikan efek reaktif dan imajinatif yang dibutuhkan anak TK, membantu pembentukan serabut syaraf, respon positif yang dimunculkan memperlancar hubungan antarneuron. Secara tidak langsung, cerita merangsang otak untuk menganyam jaringan intelektual anak.
11) Bercerita mendorong anak memberikan makna bagi proses belajar terutama mengenai empati sehingga anak dapat mengkonkretkan rabaan psikologis mereka bagaimana seharusnya memandang suatu masalah dari sudut pandang orang lain. Dengan kata lain, anak belajar memahami sudut pandang orang lain secara lebih jelas berdasarkan perkembangan psikologis masing-masing.
c.   Jenis Cerita
Banyak jenis cerita yang dapat ditawarkan pada anak. Jenis cerita yang menarik bagi anak sesuai dengan tingkatan umur tentu berlainan. Anak yang lebih muda sudah dapat memahami dan menyukai cerita untuk anak yang lebih besar atau biasa juga sebaliknya.
1)   Umur 2-3 tahun
Cerita untuk anak umur 2-3 tahun biasanya berisi atau memperkenalkan benda atau binatang disekitar rumah. Hal seperti ini yang bagi orang dewasa dianggap biasa tapi bagi anak merupakan hal yang luar biasa dan amat menarik perhatian.
2)   Umur 3-5 tahun
Cerita untuk umur 3-5 tahun biasanya berupa buku yang memperkenalkan huruf akan menarik perhatiannya, misal huruf yang dapat membentuk nama orang, nama binatang, nama buah yang ada dalam cerita.
3)   Umur 6-7 tahun
Anak-anak pada usia ini biasanya mulai mengembangkan daya fantasinya, mereka sudah dapat menerima adanya benda atau binatang yang dapat berbicara. Cerita si Kancil atau cerita rakyat lainnya mulai diberikan.
4)   Umur 8-9 tahun
Anak-anak pada usia ini biasanya mulai menyukai ceritacerita rakyat yang lebih panjang dan rumit. Cerita petualangan ke negeri dongeng yang jauh dan aneh, juga cerita humor (Diknas, 2006).

d.   Penyajian Cerita
Anak TK pada umumnya belum dapat membaca, kosakatanya juga sangat terbatas. Daya nalarnya pun juga sangat dangkal sehingga untuk membedakan antara yang nyata dan yang fantasi pun belum mampu. Oleh sebab itu, penyajian cerita sebaiknya dalam bentuk media visual sedikit. Gambar merupakan media yang menarik perhatian dan disukai anak-anak. Karena dalam gambar terdapat bentuk-bentuk objek dan warna yang jelas, anak-anak mudah menggambarkan tokoh yang sebenarnya. Bentuk-bentuk penyajian cerita anak TK yang disarankan adalah sebagai berikut:
1)   Kartu Cerita
Kartu cerita adalah sebuah cerita yang berbentuk teks yang berisi catatan singkat dari bagian-bagian cerita secara beruntun, sebagai bahan bercerita. Adapun bentuk cerita ini disajikan dalam bentuk kartu.
2)   Gambar Seri
Gambar seri adalah kumpulan beberapa gambar dimana ringkasan cerita dituliskan pada kertas tersendiri sebagai bahan bercerita. Cerita ini tidak berbetuk buku akan tetapi hanya berbentuk lembaran kertas yang saling berkaitan.
3)   Buku Cerita Bergambar
Buku cerita bergambar adalah sebuah cerita berbentuk buku dimana terdapat gambar sebagai perwakilan cerita yang saling berkaitan. Selain ada gambar dalam buku cerita tersebut juga terdapat tulisan yang mewakili cerita yang ditampilkan oleh gambar diatasnya.
4.   Cerita Bergambar
a.   Pengertian Cerita Bergambar
Cerita bergambar merupakan sebuah kesatuan cerita disertai dengan gambar-gambar yang berfungsi sebagai penghias dan pendukung cerita yang dapat membantu proses pemahaman terhadap isi cerita tersebut. Menurut wikipedia the free encylopedia dalam Ardianto (2007: 6) cerita bergambar adalah suatu bentuk seni yang menggunakan gambar-gambar tidak bergerak yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk jalinan cerita. Gambar adalah suatu bentuk ekspresi komunikasi universal yang dikenal khayalak luas. Melalui cerita bergambar diharapkan pembaca dapat dengan mudah menerima informasi dan diskripsi cerita yang hendak disampaikan.
b.   Teknik Bercerita dengan Alat Peraga Buku Bergambar
Bercerita dengan alat peraga buku bergambar dikategorikan sebagai reading aloud (membaca nyaring). Bercerita dengan media buku bergambar dipilih apabila guru memiliki keterbatasan pengalaman (guru belum berpengalaman bercerita), guru memiliki kekhawatiran kehilangan detail cerita, dan memiliki keterbatasan sarana cerita, serta takut salah berbahasa.
5.   Penerapan Cerita Bergambar dalam Pelaksanaan Pembelajaran
Musfiroh (2005: 142) menyatakan teknik-teknik membacakan cerita dengan alat peraga buku cerita bergambar adalah sebagai berikut:
1) Pencerita sebaiknya membaca terlebih dahulu buku yang hendak dibacakan didepan anak. Guru memiliki keyakinan memahami cerita, menghayati unsur drama, dan melafalkan setiap kata dalam buku dengan tepat serta tahu pasti makna tiap-tiap kata tersebut. Dengan demikian konsentrasi anak terhadap cerita menjadi tidak tertanggu dan rentang perhatian anak terhadap cerita manjadi 5 menit lebih panjang dari biasanya. Rentang perhatian yang lebih panjang tersebut merupakan salah satu ciri dari anak yang kreatif.
2) Pencerita tidak terpaku pada buku, sebaiknya guru memperhatikan reaksi anak saat membacakan buku tersebut. Hal ini bermanfaat bagi guru karena dengan melihat reaksi anak, guru dapat mendeteksi anak-anak yang kreatif, karena anak kreatif mempunyai reaksi yang kreatif serta belajar dengan caracara yang kreatif. Contoh dari reaksi kreatif tersebut adalah apabila guru bercerita anak-anak akan mengajukan pertanyaan, kemudian membuat tebak-tebakan sendiri yang akhirnya anak tersebut akan menemukan sendiri jawabannya. Hasil dari temuan tersebut merupakan awal dari ide kreatifnya.
3)   Pencerita membacakan cerita dengan lambat (slowly) dengan kalimat ujaran yang lebih dramatik daripada urutan biasa. Hal ini bertujuan agar anak dapat meresapi isi cerita yang disampaikan oleh guru sehingga anak dapat membangun imajinasinya dari cerita yang mereka dengar. Melalui imajinasi-imajinasinya tersebut anak membangun pengetahuan sehingga dapat melahirkan ide-ide yang dituangkan lewat cerita yang mereka bangun dari imajinasinya.
4)   Pada bagian-bagian tertentu, pencerita berhenti sejenak untuk memberikan komentar, atau meminta anak-anak memberikan komentar mereka. Dengan demikian dapat memberi kesempatan pada anak untuk berkomentar terhadap cerita yang disampaikan dan dapat merangsang anak untuk mengajukan pertanyaan seputar cerita yang disampaikan seperti tokoh, alur cerita dan akhir dari cerita tersebut. Pertanyaan-pertanyaan tersebut yang merangsang anak untuk menemukan ide kratifnya.
5)   Pencerita memperhatikan semua anak dan berusaha untuk menjalin kontak mata. Dengan menjalin kontak mata tersebut, guru dapat melihat anak-anak yang mempunyai rentang perhatian panjang, dimana rentang perhatian tersebut merupakan salah satu ciri anak kreatif.
6)   Pencerita sebaiknya sering berhenti untuk menunjukan gambar-gambar dalam buku, dan pastikan semua anak dapat melihat gambar tersebut. Dengan memberi kesempatan anak untuk melihat gambar, maka akan memberi kesempatan anak untuk berfantasi dengan gambar tersebut. Anak yang mempunyai banyak fantasi dapat dikatakan sebagai anak yang kreatif.
7)   Pastikan bahwa jari selalu siap dalam posisi untuk membuka halaman selanjutnya. Anak-anak yang kreatif mempunyai rasa ingin tahu yang kuat, mereka akan selalu bertanya-tanya khususnya tentang kelanjutan cerita yang dibacakan guru. Oleh karena itu guru harus selalu siap untuk memposisikan jarinya untuk membuka halaman selanjutnya.
8)   Pencerita sebaiknya malakukan pembacaan sesuai rentang atensi anak dan tidak bercerita lebih dari 10 menit (Wright dalam Musfiroh, 2005: 143). Hal ini bertujuan agar anak tidak bosan terhadap cerita yang disampaikan oleh peneliti. Kebosanan tersebut akan menghambat proses kreatifnya karena jika anak-anak bosan mereka tidak akan bisa berekplorasi sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Karena dengan bereksplorasi anak membangun rasa percaya diri. Rasa percaya diri itulah yang akan menjadi bekal anak untuk mengorganisasikan kemampuan diri. Dari keberhasilan anak mengorganisasikan kemampuan diri itu nantinya yang akan dipergunakan anak untuk menjadi pemimpin baik itu dirinya sendiri maupun kelompoknya. Karena ciri dari anak kreatif itu sendiri adalah anak mampu mengorganisasikan kemampuan diri yang menakjubkan.
9)   Pecerita sebaiknya memegang buku di samping kiri bahu bersikap tegak lurus kedepan.
10) Saat tangan kanan pencerita menunjukan gambar, arah perhatian disesuaikan dengan urutan cerita.
11) Pencerita memposisikan tempat duduk ditengah agar anak bisa melihat dari berbagai arah sehingga anak dapat melihat gambar secara keseluruhan.
12) Pencerita melibatkan anak dalam cerita supaya terjalin komunikasi multiarah. Komunikasi yang multiarah tersebut akan merangsang anak untuk terlibat dengan kegiatan bercerita tersebut. Apabila anak terlibat dalam kegiatan cerita maka anak akan mendapatkan kosakata baru lebih banyak. Kosakata tersebut akan menjadi bekal anak untuk menjadi pencerita alami. Hal ini dikarenakan anak yang kreatif menikmati permainan dengan kata-kata serta sebagai pencerita yang alami.
13) Pencerita tetap bercerita pada saat tangan membuka halaman buku.
14) Pencerita sebaiknya menyebutkan identitas buku, seperti judul buku dan pengarang supaya anak-anak belajar menghargai karya orang lain (Priyono dalam Musfiroh, 2005: 143). Dengan guru menyebutkan judul dan pengarangnya, kosakata anak menjadi bertambah. Kosakata tersebut yang akan mendorong anak untuk mengembangakan imajinasi dalam cerita yang dibuatnya.
B.     Hasil Penelitian yang Relevan
1.      Winarti, Yenni. 2011. Peningkatan Keterampilan Berbicara Melalui Metode Bercerita Pada Kelompok A TK Dharma Wanita 02 Langon Kabupaten Blitar. Skripsi Jurusan Sekolah Dasar dan Prasekolah FIP Universitas Negeri Malang. Pembimbing : (1) Drs. I Wayan Sutama, M.Pd,  (2) Drs. Kentar Budhojo, M. Pd. Penelitian yang dilakukan menggunakan jenis penelitian tindakan, yaitu penelitian tindakan kelas (PTK). Dalam penelitian tindakan ini yang berperan sebagai peneliti, penanggung jawab penuh penelitian, observer, pengumpul dan penganalisis data, dan penyusunan laporan penelitian adalah guru. Analisis data penelitian yang digunakan adalah analisis data kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan pembelajaran dengan metode bercerita dapat meningkatkan keterampilan berbicara anak yaitu pada aspek kelancaran berbicara hasil yang diperoleh pada siklus I prosentase nilai rata-rata anak 67% dan pada siklus II naik menjadi 87%. Pada aspek kenyaringan berbicara berbicara hasil yang diperoleh pada siklus I prosentase nilai rata-rata anak 69% dan pada siklus II naik menjadi 85%. Pada aspek keruntutan berbicara hasil yang diperoleh pada siklus I prosentase nilai rata-rata anak 72% dan pada siklus II menjadi 85%. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran dengan metode bercerita dapat meningkatkan keterampilan berbicara anak. Dari hasil penelitiian tersebut diharapkan agar guru mencoba menerapkan metode bercerita untuk membantu mengatasi kesulitan anak pada pembelajaran berbicara, sedangkan untuk peneliti lain diharapkan dapat menyempurnakan penelitian ini dengan menerapkannya pada ruang lingkup yang lebih luas.
2.      Handayani, Sri (2011) Penggunaan Media Cerita Animasi untuk Melatih Keterampilan Berbicara pada Siswa Taman Kanak-Kanak Amanah Ummah Gemolong Tahun Ajaran 2010/2011. Skripsi thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Tujuannya penelitian ini adalah mendeskripsikan proses pelaksanaan penggunaan media cerita animasi, hasil penggunaan media animasi, dan manfaat pembelajaran bahasa untuk melatih keterampilan berbicara pada siswa. Teknik pegumpulan data melalui observasi, wawancara, catatan lapangan, dan tes. Teknik analisis data melalui tiga tahap, yakni reduksi data, display data, dan penyimpulan. Teknik validitas data adalah trianggulasi data. Teknik penyajian data disajikan secara informal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media cerita animasi dapat melatih keterampilan berbicara siswa pada mata pelajaran berbahasa. Dibuktikan dengan hasil pembelajaran keefektifan berbicara mengalami yang peningkatan pada siklus I sebanyak 53,6% (14 siswa) menjadi 88,5% (23 siswa) pada siklus II. Adanya peningkatan keterampilan berbicara yaitu pada siklus I pada aspek kemampuan bertanya dan menjawab pertanyaan sebanyak 11 siswa (42,3%) dan siklus II sebanyak 20 siswa (77%). Manfaat dalam penelitian ini siswa mampu berbicara di depan kelas tanpa ragu-ragu, berani bertanya dan menjawab sebuah pertanyaan, serta guru mampu mengenal karakter siswanya lebh baik.
C.    Kerangka Berpikir
Dengan dipergunakannya media cerita gambar pada peningkatan kemampuan berbicara, diharapkan siswa akan dapat membayangkan pelukisan perilaku tokoh pada gambar tersebut. Imaginasi siswa berselancar ke dunia maya yang seakan-akan dirinya menjadi tokoh utama dari cerita gambar tersebut. Selanjutnya siswa dapat menceritakan kembali maksud dari cerita gambar tersebut. Penggunaan cerita gambar yang dimaksud tentunya yang berkaitan dengan materi pembelajaran yang tercantum dalam kurikulum. Misalnya untuk mengetahui respon siswa.mengenai binatang buas, cukup dengan menyajikan gambar binatang buas dan siswa dapat disuruh untuk bercerita mengenai binatang tersebut. Kehadiran cerita gambar, seperti cerita tentang gambaran tentang suatu peristiwa, tempat, kegiatan dan benda-benda dapat dimanfaatkan guru sebagai wahana penyalur pesan atau informasi dalam pembelajarannya. Cerita gambar yang dirancang dan dipersiapkan dengan baik, dan menarik akan dapat merangsang kemampuan siswa dalam mengamati, mencermati detail-detail cerita gambar dan juga kata-kata yang ada dalam cerita gambar tersebut. Pada akhirnya karena siswa tertarik pada cerita gambar tersebut, mereka akan belajar secara konsentrasi dan sungguh-sungguh. Selain berfungsi sebagai pemicu semangat belajar, media gambar juga dapat digunakan untuk membantu siswa dalam mengungkapkan bahasa secara lisan dengan bahasa yang runtut, baik dan benar. Untuk itu kecermatan dan ketelitian siswa dalam mengamati cerita gambar menjadi hal yang sangat praktis. Sebagai gambaran dalam penelitian tindakan kelas ini dapat dibuat kerangka berpikir sebagai berikut.



 

































Gambar 2.1  Kerangka Berpikir  Penelitian Tindakan Kelas




D.    Hipotesis Tindakan
Hipotesis adalah dugaan sementara yang dianggap dapat dijadikan jawaban dari suatu permasalahan yang timbul. Hipotesis merupakan kesimpulan yang nilai kebenarannya masih diuji, melihat permasalahan dan teori yang telah dikemukakan di atas dapat penulis rumuskan hipotesis yaitu, cerita bergambar dapat meningkatkan kemampuan berbicara pada anak didik kelompok A TK Negeri Pembina Majenang Tahun Pelajaran 2011/2012.